P-ISSN: 2356-4164, E-ISSN: 2407-4276
Open Access at : https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
1398
PENERAPAN PEMBINAAN DALAM LAPAS SUPER MAXIMUM SECURITY
Ibnu Zaldy Rizkianto, Mitro Subroto Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
E-mail: [email protected], [email protected] Info Artikel Abstract
Masuk: 1 Desember 2022 Diterima: 15 Januari 2023 Terbit: 1 Februari 2023 Keywords:
Prison, Guidance, Security
Coaching in other words can mean action, process, improvement or possibility of developing participants can also mean progress. This coaching itself contains two elements of definition, the first is that coaching is an action or process of a goal and then coaching is a program to improve something. As for looking at the coaching program in the prison, SMS to prisoners. In the implementation of the guidance given to inmates, of course, there are obstacles, one of which is the problem of being overcrowded or the excessive number of prison residents that occurs in almost all prisons in Indonesia.
With the problem of over-credit or the excessive number of prison residents, the coaching program in the prison does not run optimally.
Abstrak Kata kunci:
Lapas, Pembinaan, Keamanan
Corresponding Author :
Ibnu Zaldy Rizkianto, e-mail : [email protected]
Pembinaan dalam kata lain dapat berarti tindakan, proses, peningkatan atau kemungkinan berkembang peserta dapat pula berarti kemajuan. pembinaan ini sendiri mengandung dua unsur definisi yang pertama ialah pembinaan merupakan tindakan atau proses dari suatu tujuan dan yang selanjutnya pembinaan ialah program perbaikan atas sesuatu. Adapun melihat dari program pembinaan yang ada dalam Lapas SMS kepada narapidana. Dalam pelaksanaan pembinaan yang diberikan kepada narapidana tentunya terdapat hambatan salah satunya ialah masalah overcrowded atau berlebihnya jumlah penghuni Lapas yang terjadi di hampir semua Lapas di Indonesia. Dengan adanya masalah over kredit atau berlebihnya jumlah penghuni Lapas membuat program pembinaan yang ada dalam Lapas tidak berjalan dengan maksimal.
1399
@Copyright 2023.
PENDAHULUAN
Dalam memperlakukan narapidana, Lembaga Pemasyarakatan ternyata tidak memperlakukan narapidana secara sama seperti contohnya ialah narapidana tindak pidana terorisme yang harus mendapatkan perhatian khusus yang diberikan KEMENKUMHAM dan lembaga pemasyarakatan. Adapun dikutip dari catatan BNPT tepatnya di tahun 2016, tercatat ada 15% dari 600 orang napiter sudah bebas tetapi kembali menjadi teroris dengan tingkatan lebih tinggi dari sebelumnya pada saat dia ditangkap.1
Pengulangan tindak pidana atau residivisme yang terjadi diantara narapidana tindak pidana terorisme di Indonesia ini perlu lebih dicermati mengingat sekitar 100 orang lebih narapidana dibebaskan tiap tahunnya. Memang benar adanya sebagian dari mereka tidak melakukan residivisme atau pengulangan tindak pidana namun perlu diperhatikan Seperti yang dikutip dari data yang dikeluarkan oleh Institute for policy analysis of conflict tahun 2020, tercatat apabila terdapat 94 orang yang melakukan residivisme tindak pidana terorisme dari 825 napiter. Hal ini menandakan apabila tingkat residivis berada di angka 10 sampai 11%, Sehingga dapat dikatakan apabila mantan narapidana tindak pidana terorisme berpotensi mengulang kembali perbuatannya.
Dalam pelaksanaan pembinaan yang diberikan kepada narapidana tentunya terdapat hambatan salah satunya ialah masalah overcrowded atau berlebihnya jumlah penghuni Lapas yang terjadi di hampir semua Lapas di Indonesia. Dengan adanya masalah over kredit atau berlebihnya jumlah penghuni Lapas membuat program pembinaan yang ada dalam Lapas tidak berjalan dengan maksimal, salah satunya program pembinaan yang tepat untuk seorang napiter yang seharusnya mendapat program deradikalisasi dan pembinaan pembinaan lainnya namun dengan adanya masalah over kredit ini pembinaan bagi narapidana tindak pidana terorisme menjadi kurang maksimal sehingga timbullah beberapa kasus terorisme di mana pelakunya merupakan mantan narapidana seperti kasus terorisme.
Maka dari itu diperlukan adanya perhatian yang khusus antara KEMENKUMHAM dan BNPT dalam menyelenggarakan program deradikalisasi yang lebih maksimal bagi narapidana tindak pidana terorisme dan perlu diadakannya evaluasi pada program deradikalisasi jika melihat salah satu indikator berhasil atau tidaknya program deradikalisasi pada narapidana tindak pidana terorisme ialah narapidana yang bersangkutan menyadari kesalahannya dan tidak lagi mengulangi tindak pidana yang sama setelah terbebas dari lembaga pemasyarakatan atau Lapas.
Pembinaan kepada narapidanaHarus menggunakan cara yang spesifik dan terencana mengingat pembinaan dilakukan dengan modifikasi karakteristik psikologi narapidana yang bersangkutan. pembinaan kepada narapidana sendiri diberikan melalui rangkaian kegiatan sehingga kedepannya narapidana tersebut dapat melepaskan hal-hal yang menyebabkan narapidana yang bersangkutan
1 Balitbang Hukum dan HAM, Pembinaan Narapidana Teroris Dalam Upaya
Deradikalisasi (Jakarta, 2016)
1400 mengulangi tindak pidana atau melakukan residivisme. Bagi seorang napiter diperlukan model pembinaan yang khusus, misalnya dilakukan dengan cara mencari hubungan antara anti kekerasan dan kondisi ekonomi, serta pemahaman narapidana mengenai Pendidikan dan ilmu agama, serta cara narapidana bersosialisasi dan pembinaan ini sendiri juga perlu melihat kehidupan masa lalu narapidana yang bersangkutan.2
Angka atas napiter bukan individu yang mempunyai kelainan jiwa atau kepribadian khusus. Napiter ini cenderung mempunyai karakter kepribadian yang cenderung normal dan bukan seorang psychopath. Bukti ini bisa dijelaskan bahwa seorang napiter adalah individu yang sadar atau setiap tindakan yang dilakukan dan mampu mempertanggung jawabkan atas perbuatan dirinya. radikalisme sendiri pada seorang napiter memiliki tingkatan yang terkait atas persepsi dan keyakinan serta ideologi hingga membuat peluang untuk bisa dikurangi atau diminimalisir secara bertahap dengan cara memperlakukan mereka dengan manusiawi. Maka perlakuan terhadap seorang napiter atau narapidana terorisme ini bisa berupa dengan cara melakukan pemenuhan pada hak-haknya seperti hak atas pencegahan penyiksaan, hak perawatan dan kesehatan, hak penempatan dan pemindahan, hak atas keamanan dan pembinaan, dan juga hak untuk tetap terhubung dengan dunia luar dan keluarga narapidana.
Penempatan pada seorang narapidana terorisme di sebuah lapas bisa dilakukan dengan cara yang tetap harus mempertimbangkan risiko pada narapidana terorisme. Melakukan program pembinaan di dalam Lapas untuk membina narapidana teroris. Hal ini dilakukan agar bisa mempengaruhi keberhasilan proses dari deradikalisasi yang nantinya akan meluruskan kembali pandangan ideologi narapidana terorisme dengan harapan tidak akan mengulangi tindakan terorisme.
Sedangkan deradikalisasi sendiri adalah sebuah upaya untuk melakukan netralisir paham radikal dengan melakukan pendekatan seperti psikologi, hukum, Agama, Interdisipliner pendidikan kemanusiaan serta sosial dan budaya untuk mereka jika dipengaruhi oleh paham radikalisme.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskripstif berupa kata - kata tertulis, atau lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati.pendekatan metode penelitian kualitatif dengan menganalisis data-data yang terdapat pada penelitian kepustakaan. Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini juga menggunakan pendekatan kualitatif deskripitif, dengan mengamati kondisi objek kajian ilmiah. Pendekatan kualitatif ini menekankan kepada pencarian informasi, pengumpulan data, yang kemudian diinterpretasikan dan dianalisis. Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan penelaahan buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, danlaporan-laporanhasil penelitian yang terkait dengan topik yang menjadi pembahasan. Analisa data yang
2 Muh. Khamdan, “Deradikalisasi Pelaku Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia” (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), 4.
1401 digunakan adalah analisa kualitatif, dimana analisa dengan memilahbahan hukum, artikel atau jurnal yang ada. Menurut Lexy J. Moleong, Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskripitif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Parsudi juga mengatakan hal yang sama sebagai berikut: “Penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif berupa ucapan dan perilaku subyek yang diteliti diarahkan pada konteks dari suatu kebutuhan sasaran yang dikaji. Selanjutnya menganalisis gejalagejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori-teori obyektif”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hak untuk melangsungkan kehidupan dan hak untuk hidup adalah sebuah hak kemanusiaan dengan sebuah dasar, hak tersebut adalah hak yang diberikan oleh tuhan untuk manusia. maka dari itu manusia memiliki hak untuk hidup yang aman layak mendapatkan kebebasan dan juga kemerdekaan. Hak-hak narapidana ini tanpa terkecuali juga diberikan kepada seorang narapidana yang ditempatkan pada Lapas High Risk atau yang bisa disebut Lapas Super Maximum Security (SMS). Di dalam Lapas ini seorang narapidana juga tetap mendapatkan Hak-haknya sebagai mana yang diatur pada UU Nomor 12 tahun 1995, Tetapi karena penempatan yang diberikan oleh narapidana itu adalah Lapas yaitu is maka kemerdekaan dan kebebasan nya pun tetap akan berkurang. Pembinaan di Lapas high risk pun memiliki pola yang akan terus menjadikan HAM sebagai dasar pada pembinaan daripada sistem pemasyarakatan.3
Di Lapas high risk terdapat jenis tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana, Salah satunya yaitu terorisme. terorisme ini Secara etimologis bisa diartikan sebagai sebuah hal yang bersifat memberikan rasa takut dan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik. Penyebutan kata terorisme melalui orang- orang bisa dipengaruhi oleh berbagai sudut pandang mereka yang dijadikan dasar untuk menentukan tidak atau benarnya aksi kekerasan dan juga standar yang digunakan. Hal ini akan dipahami jika penyebab aksi teror adalah kepentingan atau ideologi serta kepentingan juga tujuan yang ingin dicapai oleh individua tau kelompok.
Menurut UU Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, jika sistem pembinaan di Pemasyarakatan melaksanakan atas dasar asas Pengayoman, pelayanan, perlakuan, pembimbingan, pendidikan, penghormatan atas martabat dan harkat manusia, dan persamaan, hilangnya kemerdekaan merupakan satu satunya penderitaan dan hak untuk terjamin hubungannya dengan keluarga ataupun orang- orang sekitarnya. Maka atas dasar asas tersebut dapat diketahui bahwa sebuah pembinaan Pemasyarakatan tetap menjunjung tinggi dan menghormati martabat dan
3Petrus Soerjowinoto, Kajian Hak Asasi Manusia Terhadap Pola Pembinaan Narapidana (Studi Kasus Di LP Kedungpane Semarang) (Semarang, 2015), 2.
1402 hak-hak warga binaan Pemasyarakatan di dalam Lapas tanpa terkecuali narapidana yang ditempatkan pada Lapas high risk.
Adapun beberapa lapas prinsip penempatan Taraf pidana berbahaya dalam Lapas high risk yakni:
1. narapidana ditempatkan berdasarkan assessment atau tingkat penilaian sebagai upaya mengetahui tingkat resiko narapidana yang bersangkutan.
2. Program pengamanan dan pengawasan dilaksanakan dengan maksimal di mana aktivitas dan perilaku narapidana yang ada ada akan selalu diawasi selama 24jam.
3. Membatasi akses narapidana dengan publik di mana layanan kunjungan tetap dapat diberikan namun tidak secara langsung tetapi dengan menggunakan bantuan teknologi.
4. Narapidana yang bersangkutan dimasukkan ke dalam 1 sel per 1 narapidana atau One Man One Cell dimana hal ini diperlakukan sebagai upaya pencegahan apabila narapidana yang ada membahayakan orang lain baik itu petugas Lapas maupun narapidana lain.
5. Adanya pembatasan sistem komunikasi antara petugas Lapas dengan narapidana.
Lapas SMS Awalnya didirikan guna meningkatkan kualitas keamanan bagi petugas Lapas, masyarakat, dan narapidana di mana Lapas ini memiliki fasilitas yang baik ditambah dengan adanya sel yang kokoh dan kuat. Lapas SMS pun dibekali dengan CCTV yang lebih mumpuni dibandingkan dengan Lapas lain sebagai upaya untuk memudahkan dalam mengondisikan narapidana yang berkategori high risk. Lapas SMS memiliki tingkat keamanan dan pengawasan yang lebih tinggi dan lebih ketat di mana dalam Lapas ini narapidana akan ditempatkan dalam sel-sel terpisah dan di jaga 24 jam. dalam Lapas ini narapidana akan berada dalam sel 23 jam dan memiliki waktu selama 1 jam untuk keluar dari sel.4
Dasar atas oembinaan narapidana terorisme di Lapas SMS adalah PERMENKUMHAM nomor 35 tahun 2018 Di dalamnya menyelenggarakan atas revitalisasi Pemasyarakatan. Dan Kemenkumham nomor M.HH-02. PK.01.02.02 Tahun 2017 Yang berisi pedoman kerja di Lapas khusus untuk narapidana resiko tinggi kategori terorisme.
Lapas SMS ini memiliki keamanan yang menerapkan atas pendekatan teknologi dibandingkan dengan relasional institusi. Pada lafaz ini narapidana memiliki masalah pada diatasi sosial misalnya stigmatisasi atau penghasilan yang dilakukan oleh pihak keluarga Atau masyarakat serta narapidana tidak dapat berperan aktif menjadi bagian dari masyarakat misalnya seperti mendapatkan
4 Zulkifli Rachmayanthy, Umar Anwar, “Pembinaan Narapidana Teroris Di Lembaga Pemasyarakatan Super Maximum Security Dalam Perspektif Pemasyarakatan,” Journal of Correctional Issuess 2 (2020): 127.
1403 pekerjaan atau hak untuk berpendidikan dan lain sebagainya. Pada pembinaan lapas SMS memiliki sistem pembinaan yang berbeda dengan napas yang biasanya sehingga diperlukan petugas Lapas yang lebih khusus dan harus berhati-hati agar tidak menimbulkan adanya pelanggaran HAM.
Lapas sendiri memiliki dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu perlindungan atas hak narapidana dan penghormatan kepada hak narapidana. Selain itu setiap petugas lapas juga perlu melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan.
Maka dari itu Lapas wajib bisa mengontrol keseimbangan antara pemenuhan hak setiap narapidana dan juga melindungi masyarakat sekitar serta melindungi lapas itu sendiri dengan memenuhi kewajiban untuk menghormati HAM dan martabat narapidana. Maka dari itu upaya atas pemenuhan kedua hak tersebut maka menyediakan blok tahanan yang layak, Pakaian, tempat tidur yang memadai, makanan dan minuman yang layak. Narapidana diberikan hak untuk berolahraga dan mendapatkan udara yang segar. Selain itu setiap narapidana yang berada dalam nafas juga diberikan hak untuk berhubungan dengan baik oleh keluarga maupun masyarakat sekitar dan teman-teman mereka serta dapat bertemu dengan penasihat hukum maupun perwakilan hukum mereka.
Banyak UU Pemasyarakatan berstandar nasional yang telah mengatur mengenai batas-batas perampasan hak kemerdekaan dan kebebasan. Maka maka dari itu lapas wajib memenuhi Jamin tidak ada pelecehan fisik maupun psikis yang dilakukan oleh petugas Lapas kepada narapidana maupun dari narapidana kepada narapidana yang lainnya. Sayang itu untuk menghindari narapidana yang terkena gangguan mental yang kelak akan mempengaruhi kehidupannya maka setiap narapidana wajib diberikan kesempatan kedua agar berubah dan melakukan rehabilitasi diri sehingga nanti kedepannya Ketika Nabi dan Rasul terbebas dari 8 narapidana yang bersangkutan akan memiliki kesempatan untuk kembali berbaur di masyarakat dan memiliki kontribusi terhadap pembangunan negara.
Sesuai dengan pasal 8 ayat 8 Permenkumham Nomor 35 tahun 2018 yang membahas mengenai revitalisasi Pemasyarakatan menjabarkan apabila kegiatan pembinaan memiliki tujuan sebagai upaya meningkatkan kualitas fungsi pembinaan dan memberi dorongan kepada narapidana sehingga narapidana yang bersangkutan dapat berubah menjadi lebih baik dan dapat menurunkan tingkat resiko narapidana melakukan pengulangan tindak pidana atau residivisme. Dalam undang-undang ini juga menjabarkan mengenai Lapas super Maximum security atau SMS serta Lapas Maximum Security dan yang terakhir Lapas medium Security dan Lapas minimum security. Adapun berdasarkan pada pasal 9 Lapas SMS atau super Maximum security dijabarkan sebagai tempat pembinaan bagi narapidana yang hasil asesmen nya beresiko tinggi Di mana dalam Lapas ini diharapkan narapidana yang bersangkutan dapat menurunkan tingkat resiko nya.
Mengenai Narapidana tindak terorisme berikut ialah beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan program deradikalisasi diantaranya:
1. Pelaksanaan program deradikalisasi memerlukan SDM yang berkompetensi dan terdidik serta memiliki kemampuan dan terlatih juga memiliki pengalaman dalam menangani narapidana tindak terorisme. narapidana tindak terorisme sendiri memiliki perbedaan karakteristik dengan narapidana
1404 tindak pidana lain oleh karena itu itu dibutuhkan adanya pembinaan khusus yang tidak dapat diberikan kepada narapidana tindak pidana lain dan pembinaan yang dilakukan pun tidak dapat dilakukan secara sepihak oleh Lapas namun diperlukan adanya integrasi dengan instansi terkait seperti BNPT terlebih apabila kondisi Lapas Di mana tempat narapidana tindak terorisme ini berada belum memenuhi untuk melakukan pembinaan.
2. Dalam menangani kelompok radikal atau yang memerlukan program deradikalisasi diperlukan adanya aturan yang jelas dan integrasi dengan instansi lain yang sudah berpengalaman seperti BNPT sehingga program deradikalisasi yang dilakukan dapat menekan pertumbuhan jaringan terorisme yang ada di Indonesia.
3. Dalam rangka pengoptimalan sistem Pemasyarakatan sebagai bagian dari revitalisasi maka didirikanlah Lapas SMS sebagai upaya untuk menampung narapidana tindak pidana terorisme yang tidak bisa dicampur dengan narapidana tindak pidana lain.
PENUTUP Kesimpulan
Terorisme sendiri mempunyai latar belakang atas persoalan yang sangat kompleks sehingga diperlukan penanganan yang khusus tidak hanya menggunakan dasar pendekatan atas ideologi. terorisme sendiri terbangun Dalam sebuah kelompok individu rasional yang memiliki identitas kolektif. menanggapi suatu teror, dapat terorisme ini dilakukan atas dasar keinginan. Itu kita harus memiliki langkah untuk memenuhi, melindungi dan menghormati HAM serta menghilangkan paham radikalisme dari napiter Yang saat ini sudah diterapkan di Lapas SMS TV namun pada pelaksanaan pemenuhan bagi narapidana atas hak di Lapas SMS khususnya napiter. Dengan pembinaan kesadaran beragama, kesadaran atas hukum serta kesadaran bernegara dan juga konseling psikologi bagi napiter masih belum optimal. Hal ini disebabkan karena kurangnya SDM yang berkualitas dan berkuantitas titik Banyak petugas Lapas yang tidak memiliki keahlian khusus untuk menghadapi seorang napiter. Selain itu kurangnya sarana dan prasarana di dalam Lapas juga tidak bisa memenuhi standar ketentuan yang diatur dalam MENKUMHAM nomor M.HH-02.PK.01.02.02 Tahun 2017 Yang membahas atas pedoman kerja di Lapas khusus bagi Dengan resiko tinggi kategori teroris.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Menteri Hukum Dan HAM Nomor 35 Tahun 2018 Tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan. Indonesia, 2018.
HAM, Kementerian Hukum dan. Keputusan Menteri Hukum Dan HAM Nomor M.HH- 02 PK.01.02.02 Tahun 2017 Tentang Pedoman Kerja Lapas Khusus Bagi Narapidana Resiko Tinggi Kategori Teroris. Indonesia, 2017.
Zulkifli Rachmayanthy, Umar Anwar, “Pembinaan Narapidana Teroris Di Lembaga Pemasyarakatan Super Maximum Security Dalam Perspektif Pemasyarakatan,” Journal of Correctional Issuess 2 (2020): 127.
1405 Petrus Soerjowinoto, Kajian Hak Asasi Manusia Terhadap Pola Pembinaan
Narapidana (Studi Kasus Di LP Kedungpane Semarang) (Semarang, 2015), 2.
Balitbang Hukum dan HAM, Pembinaan Narapidana Teroris Dalam Upaya Deradikalisasi (Jakarta, 2016)
Muh. Khamdan, “Deradikalisasi Pelaku Tindak Pidana Terorisme Di Indonesia” (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015), 4.