• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aborsi Setelah Ditiupkan Ruh Menurut Hukum Islam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT HUKUM ISLAM

B. Aborsi Setelah Ditiupkan Ruh Menurut Hukum Islam

Aborsi tidak terlepas dari kondisi sebelumnya ditiupkannya ruh kejanin, yaitu sebelum empat bulan pertama kehamilan, atau sesudahnya. Karena aborsi setelah peniupkan ruh menjadi kesepakatan diantara para fiqih. Sebaiknya memulai dengan penjelasan hukumnya, dilanjutkan dengan penjelasan tentang aborsi sebelum ditiupkannya ruh kedalam janin.

Mengenai hukum menggugurkan kandungan ini, tidak ada nash yang secara langsung menyebutkannya, baik Al-Qur’an maupun Hadits. Sedangkan yang dijelaskan di dalam kitab Allah adalah tentang haramnya membunuh orang tanpa hak, mencala perbuatan itu dan menghukum pelakunya dengan hukuman abadi di Neraka Jahannam.87

Tidak ada perselisihan diantara ahli fikih seputar pengharaman aborsi setelah ditiupkannya ruh ke janin, bahwa aborsi unsur sengaja dalam aborsi dianggap sebagai tindak kejahatan yang mengakibatkan hukuman, karena aborsi ini menghilangkan nyawa anak Adam yang hidup. Ada banyak dalil tentang haramnya menghilangkan nyawa anak Adam di dalam Kitab, Sunnah dan Ijma’ ulama.88

87

Amhar Nasution, Aborsi Menurut Pandangan Kapitalis Dan Islam, Citra Mandiri, Medan, 2009, hlm. 21.

88

Abbas Syauman, Hukum Aborsi Dalam Islam, Cendekia Sentral Muslim, Jakarta, 2004, hlm. 66

Seputar aborsi dan sebab-sebab, dapat disimpulkan dari pendapat para ulama fiqih, bahwa jika kandungan telah menetap pada rahim salam 120 hari atau empat bulan, maka baik Al-Qur’an maupun Sunnah telah menjelaskan ia telah bernyawa di usia tersebut. Dengan demikian ia telah menjadi manusia yang memiliki hak-hak sebagai berikut:

1) Ia berhak menerima wasiat 2) Ia berhak menerima wakaf

3) Ia berhak menerima harta pustaka dari pewarisanya

4) Nasabnya berhak ditetapkankepada kedua orang tuanya dan silsilah lain yang berhubungan dengan orang tuanya sesuai dengan ketentuan yang jelas.

Para fuqaha sepakat atas haramnya pengguguran janin setelah janin berusia empat bulan di dalam perut ibunya, karena pada usia itu telah ditiupkan ruh kepadanya, seperti yang diberitakan oleh Rasulullah SAW di dalam Haditsnya, Seorangjanin, jika telah ditiupakan ruh kepadanya akan menjadi manusia dan manusia tidak boleh dibunuh tanpa sebab-sebabsyar’i, padahal tidak ada satu pun sebab-sebab syar’i yang membolehkan pengguguran janin pada fase ini.

Hukum menggugurkan kandungan pada waktu janin sudah diberi nyawa, saatjanin berusia 120 hari dantahap setelah pemberian ruh, seluruh ulama sepakat mengharamkannya kecuali ada alasan yang dibenarkan oleh syar’i.Menurut penilaian Syeikh Mahmud Syaltut, Yusuf Al-Qardhawi dan ulama Mesir lainnya, bahwa tindakan itu dipandang sebagai tindak pidana (jarimat) yang diharamkan. Pengguguran seperti itu sama dengan pembunuhan terhadap manusia yang telah

sempurna wujudnya, baik yang melakukannya itu si wanita itu sendiri atau orang lain, seperti dengan bantuan dokter, bidan, paramedis, dukun, atau yang lainnya.

Said Ramadhan Al-Buthi menyatakan, seluruh ulama sepakat pengharaman aborsi sesudah usia kandungan 120 hari kecuali dalam kasus yang ada alasan mendesak seperti ancaman terhadap nyawa ibu, merugikan anak yang sedang menyusu, atau diduga anak yang dikandungnya akan lahir cacat. Hal ini dipengaruhi oleh adanya tiga hak, yaitu:

1. Hak janin. Sebelum 40 hari, kehamilan masih merupakan suatu tetes benih hidup yang tanpa bentuk atau nyawa. Adapun setelah pembentukan, setelah penyawaan maka aborsi dilarang.

2. Hak orang tua, mereka mempunyai hak untuk melanjutkan atau mengakhirinya dalam 40 hari atas persetujuan bersama. Namun apabila aborsi itu akan membahayakan ibu maka tidak diperbolehkan.

3. Hak masyarakat. Ini berhubungan dengan konsekwensi umum dari aborsi. Apabila hal itu menjadi kelaziman (melampaui batas), masyarakat mempunyai hak untuk turun tangan.

Menurut ulama Indonesia antara lain menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia dinyatakan bahwa pengguguran kandungan termasuk MR(Menstrual Regulation) dengan cara apa pun dilarang oleh jiwa dan semangat ajaran Islam (haram), baik di kala janin sudah bernyawa (umur empat bulan dalam kandungan) belum, karena perbuatan itu merupakan pembunuhan terselubung yang dilarang oleh syariat Islam, kecuali untuk menyelamatkan jiwa si ibu.89

89

Hukumpidana Islam, pengguguran yang dilakukan pada waktu janin sudah diberi nyawa (Nafkh Al-Ruh), saat janin berusia 120 hari dan tahap setelah pemberian ruh, diharamkan karena merupakan tindakan penganiayaan terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya, dan merupakan suatu tindakan kriminal yang mewajibkan diyat (tebusan) yang besarnya adalah satu ghurrah (seorang budak laki-laki atau perempuan), yang nilainya adalah seperduapuluh dari diat manusia sempurna (100 unta).90

Menggugurkan kandungan dengan sengaja setelah usia janin lewat 120 hari tanpasebab yang dibenarkan oleh Agama hanya semata-mata kerena hamil di luar nikah atau tidak mau mempunyai anak lagi, maka hukumnya tidak syak lagi adalah pembunuhan. Membunuh manusia yang sedang atau baru saja hidup Zhahir dari pendapat para fuqaha menunjukkan, bahwa mereka mengharamkan pengguguran kandungan setelah peniupan ruh, hingga jika keberadaan janin itu membahayakan ibunya. Bahkan sebagian dari meraka mengatakannya secara terus terang, seperti Ibnu Najib Al-Hanafi mengatakan, “Seorang wanita hamil yang terancam bahaya karena anak yang ada di dalam perutnya, anaknya tidak boleh digugurkan, tetapi jika anaknya sudah mati di dalam perut tidak apa-apa digugurkan. Dan jika masih hidup, tidak diperbolehkan, karena menghidupkan seorang jiwa dengan membunuh jiwa lain tidak diperkenankan di dalam syariat.”

PerkataanIbnu Najim, Ibnu Abidin mengomentari, “tidak boleh digugurkan, karena kematian ibunya masih diragukan, maka tidak boleh membunuh manusia yang hidup karena perkara yang meragukan.

90

maskipun masih berada di dalam perut. Dan dalam keadaan yang pertama ini telah terjadi Ijma’ tentang haramnya.91

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”

Dalilnya adalah Hadits shahih riwayat Bukhari (no.6954) dan Muslim (8/44).

“Dari Abdullah (bin Mas’ud) ia berkata: telah menceritakan kepada kami Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “sesungguhnya salah seorang dari kamu dikumpulkan kejadiannya di perut ibunya salam empat puluh hari. Kemudian menjadi darah yang tergantung seperti itu. Kemudian enjadi sepotong daging yang tidak bergantung seperti itu. Kemudian diutus seorang Malaikat lalu ia meniupkan ruh kepadanya dan diperintah untuk mencatat empat kalimat: dicatat rizkinya, ajalnya, amalnya dan menjadi orang yang celaka atau bahagia...”

Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena hukum dasarnya adalah bahwa membunuh jiwa yang yang diharamkan secara syariat tidak boleh hukumanya dengan alasan apa pun. Karana Allah berfirman,

92

Tidakboleh membunuh jiwa yang suci untuk menyelamatkan jiwa orang lain, dan tidak halal bagi orang yang tidak mau mati lalu membunuh orang lain, walaupun dalam keadaan terpaksa. Para fuqaha tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Dan menurut Jumhur ulama, bahwa membunuh karena terpaksa harus dihukum Qishash. Mereka juga sepakat, tidak halal bagi orang yang terpaksa untuk membunuh orang lain untuk menyelamatkan dirinya dari kematian. Mereka mencontohkan, bahwa jika sebuah perahu akan tenggelam, sedangkan keselamatan kapal itu bisa terjadi jika sebagian penumpang dilemparkan kelaut, maka tidak boleh melemparkan sebagian dari penumpang perahu itu untuk

91

Abdul Hakim Bin Amir Abdat, Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti, Darul Qolam, Jakarta, 2002, hlm. 49.

92

menyelamatkan penumpang lainnya, sebanyak apa pun jumlah penumpangnya. Begitu juga tidak boleh bagi orang yang kelaparan memakan daging manusia hidup untuk menyelamatkan diri dari kematian.

Tampak bahwa para fuqaha ingin menempatkan kehormatan jiwa berada di atas darurat dan keterpaksaan serta tidak menjadikannya tunduk kepada kaidah syariat ketika terjadi pertentangan antara dua bahaya dan ketika terjadi pertentangan antara bahaya dan kemaslahatan.

Ruhditiupakan pada janin, berarti janin itu telah menjadi jiwa yang terhormat dan terjaga dari permusuhan terhadapnya, tidak bisa digugurkan oleh sebab apa pun, karena dia telah menjadi seperti anak yang dilahirkan.

Kementerianwakaf di Kawit membolehkan pengguguran janin (walaupun telah ditiupkan ruh kepadanya) jika itu merupakan jalan satu-satunya untuk menyelamatkan ibunya dari kematian. Karena menjaga kehidupan ibunya (jika keberadaan janin di dalam perutnya membahayakannya) lebih diutamakan, karena kehidupannya lebih dulu ada dan sudah ada secara meyakinkan.93

“Sesungguhnya dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) salain Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah maha pengampun, maha penyayang.

Allah SWT juga menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa barangsiapa terpaksa dan tidak melampui batas, dianggap tidak berdosa. Hal ini dikatakan dalam ayat berikut:

94

Pengguguran karena ada alasan darurat (alasan medis), seperti jika meneruskan dan mempertahankan kehamilan maka akan mengancam jiwa si ibu,

93

M. Nu’aim Yasin, Fiqih Kedokteran, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008, hlm. 233-234 94

menurut jumhur ulam Madzhab Hanafiyah, Malikiyat, Syafi’iyat, Al-Hanabilat, dan ulama-ulama kontemporer maka hukumya dibolehkan, dengan pertimbangan lebih mengutamakan keselamatan ibu. Artinya, membolehkan pengguguran dalam keadaan terpaksa guna menyelamtkan ibu. Dengan kata lain, Jumhur ulama membolehkan pelaksanaan aborsi guna menyelamatkan jiwa ibu dari ancaman. Kebolehan ini didasarkan pada kaidah hukum Islam:

“Melaksanakan darurat yang lebih ringan dari dua darurat dan lebih ringan dampak negatifnya.”

Kaidahhukum Islam juga dinyatakan:

“Apabila ada dua bahaya (resiko) yang berlawanan, maka harus dipelihara yang lebih berat mudharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan daruratnya.”

Kualitas kemudharatan ibu lebih besar dari kemudharatan janin, karena keberadaan janin mesih bersifat semu (spekulatif), sementara keadaan ibu sudah pasti dan jelas. Ibu adalah tiang rumah tangga, mempunyai hak hidup dan hak yang dilindungi oleh hukum. Menyelamatkansi ibu adalah lebih utama walaupun dengan mengorbankan janin. Penentuan adanya alasan ini harus berdasarkan keputusan dari dokter spesialis yang ahli bahwa mempertahankan kehamilan akan membahayakan si ibu , maka dibolehkan bahwa wajib hukumnya.95

Menentang pendapat para fuqaha klasik dalam masalah ini bukan urusan gampang, karena mereka bersadar kepada kaidah syariat yang kuat dan tidak ada pengecualian sama sekali di dalamnya, yaitu bahwa janin setelah peniupan ruh

95

menjadi jiwa yang terhormat di mata syariat, sehingga dia termasuk di dalam yang dimaksud oleh firman Allah,

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.”96

Kami melihat bahwa tidak ada jalan untuk memberikan keringanan dalam menggugurkan janin yang telah memiliki ruh untuk menyelamatkan ibunya dari Aspek pembuktian

Membunuh jiwa diharamkan menurut syari’ah, dan kehamilan setelah peniupan ruh merupakan jiwa yang dimuliakan, sehingga haram berbuat sewenang-wenang kepadanya.Kebenaran yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw adalah bahwa jiwa tidak bisa dibunuh tanpa hak kecuali jika terbunuh karena qishash, perzina muhshan, dan murtad dari Islam. Semua ini tidak akan terjadi pada janin sama sekali.

Kehidupan si ibu sudah jelas adanya secara meyakinkan. Namun alasan itu bisa dibantah, bahwa jika maksudnya adalah hidup si ibu ketika melahirkan, maka janin pun juga demikian halnya, karena janin itu telah ditiupkan ruh kepadanya dan untuk mengetahui hakikat kehidupan janin (setelah adanya kemajuan dalam dunia kedokteran) sangat memungkinkan secara mendetil. Tetapi jika dimaksud adalah adanya kehidupan pada masa mendatang hingga melahirkan, memang kehidupan janin lebih mudah terkena bahaya daripada ibunya. Namun alasan ini pun bisa disanggah bahwa tidak seorang pun dapat memastikan bahwa kehidupan ibunya bisa bertahan lama, begitu juga kehidupan janin. Kedudukankeduanya juga sama saja, sehingga tidak sah menyatakan bahwa kehidupan salah satu dari mereka dapat dipastikan secara meyakinkan.

96

kematian, kecuali dengan alasan bahwa kehormatan jiwa si ibu lebih tinggi daripada kehormatan jiwa si janin.

Pendapat-pendapat para fuqaha dalam masalah ini, kita dapat dapat menyimpulkannya menjadi dua hukum.

Pertama, tidak diwajibkan qishash bagi asal (ibu) bila membunuh janin, walaupun disengaja dalam direncanakan. Di antara alasan yang mereka kemukakan untuk mentapakan hukum ini adalah karena asal telah dijadikan oleh Allah sebagai sebab untuk mewujudkan cabang, maka tidak layak jika cabang menjadi sebab kematian asalnya.97

Pendapatfuqaha madzhab Hanafi tentang janin, bahwa jiwa janin yang masih berada di dalam kandungan tidak sama dengan dengan bayi yang sudah dilahirkan dalam beberapa segi. Merekamenganggap janin itu mempunyai jiwa, namun di sisi lain mereka tidak menyebutnya sebagai jiwa kerena dia adalah bagian daripada ibunya. Mereka beralasan bahwa selama janin masih berada di dalam perut ibunya, ia tidak mempunya taggung jawab penuh dan dinggap tidak memiliki hak apa-apa. Posisinyamasih sama dengan anggota badan ibunya. Akan Kedua sebagian besar fuqaha sepakat bahwa pembunuh janin tidak diqishash walaupun disengaja, walaupun janinnya lahir dalam keadaan mati, dan walaupun pekerjaan itu haram hukumnya.

Keduahukum ini (jika keduanya diambil semua) sudah cukup memberikan alasan bahwa kehormatan ibu lebih tinggi daripada kehormatan janin jika keduanya bertemu. Maka tidak ada jalan lain kecuali mengorbankan salah satu jiwa untuk menyelamatkan jiwa yang lain.

97

tetapi jika dia sudah hidup sendiri, maka dia bisa disebut jiwa. Dengan sebutan ini, maka dia baru mempunyai hak yang berupa warisan, nasab, wasiat dan sebagainya. Merekaada yang menamakan jiwa yang telah dilahirkan itu dengan jiwa yang mempunyai hak.

Penjelasan madzhab Hanafi tentang kepribadian janin di atas, maka kita bisa mengatakan bahwa ada perbedaan tingkat antara kehormatan ibu dan kehormatan janinnya, dan kita pun bisa memilih mana yang lebih didahulukan jika terjadi pertentangan antara kedua kehormatan tersebut. Mungkin adanya perbedaan tingkat kehormatan ini juga telah terdetik dalam pikiran pada fuqaha klasik. Mereka terlalu terpengaruh untuk tetap berpegang pada kaidah aslinya, sehingga mereka tidak punya cukup alasan untuk keluar darinya. Khususnya karena pengetahuan mereka tentang kedokteran tidak sampai pada tingkat yakni bahwa keberadaan janin itu di dalam perut ibunya dapat menyebabkan kematian ibunya dan jika digugurkan dapat menyebabkan hidupnya. Ibnu Abidin berpendapat, “Kematian si ibu masih meragukan, maka tidak boleh membunuh manusia hidup untuk suatu yang meragukan.”pemahaman yang dapat diambil dari pernyataan itu bahwa saendainya perkara itu tidak meragukan, berarti meyakinkan, maka boleh mengorbankan janin untuk menyelamatkan hidup ibunya. Perkembangan Dunia yang sekarang, para dokter bisa mengetahui keselamatan ibu itu secara pasti.98

Kaidahsyari’ah adalah, apabila antara dua kerusakan harus dipilih, maka hendaklah menjaga yang lebih besar di antara keduanya dengan memilih (melanggar) yang lebih ringan di antara keduanya. Melanggar kerusakan

98

(larangan) aborsi itu lebih ringan dibandingkan kerusakan akibat tidak mengaborsi karena menyebabkan kematian ibu dan janin.

Tidaksepatutnya terburu-buru mengaborsi janin yang telah ditiupkan ruh padanya hanya karena si ibu takut. Aborsitidak boleh kecuali ketika dipastikan kekhawatiran dan dharurahtertinggi, para dokter mampu mengeluarkan janin dari perut ibunya pada saat persalinan dengan cara apapun, dan mereka berada di antara dua pilihan antara mengorbankan janin atau ibunya, karena bila tidak, maka keduanya akan mati. Atau, ketika hamil dan sebelum waktu persalinan terjadi bahaya serius terhadap ibu jika janin tetap dikandung, sehingga mustahil untuk melangsungkan kehamilan hingga persalinan, walaupun dengan usaha menjaga kesehatan ibu. Semua ini tidak cukup dengan sekedar kemungkinan, meskipun kuat, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui.