negara, di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat.
Kasus paling serius terjadi di Asia Tenggara dan Pasifik Barat (WHO, 2008).
Dari tahun 2006 ke tahun 2007, di Asia Tenggara terdapat kenaikan sebesar 18% untuk kasus infeksi virus dengue yang dilaporkan dan kenaikan sebesar 15% untuk kasus kematian akibat infeksi virus dengue. Di Indonesia jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas.
Latar Belakang: Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus Dengue dan termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne virus. Vektor utama dari virus Dengue adalah nyamuk Aedes aegypti. Manifestasi klinis dalam penelitian ini disesuaikan dengan derajat klinis DBD. Dua kriteria klinis DBD; demam 2 hingga 7 hari dan manifestasiperdarahan ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau adanya peningkatan hematokrit sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara perubahan nilai hematokrit dengan manifestasi klinis yang timbul pada pasienDBD, sehingga dari hal tersebut diharapkan dapat menunjang diagnosis, prognosis dan terapi sebab perubahan pada hematokrit memperlihatkan terjadinya kebocoran plasma yang timbul pada pasien.
383 perbedaannya pun tidak terlalu signifikan. [8] Penelitian lain yang memeriksa kasus sejak 1978-2009 di Guangzhou, China juga menemukan jumlah kasus pada laki- laki lebih besar dibandingkan perempuan dengan perbandingan 1,15:1,22. [7] Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa kedua jenis kelamin dapat terinfeksi virus dengue dengan kemungkinan yang sama. Secara keseluruhan, manusia sebagai penderita DBD (hospes), tidak ada perbedaan jenis kelamin, tetapi kematian lebih banyak pada anak perempuan daripada anak laki- laki. [11] Dengan demikian tampak jelas bahwa jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan relatif tidak berbeda dalam terinfeksinya virus dengue.
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Pemeriksaan jumlah trombosit dan nilai hematokrit menjadi indikator diagnosis DBD. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan jumlah trombosit dengan nilai hematokrit pada penderita demam berdarah dengue dengan manifestasiperdarahan spontan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian retrospektif telah dilakukan terhadap 138 pasienDBD di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2013 – Desember 2013. Data yang diambil dari Instalasi Rekam Medis adalah jumlah trombosit dan nilai hematokrit yang diperiksa dengan menggunakan alat otomatis Pentra-60. Data dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil dari penelitian ini didapatkan rata-rata jumlah trombosit adalah 49.779 ± 35.058 sel/mm 3 , sedangkan rata-rata nilai hematokrit adalah 43,6 ± 6,4%. Analisis data hubungan jumlah trombosit dan nilai hematokrit didapatkan nilai koefisien korelasi Spearman (r) sebesar -0, 047 dan nilai signifikasi p>0,05. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah trombosit dengan nilai hematokrit.
Latar Belakang: Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan virus Dengue dan termasuk dalam kelompok B Arthropod Borne virus. Vektor utama dari virus Dengue adalah nyamuk Aedes aegypti. Manifestasi klinis dalam penelitian ini disesuaikan dengan derajat klinis DBD. Dua kriteria klinis DBD; demam 2 hingga 7 hari dan manifestasiperdarahan ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau adanya peningkatan hematokrit sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara perubahan nilai hematokrit dengan manifestasi klinis yang timbul pada pasienDBD, sehingga dari hal tersebut diharapkan dapat menunjang diagnosis, prognosis dan terapi sebab perubahan pada hematokrit memperlihatkan terjadinya kebocoran plasma yang timbul pada pasien.
Penelitian ini telah dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret 2012 sampai dengan Juni 2012. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan belah lintang (cross sectional). Sampel penelitian adalah anak yang menderita DBD dan dirawat di RSUP Dr.Kariadi Semarang selama periode penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan secara non random yaitu consecutive sampling berdasarkan kedatangan subyek penelitian di bangsal sampai jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi, yaitu dengan jumlah sampel minimal sebesar 25 orang. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah jenis antipiretika yang digunakan, sedangkan untuk variabel terikat adalah manifestasiperdarahan.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat peningkatan risiko terjadinya manifestasiperdarahan pada pasienDBD yang mengalami penurunan jumlah trombosit.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan
retrospektif. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari catatan medik penderita DBD di RSDK Semarang periode 1 Juli 2001 – 30 Juni 2006. Data trombosit yang digunakan adalah jumlah trombosit pada hari terjadinya perdarahan, atau jumlah trombosit terendah bila pada pasien tersebut tidak didapati adanya manifestasiperdarahan. Dari data trombosit tersebut kemudian dilakukan analisis ROC untuk menentukan cut off point jumlah trombosit terjadinya perdarahan. Uji hipotesis menggunakan uji kai kuadrat. Data diolah dengan menggunakan program SPSS 15 For Windows.
Perjalanan penyakit sirosis hati lambat, asimtomatis dan seringkali tidak dicurigai sampai munculnya komplikasi penyakit hati yang lain. Manifestasi klinis dari penyakit sirosis hati terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis, yaitu gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal sel hati mencakup ikterus, gangguan endokrin, gangguan hematologik, edema perifer, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik, sedangkan manifestasi yang berkaitan dengan hipertensi portal yaitu splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi sirkulasi kolateral lain. 6
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bhandari dkk menunjukkan bahwa ANC lebih tinggi pada bayi baru lahir yang mengalami sepsis dibandingkan yang tidak mengalami sepsis, namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Monroe dan Christensen yang melaporkan neutropenia pada neonatus yang mengalami infeksi bakteri (Melvan dkk, 2010 ; Bhandari, 2008), sedangkan Buch dkk menyatakan bahwa ANC hanya bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan sepsis (Buch dkk., 2011), demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Swarnkar yang memperlihatkan bahwa neutropenia mempunyai nilai prediktif positive hingga 97% (Swarnkar., 2012) dan Hornik dkk yang menemukan bahwa neutropenia meningkatkan odds rasio terjadinya bakteremia (Hornik dkk.,2012). Adanya perbedaan kemaknaan nilai ANC ini kemungkinan dapat di sebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan sampel darah mengingat waktu paruh neutrofil di sirkulasi sangat singkat yaitu sekitar 7-10 jam, jika pengambilan darah dilakukan saat awal penyakit, maka bisa jadi pengerahan netrofil dari sum-sum tulang ke sirkulasi masih berlangsung sehingga didapatkan netrophilia tetapi jika netrofil ini terus digunakan untuk fagositosis, maka lama kelamaan jumlah neutrofil di sirkulasi akan berkurang, sehingga dapat terjadi neutropenia. Selain itu, sampel pada penelitian ini pada umumnya merupakan bayi cukup bulan yang sudah memilki aktivitas granulopoiesis yang sudah lebih baik dibanding bayi kurang bulan. Jenis kuman penyebab juga menentukan kemungkinan neutropenia, neutropenia lebih sering terjadi pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram negatif daripada yang disebabkan oleh bakteri gram positif (Wynn.,2010).
Kemoterapi dapat menyebabkan trombositopenia melalui berbagai mekanisme antara lain karena meningkatnya proses mielosupresif, yakni dengan terbunuhnya sel stem dan progenitor megakariosit pada sumsum tulang yang selanjutnya menyebabkan penurunan jumlah trombosit yang dilepaskan ke sirkulasi atau mensupresi megakariositopoisis yang merupakan proses proliferasi dan maturasi megakariosit muda. Kondisi ini menjadi penting oleh karena trombositopenia dapat mengakibatkan kejadian klinis yang serius misalnya perdarahan, tertundanya kemoterapi dan penurunan dosis kemoterapi hingga kadar suboptimal yang pada akhirnya menurunkan efikasi kemoterapi dan kematian. (1,,3,4)
Kesehatan manusia bergantung pada keseimbangan variabel fisik, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual. Manusia dalam keseluruhan terlibat dalam merespon dan mengadaptasi. Ketika manusia mengalami sakit, maka manusia menggunakan energi fisiologis dan psikologis untuk merespon dan mengadaptasi. Besarnya energi yang dibutuhkan dan keefektifan dari upaya untuk mengadaptasi tergantung pada intensitas mekanisme koping seseorang untuk bertahan. Penyakit fisik yang dialami seseorang tidak hanya menyerang secara fisik tetapi juga dapat membawa masalah-masalah bagi kondisi psikologis dan spiritualnya. Reaksi psikologis akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stres, termasuk frustasi, anxietas, kemarahan yang berlanjut depresi (Perry & Potter, 2005).
Pasien datang dengan keluhan utama muntah hitam dan buang air besar (BAB) hitam, disertai dengan anemia gravis. Pada pasien juga didapatkan keluhan nyeri perut pada area epigastrium. Namun, keluhan khas tuberkulosis seperi keringat malam dan demam disangkal. Pasien mengaku mengalami penurunan berat badan, namun idak diketahui berapa banyak penurunan yang dialami. Diagnosis tuberkulosis intesinum pada pasien ini idak dicurigai sejak awal pasien diterima. Awalnya, pasien dicurigai mengalamiperdarahan saluran cerna atas karena muntah dan feses disertai warna hitam. Saluran cerna bagian atas berada proksimal dari ligamentum Treitz, yaitu mencakup esofagus, gaster dan duodenum. Ternyata, manifestasi melena yang berasal dari saluran cerna bagian atas mencakup 90% kasus. Terdapat 10% kemungkinan bahwa darah berasal dari usus halus maupun kolon asenden. BAB berdarah yang sudah bermanifestasi sebagai melena memiliki volume minimal 50 mililiter. Sementara itu, hematoskezia, yang lebih sering terjadi akibat perdarahan saluran cerna bagian bawah, juga dapat imbul akibat perdarahan yang masif dari saluran cerna bagian atas. 9
tulang alveolar rusak. Migrasi ke apikal dari epithelium jungtion akan terus berlangsung dan epithelium ini akan terlepas dari permukaan gigi, membentuk poket periodontal atau poket asli. Keadaan ini tampaknya merupakan perubahan Irreversibel. Bila poket periodontal sudah terbentuk plak berkontak dengan sementum. Jaringan ikat akan menjadi oedem; pembuluh darah terdilatasi dan trombosis dinding pembuluh pecah disertai dengan timbulnya perdarahan ke jaringan sekitarnya. Disini terlihat infiltrat inflamasi yang besar dari sel-sel plasam, limfosit dan magrofag. IgG merupakan imunoglobulin yang dominan tetapi beberapa IgM dan IgA juga dapat di temukan disini. Epitelium dinding poket mungkin tetap utuh atau terulserasi. Disini tidak terlihat adanya perbedaan karena produk-produk plak berdifusi melalui epitelium. Aliran cairan jaringan dan imigrasi dari PMN akan berlanjut dan agaknya aliran cairan jaringan ini ikut membantu meningkatkan deposisi kalkulus subgingiva. Penyebaran inflamasi ke puncak tulang alveolar. Ditandai dengan adanya infiltrasi sel-sel ke ruang-ruang trabekula, daerah- daerah resorbsi tulang dan bertambah besarnya ruang trabekula. Ada kecenderungan resorbsi tulang di imbangi oleh deposisi yang semakin menjauhi daerah inflamasi. Sehingga tulang akan diremodelling, namun tetap mengalami kerusakan. Resorbsi tulang dimulai dari daerah interproksimal menjadi lebar misalnya atara gigi-gigi molar, suatu krater interdental akan terbentuk dan kemudian bila proses resorbsi makin berlanjut, resorbsi akan meluas ke lateral, sehingga semua daerah puncak tulang alveolar akan teresorbsi.
Penelitian sum-sum tulang pada pasienDBD menunjukkan adanya depresi sum- sum tulang yaitu tahap hiposeluler pada hari ke 3,4 demam dan perubahan patologis sistem megakariosit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di mana jumlah trombosit pada hari ke 3 demam mulai menurun dan mengalami trombositopenia pada hari ke 4 demam. Dari penelitian dengan radioisotop dibuktikan adanya destruksi trombosit dalam sistem retikuloendotelial yaitu dalam limpa dan hepar. Pada pasienDBD juga terjadi pemendekan masa paruh trombosit. Peranan DIC pada pasienDBD telah banyak diselidiki. Akibat koagulasi intravakular, pemakaian faktor-faktor pembekuan dan trombosit meningkat sehingga terjadi trombositopenia. 7
Dari pemeriksaan fisik, kita bisa menemukan pasien nampak pucat dan lemah, dapat ditemukan adanya murmur karena terjadinya anemia. Dapat ditemukan tanda- tanda infeksi dan demam. Demam harus diinterpretasikan adanya infeksi. Karena pasienmengalami trombositopenia, maka dapat ditemukan adanya petekia, terutama pada ekstrimitas bawah. Adanya ekimosis yang luas merupakan indikasi terjadinya DIC. Juga ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati karena infiltrasi sel leukemi. Pada beberapa keadaan, juga bisa ditemukan adanya kemerahan (rash) pada kulit pasien, karena infiltrasi sel leukemi ke kulit. Pada pemeriksaan laboratorium hematotogi, ditemukan anemia dan trombositopeni dalam berbagai derajat. Pasien ALL jumlah sel darah putihnya bisa meningkat, normal, atau rendah, tetapi biasanya neutropenia. Peningkatan dari protlirombintime / activated partial thromboplastin time dan penurunan fibrinogen atau fibrin degradation products menandakan terjadinya DIC (Seiter, 2010).
c. Lingkungan sosial yaitu bentuk lain selain fisik dan biologis. Faktor lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah kepadatan penduduk dan mobilitas. Kepadatan penduduk yang tinggi akan mempermudah terjadinya infeksi virus dengue, karena daerah yang berpenduduk padat akan meningkatkan jumlah insiden kasus DBD tersebut. Mobilitas penduduk memegang peranan penting pada transmisi penularan infeksi virus dengue. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyebaran epidemi dari
Sangat sedikit penelitian sebelumnya yang dapat menunjukkan gambaran perbedaan luaran pasien dengan perdarahan intraserebral atau perdarahan intraventrikuler yang dilakukan VP-Shunt segera untuk komplikasi hidrosefalus yang sering timbul setelah perdarahan akibat tersumbatnya sistem ventrikel. Tindakan VP-Shunt diharapkan juga mampu mengendalikan tekanan intrakranial yang meningkat. Penelitian oleh Andrew Whitelaw terhadap bayi dengan perdarahan intraventrikuler yang diberikan perbedaan terapi obat-obatan dan dilakukan VP-Shunt pada semua pasien tidak menunjukkan perbedaaan luaran yang berbeda. 11 Dilaporkan 2 kasus terjadinya perdarahan intraserebral setelah pemasangan VP-Shunt oleh karena hidrosefalus meskipun hal ini jarang sekali terjadi. 12 Hasil observasi terhadap 6 pasien yang mengalami perbaikan GCS menunjukkan adanya manfaat tindakan VP-Shunt yang dilakukan segera. Namun jumlahpasien yang cukup besar mungkin diperlukan untuk menentukan manfaatnya secara lebih jelas. Pasien yang dipulangkan karena mengalami perbaikan adalah 4 orang (50%) dengan 2 orang pulang GCS diatas 14 pada hari ke 7 dan 8 perawatan. Dua orang lainnya pulang setelah hari ke 19 dan 21 paca perawatan dengan GCS waktu pulang 9 dan 12. Semua pasien yang pulang adalah yang mengalami peningkatan GCS setelah dilakukan pemasangan VP-Shunt. Empat pasien meninggal yaitu 2 pasien meninggal pada hari ke 5 rawatan, 1 orang hari ke 7 rawatan dan 1 orang hari ke 17 rawatan (Tabel 3). Meskipun 2 orang pasienmengalami peningkatan GCS setelah pemasangan VP-Shunt pada perawatan di ICU mengalami perburukan oleh karena memiliki predisposisi hipertensi dan diabetes mellitus serta timbul komplikasi lebih lanjut yaitu pneumonia, hiperglikemia dan hipertermia. Hal ini diduga berhubungan dengan perawatan pasien selama masa kritis di ICU, penggunaan antibiotika yang adekuat serta terapi obat-obatan lainnya.
Latar belakang: Gangguan perdarahan merupakan gambaran klnis yang menonjol pada penderita leptospirosis berat namun sampai saat ini patofisiologinya belum diketahui dengan jelas. Komplikasi perdarahan dapat diketahui dari gambaran klinis dan laboratoris yang khas pada sindrom trombohemoragik berat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manifestasi klinis dan laboratoris gangguan perdarahan pada penderita leptospirosis berat. Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif observasional dengan rancangan cross sectional. Data yang digunakan berasal dari case record form SEALS (Semarang Amsterdam Leptospirosis Studies) dengan memilih beberapa variabel yaitu: peteki, hematuria, haematoschezia, melena, hematemesis, epistaksis, perdarahan gusi, hemoptisis, jumlah trombosit, waktu protrombin, dan aPTT (activated partial thromboplastin time).
tahun, datang dengan keluhan utama nyeri kepala hebat, mendadak, timbul sewaktu aktivitas, tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Tidak pernah mengeluh seperti ini. Pemeriksaan fisik neurologis didapatkan nyeri kepala Skala Analog Visual (SAV) 10, disdiadokinesia sisi kiri. Computed Tomography (CT) Scan kepala tanpa kontras didapatkan perdarahan serebelum kiri disertai perdarahan pada ventrikel lateral bilateral, ventrikel III dan IV. Digital Subtraction Angiography (DSA) kepala didapatkan MAV pada serebelum kiri, mendapat feeding artery dari arteri anterior inferior serebeli dan aneurisma pada arteri tersebut. Dilakukan embolisasi dengan N-butylcyanoacrylate (NBCA), setelah embolisasi, klinis pasien membaik dan tidak ada defisit neurologi baru. Simpulan: Pada perdarahan intraventrikel dan serebelum perlu pemeriksaan neuroimaging lebih lanjut untuk mengetahui etiologi perdarahan, diantaranya MAV fossa posterior disertai flow related aneurysm, sehingga dapat dilakukan terapi lanjutan.