• Tidak ada hasil yang ditemukan

upaya penegakan hukum kepolisian dalam penanggulangan

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "upaya penegakan hukum kepolisian dalam penanggulangan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENEGAKAN HUKUM KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PELANGGARAN

LALU LINTAS DI POLRES BENGKULU Oleh

ATHAN ERWANDI MUNTE (Polres Bengkulu)

ALAUDDIN

(Fakultas Hukum Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH) HURAIRAH

(Fakultas Hukum Universitas Dehasen) ABSTRACT

Police law enforcement efforts in overcoming traffic violations at the Bengkulu Police. The decline in the image of the Police in the eyes of the public is an important issue which until now continues to shackle the Police in carrying out their duties and authorities as guards of security and public order, carrying out law enforcement, and providing protection, protection and creating security, order and smooth traffic in serving the community. Public Identify the problem of how the police law enforcement efforts in overcoming traffic violations at the Bengkulu Police and what are the factors that influence the police law enforcement efforts in overcoming traffic violations at the Bengkulu Police. This research is the approach method used in this research is the sociological juridical method. The research was conducted at the Bengkulu Police. Police law enforcement efforts in overcoming traffic violations at the Bengkulu Police Police are able to create familial conditions in providing services to the community and are more responsive, sympathetic and do not discriminate against anyone who deals with the police. The community's response to the police's performance in handling traffic LAKA cases was very positive, because as a mediator between the perpetrator and the victim, the police acted disciplined in penal mediation. The community's response to the police in tackling traffic violations is positive because the basis for countermeasures is based on the principles.The factors that influence police law enforcement efforts in overcoming traffic violations at the Bengkulu Police are six factors, namely:

professionalism/intellectualism, mediator, devotion, exemplary , discipline and obey the rules and the last factor is authority. These six factors are very influential for the growth of the image of the police in dealing with criminal acts of traffic violations. Efforts need to be taken by the police to build their image in tackling traffic violations through integrated prevention efforts between the community and the police. On the other hand, self-reform is an attempt by the police to build their image. Including reform of professionalism/intellectualism, police example. So the main police self-reform is cultural reform.

Keywords: Law enforcement efforts, Police, countermeasures, crime, traffic

(2)

95

ABSTRAK

Tentang Upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres BengkuluKemerosotan citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan penting yang hingga saat ini masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan melakukan pengayoman, perlindungan serta menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dalam melayani masyarakat Identifikasi masalah bagaimana upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu. Peneletian ini adalah metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis sosiologis. Penelitian dilakukan pada di Polres Bengkulu. Upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu polisi mampu mewujudkan kondisi kekeluargaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan lebih responsif, simpatik dan tidak membedakan siapapun yang berurusan dengan polisi. Respon masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menangani kasus Laka lalu-lintas amat positif, karena sebagai mediator antara pelaku dan korban, polisi bertindak disiplin dalam mediasi penal. Respon masyarakat terhadap polisi dalam menanggulangi pelanggaran lalu-lintas positif karena landasan penanggulangan dengan asas Faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu ada enam faktor, yaitu : profesionalisme/intelektulisme, mediator, ketaqwaan, keteladanan, disiplin dan taat peraturan dan faktor terakhirnya adalah kewibawaan. Keenam faktor tersebut sangat berpengaruh bagi tumbuhnya citra polisi dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas. Upaya yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam menanggulangi rindak pidana pelanggaran lalu-lintas melalui integrated prevention effort antara warga masyarakat dan polisi. Di sisi lain reformasi diri merupakan upaya polisi dalam membangun citranya. Termasuk reformasi profesionalisme/intelektualisme, keteladanan polisi. Jadi reformasi diri polisi yang utama adalah reformasi cultural.

Kata kunci :Upaya penegakan Hukum, Kepolisian, Penanggulangan, Tindak Pidana, Lalu Lintas

(3)

Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia merupakan Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) amandemen ke empat, di sana jelas disebutkan negara Indonesia adalah negara hukum, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, tertib, dan berkeadilan. Cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia adalah ingin mewujudkan keadilan melalui penegakan hukum, dan tentunya dengan cara reformasi secara bertahap seperti yang sekarang terjadi di Indonesia. Reformasi tentunya tidak terlepas dari Negara demokrasi, di mana demokrasi merupakan bentuk pemerintahan atau kekuasan Negara yang tertinggi (di mana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan dari rakyat untuk rakyat).1

Karena itu, ketika memasuki era refomasi dengan turunnya Presiden Soeharto dari jabatannya pada bulan Mei 1998 yang selama itu penegakan hukum hanya seperti permainan penegakan hukum saja. Masalah klasik yang selalu timbul adalah masalah penegakan hukum di satu pihak dan pembatasan kekuasaan di pihak lain. Tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa gema tuntutan untuk menegakkan rule of law yang merupakan

1 Yan Pranadya, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 1977, Hlm. 295

tekad Orde Baru di awal kelahirannya tiga puluh tahun yang lalu masih bergaung hingga dewasa ini. Cukup banyak masalah kenegaraan dan kemasyarakatan yang sering dipersoalkan oleh berbagai kalangan di negera ini, khususnya oleh kalangan hukum dan politik, akan mengingatkan betapa pentingnya menempatkan peran hukum secara proposional dalam proses berbangsa dan bernegara.

Masalah pembangunan dan penegakan hukum merupakan masalah yang tidak pernah henti-hentinya dibicarakan, baik secara nasional dan internasional. Masalah ini akan selalu ada dan selalu patut dibicarakan, sepanjang masih mengakui adanya Negara Hukum dan sepanjang masih mempercayai hukum sebagai salah satu sarana untuk mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah kehidupan bermasyarakat. Terlebih dalam era reformasi saat ini, masalah “wibawa hukum” dan “pemerintahan yang bersih dan berwibawa” sedang mendapat tantangan dan sorotan tajam.

Penegakan hukum atau dalam bahasa populernya sering disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung tombak agar terciptanya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat. Pengertian istilah penegakan hukum adalah : Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah hukum

(4)

97 yang mantap dan mengejawantah dan

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.2

Bahasa yang lebih lugas, sebenarnya yang dimaksud dengan penegakan hukum tidak lain dari segala daya upaya untuk menjabarkan kaidah- kaidah hukum ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat terlaksananya tujuan hukum dalam masyarakat berupa perwujudan nilai-nilai keadilan, kesebandingan, kepastian hukum, perlindungan hak, ketertiban, kebahagian masyarakat, dan lain-lain.

Berlaku tidaknya penegakan hukum harus melihat dari efektifitas hukum dari segi substansi, kultur dan struktur meliputi : 3

1. Hukum

2. Penegak hukum 3. Sarana dan prasarana 4. Partisipasi masyarakat 5. Budaya

Paradigma yang demikian itu, pembangunan nasional Indonesia dalam arti pembangunan hukum nasional mencakup komponen pembangunan

structural institutional’, komponen

2 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1977, Hlm. 225

3 Wahjono Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983, Hlm. 23

pembangunan ‘cultural behavior’, dan pembangunan hukum instrumental yang menyangkut materi hukum nasional.

Ketiga komponen pembangunan hukum tersebut berlaku, baik dalam kerangka fungsi-fungsi legislasi, administrasi, maupun fungsi yudisial. Dalam ketiga fungsi itu, masing-masing terkait adanya institusi-institusi hukum, adanya unsur subjek hukum pendukungnya, dan instrumen normatif yang mengaturnya.

Dalam arti yang lebih sempit, instrumen peraturan perundang-undangan itu sendiri terkait pula dengan kegiatan pembuatannya (law making), kegiatan pemasyarakatannya (law promulgation and law socialization), dan kegiatan penegakannya (law enformcement) di dalamnya juga terkait dengan elemen institusionalnya, elemen manusianya, dan elemen-elemen proseduralnya. Untuk menunjang keseluruhan fungsi dan aktifitas dengan hukum itu diperlukan makro desain kebijakan pembangunan.

Bahwa penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat kompleks, dan merupakan fakta di depan mata. Kompleks masalah penegakan hukum (law enforcement) ini, sudah diketahui dan diakui bukan saja oleh orang-orang yang sehari-harinya berkecimpung di bidang hukum, melainkan oleh sebagian terbesar

(5)

98 masyarakat, baik secara nasional maupun

internasional. Bahkan, banyak yang mengatakan bahwa buruknya penegakan hukum di Indonesia sudah sampai pada titik tertinggi, seperti yang dikatakan oleh seseorang ahli hukum sebagai berikut :Kondisi hukum di Indonesia yang saat ini ditenggarai mendekati titik nadir, telah mendapat sorotan yang luar biasa dari komunitas dalam negeri maupun internasional. Proses penegakan hukum khususnya, seringkali dipandang bersifat diskriminatif, inkonsisten, dan mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.4

Namun kiranya bila Undang- undang dibuat sedemikian rupa untuk melindungi rakyat, tetapi rakyat yang ingin dilindungi secara hukum belum menyadari kesadaran hukum secara menyeluruh. Di Indonesia dikenal dengan asas “bahwa setiap orang dianggap mengerti hukum”.

Dilihat dari sudut lembaga pendidikan hukum yang berperan membentuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang hukum, maka

“peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) penegakan hukum”. Dengan adanya “peningkatan kualitas penegakan hukum” diharapkan ada “peningkatan

4 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, Majalah KHN, April, 2003, Hlm. 8.

wibawa hukum”. Meningkatnya kualitas penegakan hukum tentunya juga diharapkan dapat menunjang dan meningkatkan “kualitas pemerintahan”.

Rakyat Indonesia tentunya telah sadar hukum, namun karena selama ini hukum yang ada tidak pernah memihak kepada rakyat. Seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen, selama ini dilihat kurang efektifnya Undang-undang ini bagi masyarakat atau konsumen. Masyarakat yang dirugikan oleh produk-produk yang digunakan namun rakyat hanya berdiam diri tanpa meminta perlindungan hukum.

Tindakan ini mungkin juga didasarkan pada fungsi sebenarnya Undang-undang Perlindungan Konsumen itu sendiri, di mana sebelumnya tidak melihat atau menjaring aspirasi masyarakat, dengan melihat apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri sebagai pengguna hukum.

Memperoleh rasa aman dan bebas dari gangguan orang atau pihak lain merupakan bagian dari hak asasi manusia setiap orang. Keadaan keamanan, ketentraman dan kesejahteraan akan bermasalah manakala ada orang atau pihak yang melaksanakan haknya melebihi porsi yang wajar dan mengganggu porsi orang lain.

Munculnya kepolisian sebagai suatu instansi yang di berikan peran untuk

(6)

99 menjaga keamanan secara distingtif dan

merupakan sisi lain dari perkembangan masyarakat dengan struktur yang makin compartmentalized, kompleks, dan spesialistis. Dengan menggunakan tipologi Durkheim, masyarakat merupakan satuan yang independen dan sekalian bidang pekerjaan masih dijalankan oleh masyarakat sebagai keseluruhan (fused), berbeda dengan tipe organis, di mana sudah ada bidang-bidang khusus yang mengerjakan pekerjaan khusus pula, sehingga bersifat interdependen. Maka kepolisian (policing) berubah dari kepolisian informal menjadi formal atau dari kepolisian advokasi menjadi kepolisian vokasional.

Mengganggu porsi hak orang lain atau membiarkan seseorang mengambil hak orang lain, adalah mencederai rasa keadilan dan melanggar konstitusi kehidupan yang manusiawi. Nilai dan martabat kemanusiaan akan kacau jika suatu komunitas sudah banyak melanggar kaidah dan norma sosial yang berlaku.

Untuk itu, pencegahan dan penanggulangan terhadap pelanggaran norma dan hak seseorang oleh pihak atau orang lain merupakan suatu kewajiban dan kebutuhan sosial bersama. Representasi dari pelaksanaan kewajiban bersama dalam menanggulangi pelanggaran konstitusi kehidupan atau hak asasi manusia, antara

lain adalah institusi kepolisian. Dalam arti pula, keberadaan kepolisian di tengah masyarakat merupakan kebutuhan masyarakat, karena mendapat mandat moral mewakili masyarakat dan pencari keadilan untuk memulihkan keseimbangan sosial yang terganggu.

Dalam melaksanakan tugas dan sebagai alat negara memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, maka eksistensi Kepolisian Negara RI (Polri) selaku bersama dan menyatu dengan masyarakat.

Dalam posisi demikian adalah wajar jika evaluasi kinerja Polri langsung di berikan oleh masyarakat. Evaluasi kinerja langsung oleh masyarakat terhadap Polri amat berpengaruh terhadap citra Polri. Saat ini kualitas citra Polri dinilai para pengamat mengalami kemerosotan.

Kemerosotan citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan penting yang hingga saat ini masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan melakukan pengayoman, perlindungan serta menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dalam melayani masyarakat. Fenomena ini tampaknya tetap akan menjadi siklus yang abadi dalam tubuh Polri (Kepolisian Negara

(7)

100 Republik Indonesia), andaikata komitmen

profesionalisme, transparansi dan akuntabilitas tidak diwujudnyatakan dalam sikap dan tindakan aparat kepolisian dalam menjalankan tugas dan wewenang sehari- hari.

Kaporli Jendral Polisi Drs. Sutanto sendiri secara transparan menegaskan, bahwa kepercayaan masyarakat atas kinerja Polri belum sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan adanya kesan yang kuat dalam masyarakat bahwa Polri lamban, tidak tanggap, diskriminatif dan kurang profesional dalam menangani laporan pengaduan masyarakat, ditambah lagi sikap perilaku anggota Polri yang belum santun dalam memberikan pelayanan.5

Fenomena seperti itu tampaknya terpola juga dalam praktik-praktik penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas. Secara khusus mengenai penanganan kasus pelanggaran lalu lintas jalan raya, Koesparmono Irsan menegaskan bahwa “denda damai” dalam penanganan kasus pelanggaran lalu lintas telah menjadi kebiasaan. Petugas cenderung bersepakat dengan pelanggar untuk membayar sejumlah uang di bawah ketentuan hukum agar pelanggarannya

5 KAPOLRI Jenderal Polisi Sutanto,

Membangun Polri untuk Menumbuh Kembangkan Kepercayaan Masyarakat”, MABES Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, 2006, Hlm.2

tidak diproses, dan uang damai tersebut tentu saja tidak masuk kas negara. Di pihak lain, citra polisi yng korup tersebut disebabkan pula oleh sikap khalayak yang terlanjur tidak mau repot, karena selalu dibayangi oleh prosedur hukum yang berbeli-belit sehingga mendorong khalayak untuk lebih memilih jalan pintas dengan membayar denda damai.6 Cerita- cerita miring tentang sikap dan tindakan Polri yang demikian itu, dapat disimak dalam penanganan kasus-kasus tilang (bukti pelanggaran) kendaraan bermotor selama ini.7

Bagaimana upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu?

Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu?

Metode Penelitian

Penelitian Hukum Empiris adalah suatu metode penelitian hukum yang menggunakan fakta-fakta empiris yang

6Iwan Santosa, “Republik Ini Butuh Kepastian Hukum”, Artikel Harian Kompas, 06 Maret 2004 (kf.Sumber:

http://kompas.com/kompas-

cetak/0403/06/Fokus/894359.htm).

7 Bila Anda Ditilang Polantas” dalam http://www.transparansi .or.id/kajian /kajian3 _lalin.html.

(8)

101 diambil dari perilaku manusia, baik

perilaku verbal yang didapat dari wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung.

Penelitian empiris juga digunakan untuk mengamati hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan fisik maupun arsip

Jenis penelitian ini adalah metode yuridis sosiologis. Ini berarti bahwa dalam penelitian ini disamping dilihat dari segi yuridis dengan melihat peraturan perundang-undangan dan ketentuan- ketentuan hukum

Hasil Studi dan pembahasan

A. Upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu

Respon masyarakat terhadap tindakan polisi dalam upaya menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu lintas merupakan hal yang wajar, karena tugas pokok Kepolisian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3 Undang – Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia huruf c dirumuskan ;

“Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Tugas

pokok demikian lebih ditegaskan, Satjipto Rahardjo dalam rincian tugas Kepolisian diantaranya ; “memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat ; termasuk memberi perlindungan dan pertolongan

Upaya penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas oleh polisi dapat diartikan, dia berhadapan dengan masyarakat. Dalam menghadapi masyarakat, menurut Anton Tabah perlu sikap keramahan, keluwesan dan kesabaran.8 Sikap polisi dalam menghadapi masyarakat sebagaimana diungkap Anton Tabah di atas memicu respon positif terhadap masyarakat karena sikap demikian merupakan prestasi kerja polisi. Prestasi kerja polisi dapat dipengaruhi oleh faktor keadaan sekelilingnya. Prestasi kerja polisi berkaitan langsung dengan tugasnya, lingkungannya, masyarakat dan bangsanya. Wakler C. Recless dalam buku

The Crime of Problem” diuraikan tentang situasi Kamtibnas suatu Negara sangat dipengaruhi oleh partisipasi masyarakatnya.9 Terjadi hubungan yang erat antara masyarakat dan polisi.

Dalam kesempatan wawancara yang dilakukan pihak Kepolisian Kota

8 Anton Tabah, Sosok Polisi Masih dilihat dari Kulitnya, , dalam Merenungi Kritik terhadap Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, Hlm.30.

9 Magandar Sianipar, Partisipasi Masyarakat dan Korelasinya, Merenungi Kritik Terhadap Polri, Cipta Tunggal, Jakarta, 1995, Hlm.24.

(9)

102 Bengkulu dengan sebagian masyarakat

yang berhubungan langsung dengan polisi dalam urusan perkara pelanggaran lalu lintas, maupun kecelakaan lalu lintas (wawancara secara acak) diperoleh gambaran bahwa masyarakat senantiasa mengharapkan agar polisi mampu mewujudkan kondisi kekeluargaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Lebih jauh masyarakat Kota Bengkulu berharap agar pelayanan Polisi lebih bersifat responsif, simpatik dan tanpa membedakan siapapun yang berperkara atau berurusan dengan Polisi.

Berdasarkan data Unit Laka Lantas Satlantas Polres Bengkulu, sepanjang tahun 2020 tercatat jumlah kejadian Laka Lantas di Kota Bengkulu sejumlah 146 kejadian. Angka tersebut menurun jika dibandingkan jumlah kejadian Laka Lantas yang terjadi pada tahun 2019 yakni sejumlah 156 kejadian.10, penurunan persentase tak hanya terjadi pada jumlah kejadian Laka Lantas, namun penurunan juga terjadi pada jumlah meninggal dunia akibat Laka Lantas yakni sejumlah 29 kasus pada tahun 2020 jika dibandingkan dengan tahun 2019 yakni sejumlah 33 kasus. “Luka berat akibat kecelakaan pada tahun 2020 juga menurun jika dibandingkan dengan tahun 2019 yakni

10 Hasil wawancara pada 6 Juli 2021 dengan Kasat Lantas Polres Bengkulu, AKP.

Kadek Suwantoro

sejumlah 28 kasus berbanding dengan 33 kasus. Namun untuk luka ringan akibat Laka Lantas mengalami kenaikan yakni 175 kasus di tahun 2020 dan 173 kasus pada tahun 2019,”

Penurunan juga terjadi di angka kerugian materi akibat Laka Lantas, yakni pada tahun 2020 rugi materi akibat laka lantas tercatat Rp 229.250.000 dibandingkan tahun 2019 yakni Rp 296.270.000 dengan persentase penurunan Rp 67.020.000. “Data penindakan pelanggaran lalu lintas di tahun 2020 ini juga menurun, tercatat pada tahun ini jumlah tilang yakni 4.767 tilang, ini turun di angka 10.000 lebih jika dibandingkan tahun 2019 yakni 14.858 tilang. Namun untuk teguran pada tahun 2020 diangka 1.045 teguran yang juga menurun jika dibandingkan tahun 2019 sebanyak 4.912 teguran. Artinya jumlah pelanggaran lalu lintas pada tahun ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yakni 5.812 pelanggaran di tahun 2020 dan 19.770 pelanggaran di tahun 2019,” .

Melihat data LAKA 2 (dua) tahun di atas dan menghubungkannya dengan respon masyarakat terhadap penanganan oleh Polisi Kota Bengkulu atas kasus tersebut dapat dianalisa seperti berikut:

Upaya kepolisian untuk membangun citranya dalam menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres

(10)

103 Bengkulu dengan menilai kinerja Polisi

ataupun keterlibatannya secara langsung terhadap kasus LAKA paling tampak dalam penyelesaian perkara hingga munculnya SPPP (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

Terhadap Proses Penyelesaian Perkara, baik pada tahap penyusunan perkara ke Jaksa Penuntut, Penghentian Penyidikan, Berita Acara Penyidikan Cepat maupun Tilang., masyarakat Kota Bengkulu mengemukakan respon positif terhadap kinerja Polisi, karena semua kasus LAKA dapat diproses dengan tepat dan sesuai dengan kualitas kasusnya, Polisi telah tepat dalam memilah-milah setiap perkara, perkara mana yang harus masuk ke Jaksa Penuntut Umum, SPPP, BPAC dan Tilang.

Khusus yang berkaitan dengan SPPP, peran Polisi sebagai mediator dalam penyelesaian perkara LAKA menjadi menarik untuk dianalisa. Landasan hukum bagi Polisi dalam menetapkan suatu perkara masuk kategori SPPP adalah Pasal 16 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses Pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk “h” mengadakan penghentian penyidikan.

Landasan hukum, Kepolisian dalam upaya penyelesaian perkara melalui Mediasi Penal ada dalam Pasal 18 UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Tugas utama Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 13 huruf C UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa “Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”. Dalam Pasal 14 huruf “k”

UU No. 2 Tahun 2002 lebih ditegaskan, bahwa “memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian”. Mediasi penal oleh Kepolisian merupakan implementasi seluruh aturan yang dikemukakan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal-pasalnya dikemukakan di atas).

Mediasi penal oleh Kepolisian tersirat respon masyarakat terhadap kinerja Polisi dalam menangani kasus LAKA, karena lembaga mediasi penal ini justru merupakan upaya positif Polisi dalam menyelesaikan kasus LAKA melalui jalur

(11)

104 di luar pengadilan / Alternatif Dispute

Resolution (ADR).

Dalam proses mediasi, Polisi berperan sebagai mediator antara pelaku dengan korban / anggota keluarga korban LAKA. Mediator menyediakan formulir pernyataan kepada korban / wakilnya untuk tidak melakukan upaya penuntutan perkara karena segala sesuatu yang disepakati dalam formulir tersebut telah dipenuhi. Kesepakatan antara lain mengenai, uang ganti rugi / santunan korban, uang untuk proses pemakaman, selamatan dan sebagainya. Disaksikan oleh mediator (Polisi) sebagai pihak ke tiga, formulir pernyataan tersebut menjadi dasar mediator untuk menerbitkan SPPP.

Upaya yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam menanggulangi tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu dengan sarana mediasi penal dalam menyelesaikan kasus LAKA sangat positif.

Budaya masyarakat seperti masyarakat kota Bengkulu menurut pengamatan penulis selaku pejabat Polres Kota Bengkulu dikaitkan dengan keyakinan agama masyarakat yang bersangkutan.

Masyarakat Kota Bengkulu adalah masyarakat agamis, taat beragama. Sifat mudah memaafkan, menyelesaikan kasus secara kekeluargaan, menyadari bahwa segala kejadian tidak lepas dari

pengetahuan Allah swt, merupakan ciri masyarakat agamis seperti masyarakat Kota Bengkulu. Dengan kondisi seperti tersebut, sarana mediasi penal yang dilakukan oleh pihak Kepolisian mendapat respon positif dari masyarakat Bengkulu.

Sebaliknya dari data kasus LAKA meskipun jumlahnya relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah kasus LAKA yang terjadi dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Kepolisian Resort Kota Bengkulu juga memproses perkara LAKA yang disampaikan ke Penuntut Umum. Dari segi kuantitas kasus LAKA ada yang berskala berat dalam pengertian korban nyawa, harta benda besar. Kasus LAKA yang berskala besar itu, menjadikan perbedaan pendapat masing-masing korban untuk menerima penyelesaian perkara melalui mediasi penal. Pihak Kepolisian Resort Kota Bengkulu sebagaimana biasa menyidik perkara tersebut dan meneruskannya ke Jaksa Penuntut umum untuk proses peradilan seterusnya.

Terhadap ketetapan Kepolisian Resort Kota Bengkulu demikian, respon masyarakat tetap saja positif, karena pihak kepolisian dinilai disiplin dalam menangani kasus LAKA yang berkualifikasi berat dan besar.

Kenaikan yang signifikan ini menurut Kasat Lantas Polresta Bengkulu amat dipengaruhi oleh factor-faktor

(12)

105 meningkatnya jumlah kendaraan bermotor

(90% lebih pelanggaran Lalu Lintas ini dilakukan oleh pengemudi kendaraan bermotor), kesadaran hukum berlalu lintas pengemudi rendah. Kesadaran hukum berlalu lintas mencakup kecakapan mengemudi, pemahaman dan kesadaran akan aturan lalu lintas, termasuk kelengkapan surat-surat kendaraan bermotor.

Kasat Lantas Polresta Bengkulu juga menegaskan bahwa tidak semua kasus pelanggaran Lalu Lintas diselesaikan dengan memberi bukti pelanggaran (TILANG) kepada pelaku. Banyak kasus pelanggaran Lalu Lintas yang diselesaikan oleh Sat Lantas Polresta Bengkulu dengan memberikan teguran pada pelaku dan memberikan kesadaran dalam berlalu lintas. Pelanggaran lalu-lintas ini senantiasa ada, meskipun Kepolisian secara periodik melakukan operasi TILANG.

Respon masyarakat terhadap Kepolisian dalam penanganan kasus pelanggaran lalu lintas Resort Kota Bengkulu menurut Kasat Lantas beraneka ragam. Dalam kualitas positif dan negatif, respon masyarakat Bengkulu terhadap kinerja Kepolisian lebih besar respon positif. Proses pencegahan da penyelesaian kasus pelanggaran lalu-lintas yang diterapkan Kepolisian Resort Kota

Bengkulu dengan pendekatan humanism kemanusiaan menyangkut respon positif dari masyarakat Bengkulu.

Respon masyarakat amat apresiatif terhadap upaya Kepolisian menangani kasus pelanggaran Lalulintas yang berdampak LAKA ini. Upaya lanjut pihak Kepolisian Resort Bengkulu dalam membangkitkan kesadaran berlalu-lintas masyarakat Bengkulu, bekerjasama dengan pihak ketiga dalam satu meja melakukan penyuluhan masyarakat dengan materi pokok “Kenyamanan Berlalu Lintas”.

Upaya ini sampai saat ini terus diprogramkan. Respon masyarakat terhadap upaya ini sangat positif, menurut Kasat Lantas Polres Bengkulu. Respon masyarakat terhadap Polres Bengkulu terhadap kinerjanya menangani kasus pelanggaran Lalu-Lintas tertutama terhadap pelaku remaja positif, bahkan di samping program yang sudah dibuat Kepolisian seperti telah diuraikan di atas, masyarakat menginginkan volume patroli lantas dinaikkan pelaksanaannya, terutama patroli lantas pada malam minggu atau hari libur nasional.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu

(13)

106 Dalam mengungkap faktor-faktor

yang mempengaruhi upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu, perlu diperkenalkan terlebih dahulu, bahwa kualitas citra Polisi amat bergantung pada profesionalisme, intelektualisme dan moral/keyakinan yang ada pada diri Polisi sendiri.

Profesionalisme, intelektualisme Polisi merupakan sumber daya pribadi, modal dasar dalam pelaksanaan tugasnya.

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya pernak menjalani pelatihan dan pendidikan yang mengarah pada “Tindakan Polisi yang berorientasi pada kemasyarakatan”.

Tindakan Polisi yang berorientasi kepada permasalahan (problem oriental Policing) pernah dilakukan dalam 4 (empat) tahap yaitu

Tahap pertama : Scanning Tahap kedua : Analisis Tahap ketiga : Respon Tahap keempat : Prediksi

Keempat tahapan di atas membuktikan profesionalisme/ intelektualisme Polisi dalam mengatasi masalah yang timbul.

Kemampuan Polisi dalam menjalankan tugasnya, termasuk bidang penanggulangan Pelanggaran lalu-lintas sangat ditentukan oleh kemampuan dia dalam mengaplikasikan tahapan tersebut

dalam bidang tugasnya. Kemampuan mengaplikasikan tahapan tersebut amat berpengaruh, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi citra Polisi dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalulintas. Dalam kuantitas apapun pelanggaran itu (misal, kelengkapan surat kendaraan tidak terpenuhi, melanggar rambu lalu-lintas atau lainnya) masyarakat sudah terbiasa menempuh cara praktis dalam menyelesaikan kasusnya dan terjadilah

“perdamaian” antara polisi dan pelaku.

Upaya ini untuk menghindari prosedur hukum seterusnya sampai sidang pengadilan. Polres Bengkulu berketetapan, perdamaian hanya terjadi jika kasus pelanggarannya cukup diberikan teguran oleh polisi kepada pelaku. Kasus pelanggaran lalu-lintas yang pasti berproses ke TILANG apabila kualitas pelanggarannya mengarah timbulnya kerugian pihak lain, misalkan menyerobot rambu lalu-lintas (traffic light) di perempatan jalan yang padat lalu lintas.

Kewibawaan ada pada diri polisi bukan karena dia ditakuti masyarakat karena dia lambang kekerasan, tetapi dia disegani masyarakat karena smart, jujur, teladan dan disiplin. Jujur merupakan buah dari derajat ketaqwaan polisi. Bagaimana kewibawaan polisi tidak menjadi faktor penting dalam menjalankan fungsinya di

(14)

107 bidang pemerintahan Negara, memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan kepada masyarakat (Pasal 2 UU No 2 Tahun 2002)

Polres Bengkulu senantiasa menghimbau warga masyarakat agar para orang tua, guru, tokoh agama senantiasa mengingatkan para remajanya untuk

“mewujudkan keselamata” di jalan.

Pakailah kelengkapan berkendaraan (seperti helm untuk sepeda motor, sabuk keselamatan untuk mobil), patuhi semua peraturan lalu-lintas, hormati semua pemakai jalan dan lainnya. Himbauan ini oleh Polres Bengkulu disikapi dengan tindakan nyata berupa patroli periodik terprogram.

Inilah upaya pemecahan terpadu dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas. Integrated prevention effort antara warga masyarakat (termasuk remaja) dan Polres Bengkulu sangat berdampak pada turunnya volume pelanggaran lalu-lintas. Data tersaji terdahulu dapat dijadikan ukuran keberhasilan upaya pencegahan terpadu ini. Data pelanggaran lalu-lintas bulan Januari Februari 2015 yang mengalami penurunan. Program terpadu terus hingga kini berjalan dan ada faktor lain yang menjadi salah satu penyebab naiknya volume pelanggaran. Salah satunya adalah

kesadaran berlalu-lintas sangat rendah, terbukti ketaatan berlalu-lintas terjadi ketika petugas Kepolisian ada. Peluang pelanggaran terjadi saat polisi sedang tidak siaga dan polisi hanya bersiaga di tempat tertentu dengan waktu tertentu pula ; misal di Pos Polisi

SIMPULAN

Dari permasalahan yang dirumuskan di atas, dapat kesimpulan sebagai berikut :

1. Upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu polisi mampu mewujudkan kondisi kekeluargaan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan lebih responsif, simpatik dan tidak membedakan siapapun yang berurusan dengan polisi. Respon masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menangani kasus LAKA lalu- lintas amat positif, karena sebagai mediator antara pelaku dan korban, polisi bertindak disiplin dalam mediasi penal.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi upaya penegakan hukum Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu lintas di Polres Bengkulu ada enam faktor,

yaitu :

(15)

108 profesionalisme/intelektulisme,

mediator, ketaqwaan, keteladanan, disiplin dan taat peraturan dan faktor terakhirnya adalah kewibawaan.

Keenam faktor tersebut sangat berpengaruh bagi tumbuhnya citra polisi dalam penanggulangan tindak pidana pelanggaran lalu-lintas.

Upaya yang perlu diambil kepolisian untuk membangun citranya dalam menanggulangi rindak pidana pelanggaran lalu-lintas melalui integrated prevention effort antara warga masyarakat dan polisi.

Di sisi lain reformasi diri merupakan upaya polisi dalam membangun citranya.

Termasuk reformasi

profesionalisme/intelektualisme,

keteladanan polisi. Jadi reformasi diri polisi yang utama adalah reformasi cultural

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004 Amirudding dan Zainal Asikin,

Pengantar Metode Penelitian Hukum,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2004 Amoro Achmadi, Filsafat Umum,

RajaGrafindo Persada, Jakarta

Bambang Sunggono,

Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo

Persada,

Jakarta,

2011.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rapai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012,

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Penerbit: PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016

G. Peter Hoefnagels, The Other Slide of Criminology(An Inversion of the Concept of Crime), Penerbit: Kluwer-Deventer, Holland, 2009

Lili Rasjidi, dan Ira Rasjidi, Dasar- dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011

Muladi dan Barda Nawawi Arief, HAM, Politik dan Sistem Peradilan Pidana,Penerbit: BP Undip, Semarang, 2007

, Teori dan Bunga Rampai Hukum Pidana, Penerbit:

Alumni, Bandung 2012

Sakti Adji Adisasmita. Jaringan Transportasi. Yogyakart:

Graha Ilmu, 2011.

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit: Alumni,Bandung, 2010

Referensi

Dokumen terkait

Judul : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Perundungan Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Palembang Nama Mahasiswa: M Togar Rayditya. NIM