• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh Fika Andriyani MAGISTER ILMU AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Oleh Fika Andriyani MAGISTER ILMU AGAMA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

FILSAFAT DAN ETIKA HUKUM ISLAM

KONSEP MASLAHAH MENURUT ULAMA MALIKIYAH

Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Nur Fuad, MA.

Oleh: Fika Andriyani

MAGISTER ILMU AGAMA ISLAM KONSENTRASI HUKUM ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA

(2)

A. Pendahuluan

Perbincangan mengenai pembentukan atau pengembangan hukum yang dalam istilah ushul fiqih disebut dengan ijtihad erat kaitannya dengan perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan secara umum ijtihad dapat dikatakan sebuah upaya berpikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumber sebenarnya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.

Antara upaya ijtihad di satu pihak dan tuntutan perubahan sosial di pihak lain terdapat satu interaksi. Ijtihad baik langsung atau tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sedangkan disadari atau tidak bahwaperubahan-perubahan sosial itu harus diberi arah oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia.

Pada pembahasan kali ini akan dikaji teori kemaslahatan menurut ulama Malikiyah, dan lebih khususnya lebih pada teori yang digagas oleh Imam Syatibi.

B. Pembahasan

1. Biografi Singkat Ulama Malikiyah a) Imam Malik

Malik bin Anas bin Abu amir bin 'Amr al- Ashbahi al-Madani, Imam Dar al-Hijrah, pendiri mazhab fikih Maliki. Malik juga biasa dipanggil dengan Abu Abdullah dan Ashbahi nama julukan kakeknya. Nama sebenarnya adalah al-Haris. Sisilahnyya sampai pada Ya'rab bin Qahthan, satu kabilah besar di Yaman (al-Maraghi, 2001:79).

Malik bin Anas lahir di Madinah tahun 93 H. sejak muda ia sudah hafal al-Quran dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Sejak kecil Malik sering menemui Rabiah dan Adurrahman bin Hurmuz untuk mendengarkan hadis-hadis nabi SAW. Di samping kepada kedua orang itu, ia juga belajar hadis pada al-Zuhri dan Nafi' maula Ibn Umar. Ia juga belajar ilmu qiraat kepada Nafi' bin Abi Nuaim. Dari Rabi'ah ia mendapatkan fiqh al-ra'y (Abu Zahrah, tt.: 225).

(3)

sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian dijual untuk biaya menuntut ilmu. Tetapi setelah itu dunia berpaling kepadanya." Imam Malik dipandang ahli dalam berbagai ilmu, khususnya ilmu hadis dan fikih. Tentang penguasaanya dalam hadis ia sendiri pernah mengatakan:"Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadis." (al-Maraghi, 2001:79)

Malik mempunyai banyak murid di antaranya adalah ulama. Hampir tidak seorang pun ulama di zamannya yang tidak belajar kepadanya, baik guru-gurunya sendiri maupun teman-temannya. Qadi Iyyad menyebutkan lebih dari seribu orang ulama terkenal yang menjadi murid Imam Malik. Beberapa di antaranya adalah; Muhammad bin Muslim al-Zuhri yang meninggal 55 tahun sebelum Malik wafat, Rabi'ah bin Abd al-Rahman, meninggal 33 tahun sebelum Malik wafat, Yahya bin Sa'id al-Anshari, 43 tahun sebelumnya. Kemudian Musa bin Uqbah, Hisyam bin Urwah, nafi' bin Abi Nu'aim al-Anshari, Muhammad bin Ajlan, Salim bin Abi Umayyah, Muhammad bin Abdurrhman bin Abi Ziab, Abdul Malik bin Juraij, Muhammad bin Ishaq, pengarang kitab al-maghazi dan sulaiman bin Mahran al-'Amasi (al-Maraghi, 2001:81).

Imam Malik meninggal tahun 179 H di Madinah al-Munawarah. Karya Imam Malik yang paling populer adalah al-Muwaththa. Karya-karya Imam Malik lainnya adalah; Risalah Ila Ibn Wahb fi al-Qadr, Kitab al-nujum, Risalah fi al-Aqdiyah, Tafsir li al-Gharib al-Quran, Risalah ila Laits bin Sa'id, Risalah ila Abi Ghassan, Kitab Siyar, dan kitab al-Manasik.

b) Imam Syatibi

(4)

muslim dari kota itu sejak tahun 645 H (1247), sekitar satu abad sebelum kelahiran al-Syatibi, dan sebagian besar di antaranya berhijrah ke Granada. (Asafri, 1996: 21)

Masa muda al-Syatibi dilaluinya bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Muhammad V al-Ghani Billah yang merupakan masa keemasan umat Islam setempat karena Granada menjadi pusat kegiatan ilmiah dengan berdirinya Universitas Granada. Sehingga seluruh pendidikan al-Syatibi diperolehnya di ibukota kerajaan Nashr, Granada, yang merupakan benteng terakhir umat Islam di Spanyol ketika itu. Suasana ilmiah dan perkembangan peradaban Islam yang berkembang dengan baik di kota Granada tersebut memberikan keuntuntungan tersendiri bagi al-Syatibi dalam pengembaraan dan pengembangan intelektualnya. Granada menjadi kota pusat perhatian para sarjana yang datang dari kawasan Afrika Utara. Saat itu, banyak ilmuan yang mengunjungi Granada atau berada di istana Bani Nashr, di antaranya ibn Khaldum dan ibn al-Khatib.

Dalam meniti pengembangan intelektualitasnya, tokoh yang bermazhab Maliki ini mendalami berbagai ilmu, baik yang berbentuk ‘ulum al-wasa’il (metode) maupun ‘ulum maqashid (esensi dan hakikat). Al-Syatibi mendapat pendidikan baik dari guru-gurunya yang merupakan penduduk asli di Granada maupun dari para pendatang yang menempuh pendidikan dan menjadi ulama di Granada. Guru-guru al-Syatibi yang merupakan penduduk asli antara lain:

1. Abu Fakhar al-Biriy, seorang ulama paling ternama di bidang Bahasa Arab dan Qira’at saat itu. Dari ulama ini al-Syatibi belajar tentang Qira’at dan Nahwu.

2. Abu Ja’far al-Syaquri, seorang ulama di bidang nahwu.

3. Abu Sa’id bin Lub, seorang mufti di Granada. Dari ulama ini, al-Syatibi belajar tentang fikih.

4. Abu Abdullah Balnisity, seorang mufassir ternama, dan dari beliau al-Syatibi menimba ilmu tentang tafsir dan ulmul qur’an lainnya.

Sedangkan guru-guru al-Syatibi yang merupakan pendatang di Granada, antara lain:

1. Abu Abdullah Syarif al-Tilmisani, seorang ulama ternama di bidang fikih dan ushul fikih.

(5)

3. Ibn Marzuq al-Khatib, merupakan salah seorang ulama maliki terkemuka di Granada

4. Abu Ali al-Zawawiy, seorang ulama besar di bidang ushul fiqh dan dari ulama ini al-Syatibi banyak menimba ilmu ushul fiqh, bahkan al-Syatibi secara terang-terangan sering menukil pendapatnya. (Asafri, 1996: 21-25)

Dari mereka inilah al-Syatibi mempelajari berbagai disiplin ilmu keagamaan sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa al-Syatibi memiliki berbagai disiplin ilmu keagamaan. Meskipun mempelajari dan mendalami berbagai ilmu, al-Syatibi lebih memberikan perhatian utama untuk mempelajari bahasa Arab dan, khususnya, ushul fikih. Ketertarikannya terhadap ilmu ushul fikih karena, menurutnya, metodologi dan falsafah fikih Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fikih dalam menanggapi perubahan sosial.

Setelah memeroleh ilmu pengetahuan yang memadai, al-Syatibi mengembangkankan potensi keilmuannya dengan mengajarkan kepada para generasi berikutnya, di antara murid-murid al-Syatibi, antara lain: Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar ibn Asim, Syaikh Faqih Abu Abdullah Bayani, Abu Jafar al-Qassar, Abu Abdullah al-Majariy. Kepada mereka, al-Syatibi mengajarkan hasil karya monumentalnya. Karya-karya al-Syatibi dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu: pertama karyakarya al-Syatibi yang telah diterbitkan dan dipublikasikan, kedua karya-karya yang belum dipublikasikan, baik yang masih bersifat manuskrip atau disebutkan dalam kitab lain yang menisbahkan kitab tersebut kepada Syatibi. Karya Syatibi dalam kategori pertama: al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, al-I’tisham, dan al-Ifadat wa al-Irsyadat. Sedangkan karya-karya dalam kategori kedua, antara lain: kitab al-Majalis, Syarh Alfiah, dan manuskrib penyempurnaan kitab al-Itisam. (Asafri, 1996: 26-27)

2. Sistematika Sumber Hukum Islam dan Sistem Istinbath Imam Malik

Adapun sumber hukum Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam adalah berpegang pada:

(6)

Dalam memegang Al-Qur'an ini meliputi pengambilan hukum berdasarkan atas zahir nash Al-Qur'an atau keumumannya, meliputi mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-Aula dengan memperhatikan 'illatnya.

b) Sunnah

Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada Al-Qur'an. Apabila dalil syar'iy menghendaki adanya penta'wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta'wil tersebut. Apabila terdapat pertentangan antara makna zahir Al-Qur'an dengan makna yang terkandung dalam sunnah, maka yang dipegang adalah makna zahir Al-Qur'an.Tetapi apabila makna yang dikandung oleh sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma' ahl Al-Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah dari pada zahir Al-Qur'an (sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah mutawatir atau masyhurah).

c) Ijma' Ahl al-Madinah

Ijma' ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma' ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah. Ijma' semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik. Menurut Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang dikutip oleh Huzaemah T. Yanggo, yang dimaksud dengan ijma' ahl al-Madinah tersebut ialah ijma' ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan merupakan hujjah. Ijma' ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.

Dikalangan mazhab Maliki, ijma' ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma' ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama'ah, sedang khabar ahad hanya merupakan pemberitaan perseorangan. d) Fatwa Sahabat

(7)

bertentangan dengan hadits marfu' yang dapat diamalkan dan fatwa sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada Qiyas.

e) Khabar Ahad dan Qiyas

Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath'iy. Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu konsisten. Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau khabar ahad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia menggunakan qiyas dan mashlahah.

f) Al-Istihsan

Menurut mazhab Maliki, al-Istihsan adalah: "Menurut hukum dengan mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-istidlal al-Mursal dari pada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu,tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara' secara keseluruhan".

Dari ta'rif tersebut, jelas bahwa istihsan lebih mementingkan maslahah juz'iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam ungkapan yang lain sering dikatakan bahwa istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari'at diturunkan. Artinya jika terdapat satu masalah yang menurut qiyas semestinya diterapkan hukum tertentu, tetapi dengan hukum tertentu itu ternyata akan menghilangkan suatu mashlahah atau membawa madharat tertentu, maka ketentuan qiyas yang demikian itu harus dialihkan ke qiyas lain yang tidak akan membawa kepada akibat negatif.

(8)

Maslahah Mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh nash. Dengan demikian, maka maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan syari'at diturunkan. Tujuan syari'at diturunkan dapat diketahui melalui Al-Qur'an, sunnah atau ijma'. Para ulama yang berpegang kepada maslahah mursalah sebagai dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:

1) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja.

2) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum, bukan sekedar maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. 3) Maslahah itu harus benar-benar merupakan maslahah yang bersifat umum

dan tidak bertentangan dengan ketentuan nash atau ijma'. h) Sadd Al-Zara'i

Imam Malik menggunakan sadd al-Zara'i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, hukumnya haram atau terlarang. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, halal pula hukumnya.

i) Istishhab

Imam Malik menjadikan istishhab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishhab adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau. Jadi sesuatu yang telah dinyatakan adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap seperti hukum pertama, yaitu tetap ada. Begitu pula sebaliknya.

j) Syar'u Man Qablana

Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik menggunakan kaedah syar'u man qablana syar'un lana, sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa, tidak kita temukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang menyatakan demikian.

(9)

3. Konsep Maslahah Menurut Ulama Malikiyah

Secara etimologi kata mashlahah sama dengan kata manfa'ah baik dari segi wazan maupun arti. Mashlahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang memiliki implikasi manfaat. Sebagai contoh bisnis adalah mashlahah, artinya bahwa bisnis berimplikasi pada manfaat.Secara terminology, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan ulama ushul fikih. Imam Ghazali mengemukakan bahwa pada asalnya mashlahah memiliki arti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menolak madlarat (kerusakan), namun hakekat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara' (al-Ghazali, 1997:413).

Dalam keterkaitan demikianlah tujuan diciptakannya syari’at yakni kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat sebagai aspek inti dapat diwujudkan. Adapun kemaslahatan itu bisa diwujudkan apabila lima unsur pokok dapat diwujudkan dan dipelihara. Lima unsur tersebut menurut Syatibi adalah agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Sedangkan dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsure pokok itu, beliau membagi kepada tiga tingkatan yakni mashlahah dharuriyah, mashlahah hajiyah dan mashlahah tahsiniyah. (Asafri, 1996: 71-72)

1) Mashlahah dharuriyah ( ةيرورضلا ةحلصملا ) adalah kemaslahatan yang keberadaannya sangat esensial bagi kehidupan manusia; artinya, kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa bila satu saja dari prinsip yang lima itu tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau menuju pada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau mashlahah dalam tingkat dharuri. Karena itu Allah memerintahkan manusia melakukan usaha bagi pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Segala usaha atau tindakan yang secara langsung menuju pada atau menyebabkan lenyap atau rusaknya satu di antara lima unsur pokok tersebut adalah buruk, karena itu Allah melarangnya.

(10)

untuk memelihara keturunan; dan melarang mencuri untuk memelihara harta.

2) Mashlahah hajiyah ( ةيجاحلا ةحلسملا ) adalah kemaslahatan yang tingkat kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak berada pada tingkat dharuri. yakni segala hal yang menjadi kebutuhan primer manusia agar hidup bahagia dan sejahtera, dunia dan akhirat, dan terhindar dari berbagai kesengsaraan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh, kehidupan manusia pasti mengalami kesulitan (masyaqqah) meski tidak sampai menyebabkan kepunahan. Contoh mashlahah hajiyah adalah: menuntut ilmu agama untuk tegaknya agama; makan untuk kelangsungan hidup; mengasah otak untuk sempurnanya akal; melakukan jual beli untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik atau mashlahah dalam tingkat haji.

3) Mashlahah tahsiniyah ( ةينيسحتلا ةحلصملا ) adalah mashlahah yang kebutuhan hidup manusia kepadanya tidak sampai tingkat dharuri, juga tidak sampai tingkat haji; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam rangka memberi kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam bentuk tahsini tersebut, juga berkaitan dengan lima kebutuhan pokok manusia.

Dilihat dari segi keberadaan mashlahah menurut syara' terbagi kepada:

1) al-Maslahah Mu'tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara'. Atau dengan kata lain mashlahah yang secara tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya. Misalnya diperintahkan berjihad untuk memlihara agama dari serangan musuh, diwajibakan hukuman qishah untuk menjaga kelestarian jiwa, hukuman bagi peminum khamr untuk memelihara akal.

(11)

siang hari di bulan Ramadan diberi sangsi memerdekakan budak, jika tidak mampu maka sangsinya puasa dua bulan berturut-turut.

3) al-Mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara' dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara' melalui dalil yang rinci.

4. Kehujjahan Mashlahah mursalah

Maslahah mursalah digunakan oleh beberapa ulama ushul fikih dengan istilah yang berbeda-beda. Sebagian ulama mengunakan istilah munasib al-mursal. Ada juga ulama yang menggunakan istilah istishlah seperti al-Ghazali, dan ada pula yang menggunakan istidlal al-mursal seperti Izzuddin bin Abdissalam. Istilah-istilah tersebut meskipun tampak berbeda namun memiliki satu tujuan. Perbedaan istilah disebabkan cara pandang yang berbeda-beda. Penggunaan istilah mashalih mursalah jika dilihat dari segi apakah mashlahah tersebut didasarkan pada dalil atau tidak. Adapun istilah al-munasib al-mursal jika dilihat dari segi kesesuaiannya dengan tujuan syara'. Sementara istilah istidladlal digunakan lebih merujuk pada proses penetaapan hukum terhadap suatu mashlahah yang tidak terdapat dalil khusus dari nash.

Para ulama ushul fikih sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam aspek ibadah, karena aspek ibadah bisa dilogika (ghair ma'qul ma'na), ia harus diamalkan sebagaimana adanya didapatkan dari Rasulullah SAW.Dalam bidang muamalat mereka berbeda pendapat. Kalangan Zahiriyah dan sebagian dari kalangan Syafiiyyah tidak mengkui maslahah sebagai landasan pembentukan hukum, dengan alasan seperti yang dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf (1972:94) sebagai berikut:

a. Allah SWT dan Rasul-Nya telah merumuskan ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin segala bentuk kemaslahatan umat manusia. Menetapkan hukum berdasarkan mashlahah mursalah, berarti menganggap syariat Islam tidak lengkap karena menganggap masih ada mashlahah yang belum tertampung dalam hukum-hukumnya.

(12)

merusak citra agama.Dengan alasan-alasan tersebut mereka menolak mashlahah mursalah sebagai landasan hukum.

Sementara Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyyah berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat diajdikan sebagai landasan penetapan hukum. Di antara alasan yang mereka kemukakan adalah:

a. Syariat Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk al-Quran dan al-Sunnah bertujuan untuk merealisasikan kemashlahatan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu lalu berkembang, yang tidak mungkin kesemuanya itu dirinci dalam al-Quran dan al-sunnah. Namun secara umum syariat Islam telah memberi petunjuk bahwa tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Oleh karena itu apa yang dianggap mashlahah, selama tidak bertentangan deang al-Quran dan al-sunnah sah dijadikan landasan hukum.

b. Para sahabat mengakui keberadaan mashlahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum tanpa ada seorangpun yang membantahnya. Abu Bakar pernah mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Umar bin Khattab tidak menerapkan sangsi potong tangan terhadap pencuri si saat krisis ekonomi. Praktik ini tidak pernah dicontohkan Nabi SAW.

Berdasarkan alasan di atas kalangan Malikiyah, Hanabilah dan sebagian Syafiiyah menganggap bahwa mashlahah mursalah bisa dijadikan landasan penetapan hukum. Adapun alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui mashlahah mursalah sebagai landasan hukum dianggap lemah oleh pihak pendukung mashlahah mursalah. Dalam kenyataanya tidak semua kebutuhan manusia terdapat rinciannya di dalam Quran dan al-Sunnah. Di sisi lain, penetapan hukum berlandaskan mashlahah mursalah membutuhkan beberapa persyaratan yang cukup ketat. Dengan persyaratan yang ada akan terhindar dari penyalahgunaan.

(13)

dengan tindakan syara' dan maknanya diambil dari dalil-dalil syara' maka mashlahah itu benar dan dapat dijadikan sebagai hujjah.

Syatibi dalam membangun metode maslahah mursalah beranjak dari konsep al-munasib (yang sesuai), yakni ada tidaknya persesuaian-persesuaian antara maslahah yang dipertimbangkan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang tidak ada syahid dan 'illah, suatu indikasi yang membedakannya dari qiyas dan tidak ditemukan dalil khusus mengenai hukumnya.

Konsep munasib itu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, al-munasib itu memang memiliki dalil khusus yang menyebutkannya. Seperti disyariatkan qishas yang memiliki tujuan untuk memelihara jiwa manusia sehingga keberlangsungan hidup terjamin, selain bertujuan untuk memelihara anggota tubuh manusia. Validitas al-munasib dalam pengertian ini, tidak perlu diragukan lagi untuk diamalkan. Kedua, al-munasib dalam pengertian adanya anggapan maslahah dalam pemikiran subjektif manusia, tetapi syariah menolaknya. Ini berarti maslahah tersebut ditetapkan semata-mata menurut hawa nafsu, yang bertentangan dengan dalil-dalil syara', sehingga validitasnya tidak diakui hukum Islam. Ketiga, al-munasib dalam pengertian maslahah yang tidak disebutkan oleh nash-nash khusus, baik untuk dipegangi atau untuk ditinggalkan. Artinya tidak ditemukan dalil pertikular yang menunjukkan boleh tidaknya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.

Al-munasib dalam pengertian ini, menurutnya, dapat dibagi kepada dua kemungkinan: (1) Ada nash yang mengkonfirmasi pengertian munasib itu, seperti adanya 'illah yang menghalangi pembunuh mendapatkan warisan. (2) al-munasib tersebut sesuai dengan pandangan syara' secara universal, bukan dengan dalil partikular. Al-munasib dalam pengertian ini, oleh al-Syatibi, disebut juga dengan istidlal al-mursal atau al-maslahah al-mursalah.

(14)

akan berakibat pada macetnya produksi. Di sisi lain jika dibiarkan tanpa sangsi maka akan tercipta kondisi untuk tidak memiliki tanggung jawab.

Seorang pemimpin yang adil diperbolehkan meminta bantuan orang kaya untuk membiayai kebutuhan tentara jika kas negara dalam keadaan kosong. Kemaslahatannya adalah jika pemimpin tidak melakukan hal tersebut, pertahanan negara akan lemah. Pemerintah boleh menyita barang yang digunakan seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan.

Contoh yang dikemukakan Imam Malik adalah jika seseorang membeli atau meminum minuman keras, maka minuman keras tersebut boleh disita. Jika seseorang berada di suatu daerah yang tidak terdapat perkerjaan dan makanan kecuali pekerjaan dan makanan yang haram sementara ia tidak bisa keluar dari daerah tersebut, maka ia boleh bekerja dan makan makanan haram sekedar untuk mempertahankan hidupnya. Walaupun tidak ada nash menyangkut hal tersebut akan tetapi hal tersebut sesuai (mulaim) dengan tindakan syara'. Dimana syara' memperbolehkan seseorang makan makanan haram seperti bangakai atau daging babi jika dalam keadaan darurat.

Menjatuhkan hukuman qishash pada sekelompok orang yang membunuh seseorang. Pada dasarnya qishash tidak bisa diterapkan pada sekelompok orang yang telah membunuh. Qishash hanya bisa diberlakukan pada seseorang saja. Namun jika tidak dilakukan qishash maka akan berakibat pada peremehan terhadap institusi qishash. Sehingga qishash tetap diberlakukan pada kelompok, dalam hal ini kelompok menduduki kedudukan seseorang dalam membunuh.

Diperbolehkan memilih/mengangkat seorang pemimpin mafdlul (utama/cakap) walaupun sebenarnya masih ada calon yang afdlal (lebih utama/lebih cakap).

Dengan demikian penetapan hukum melalui mashlahah mursalah menurut al-syatibi bukanlah penetapan hukum keluar dari nash, akan tetapi masih dalam ruang lingkup nash, dimana menurut Syatibi, penetapan hukum bisa melalui tiga cara:

(15)

2. Melalui pemahaman satu nash. Biasanya menggunakan qiyas atau mashlahah al-Mu'tabarah. Seperti penentuan tentang keharaman narkoba dan sangsi bagi peminum khamr dapat disimpukan dari ayat berikut;ةيلا ... رسيملا و رمخلا امنإ . 3. Melalui penetapan hukum dengan tidak tergantung kepada hanya satu dalil

atau nash saja, tetapi dengan menghimpun semua dalil dari berbagai bentuknya yang relevan dengan permasalahan yang akan dicari jawabannya supaya di dapatkan suatu kepastian hukum, dengan tetap memerankan akal. Mashlahah mursalah termasuk dalam kategori yang ketiga ini.

Dalam mengaplikasikan maslahah mursalah, Imam al-Syatibi mengemukakan tiga persyaratan yaitu: pertama; bahwa kemaslahatan itu harus logis, bisa dicerna dengan akal sehat. Dengan persyaratan ini maka masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah tidak bisa dipecahkan dengan metode mashlahah mursalah karena aspek ibadah tidak bisa dijangkau oleh akal (ghair ma'qul al-ma'na); kedua, kemaslahatan tersebut harus sesuai dengan tujuan syara', tidak bertentangan dengan nash; ketiga, kemaslahatan tersebut merupakan dalam kerangka menjaga kemaslahatan dlaruri dan menolak kesusahan dalam agama.

5. Penutup

Maslahah dan maqashid al-Syari’ah dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam. Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal, mengandung makna bahwa akal dapat mengetahui dengan jelas kemaslahatan tersebut.

(16)

merupakan dalam kerangka menjaga kemaslahatan dharuri dan menolak kesusahan dalam agama

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad, tt., Muhadlarah fi Tarikh al-Mazahib al-Fqhiyyah, kairo:

maktabah al-Madani.

Al-Ghazali, 1997, al-Mushtashfa min Ilm al-Ushul, Beirut: Muassah al-Risalah.

Al-Maraghi, 2001,Abdullah Mustafa, Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyyin, alih bahasa

Husein Muhammad, Yogyakarta:LKPSM.

Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut al-Syatibi. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Khalaf, Abd al-Wahhab, 1972, Mashadir al-Tasyri' al-Islami fima la Nashsha fih, Kuwait: Dar

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 4 Undang - Undang Nomor 19 Tahun 2003 tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan "dipisahkan" adalah pemisahan

Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai contoh role model bagi sekolah Islam lainnya tentunya dengan mengambil hal yang bersifat positif dan menjadikan bekal pengembangan pada

Menurut pendapat lain “mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi

dicapai apabila dari setiap anggota majlis taklim telah dapat aktif mengikuti segala kegiatan pengajian. Majlis taklim Nurul Komariyah ini didirikan dengan maksud

Dalam pola pendidikan dikeluarga Kelurahan Marga Rahayu Kecamatan Lubuklinggau Selatan II Kota Lubuklinggau dari hasil wawancara dengan ibu-ibu dan bapak-bapak pola pendidikan