• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III UNSUR PAKSAAN YANG DAPAT MENIMBULKAN

C. Adanya Unsur Paksaan Sebagai Alasan Pembatalan Akta

Apabila melihat alasan hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia No.3641 K/Pdt/2001 yang dalam putusannya membatalkan suatu akta Notaris, dalam hal ini Mahkamah Agung berpandangan bahwa penandatanganan akta notaris yang dilakukan oleh penggugat yang dalam keadaan terpaksa pada saat berada dalam tahanan tersebut merupakan suatu penyalahgunaan keadaan atau kesempatan, sehingga sebagai salah satu pihak dalam perjanjian yang telah disepakati itu dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Dengan demikian akibat hukum pada akta Notaris itu dapat dibatalkan, yang mana hal tersebut sesuai dengan Pasal 1321 jo. Pasal 1323 KUHPerdata.

Pokok permasalahan kasus tersebut adalah mengenai kedudukan seseorang yang sedang ditahan oleh pihak yang berwajib dalam hal ini Kepolisian dengan

121Ibid. 122Ibid.

sangkaan melakukan suatu tindak pidana korupsi dan perbankan serta pemalsuan, atas laporan Bank Artha Graha (Tergugat I). Selanjutnya Notaris sebagai (Tergugat IV) telah membuat akta-akta perjanjian dalam rumah tahanan antara Tergugat I dengan Penggugat, dengan adanya iming-iming dari pihak Tergugat I untuk membantu penangguhan penahanan dari Penggugat. Pada saat dalam rumah tahanan tesebut, Penggugat dimintakan untuk melakukan penandatanganan akta antara lain:

1. Akta Notaris No. 41, tanggal 29 Oktober 1997 yang isinya adalah mengenai pernyataan bahwa Penggugat masih mempunyai hutang kepada Tergugat I sebesar Rp.215.837.382.000,- dan yang ditentukari harus dibayar kepada Tergugat I hanya sebesar Rp.100.000.000.000,- yaitu dengan rincian:

a. Sebesar 20% atau Rp.20.000.000.000,- yang akan dibayar tunai

selambatnya 60 hari terhitung sejak dikabulkannya penangguhan

penahanan oleh yang berwajib.

b. Sebesar 80% atau Rp.80.000.000.000,- yang akan dibayar seketika dan sekaligus, selambatnya dalam waktu 180 hari sejak dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan.

2. Akta Notaris No. 42 tanggal 29 Oktober 1997 yang isinya merupakan penegasan dan perincian ketentuan yang dibuat Tergugat I pada akta No. 41 mengenai penjaminan utang dengan mencantumkan pihak ketiga lainnya

sebagai orang yang menjamin atas utang (borgtocht) Penggugat kepada

Tergugat I.

No. 42 yang mengganti penjaminan (borgtocht)dengan harta kekayaan milik Penggugat.

Selanjutnya tergugat I yang menyadari adanya kekurangan dalam akta perjanjian No. 41 dan 42 yang dapat disangkal atau tidak dilaksanakan oleh Penggugat, maka Tergugat I menyodorkan akta lain untuk ditandatangani yang tujuannya untuk digunakan menangkis penyangkalan tersebut dikemudian hari, yang kemudian dibuat akta Notaris No. 34 tanggal 26 Nopember 1997 yang isinya pernyataan bahwa Penggugat mengetahui dan menyetujui apa yang tersebut dalam akta 31 dan telah disepakati bersama diantara para pihak yang disebut dalam akta dan seberapa menyangkut dirinya akan melaksanakan sesuai dengan apa yang dimaksud di dalam akta tersebut.

Oleh karena Penggugat dalam keadaan frustasi yang sedang ditahan di kepolisian, dan karena adanya janji dari Tergugat I yang akan membantu untuk melakukan penangguhan tahanan di Kepolisian, maka pada akhrinya Penggugat dalam terpaksa menandatanani akta-akta tersebut.

Namun setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Penggugat dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari dakwaan. Selanjutnya karena merasa dirugikan atas pembuatan akta-akta tersebut, maka Penggugat mengajukan gugatan, yang pada pokoknya menyatakan untuk dibatalkan akta Notaris No. 41, 42, dan 31 karena akta tersebut dibuat dalam keadaan dimana Penggugat tidak bebas untuk

menyatakan kehendaknya dan tidak mempunyai pilihan lain. Pada saat

menandatangani akta tersebut maka Tergugat berjanji akan membantu untuk melakukan penangguhan tahanan.

Dalam gugatan yang diajukan Penggugat melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, putusan Pengadilan memenangkan Penggugat dan dalam putusan tersebut menyatakan bahwa akta Notaris No. 41, No. 42, No. 31 tanggal 29 Oktober 1997 dan tanggal 26 Nopember 1997 dinyatakan batal.

Atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangkan Penggugat, Tergugat I tidak menerima putusan tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Dalam putusannya membatalkan putusan Pengadilan Negeri dengan dasar bahwa Tergugat I hanya melaporkan saja kepada Ditserse Polda Metro Jaya tentang sangkaan korupsi oleh Penggugat.

Kemudian Penggugat menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung, dan oleh Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut dibatalkan, karena Mahkamah Agung menilai bahwa Pengadilan Tinggi dalam memutuskan perkara tersebut salah menerapkan hukum dan karenanya Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Penggugat dan menyatakan akta Notaris No. 41, No. 42, dan No. 31 batal demi hukum.

Selain itu, dasar-dasar pertimbangan alasan Mahkamah Agung RI

membatalkan akta Notaris tersebut atas dasar pertimbangan:

-Menimbang, bahwa keberatan‐keberatan yang disampaikan oleh Pemohon

Agung, oleh karena Pengadilan Tinggi telah salah dalam menerapkan hukum

terutama sekali dalam menilai tentang kebebasan berkontrak, dengan

pertimbangan sebagai berikut :

1. Bahwa, asas kebebasan berkontrak (membuat perjanjian) tidak bersifat mutlak, bahwa kedudukan para pihak dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya seolah‐olah perjanjian terjadi secara sepihak, dan mengingat sistem hukum perjanjian yang bersifat terbuka, maka pada waktu

perjanjian yang berlaku tidak hanya pada Kitab Undang‐Undang Hukum

Perdata dan atau Hukum Adat saja, tetapi nilai‐nilai hukum lainnya yang

hidup dimasyarakat sesuai dengan kepatutan, keadilan, prikemanusiaan dan atau larangan penyalahgunaan keadaan/kesempatan dan atau larangan penyalahgunaan ekonomi yang berlaku secara berdampingan dan saling mengisi sehingga menjadi suatu kesatuan.

2. Bahwa berpedoman atas keberatan‐keberatan Pemohon Kasasi/Terbanding/

dahulu Penggugat dapat dibenarkan, Penandatangan perjanjian dalam akta perjanjian No.41, No.42 oleh Pemohon Kasasi ketika ia berada didalam

tahanan, menurut Mahkamah Agung adalah terjadi karena ada

penyalahgunaan keadaan atau kesempatan, sehingga Pemohon Kasasi sebagai salah satu pihak dalam perjanjian‐perjanjian yang telah disepakati tersebut dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Akibat hukumnya Perjanjian yang dibuat dan tercantum dalam akta Perjanjian

No.41 dan Akta Perjanjian No.42 beserta semua perjanjian lainnya yang terbit atau berdasarkan atas kedua perjanjian itu harus dibatalkan;

3. Bahwa, sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata, maka dalam perjanjian dimana Penggugat/Pemohon kasasi tidak menjadi pihak, maka ia tidak terikat dengan perjanjian tersebut;

Adanya bukti-bukti tersebut diatas, maka telah jelas bahwa Tergugat I telah melakukan Penyalahgunaan keadaan dan kesempatan dalam melakukan perjanjian atau persetujuan kepada Penggugat dan bertentangan dengan tata krama dan kesusilaan atas dasar keadaan atau kedudukan yang tidak seimbang seiring terjadinya perjanjian atau persetujuan.

Dalam menyelesaikan kasus tersebut, pertimbangan yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam membatalkan akta notaris tersebut berlandaskan pada Pasal 1320, Pasal 1321 dan Pasal 1324 KUHPerdata.

Menurut Mahkamah Agung penandatanganan akta notaris yang dilakukan oleh Penggugat yang dalam keadaan terpaksa pada saat berada dalam tahanan itu merupakan suatu penyalahgunaan keadaan atau kesempatan, sehingga sebagai salah satu pihak dalam perjanjian yang telah disepakati itu dalam keadaan tidak bebas

untuk menyatakan kehendaknya.123

Selain itu, tergugat memanfaatkan keadaan penggugat untuk menandatangani akta-akta tersebut dengan cara memberi janji-janji kepada penggugat, bahwa setelah

penggugat menandatangani akta tersebut maka tergugat akan mengajukan

123 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3641K/Pdt/2001, Tanggal 11

permohonan tahanan luar. Oleh karena adanya tawaran tersebut maka penggugat dapat menyetujui untuk menandatangani akta itu, karena penggugat dalam posisi yang tidak menguntungkan dan adanya tawaran dari tergugat untuk sebuah kebebasan yaitu penahanan luar jika menandatangani akta tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1323 KUHPerdata menyatakan: “paksaan yang diakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1324 KUHPerdata dinyatakan bahwa:

Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.

Pengadilan menyatakan tindakan Notaris memaksa para pihak yang menandatangani akta diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum dengan pertimbangan perbuatan Tergugat IV (Notaris) telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Akibat adanya pembatalan suatu perjanjian, maka terhadap harta kekayaan yang telah diambil akan dikembalikan seperti dalam keadaan semula. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1452 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “pernyataan

batal yang berdasarkan adanya paksaan, penyesatan atau penipuan, juga

mengakibatkan barang dan orang yang bersangkutan pulih dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat”.

Dokumen terkait