• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abdurrrahman Wahid yang biasa disapa dengan Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia pada waktu-waktu awal Indonesia memasuki masa Reformasi. Pada masa-masa awal Reformasi yang dimulai sejak tanggal 21 Mei 1998, secara evolusioner gaung Pancasila agak terbenam oleh teriakan-teriakan kaum reformis, sehingga keran kebebasan terbuka lebar, nyaris tidak ada filter dalam mengekspresikan kebebasan berpendapat, menulis, dan berkarya. Etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara semakin memudar dan luntur, tergerus oleh semangat reformasi yang berlandaskan kebebasan. Menghujat para pejabat, membakar foto pejabat Negara dan menghancurkan fasilitas umum, dianggap reformis bahkan dipandang sebagai pejuang. Dalam keadaan bangsa yang seperti itu, ketika memberi sambutan pada waktu pelantikkannya sebagai Presiden ke-4 pada tanggal 20 Oktober 1999, Gus Dur mengatakan bahwa demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi. Dalam pidato itu, Gus Dur mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menjunjung tinggi demokrasi dalam pengertiannya yang benar, karena hanya dengan cara itu, menurut Gus Dur, Indonesia dapat menegakkan kedaulatan hukum, kebebasan, persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang perbedaan keturunan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan agama114. Dari kalimat Gus Dur yang demikian ini, tampak jelas bahwa dia mengajak seluruh komponen bangsa, untuk memahami dan menghayati Pancasila sebagai nilai-nilai keindonesiaan yang tidak membunuh demokrasi, tetapi justru memeliaranya, lewat pemeliaraan hak-hak asasi manusia dan penegembangan struktur masyarakat yang adil, sebagai jalan untuk mengagungkan bahkan mengutamakan martabat kemanusiaan.115

Terkait dengan posisi Islam di Indonesia, Gus Dur memaparkan pendiriannya sebagai berikut: Pertama, Islam harus secara kreatif dan substantif direinterpretasi atau direformulasi dalam menjawab kehidupan modern. Kedua, dalam konteks keindonesiaan, Islam tidak seharusnya menjadi agama negara. Ketiga, Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif,

114

Abdurrahman Wahid, Pidato Presiden Terpilih di Hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 20 Oktober 1999.

demokratis dan pluralistik daripada menjadi ideologi negara yang eksklusif.116 Dalam mengelaborasi pendiriannya ini, Gus Dur mengemukakan bahwa formalisasi Islam di Indonesia, dalam arti mewujudkan hukum Islam secara formal dalam negara Indonesia, akan mengancam kebersamaan umat Islam Indonesia dan kebersamaan bangsa Indonesia. Hal itu dikatakan demikian oleh Gus Dur karena fondasi kehidupan Indonesia adalah pada asas pluralitas. Bertolak dari pendirian dan pandangannya ini, ketika mendengar beberapa suara yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, Gus Dur menilai bahwa munculnya suara-suara yang demikian itu adalah karena terjadinya penyempitan pandangan mengenai Pancasila itu sendiri.117Dari sini kita bisa melihat bahwa Gus Dur sebagai presiden dan sekaligus seorang Muslim yang taat, ingin mengajak seluruh bangsa untuk tetap memahami, mengakui dan mengaktualisasikan Pancasila sebagai tiang penyangga kehidupan berbangsa.

Tatkala berbicara tentang peranan Islam dalam berindonesia, Gur Dur menegaskan bahwa fungsionalisasi Islam haruslah dalam konteks bahwa Islam menjadi alternatif penafsir Pancasila, bukan alternatif ideologi. Dalam posisinya yang demikian, menurut Gus Dur, Islam memiliki fungsi yang sama dengan semua agama Indonesia lainnya, dengan nasionalisme, dan dengan sosialisme, yaitu sebagai penafsir dan pengaktualisasi Pancasila. Oleh karena begitu posisi semua komponen bangsa dihadapan Pancasila, maka yang patut dilakukan adalah bagaimana ikatan moral yang telah disepakati bersama yang bernama Pancasila, ditafsirkan dan diwejahwantahkan oleh masing-masing identitas keagamaan, identitas kebangsaan dan identitas sosialisme. Berdasarkan pada posisi dan fungsi semua komponen bangsa atas Pancasila seperti termaksud di atas, maka bagi Gus Dur yang patut menjadi ukuran legal untuk diberlakukan secara formal dan menjadi patokan dalam mengaktualisasikan Pancasila, adalah bukan penafsiran dan pemaknaan oleh pemerintah atas Pancasila, tetapi oleh seluruh komponen bangsa.118Pendirian dan sikap Gus Dur yang demikian ini menunjukkan bahwa dia ingin mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk memposisikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan yang adalah nilai-nilai keutamaan Indonesia itu, sebagai jalan bersama bagi Indonesia dalam meraih kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

116John L. Esposito dan John O. Voll, Makers of Contemporary Islam (Inggris: Oxford University

Press, 2001), 206.

117

Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda Islam Kita:Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 75-89.

Terkait dengan kesejahteraan bersama seluruh rakyat Indonesia, Gus Dur menunjukkan bahwa orientasi keislaman sesungguhnya adalah kesejahteraan umum. Kesejahteraan bersama, kata Gus Dur, telah dari sejak dahulu menjadi pegangan dan gerakan Islam di Indonesia. Berangkat dari kenyataan ini, menurut Gus Dur, gugurnya Piagam Jakarta dari Undang-Undang Dasar 1945, adalah preseden yang sangat berharga. Alasan Gus Dur berpandangan demikian, adalah karena muatan Piagam Jakarta sangat kental dengan nuansa primordial Islami, dan tidak memiliki jaminan akan kesejahteraan umum. Tentang Pancasila dan UUD 1945, oleh Gus Dur, dikatakan sangat sejalan dengan prinsip dasar agama Islam yang memang mencita-citakan hadirnya kesejahteraan umum dalam masyarakat. Kalimat Gus Dur yang demikian ini, bisa diartikan bahwa menurut Gus Dur Pancasila dan Undang undang Dasar 1945 sangat Islami secara teologis.119Pandangan Gus Dur yang demikian ini, tidak keliru untuk ditafsirkan sebagai sebuah seruan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk memposisikan Pancasila sebagai keagamaan bersama seluruh agama Indonesia.

Melanjutkan pandangannya di atas, Gus Dur mengingatkan bahwa agama-agama Indonesia patut mengembangkan kemampuan untuk menghargai perbedaan. Gus Dur berpesan demikian, karena menurut dia, hanya dengan mengembangkan kemampuan untuk menghargai perbedaan itu, sebuah bangsa besar akan terbentuk.120 Kemudian lebih jauh, Gus Dur mengemukakan bahwa dalam menghargai perbedaan, kita harus menanggalkan klaim kebenaran mutlak. Dalam memposisikan Pancasila sebagai keagamaan Indonesiaan, menurut Gus Dur masing-masing agama yang pada berbeda, sama-sama melihat bahwa nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, tidak bertentangan dengan aspirasi keagamaan semuaagama.121 Implikasi dari pandangan Gus Dur ini adalah bahwa Pancasila bukan milik satu agama. Ia adalah milik semua agama. Di dalam Pancasila semua agama Indonesia yang pada berbeda tidak bertentangan. Sekalipun Pancasila bukan milik pribadi dari masing-masing agama namun milik bersama, nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan tidak bertentangan dengan ajaran dari masing-masing agama. Oleh karena prinsip-prinsip ajaran dari masing-masing agama tidak berseberangan dengan Pancasila, maka bila kita mempraktekkan nilai-nilai Pancasila, secara tidak langsung kita juga mengamalkan prinsip-prinsip ajaran agama kita. Dengan melakukan teologisasi terhadap Pancasila seperti tergambar di atas, Gus Dur mau seluruh rakyat Indonesia mencintai dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan

119

Abdurrahman Wahid, Islamku,Islam Anda . . . , 21-22.

120Abdurrahman Wahid, Gus Dur Bertutur (Jakarta: Proaksi, 2005), 31. 121Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda . . . , 349.

sebagai inti dasarkeindonesiaan yang selaras dengan prinsip-prinsip ajaran semua agama Indonesia.

Meski ada sedikit perbedaan dalam menterjemahkan Pancasila, baik Soekarno, Soeharto maupun Gus Dur memiliki kesamaan. Mereka bertiga melihat Pancasila dan Indonesia seperti sekeping mata uang. Keduanya, yaitu Pancasila dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur sama-sama menempatkan Pancasila sebagai religiositas Indonesia yang berfungsi untuk melahirkan, merawat dan menyelamatkan Indonesia. Bahwa demi untuk keselamatan bangsa, sehingga dalam menjalankan Pancasila, Pancasila difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan, sangat kuat terasa pada masa pemerintahan Soeharto dan Soekarno. Di masa Gus Dur gaung Pancasila sebagai alat legitimasi kekuasaan tidak sekeras pada jaman Soeharto dan Soekarno. Gus Dur lebih menekankan pada partisipasi rakyat untuk menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam religiositas Indonesia yakni kemanusiaan, kesatuan, dan kesetaraan. Pancasila dengan nilai- nilainya yang demikian ini, oleh Gus Dur dijadikan garansi dalam merawat dan menumbuh kembangkan identitas dan keberadaan Indonesia.

Berdasarkan pada sejarah perjalanan bangsa dalam mengaktualisasikan Pancasila, dapat disimpulkan bahwa sumber otoritas transendental Indonesia, berupa pemuliaan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran dari masing-masing agama, sehingga di bawah kepemimpinan negara, setiap warga negara patut mengaktualisasikan pemuliaan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan dalam misinya pada kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa guna untuk mengantar bangsa Indonesia mewujudkan kehendak umum mereka yakni kesejahteraan batin lahir bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dokumen terkait