42
Invigorasi Benih Merbau Melalui Teknik Matriconditioning dan Osmoconditioning
Arniana Anwar1*, Agatha Maturbongs2, Muh. Shofi3
1Program Studi Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat.
2Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat.
3Program Studi Biologi. Fakultas Teknologi dan Manajemen Kesehatan Kota Kediri, Jawa Timur.
*Email: [email protected]
ABSTRACT: Merbau (Intsia bijuga)is a species of tree having wood is classified as durable with durable class of I-II and strong class of I-II. Because of this durable and strong class, merbau wood is widely used in industry. This study was conducted with the aim of testing the effect of invigorating merbau seeds using matriconditioning and osmoconditioning methods. The study was conducted using a completely randomized design (CRD) with 6 levels of treatment, namely control, sawdust, husk charcoal, PEG, NaCl and KNO3. The research data were tested using ANOVA and Duncan's test.
The study showed that invigoration treatment could increase the viability of merbau seeds on the observed variables of root length, height, and number of leaves. The best material in increasing the viability of Merbau seeds was the matriconditioning treatment using sawdust
Keywords: Merbau, invigorasi, matriconditioning, osmoconditioning DOI:10.24259/jhm.v15i1.23998
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara besar yang terdiri atas beberapa pulau mengalokasikan lebih dari setengah luas daratannya sebagai Kawasan hutan. Tercatat dalam data KLHK tahun 2018, seluas 120,6 juta hektar luas negara Indonesia merupakan Kawasan hutan.
Luasan ini diperkirakan sebesar 57 persen dari luas daratan negara Indonesia. Dari lima pulau besar yang dimilikinya, hutan tropis Papua memiliki posisi yang sangat penting bagi Indonesia dengan keanekaragaman hayati endemiknya.
Merbau merupakan salah satu jenis pohon andalan di Pulau Papua khususnya di Papua Barat. Menurut Malik et al. 2005. Adapun jenis pohon ini dijadikan komoditas andalan perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan di Papua karena pohon merbau yang mudah untuk ditemukan.
Selain itu, jenis kayu ini termasuk awet dengan kelas awet berada di I-II dan kelas kuat I-II. Karena kelas awet dan kuat inilah yang menjadikan kayu merbau sebagai bahan pembuatan mebel, panel, ukiran, badan truk dan juga alat-alat musik Selain itu, kayu ini juga digunakan untuk konstruksi perairan karena daya tahannya terhadap seragga dan hama penggerek laut (Martawijaya dkk, 2005).
43 IUCN Red List menyatakan bahwa jenis merbau termasuk dalam list dengan kategori Near Threatened (NT). Adapun jenis satwa atau tumbuhan yang masuk dalam list ini memiliki status yang hampir terancam punah di alam. Namun, jika melihat dari potensi kayu yang dimilikinya beberapa pihak salah satunya dari aktivis dari Conservation International (CI) dan World Wide Foundation (WWF) menilai bahwa potensi tegakan merbau di Papua dikhawatirkan akan punah suatu saat nanti sehingga diusulkan dimasukkan dalam Apendix II menurut the Convention on International Trade in Endangered Species (CITES). Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui informasi mengenai hal apa saja yang perlu dilakukan dalam mengelola sumberdaya alam berupa tegakan merbau di Papua Barat. Salah satu informasi yang penting untuk diketahui adalah informasi budidaya dan usaha diversifikasinya, salah satunya yaitu studi peningkatan mutu benih.
Salah satu kendala penggunaan benih saat ini adalah rendahnya mutu benih secara fisik dan biokimia karena pada umumnya benih yang ditanam telah disimpan beberapa lama, sehingga mutu benih tersebuh sudah jauh menurun. Laju kemunduran benih dapat ditekan dengan mengendalikan faktor yang berpengaruh selama penyimpanan seperti suhu, dan kelembaban, meskipun kemunduran benih secara kronologis tetap berlangsung.
Perlakuan invigorasi pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan potensi benih untuk dapat tumbuh lebih baik. Selain itu, invigorasi bertujuan untuk memobilisasi potensi yang ada dalam benih untuk meningkatkan aktivitas metabolisme dan perbaikan organel-organel sel melalui hidrasi parsial pada benih mundur sampai pada taraf tertentu (Ilyas, 1995). Invigorasi umunya dilakukan dengan cara osmoconditioning dan matriconditioning. Osmoconditioning adalah perlakukan benih sebelum tanam yang mampu memobilisasi sumberdaya benih secara fisiologi dan biokimia dengan pengontrolan imbibisi air oleh potensial osmotic rendah selama penundaan munculnya radikula, artinya metode ini menggunakan larutan osmotik sebagai media imbibisi. Biasanya larutan yang digunakan adalah PEG (Poly Ethylene Glycol). Sedangkan matriconditioning menggunakan matrik sebagai media imbibisi (Khan dkk, 1992). Matrik yang digunakan merupakan bahan padatan lembab dengan kriteria tertentu. Jenis yang biasanya digunakan adalah abu gosok dan serbuk gergaji (Suartini, 1997). Adapun hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai metode invigorasi terbaik untuk benih merbau sehingga dapat digunakan dalam
44 peningkatan mutu benih merbau sehingga dapat dihasilkan bibit berkualitas dalam jumlah yang banyak.
2. METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Universitas Papua, Manokwari. Pengamatan dan pengambilan data dilakukan pada bulan April hingga Juni 2022.
2.2 Metodologi Penelitian
Pembuatan larutan PEG 2%, NaCl 2% dan KNO3 2% dilakukan dengan menimbang masing- masing 6 gr zat yang dilarutkan dalam 300 ml akuades. Setelah dilakukan penimbangan dan pencampuran maka diperoleh masing-masing 300 ml zat PEG 2%, NaCl 2% dan KNO3 2%. Setiap jar akan diisi oleh 3 benih. Total jar yang diperlukan untuk perlakuan ini adalah 9 botol jar.
Perendaman benih dengan metode priming dilakukan di dalam jar dengan polyethylene glycol/PEG 6000), KNO3 dan NaCl. Setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan dan masing-masing ulangan menggunakan 3 butir benih. Seluruh benih direndam selama 24 jam pada masing-masing perlakuan. Kemudian jar akan diisi sebanyak 50 ml larutan perlakuan. Setelah 24 jam benih kemudian ditiriskan.
Media matriconditioning berupa arang sekam dan serbuk gergaji terlebih dahulu dihaluskan, dikeringkan, diayak dengan menggunakan ayakan yang berukuran 1.0 mm. Perlakuan matriconditioning pada biji merbau dengan mencampur biji dengan media invigorasi berdasarkan dengan perbandingan air dan media matriks masing-masing 3:5. Bahan matrik kemudian diaduk bersama benih hingga rata sampai seluruh permukaan benih diselimuti media. Kemudian dimasukkan dalam toples (jar) kaca dan ditutup dengan plastik bening yang telah diberi beberapa lubang, dan disimpan selama 24 Jam. Benih hasil perlakuan matriconditioning dibersihkan dan siap dikecambahkan. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk variabel daya kecambah, sedangkan untuk tinggi bibit dan jumlah daun dilakukan per tujuh hari.
2.3 Analisis Data
Pengujian sidik ragam dengan uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan dalam penelitian ini. Data diolah menggunakan software SAS 21.0.16., yang meliputi:
45 a. Nilai P-value > α (0.05), maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap daya kecambah (DB), laju pertumbuhan kecambah (LPK), kecepatan tumbuh (Kct), indeks vigor (IV), dan nilai kecambah (NK).
b. Nilai P-value < α (0.05), maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap daya kecambah (DB), laju pertumbuhan kecambah (LPK), kecepatan tumbuh (Kct), indeks vigor (IV), dan nilai kecambah (NK)., kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan’s Multiple Range Test.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Periode Daya Kecambah dan Daya Berkecambah
Daya berkecambah benih merbau yang telah diberi perlakuan matriconditioning dengan media matriks arang sekam dan serbuk gergaji maupun perlakuan osmoconditioning dengan PEG, KNO3, dan NaCl tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Proses perkecambah mulai terlihat di hari ke-7 dengan adanya aktifitas pembentukan akar. Hal ini terlihat dimana benih merbau yang sebagian benihnya dibenamkan ke media tanam mulai terangkat ke atas. Proses ini terjadi hingga hari ke 11 setelah penanaman. Berdasarkan hasil tersebut, hari ke-7 dan ke-11 ditetapkan sebagai hari hitungan pertama dan terakhir untuk uji daya berkecambah, yang digunakan pada percobaan selanjutnya.
Gambar 1. Diagram Laju Perkecambahan Merbau
Pada penelitian ini benih merbau yang disemai pada semua perlakuan seluruhnya berkecambah dengan semua kecambah normal. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kontrol dan semua perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa benih merbau memiliki viabilitas yang tinggi meskipun
46 telah mengalami penyimpanan selama 14 bulan. Hal ini dikarenakan penyimpanan benih merbau dilakukan dengan baik. Biji merbau yang digunakan dalam penelitian ini sebelum disimpan diberi perlakuan pengawetan dengan bakterisida dan disimpan dalam plastik kedap udara kemudian diletakkan dalam ruangan berpendingin/AC. Benih merbau merupakan jenis benih ortodoks yang dalam penyimpanannya memerlukan suhu rendah dan wadah yang kedap udara (Yuniarti, 2002).
Saat proses penyimpanan benih sangat penting untuk memperhatikan suhu tempat penyimpanan dan wadah simpan. Untuk mempertahankan viabilitas benih, tempat penyimpanan merupakan faktor yang sangat menentukan. Penyimpanan hendaknya dikerjakan untuk memelihara biji dalam keadaan dormansi, yaitu menahan pertukaran air dan udara dari luar dan memelihara hidupnya embrio.
Disamping itu pengaturan suhu dan kelembaban ruang penyimpanan benih merupakan faktor lingkungan yang sangat penting untuk menjaga kualitas benih (Sadjad, 1980).
Demikian juga sebelum diberi perlakuan dilakukan penyeleksian biji dilakukan dengan cara memilih biji yang memiliki bentuk normal, hal ini dilakukan agar biji yang digunakan dalam penelitian lebih seragam dan menghindari data yang bias. Dalam hal ini, biji yang memiliki bentuk normal adalah biji yang memiliki ukuran dan bentuk cenderung seragam serta tidak cacat.
3.2 Panjang Akar
Perlakuan invigorasi benih merbau dalam penelitian ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap terhadap variabel Panjang akar. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan terbaik ada pada perlakuan arang sekam dengan panjang akar 5,30 cm sedangkan panjang akar terendah ada pada perlakuan KNO3 dengan rata-rata Panjang akar 3,38 cm.
Tabel 1. Biomassa dan Karbon Tersimpan Berdasarkan Jenis Tanaman Hasil uji Duncan Pengaruh Perlakuan Invigorasi terhadap Pertambahan Panjang Akar Bibit Merbau
Perlakuan Rata-rata Panjang akar (cm)
KNO3 3,38b
NaCl 3,52b
Serbuk gergaji 4,88a
PEG 4,89a
Kontrol 5,27a
Arang Sekam 5,30a
Keterangan: Nilai dengan huruf yang berbeda meunjukkan perbedaan nyata pada selang kepercayaan 95%
47 Panjang akar biji merbau dari Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk perlakuan matriconditioning dengan media matrik arang sekam dan serbuk gergaji kesemuanya menunjukkan hasil yang baik dan tidak ada perbedaan yang nyata dari ketiga matrik tersebut. Sedangkan untuk invigorasi menggunakan metode osmoconditioning hanya perlakuan perendaman dengan PEG yang memiliki hasil baik.
3.3 Tinggi Bibit
Setelah fase perkecambahan, maka pengamatan dilanjutkan dengan melakukan pengukuran tinggi bibit merbau perminggu selama empat kali pengamatan. Diperoleh rata-rata tinggi bibit paling besar pada perlakuan arang sekam sebesar 44,1 cm diikuti oleh kontrol.
Tabel 2. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan Osmoconditioning dan Matriconditioning terhadap Pertambahan Tinggi Bibit Merbau
Perlakuan Rata-rata tinggi (cm)
KNO3 30.9c
Serbuk gergaji 32,5c
NaCl 35,5c
PEG 39,6b
Kontrol 39,6a
Arang Sekam 44,1a
Keterangan: Nilai dengan huruf yang berbeda meunjukkan perbedaan nyata pada selang kepercayaan 95%
3.4 Jumlah Daun
Hasil analisis sidik ragam parameter jumlah daun menunjukkan bahwa rata-rata jumlah daun terbanyak ada pada perlakuan serbuk gergaji dengan jumlah daun 20 helai. Sedangkan terendah pada perlakuan NaCl dengan rata-rata jumlah daun hanya 6 helai. Untuk hasil uji lanjut selengkapnya disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil uji Duncan Pengaruh Perlakuan Osmoconditioning dan Matriconditioning terhadap Pertambahan Daun Bibit Merbau.
Perlakuan Rata-rata jumlah daun (helai)
NaCl 6,67a
KNO3 7,11a
Arang Sekam 8,89a
Kontrol 14.00b
PEG 14,22b
Serbuk Gergaji 20,001c
48 Keterangan: Nilai dengan huruf yang berbeda meunjukkan perbedaan nyata pada selang
kepercayaan 95%
Daun merupakan salah satu organ terpenting pada tanaman, karena pada bagian inilah fotosintesis berlangsung sebab keberadaan klorofilnya. Adapun dalam pembentukannya, daun memerlukan cadangan makanan dalam jumlah yang cukup. Cadangan makanan ini berupa karbohidrat dan protein. Perbedaan jumlah daun sangat nyata dapat dilihat pada gambar 2 di bawah ini.
(a) (b)
Gambar 2. Penampakan Daun Bibit Merbau Perlakuan Serbuk Gergaji (a) dan NaCl (b) Gambar 2 a menunjukkan kelebatan daun untuk perlakuan serbuk gergaji sedangkan gambar b menunjukkan kelebatan daun perlakuan NaCl. Hal ini disebabkan karena kandungan garam yang tinggi pada NaCl dapat menurunkan penyerapan unsur Mg dan Mn. Menurut Seran 2017, Mangan (Mn) dibutuhkan tanaman dalam proses fotosintesis melalui pembentukan klorofil dan komponen enzim yang terlibat dalam respirasi dan sintesis protein. Penggunaan NaCl juga diduga dapat menghambat keseimbangan beberapa hormon pertumbuhan (Kurniasari, et al. 2010).
Tentunya hal ini akan berpengaruh pada pembentukan jumlah daun dengan menurunnya hormon sitokinin dan giberelin yang terlibat dalam pertumbuhan dan pembelahan sel.
3.5 Pengaruh Perlakuan Matriconditioning dan Osmoconditioning
Invigorasi benih merbau dengan teknik matriconditioning dan osmoconditioning menunjukkan hasil yang berbeda nyata untuk variabel panjang akar, tinggi bibit dan jumlah daun. Arang sekam yang merupakan salah satu media matrik dalam perlakuan matriconditioning memiliki peran paling
49 baik. Sedangkan hasil untuk KNO3 dan NaCl sebagai media osmoconditioning menunjukkan hasil yang kurang baik.
Invigorasi benih erat kaitannya dengan keberhasilan perkecambahan benih. Karena metode ini dapat mengatur banyaknya air yang masuk ke dalam benih atau biasa dikenal dengan imbibisi. Air merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam tahap perkecambahan. Peran penting air dalam proses perkecambahan adalah dengan masuknya air ke dalam biji maka kulit biji akan mengalami pelunakan, hal ini kemudian mendorong embrio dan endosperma membengkak untuk kemudian tumbuh (Khairani et al. 2016). Sebelum mengalami pertumbuhan, endosperma yang semakin membengkak akan mengakibatkan kulit biji robek dan oksigen dapat masuk sebaliknya karbondioksida akan keluar dari dalam benih. Selain itu, air juga digunakan sebagai alat transportasi makanan dari endosperma yang dialokasikan ke titik tumbuh sehingga sel yang bersifat embrionik dapat diaktifkan.
Matriconditioning pada prinsipnya merupakan invigorasi yang dilakukan dengan menggunakan media padat yang dilembabkan. Sedangkan osmoconditioning merupakan metode yang dilakukan dengan menggunakan media pelarut. Jika dibandingkan antara metode matricondirioning dan osmoconditioning dalam penelitian ini jelas terlihat bawah metode matriconditioning menunjukkan hasil yang lebih baik terutama dengan penggunaan serbuk gergaji sebagai media matrik. Perlakuan invogorasi dengan metode matriconditioning memiliki fase imbibisi yang lebih lama dibandingkan dengan metode osmoconditioning (Kiki, 2011). Proses imbibisi yang lama ini membuat masuknya air lebih terkontrol karena bahan matriconditioning memiliki daya pegang air yang tinggi. Sedangkan untuk perlakuan matriconditioning tidak memiliki daya pegang air yang baik, melainkan air langsung masuk ke dalam benih dengan cepat (tidak perlahan). Penelitian yang dilakukan oleh Ruliyansyah (2011) juga menunjukkan hasil bahwa media matrik terbaik yang digunakan untuk matriconditioning adalah serbuk gergaji.
PEG memberikan hasil terbaik untuk metode osmoconditioning dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan peneltiian yang dilakukan oleh Yuanasari et al. 2015, dimana penelitian ini menggunakan PEG sebagai perlakuan untuk kedelai hitam, dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PEG 6000 dengan konsentrasi 15% memberikan hasil yang paling baik dibandingkan semua perlakuan lainnya. Media pelarut NaCl dan KNO3 menunjukkan hasil terendah di beberapa variabel.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Erinnovita et. Al 2008, dimana hasil
50 penelitiannya yang menggunakan NaCl, KCl, dan KNO3 tidak memberikan pengaruh yang positif terhadap perkecambahan benih kacang panjang, bahkan perlakuan ini memberikan dampak negatif bagi perkecambahan. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruliyansyah (2011) dengan penelitian osmoconditioning larutan KNO3 dan NaCl yang diberikan ke benih kedelai yang direndam selama 24 jam terbukti tidak efektif dalam meningkatkan performansi benih kedelai. Pada kenyataannya penggunaan NaCl dan KNO3 dalam osmoconditioning dapat memberikan manfaat terhadap perkecambahan karena kedua jenis ini mampu mensuplai nitrogen dan unsur hara esensial pada benih. Namun, di sisi lain ada dampat negatif yang ditimbulkan jika penggunaannya berlebihan.
Karena suplay garam yang berlebihan akan mengakibatkan keracunan garam pada benih (Copeland an McDonald (2001)). Kadar oksigen pada kedua senyawa ini juga baik KNO3 maupun NaCl akan menyebabkan rendahnya laju respirasi sehingga benih akan gagal untuk berkcambah. Berbeda halnya dengan PEG, senyawa ini dikenal sebagai senyawa yang tidak beracun dan tidak berbahaya (Sivasubramaniam et. Al. 2011). Hal ini diperkuat oleh Girolamo dan Barbanti 2012 yang mengaitkan keamanan PEG yaitu dilihat dari besar molekul yang dimiliknya (6000). Dengan molekul yang besar ini mencegah PEG untuk masuk ke dalam jaringan embrio beih sehingga tidak akan meracuni benih.
Namun, meskipun demikian penggunaan PEG dalam dosis yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan viabilitas benih (Girolamo dan Barbanti, 2012).
4. KESIMPULAN
Perlakuan invigorasi pada biji merbau menggunakan metode matriconditioning dan osmoconditioning menunjukkan perbedaan yang sangat nyata terhadap daya berkecambah, panjang akar, tinggi bibit dan jumlah daun. Metode matriconditioning dengan media matrik serbuk gergaji memberikan pengaruh yang paling baik jika dibandingkan dengan media matrik lain yang digunakan yaitu arang sekam. Sedangkan untuk osmoconditioning larutan terbaik adalah PEG. Namun demikian, jika kedua metode ini dibandingkan maka perlakuan osmoconditioning dengan pelarut NaCl dan KNO3 merupakan perlakuan yang terbukti paling kurang efektif dalam invigorasi benih merbau.
DAFTAR PUSTAKA
Girolamo, G. D. & Barbanti, L. (2012). Treatment conditions and biochemical processes influencing seed priming effectiveness. Italian Journal of Agronomy, 25(7): 178-188.
51 Ilyas, S. 1995. Perubahan fisiologis dan biokemis benih dalam proses seed conditioning. Keluarga
Benih 6 (2) : 70-79.
Ilyas, S., Suartini W. (1997). Improving seed quality, seedling growth and yield of yard-long bean (Vigna unguiculata (L.) Walp.) by seed conditioning and gibberelic acid treatment.
Supplement to the Journal of Sun Yat Sen University. P. 72(Abstr).
Khairani, Z., Syamsuddin, Ichsan, C. N. (2016). Penggunaan Polyethilen Glycol (PEG 6000) untuk mengetahui vigor kekuatan tumbuh benih kedelai hitam (Glycine max (L.) Merrill) pada kondisi kekeringan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah: 1(1):280–288.
Khan, AA. (1992). Preplant Physiological Seed Conditioning. Di dalam: Janick J, editor. Horticultural Reviews. New York (US): Wiley and Sons. Hlm 131-181.
Kiki ,M.(2011). Deteriorasi Benih. Bandung:Universitas Winayamukti.
Kurniasari, A.M., Adisyahputra, Rosihan. (2010). Pengaruh Kekeringan pada Tanah Beragam NaCl terhadap Pertumbuhan Tanaman Nilam. Jurnal Buletin Littro 21(1): 18-27.
Malik, J., Osly, R., Jamal, B., Achmad, S. (2005). Kajian Efisiensi Pemanfaatan Kayu Merbau dan Relokasi Industri Pengolahannya. Analisis Kebijakan Kehutanan 2(1): 59-76.
Martawijaya, A., Kartasudjana, Mandang, Prawira, Kadir. (2005). Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Bogor:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan.
McDonal, M. B., Copeland, L.O. (1995). Principles of Seed Science and Technology. London:
McMillan Publ. Coy, New York and Collier Macmillan Publ.
Ruliyansyah, A. (2011). Peningkatan performansi benih kacangan dengan perlakuan invigorasi.
Perkebunan dan Lahan Tropika. Teknologi Perkebunan & PSDL. 1:13-18.
Sadjad, S. (1980). Panduan Pembinaan Mutu Benih Tanaman Kehutanan Indonesia. Kerjasama Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan dengan Institut Pertanian Bogor.
Seran, R. (2017). Pengaruh Mangan sebagai Unsur Hara Mikro Esensial terhadap Kesuburan Tanah dan Tanaman. Portal Jurnal Unimor. 2(1): 13-14.
Sivasubramaniam, K., Geetha R., Sujatha, K., Raja, K., Sripunitha, A., Selvarani, R. (2011). Seed Priming: Triumphs and tribulations. Physiology 98: 197–209.
Yuanasari, B.S., Kendarini, N., Saptadi, D. (2015). Peningkatan viabilitas kedelai hitam (Glycine max L. Merr) melalui invigorasi osmoconditioning. Produksi Tanaman 3(6):518−527.
Yuniarti, N. (2002). Metode Penyimpanan Benih Merbau (Intsia bijuga O.Ktze). Manajemen Hutan Tropika 8(2):89-95.