• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintahan Soekarno dimulai pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika PPKI mengangkat Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta sebagai wakil Presisden Republik Indonesia. Di masa awal pemerintahannya (1945-1949), Soekarno mengijinkan lahirnya partai-partai politik dengan karakternya masing-masing. Semua partai politik termaksud dapat dikelompokkan kedalam tiga aliran ideologi besar, yaitu partai politik yang berorientasi pada ideologi keagamaan, ideologi kebangsaan, dan ideologi Barat modern non agama.80 Tujuan dibiarkannya lahir partai-partai politik adalah untuk memperkuat perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun dalam kenyataannya, munculnya partai-partai politik itu hanya menyebabkan berkembangnya ideologi kelompok, tidak menciptakan adanya kemajuan dalam pemahaman dan penghayatan serta penghormatan terhadap Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia.81

Pada masa lima tahun pertama pemerintahan Soekarno (1945-1949), ketika pola politik partai-partai lebih berorientasi kepada ideologi golongan masing-masing dan mengabaikan Pancasila sebagai falsafah dan ideologipolitik Indonesia, hakikat politik kelompok anak bangsa cendrung lepas dari rasa persatuan, kemanusiaan,dankesetaraan.Hakikat politik yang demikian, menimbulkan di dalam benak masing-masing kelompok anak bangsa, usaha-usaha ke arah pemusatan kekuasaan dan kekuatan, yang selanjutnya menghasilkan struktur politik adu kekuatan dan struktur penghitungan kawan-lawan. Struktur politik yang antagonistis ini, yang dalam pelaksanaannya menghasilkan power-struggle, mengakibatkan banyak ketegangan, kecurigaan, perpecahan dan juga banyak kali menyebabkan adanya pertumpahan darah dan pembunuhan di antara sesama anak bangsa.82

80J. Kristiadi, “Sejarah Perkembangan Organisasi Sosial dan Politik di Indonesia”, Analisa (Jakarta:

CSIS, 1984-1988), 601-2.

81

A. M. W. Pranarka, Sejarah pemikiran tentang Pancasila (Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS, 1985), 79.

Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 adalah indikator bahwa masing-masing kelompok tega melakukan tindakan kekerasan ketika mereka hanya terobsesi oleh ideologi golongannya, namun sementara itu Pancasila sebagai religiositas Indonesia sama sekali tidak terinternalisasi di dalam diri mereka. Tindakan kekerasan yang demikian itu, bisa terlihat dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada bulan September 1948 di Madiun. Karena terobsesi oleh ideologi politik komunis, mereka menentang sistem pemerintahan yang dinilainya kurang berafiliasi bagi kepentingan rakyat, dan mereka berjuang menegakkan kelas proletar. Tindakan kekerasan yang mengadu kekuatan, juga bisa dilihat dari pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo, yang karena terobsesi oleh ideologi agama memproklamirkan negara Islam pada bulan Agustus 1949, sebagai jalan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Disamping pemberontakan tersebut di atas, juga ada pemberontakan yang bersifat kesukuan seperti gerakan Republik Maluku Selatan yang ingin mendirikan negara kesukuan di daerah Maluku pada tahun 1950, pemberontakan pemerintah revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra, yang kemudian bergabung dengan gerakan Pembangunan Semesta(Permesta).

Dalam periode lima tahun pertama pemerintahan Soekarno (1945-1949) Indonesia memiliki dua Undang-Undang Dasar, yaitu UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 dan UUD Republik Indonesia Serikat tertanggal 27 Desember 1945. Hal itu terjadi demikian, karena Negara Republik Indonesia Serikat(RIS) hasil dari perundingan meja bundar di Den Haag Belanda, dimana melaluinya Belanda ingin melemahkan kedudukan Republik Indonesia, juga memiliki Undang-Undang Dasarnya sendiri. Pancasila sebagaimana dicantumkan dalam pembukaan UUD 1945, ia dicantumkan juga dalam pembukaan UUD RIS sebagai dasar negara. Nampaknya keadaan yang demikian ini, membuat Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno di periode 1950-1959, memberlakukan Undang-Undang Dasar sementara (UUDS) yaitu Undang-Undang Dasar 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Dalam pembukaan UUDS, Pancasila tetap diterima sebagai dasar negara. Penamaan UUD sementara untuk UUD 1950 agaknya mengindikasikan bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia menaruh harap Majelis Konstituante hasil pemilihan umum 1955, akan membuat Undang-Undang Dasar yang baru dan permanen.

Sebelum pemilihan umum digelar, Pancasila mendapat dukungan yang kuat dari berbagai komponen bangsa. Lambang nasional yang berbentuk Garuda telah disetujui pada tahun 1951 dengan lambang Pancasila dikalungkan pada lehernya. Pada tahun 1951

juga,Angkatan Bersenjata merumuskan sumpah prajurit. Dalam sumpah prajurit tersebut antara lain dinyatakan bahwa seorang prajurit Indonesia adalah seorang yang berdiri di atas Pancasila sebagai ideologi negara, pendukung yang bertanggung jawab dan juga pelindung Pancasila sebagai ideologi Indonesia.Angkatan Bersenjata menempatkan dirinya sebagai pendukung kuat Pancasila. Pancasila juga diterima sebagai satu-satunya dasar oleh beberapa partai kecil yang baru berdiri.83

Pada masa administrasi Soekarno di periode 1950-1959, bahkan berlanjut sampai tahun 1962, aneka gerakan dari kelompok Darul Islam, seperti gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan pada tahun 1950, Gerakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tahun 1951, Gerakan Tentara Islam Indonesia di Jawa Tengah padatahun 1951, Gerakan Daud Beureueh di Aceh pada tahun 1953,84tetap berusaha untuk mengganti Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Usaha itu mereka lakukan baik dengan jalan kekerasan maupun melalui jalur legal dalam persidangan Konstituante(1957-1959) di Bandung. Waktu perdebatan dalam Konstituante tentang dasar negara, semua partai Islam sudah bulat menyuarakan satu cita-cita memperjuangkan ajaran dan hukum Islam menjadi dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia. Perdebatan tentang dasar negara ini mengalami jalan buntu, sebab baik golongan yang mempertahankan Pancasila sebagai ideologi Negara maupun golongan yang menghendaki Islam sebagai ideologi Negara, tidak mencapai mayoritas dalam pemungutan suara. Pemerintah memang mengusulkan supaya, Konstituante mengesahkan UUD 1945, namun usaha kembali ke UUD 1945 juga mengalami kegagalan, walau sudah sampai tiga kali diadakan pemungutan suara. Keadaan yang sangat kritis secara politis inilah yang mendorong Presiden Soekarno untuk menggunakan hak darurat negara mengadakan Dekrit Presiden Indonesia kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959.

Hal yang juga terjadi pada periode 1950-1959 dari pemerintahan Soekarno, adalah fakta bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin menguat di Indonesia. Soekarno merangkul dan banyak memakai orang-orang dari PKI melaksanakan kebijakannya. Hal itu dilakukan Soekarno, agaknya karena pada masa itu PKI adalah partai yang kuat dan memiliki banyak kader yang militan. Sangat bisa jadi, Soekarno bertimbang bahwa PKI dapat dipakai dan diajak bekerjasama untuk menentang penjajahan Belanda di Irian Barat.85 Strategi Soekarno yang mendekat kepada PKI ini, menimbulkan rasa tidak senang dan kekhawatiran

83A.M.W.Pranarka,Sejarah Pemikiran . . . , 91-93. 84

J. Kristiadi,Sejarah Perkembangan . . . , 611.

85Sajuti Melik, “Perkenalan Saya dengan Bung Karno”,80 Tahun Bung Karno(Jakarta:Pustaka Sinar

dari beberapa kelompok masyarakat. Ketidaksenangan termaksud tercermin pada sikap dari beberapa komponen bangsa seperti, Partai Katolik menolak konsepsi Presiden pada tanggal 21 Pebruari 1957 karena Partai Katolik tidak mau duduk dalam satu kabinet dengan orang- orang PKI.86 Demikian juga beberapa Sinode Gereja KristenProtestan seperti Gereja Masehi Injili Minahasa dan Huria Kristen Batak Protestan menulis keprihatinan terhadap perkembangan ajaran komunis.87

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memang telah menghentikan perdebatan mengenai dasar negara di dalam sidang Konstituante. Tetapi kontroversi mengenai dasar negara belum berakhir. Tidak lama berselang sesudah dekrit Presiden, kedudukan Pancasila dipermasalahkan dengan dimajukannya persoalan tentang kedudukan Piagam Jakarta. Masalah ini muncul sebab ada pendapat yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta harus memiliki kedudukan hukum sebagai kaidah fundamental negara.88 Merespon persoalan ini, Partai Kristen mengemukakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah memiliki kedudukan sebagai dokumen sejarah saja, bukan sebagai dokumen yang mempunyai kekuatan hukum. Pandangan dari Partai Kristen ini juga memperlihatkan bahwa, kedudukan Piagam Jakarta hanya disebutkan di dalam konsiderans, tidak di dalam dictum.89Kontroversi mengenai dasar negara yang belum berakhir ini, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi dan religiositas Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 belum diterima secara benar oleh seluruh masyarakat Indonesia. Beberapa golongan masih berkeinginan untuk menafsirkan Pancasila menurut ideologi kelompoknya masing-masing. Keadaan yang demikian ini berpotensi menimbulkan pertentangan ideologis diantara anak bangsa.

Bertolak dari asumsi dan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya pertentangan ideologis diantara anak bangsa yang justru dipicu oleh kehidupan partai, maka pemerintahan Soekarno pada tanggal 31 Desember 1959 mengeluarkan Penpres No.7 tahun 1959 tentang syarat-syarat bagi kepartaian. Syarat-sayarat bagi kepartaian tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, partai harus menerima dan mempertahankan asas dan tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 yang memuat dasar-dasar negara

86G. Moedjanto, “Pandangan Khatolik Dan Sejarah Demokrasi di Indonesia”,

Himpunan materi saresehan Dewan Riset Nasional ke IV (Jakarta: 1989),138.

87

Dewan Gereja Indoneia,Warta Pekerjaan Badan Pekerja DGI dari Juli 1953-Juli 1956 (Jakarta: DGI), 21-22.

88Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Dan Sejarah Konsensus Nasional Antara

Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983), 116-128.

89J. C. T. Simorangkir, “Tentang Anjuran Untuk Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,

yaitu:Ketuhanan Yang Maha Esa,Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, program kerja berdasarkan Manifesto Republik Indonesia. Ketiga, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga harus dengan tegas dicantumkan organisasi lain yang mendukung, dan atau bernaung di bawah partai politik. Keempat, dalam memperjuangkan kegiatan harus menggunakan jalan damai dan demokratis. Kelima, partai harus mempunyai cabang yang tersebar paling sedikit seperempat jumlah Daerah Tingkat (Dati) I dan jumlah cabang minimal seperempat jumlah Dati II di seluruh Indonesia. Keenam, partai tidak boleh menerima orang asing sebagai pengurus maupun bantuan dari orang asing. Ketujuh, Presiden berhak mengawasi dan memerintahkan untuk memeriksa tata usaha, keuangan dan kekayaan partai-partai.90

Syarat-syarat kepartaian seperti tersebut di atas, pada periode 1959-1965 dari pemerintahan Soekarno, ternyata belum mampu menciptakan politik yang stabil. Hal ini terjadi demikian, agaknya karena masyarakat telah terlanjur masuk kedalam kotak-kotak golongan yang berorientasi kepada ideologi kelompok bukan kepada ideologi Indonesia. Keadaan yang demikian, menimbulkan pertentangan di antara anak bangsa. Pertentangan yang terjadi itu tidak hanya di antara partai-partai politik, tetapi juga di antara organisasi- organisasi masyarakat yang bernaung di bawah partai-partai politik. Pertentangan- pertentangan adu kekuatan di dalam masyarakat semakin lama semakin tajam dan meningkat menjadi pemberontakan. Salah satu pemberontakan dimana beberapa tokoh Partai Politik Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia terlibat, adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok anak bangsa yang bermaksud memisahkan diri dari negara Republik Indonesia dan ingin mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sehubungan dengan terlibatnya beberapa tokoh dari Partai Politik Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dalam pemberontakan itu, maka melalui Keppres No.200 dan 201 tahun 1960, kedua partai tersebut dibubarkan.91

Dengan dibubarkannya Partai Masyumi, hubungan Soekarno dengan beberapa kekuatan politik-politik Islam agak renggang. Sementara itu, kendatipun Partai Naional Indonesia adalah partai terbesar namun karena sedang ada dalam perpecahan, maka Partai Komunis Indonesia menjadi partai politik terkuat di Indonesia pada masa lima tahun terakhir pemerintahan Soekarno. Walaupun keadaannya demikian, Soekarno tetap setia kepada cita-

90J.Kristiadi, Sejarah Perkembangan . . . , 614-5. 91Ibid., 615.

citanya untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan yang secara ideologis berbeda bahkan bertentangan, menjadi satu kekuatan melalui konsep nasional agama dan komunis (NASAKOM). Dalam konsep NASAKOM Soekarno berkeyakinan dan berharap bahwa meskipun masing-masing golongan mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri, semua golongan tersebut dapat dipersatukan guna mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kemudian dalam rangka mengajak rakyat untuk menyelamatkan dan melanjutkan revolusi, Soekarno dalam pidatonya pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dengan judul “Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit: Jalannya Revolusi Kita”, mengkumandangkan Manifestasi Politik: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia (MANIPOL USDEK). Menurut Soekarno,MANIPOLUSDEK adalah proyeksi daripada Pancasila. Ia merupakan satu kesatuan dengan Pancasila. Lebih jauh Soekarno menegaskan bahwa MANIPOL USDEK adalah progresif kiri yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat banyak, dalam semangat gotong royong.92

Upaya Soekarno sendiri, untuk menggalang semua kekuatan bagi persatuan bangsa, nampak nyata dalam amanat yang disampaikannya, pada Sidang Raya V Dewan Gereja- Gereja di Indonesia yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1964. Melalui amanatnya yang berjudul “Tudjuan Revolusi Indonesia Paralel dengan Tudjuan Agama Kristen”, Soekarno ingin komunitas Kristiani Indonesia berpartisipasi aktif dalam revolusi yang berlangsung di Indonesia.93Upaya Soekarno untuk menggalang semua kekuatan bagi persatuan bangsa juga terlihat jelas dalam sikapnya yang bersahabat terhadap beberapa institusi Islami seperti Yayasan Api Islam yang berdiri tahun 1964, yang memiliki arah pikiran sejalan dengan konsep NASAKOM, bahwa untuk mencapai kebebasan manusia, makhluk ciptaan Allah meliputi semua umat manusia, baik Islam maupun bukan, harus membentuk persatuan dan solidaritas.94

Konsep NASAKOM, MANIPOL USDEK dan posisi PKI yang seolah-olah berperan sebagai pembela Soekarno, dipakai oleh PKI sebagai batu loncatan untuk memperjuangkan cita-citanya. Berlindung dibalik citra baiknya di mata Soekarno, PKI beserta ormas-ormasnya meningkatkan aktivitas politiknya yaitu memperluas pengaruh ideologi yang dianutnya di

92Sukarno, Amanat Proklamasi: Pidato Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jilid III

(Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno,1986), 145.

93

Dewan Gereja Indonesia, Jesus Kristus Gembala Jang Baik(Djakarta: DGI, 1964), 343-344

94Howard M.Federspiel, Soekarno dan Apolog-Apolog Muslimnya”, Jurnal Ulumul Quran (II/1990

kalangan masyarakat. PKI semakin berani melakukan tekanan-tekanan terhadap kelompok nasionalis dan agamais, serta pada waktu yang bersamaan berusaha meningkatkan pengaruhnya kepada Soekarno.95Dalam suasana yang demikian, kedudukan Pancasila sebagai religiositas Indonesia menjadi semakin kabur. Pancasila sebagai kesadaran dankonsensus bersama Indonesia telah tergantikan oleh NASAKOM dan MANIPOL USDEK, yang dirasakan sebagai ideologi baru dengan fungsi kritis yang lebih nyata dibandingkan dengan Pancasila. Dalam keadaannya yang demikian, walau Pancasila banyak dibicarakan, pada masa lima tahun terakhir pemerintahan Soekarno, namun secara formal, pemahaman dan penghayatan akan Pancasila telah menjadi suatu interpretasi, yang bila dicermati secara kritis sesungguhnya pemahaman dan penghayatan itu, tidak lagi sama dengan Pancasila.96

Bahwa pemahaman dan penghayatan PKI tidak lagi sama dengan Pancasila, sebagaimana terlihat dalam tindakannya, melakukan tekanan-tekanan terhadap kelompok nasionalis dan agamais, menampak juga dalam aksinya mendalangi usaha kudeta dalam gerakan 30 September 1965. Mengingat fakta-fakta yang terkumpul banyak mengindikasikan keterlibatan PKI dalam usaha kudeta itu, maka kelompok nasionalis dan agamais merapatkan barisan, kemudian menyatukan pendapat untuk menuntut pembubaran PKI oleh Presiden Soekarno. Atas tuntutan komponen-komponen bangsa tersebut, maka Preiden Soekarno mengeluarkan surat perintah pada tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) diberikan kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, dalam menjamin stabilitas keamanan demi kelancaran pemerintahan dan revolusi. Berdasarkan surat perintah tersebut, maka Jenderal Soeharto pada tanggal 12 Mare 1966 atas nama Presiden/Panglima tertinggi mengeluarkan keputusan Presiden nomer: 1/3/1966 yang isinya menyatakan pembubaran PKI97. Terkait dengan keputusan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Sidang Umum-IV telah mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomer: XX/MPRS/1966, tentang Pancasila98 sebagai satu-satunya sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, dan Ketetapan MPRS Nomer: XXV/MPRS/1966. yang isinya memperkuat keputusan Presiden Nomer: 1/3/1966 tentang pembubaran PKI dan pernyataan

95

Alfian,Komunikasi Politik Da n Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 40-1.

96A.M.W.Pranarka, Sejarah Pemikiran . . . , 246. 97I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila . . . , 119-120. 98

Pancasila yang dimaksud oleh Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 ialah Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, A. H. Nasution, Keteta pan 2 MPRS Tonggak Konstitusionil Order Baru (Djakarta: Pantjuran Tujuh, 1966), 133-151.

sebagai partai terlarang, serta meningkatkan keputusan Presiden termaksud menjadi ketetapan MPRS.99

Seiring dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia, bahkan dinyatakannya sebagai partai terlarang di Indonesia, maka runtuhlah konsep NASAKOM dan MANIPOL USDEKnya Soekarno, dan berakhir pula masa pemerintahan Soekarno.Kesadaran dan konsensus bersama Indonesiasebagaimana tertuang dalam Pancasila, senyatanya memang adalah sebuah titik berangkat dan titik tujuan Indonesia untuk mewujudkan: kemanusiaan, persatuan, dan kesetaraan. Pada jaman Soekarno nilai-nilai ini memang sudah dipahami dan dihayati sebagai ideologi bangsa. Namun karena pemerintahan Soekarno agak lengah dan terkesan sangat mempercayai partai-partai, ternyata partai-partai politik di Indonesia, tidak serta merta dengan sendirinya menghidupi kesadaran dan konsensus bersama Indonesia itu, tetapi justru mereka lebih berorientasi kepada ideologi dan kepentingan kelompok mereka masing-masing, bahkan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Walaupun ada banyak tantangan menghadang dan mencoba untuk merobohkannya, Pancasila sebagai sebuah sintese nilai-nilai luhur bangsa (moralitas bangsa) dan kesepakatan politis Indonesia berupa : kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan, telah membuktikan kesaktiannya bahwa bila nilai-nilai Pancasila itu dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten akan sanggup menyelamatkan Indonesia dari kehancuran dan ketiadaannya.100

Dokumen terkait