DI DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI NO.3641 K/Pdt/2001)
TESIS
Oleh
MAHALIA NOLA POHAN
097011124/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DI DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG RI NO.3641 K/Pdt/2001)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
MAHALIA NOLA POHAN
097011124/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3641 K/Pdt/2001)
Nama Mahasiswa : Mahalia Nola Pohan
Nomor Pokok : 097011124
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum
Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : MAHALIA NOLA POHAN
Nim : 097011124
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : SUATU TINJAUAN TENTANG PEMBATALAN AKTA
NOTARIS YANG PENANDATANGANANNYA
DILAKUKAN DI DALAM RUMAH TAHANAN (STUDI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3641
K/Pdt/2001)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :MAHALIA NOLA POHAN
Notaris adalah pejabat umum yang oleh Undang-Undang diberikan kewenangan dan kepercayaan dari masyarakat untuk menjalankan sebagian kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis yang otentik dalam bidang hukum perdata. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memberikan kepastian hukum. Untuk itu Notaris dituntut agar selalu berusaha dalam koridor asas kehati-hatian dalam pembuatan suatu akta. Ketidakhati-hatian Notaris dalam membuat akta Notaris dapat mengakibatkan suatu akta dapat batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dapat mengetahui unsur-unsur yang dapat membatalkan suatu akta, sehingga Notaris dapat terhindar dari tuntutan-tuntutan atas pembatalan akta yang dibuat dihadapannya.
Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan
mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melihat putusan-putusan hakim. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati mengenai kecakapan seorang terdakwa atau tersangka, unsur-unsur suatu tindakan dalam
paksaan serta akibat hukum terhadap pembatalan akta Notaris yang
penandatangannya dilakukan di dalam rumah tahanan. Status seseorang sebagai terdakwa atau tersangka tidak mengakibatkan kehilangan haknya untuk melakukan perbuatan hukum dalam suatu akta Notaris. Sementara unsur-unsur yang dapat mengakibatkan pembatalan suatu akta dapat terjadi dikarenakan adanya unsur paksaan fisik dan paksaan psikologis, dimana salah satu pihak pada saat penandatanganan akta dalam keadaan tertekan. Sedangkan akibat hukum dari pembatalan suatu akta, maka Notaris dapat dikenakan berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi pidana apabila ternyata terbukti adanya unsur pidana dalam proses pembuatan akta, selain itu Notaris harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh para pihak.
Notary is a public official who is given an authority by the Law and trust by the members of society to implement part of State’s authority to make authentic written evidence in the field of civil law. The authentic act made by a Notary has perfect proving evidence and provides legal certainty. For this purpose, a Notary is required to always work based on the principle of caution in making an act. Notary’s carelessness in making an act can result in an act that can be cancelled by law. Therefore, in implementing his/her service, a Notary must know the elements that can annul an act, which the Notary can avoid the claims on the act made before him/her.
This is an analytical descriptive study with normative judical approach. The data for this study comprised primary and secondary data obtained through documentation study. The primary data were obtained through studying judge’s decisions and the secondary data were obtained through studying the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data obtained were then qualitatively analyzed.
Based on the result of this study, skills of a defendant or suspect, the elements of an act in force, the legal consequences of the cancellation of a notarial document signed in the penitentiary, were found out. Status of someone as a defendant or suspect does result in this his losing his right to perform legal acts in a notarial document. While the elements than can lead to an act cancellation can occur due to the elements of physical and psychological forces, in which one of the parties is in the state of depression an the time of signing the act. The legal consequence of an act cancellation is that the Notary may be subject to either civil administrative, civil and criminal penalties if the existence of criminal elements in the process of making the act is proven, and in addition, the Notary shall be responsible for any damages suffered by the parties.
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT dan shalawat
serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW berikut
keluarga, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, atas terselesaikannya penulisan
Tesis dengan judul “Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta Notaris Yang
Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan (Studi Putusan
Mahkamah Agung RI No.3641 K/Pdt/2001).”
Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk melengkapi syarat untuk memperoleh
gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan penuh kesadaran bahwa tiada satupun
yang sempurna di muka bumi ini, penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan
tesis ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih dengan keterbatasan
kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi.
Penulisan tesis ini tidaklah mungkin akan menjadi sebuah karya ilmiah tanpa
adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah ikut serta baik
langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini. Untuk itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku
Anggota Komisi Penguji dalam penelitian ini.
4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing
yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik
penulisan Tesis ini.
5. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun teknik penulisan
Tesis ini.
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Anggota Komisi
Pembimbing yang telah memberikan waktu dan bimbingan serta materi ataupun
teknik penulisan Tesis ini.
7. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH., MKn., selaku Anggota Komisi Penguji
dalam penelitian ini.
8. Seluruh Staff Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama
menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
restunya sehingga penulis dapat melanjutkan dan meyelesaikan pendidikan di
Program Study Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara.
10.Terima kasih kepada Abang dan Kakak, Muhammad Reinur Pohan, ST., MCP.,
Ledy Sharah Pohan, S.Sos., Trisilia Pohan, ST., atas dukungannya selama ini
kepada penulis.
11.Terima kasih kepada Abang dan Kakak Ipar, Ruswan Nurmadi, SE, Muhammad
Desdin Nasution, SH., MKn dan Putri Komalasari, S.Psi., atas dukungannya
selama ini kepada penulis.
12.Terima kasih kepada Keluarga Besar Pohan dan Machmuders atas segala
dukungannya selama ini kepada penulis.
13.Terima kasih kepada teman-teman SMU Negeri 1 Tahun 2004 Medan dan
Fakultas Hukum USU atas segala dukungan dan bantuannya kepada Penulis.
14.Terima kasih kepada teman-teman dalam bermusik di Au Revoir atas
dukungannya kepada Penulis.
15.Terima kasih kepada Rico Triputra Bayu Waas, S.Sn., atas dukungan
semangatnya kepada penulis.
16.Seluruh staff pegawai administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
rekan-18.Seluruh pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas
dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian penulisan Tesis ini.
Akhirnya tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang
disengaja maupun tidak sengaja. Penulis hanya bisa mendoakan agar semua pihak
yang telah membantu selama ini dilipatgandakan pahalanya. Dengan iringan doa
semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini menjadi sebuah nilai ibadah
disisi-Nya dan dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga Tesis ini
dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Amiin Yaa
Robbal’alamin
Wasalamu’alaikum Wr. Wb.
Medan, Nopember 2011
Penulis
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Mahalia Nola Pohan
2. Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 13 Februari 1986
3. Alamat : Tasbi Blok A No.49 A - Medan.
II. IDENTITAS KELUARGA
1. Orang Tua
Ayah : Alm. Ir. Karnold Pohan
Ibu : Wenny Dwi Julia
2. Abang : Muhammad Reinur Pohan, ST, MCP.
3. Kakak : Ledy Sharah Pohan, S.Sos.
Trisilia Pohan, ST.
III. KETERANGAN PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar : SD Harapan 2
Tamat Tahun 1998
2. Sekolah Menengah Pertama : SLTP Negeri 1 Medan
Tamat Tahun 2001
3. Sekolah Menengah Atas : SMU Negeri 1 Medan
Tamat Tahun 2004
4. Stara 1 (S1) Fakultas Hukum : Universitas Sumatera Utara
Tamat Tahun 2008
5. Stara 2 (S2) Magister Kenotariatan : Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum
ABSTRAK... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
1. Kerangka Teori ... 13
2. Konsepsi ... 22
G. Metode Penelitan ... 24
1. Spesifikasi Penelitian... 24
2. Metode Pendekatan... 25
3. Sumber Data ... 26
4. Teknik Pengumpulan Data ... 27
5. Alat Pengumpulan Data... 27
6. Analisis Data... 28
BAB II KECAKAPAN HUKUM SESEORANG YANG BERADA DI DI DALAM RUMAH TAHANAN MENANDATANGANI AKTA NOTARIS... 29
A. Tinjauan Umum Notaris ... 29
1. Sejarah Notaris... 29
B. Tinjauan Umum tentang Akta Otentik ... 43
1. Pengertian Akta ... 43
2. Jenis-Jenis Akta ... 46
3. Akta Notaris Sebagai Akta Otentik ... 47
4. Kekuatan Akta Otentik Sebagai Alat Bukti... 50
C. Kedewasaan Menurut Hukum Dalam Pembuatan Akta Notaris... 57
D. Kecapakan Hukum Seseorang Yang Berada Di Dalam Rumah Tahanan Dalam Pembuatan Akta Notaris... 62
1. Kecakapan Hukum Bertindak... 62
2. Kecapakan Hukum Tersangka atau Terdakwa Dalam Pembuatan Akta Notaris ... 65
BAB III UNSUR PAKSAAN YANG DAPAT MENIMBULKAN PEMBATALAN TERHADAP AKTA NOTARIS YANG DITANDATANGANI DI DALAM RUMAH TAHANAN... 69
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian... 69
1. Pengertian Perjanjian ... 69
2. Asas-Asas dalam Hukum Perjanjian ... 71
3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 77
4. Pembatalan Suatu Perjanjian... 79
B. Unsur-Unsur Suatu Tindakan Paksaan Dalam Perjanjian ... 81
C. Adanya Unsur Paksaan Sebagai Alasan Pembatalan Akta Notaris oleh Mahkamah Agung Berdasarkan Putusan No.3641 K/Pdt/2001. ... 85
BAB IV TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP PEMBATALAN AKTA YANG DIBUAT DIHADAPANNYA DITANDATANGANI DI DALAM RUMAH TAHANAN... 92
A. Tinjauan tentang Tanggung Jawab Profesi... 92
1. Pengertian tentang Tanggung Jawab ... 92
C. Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Notaris Dalam Pembuatan
Akta... 104
D. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pembatalan Akta... 108
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116
A. Kesimpulan ... 116
B. Saran ... 118
Notaris adalah pejabat umum yang oleh Undang-Undang diberikan kewenangan dan kepercayaan dari masyarakat untuk menjalankan sebagian kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis yang otentik dalam bidang hukum perdata. Akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memberikan kepastian hukum. Untuk itu Notaris dituntut agar selalu berusaha dalam koridor asas kehati-hatian dalam pembuatan suatu akta. Ketidakhati-hatian Notaris dalam membuat akta Notaris dapat mengakibatkan suatu akta dapat batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Oleh karena itu, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dapat mengetahui unsur-unsur yang dapat membatalkan suatu akta, sehingga Notaris dapat terhindar dari tuntutan-tuntutan atas pembatalan akta yang dibuat dihadapannya.
Metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data diperoleh dengan
mengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melihat putusan-putusan hakim. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Alat pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yang selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan data hasil penelitian yang diperoleh, didapati mengenai kecakapan seorang terdakwa atau tersangka, unsur-unsur suatu tindakan dalam
paksaan serta akibat hukum terhadap pembatalan akta Notaris yang
penandatangannya dilakukan di dalam rumah tahanan. Status seseorang sebagai terdakwa atau tersangka tidak mengakibatkan kehilangan haknya untuk melakukan perbuatan hukum dalam suatu akta Notaris. Sementara unsur-unsur yang dapat mengakibatkan pembatalan suatu akta dapat terjadi dikarenakan adanya unsur paksaan fisik dan paksaan psikologis, dimana salah satu pihak pada saat penandatanganan akta dalam keadaan tertekan. Sedangkan akibat hukum dari pembatalan suatu akta, maka Notaris dapat dikenakan berupa sanksi administratif, sanksi perdata maupun sanksi pidana apabila ternyata terbukti adanya unsur pidana dalam proses pembuatan akta, selain itu Notaris harus bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh para pihak.
Notary is a public official who is given an authority by the Law and trust by the members of society to implement part of State’s authority to make authentic written evidence in the field of civil law. The authentic act made by a Notary has perfect proving evidence and provides legal certainty. For this purpose, a Notary is required to always work based on the principle of caution in making an act. Notary’s carelessness in making an act can result in an act that can be cancelled by law. Therefore, in implementing his/her service, a Notary must know the elements that can annul an act, which the Notary can avoid the claims on the act made before him/her.
This is an analytical descriptive study with normative judical approach. The data for this study comprised primary and secondary data obtained through documentation study. The primary data were obtained through studying judge’s decisions and the secondary data were obtained through studying the primary, secondary, and tertiary legal materials. The data obtained were then qualitatively analyzed.
Based on the result of this study, skills of a defendant or suspect, the elements of an act in force, the legal consequences of the cancellation of a notarial document signed in the penitentiary, were found out. Status of someone as a defendant or suspect does result in this his losing his right to perform legal acts in a notarial document. While the elements than can lead to an act cancellation can occur due to the elements of physical and psychological forces, in which one of the parties is in the state of depression an the time of signing the act. The legal consequence of an act cancellation is that the Notary may be subject to either civil administrative, civil and criminal penalties if the existence of criminal elements in the process of making the act is proven, and in addition, the Notary shall be responsible for any damages suffered by the parties.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Lembaga Notaris masuk ke Indonesia didasari oleh kebutuhan akan suatu alat
bukti. Pada era reformasi terjadi perubahan lembaga notariat yang signifikan.
Perubahan itu ditandai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) yang merupakan
pengganti Peraturan Jabatan Notariat (Stb. 1860-3) dan Reglement op Het Notaris
Ambt in Indonesie (Stb. 1860: 3) yang dahulu merupakan peraturan Pemerintah
Kolonial Belanda.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN, Notaris didefinisikan sebagai, “Pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Dalam penjelasan UUJN
menyatakan bahwa, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum.
Prinsip dari Negara hukum yaitu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.” Lebih lanjut dijelaskan bahwa,
“Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menghendaki bahwa lalu lintas
hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang
menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam
Notaris berdasarkan sistem hukum nasional, merupakan Pejabat Umum yaitu
organ Negara yang mewakili serta bertindak untuk dan atas nama Negara di dalam
melaksanakan tugasnya memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam
bidang hukum perdata.1 Sebagai Pejabat Umum, Notaris diangkat oleh Negara serta
dilengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari
kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang
hukum perdata.
Tanggung jawab yang diemban Notaris sangat besar dalam memberikan
kepastian hukum kepada masyarakat. Dalam Negara hukum, kedaulatan berada
ditangan rakyat dan pemerintah sebagai penyelenggara bernegara mempunyai
kewenangan untuk memberikan kepastian hukum di masyarakat agar dalam hidup
bernegara dapat berjalan dengan baik. Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat
oleh pemerintah secara tak langsung bertanggung jawab terhadap kepastian hukum
di masyarakat.
Profesi Notaris pada saat ini menjadi sangat penting karena Notaris oleh
Undang-undang diberi wewenang untuk membuat suatu alat pembuktian berupa akta
otentik yang pada intinya dianggap benar. Hal ini sangat penting untuk semua orang
yang membutuhkan suatu alat pembuktian untuk keperluan, baik untuk kepentingan
pribadi maupun kepentingan usaha. Pembuatan akta otentik bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang
berkepentingan serta masyarakat secara keseluruhan.
Masyarakat telah menganggap bahwa seorang Notaris adalah pejabat tempat
seseorang dapat memperoleh nasihat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang
ditulis serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam
suatu proses hukum.2
Berkaitan dengan kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta, dikenal ada 2 (dua) macam akta Notaris, yaitu: akta partij (Partij Acte) atau
akta pihak, yaitu akta yang dibuat di hadapan Notaris berdasarkan keterangan
penghadap dan perbuatan pihak yang menghadap Notaris dan keterangan atau
perbuatan itu dikonstatir oleh Notaris untuk dibuatkan akta, misalnya akta sewa
menyewa, dan yang kedua, akta relaas (Ambtelijke Acte) atau akta pejabat, yaitu akta
yang dibuat oleh Notaris sebagai pejabat umum yang memuat uraian secara otentik
tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat dialami dan disaksikan oleh
Notaris itu sendiri atas permintaan yang berkepentingan, misalnya berita acara RUPS
dalam perseroan.
Akta Notaris merupakan salah satu jenis dari akta otentik, karena akta Notaris dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa dan Undang-undang. Dalam hal menjamin otensitas dari akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam Undang-undang, sehingga hal itu merupakan jaminan dipercayainya pejabat tersebut, maka akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi akta otentik dianggap dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.3
2
Tan Thong Kie,Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, hal. 7.
3Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 2002, hal.
Pengertian akta otentik sendiri adalah apa yang dirumuskan dalam Buku IV
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) tentang
hukum pembuktian, yang mengatur mengenai syarat-syarat agar suatu akta dapat
berlaku sebagai akta otentik, hal ini terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata, didalam
Pasal tersebut ditentukan: “akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk
yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
yang berkuasa untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya”.
Keberadaan suatu akta otentik sebagai bukti tertulis dibuat atas perintah
undang-undang dan dapat juga karena kehendak para pihak. Menurut ketentuan
Pasal 1870 KUHPerdata, menyatakan: “bagi para pihak yang berkepentingan beserta
para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka,
suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat
di dalamnya”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang ditulis dalam akta
tersebut harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai yang benar,
selama ketidakbenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan
sebaliknya.
G.H.S. Lumban Tobing, berpandangan mengenai kekuatan pembuktian dari
suatu akta Notaris, yakni meliputi kekuatan pembuktian material, pembuktian
formil dan pembuktian lahiriah, yakni:
Kekuatan pembuktian akta otentik, dengan demikian juga akta Notaris, adalah akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan oleh undang-Undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu.4
Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyatakan bahwa
akta Notaris mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan pembuktian, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian luar (uitwendige bewijskracht).
yaitu syarat-syarat formal yang diperlukan agar akta Notaris dapat berlaku sebagai akta otentik.
2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht).
yaitu kepastian, bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta
betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang
menghadap.
3. Kekuatan Pembuktian materiil (materiele bewijskracht).
yaitu kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta tersebut merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).5
Akta Notaris yang telah dibuat pada awalnya tidak ada masalah, akan tetapi
dalam pelaksanaannya seringkali terjadi permasalahan, permasalahan itu timbul
ketika salah satu pihak merasa dirinya dirugikan dan pada akhirnya akan
menimbulkan suatu sengketa, dimana salah satu pihak menghendaki pembatalan atas
akta Notaris yang telah dibuat sebelumnya.
Suatu akta otentik yang dibuat atas permintaan para pihak yang
berkepentingan, apabila terjadi pelanggaran maupun penyimpangan dari isi akta
terhadap ketentuan perundang-undangan, maka akta itu hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan
pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan.6
5
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta, Rajawali Pers, 1982, hal. 55.
6Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, maka akta yang dimintakan pembatalannya tersebut dapat
dikatakan tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya dan kecakapan untuk membuat sesuatu, artinya, pihak yang dapat meminta
pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perijinannya) secara tidak bebas.7
Karena akta Notaris merupakan suatu alat bukti yang sempurna, maka
bilamana terdapat suatu kebatalan(nulitas)dalam akta Notaris (otentik), tidak seperti
halnya akta dibawah tangan, terdapat perbedaan berdasarkan alasan kebatalannya
dalam hal membuktikan bahwa terdapatnya akta batal demi hukum atau dibatalkan
oleh pengadilan atau arbitrase sedangkan berdasarkan sifat kebatalannya, nulitas
dibedakan dalam kebatalan relatif dan kebatalan mutlak.8 Karena sebagaimana
diketahui terdapatnya akta relaas (akta yang disaksikan oleh Notaris, dibuat oleh para
pihak) dengan akta partij (akta yang dibuat oleh Notaris setelah mendapatkan
keterangan, dilihat dan didengar keinginan para pihak yang menghadap dihadapan
Notaris) dengan menjamin kepastian hari, tanggal dan waktunya.
Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian menjadi batal jika terdapat
paksaan terdapat dalam Pasal 1323 KUHPerdata yang berbunyi: “paksaan yang
dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk
batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga,
untuk kepentingan siapa perjanjian tersebut telah tidak dibuat”, serta ketentuan dalam
7Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 2005, hal. 20.
Pasal 1325 KUHPerdata yang berbunyi: “paksaan mengakibatkan batalnya suatu
perjanjian tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat
perjanjian, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau
sanak keluarga dalam garis keatas maupun ke bawah”.
Pasal 1335 KUHPerdata mengatakan, “suatu persetujuan tanpa sebab yang
telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai
kekuatan”. Berdasarkan pasal tersebut dapat diartikan bahwa suatu persetujuan
yang dibuat dengan sebab-sebab palsu maka dapat dimintakan pembatalan ataupun
batal demi hukum. Dengan batalnya suatu perbuatan hukum itu maka menjadikan
tidak mempunyai akibat hukum, baik terhadap orang tertentu maupun terhadap
semua pihak.
Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang
diberikan dengan paksa, adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan
menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah
untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada
perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian, dengan
akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana.9
Apabila subyek hukum tersebut tidak bebas dalam membuat suatu perjanjian
yang disebabkan adanya unsur paksaan (dwang), unsur kekeliruan (dwaling), atau
unsur penipuan, kecuali paksaan yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka perjanjian tersebut dapat dituntut untuk dibatalkan.
9 Nurul Muslimah Kurniati, Batasan Asas Kebebasan Berkontrak,
Pengertian paksaan yang terjadi, dapat berupa paksaan badan, ataupun paksaan jiwa,
kecuali paksaan yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku,
seperti paksaan yang terjadi sebagai akibat terjadinya kelalaian atau wanprestasi dan
satu pihak kemudian melakukan penggugatan ke muka pengadilan dan sebagai
akibatnya pengadilan memaksa untuk memenuhi prestasi.
Dalam menjalankan prakteknya sehari-hari, kadangkala ada akta yang dibuat
oleh Notaris isinya dipermasalahkan bahkan diragukan kebenarannya, dianggap
bertentangan dengan hukum dan keadilan serta dirasakan merugikan kliennya,
sehingga akta tersebut dibatalkan melalui putusan pengadilan.
Salah satu kasus pembatalan terhadap akta Notaris adalah berdasarkan
putusan Mahkamah Agung No. 3641 K/PDT/2001 yang dalam putusannya telah
membatalkan akta Notaris yang penandatanganannya dilakukan di dalam rumah
tahanan (rutan). Pembatalan terhadap akta Notaris yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung, dikarenakan Mahkamah Agung berpandangan bahwa penandatanganan akta
Notaris kepada seseorang yang dalam keadaan terpaksa karena berada dalam
tahanan merupakan suatu penyalahgunaan keadaan atau kesempatan, sehingga
sebagai salah satu pihak dalam perjanjian yang telah disepakati itu dalam keadaan
tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.
Kronologis kasus tersebut terjadi bermula dari adanya laporan Bank Artha
Graha (sebagai Tergugat I) kepada Kepolisian tentang adanya sangkaan yang
ditujukan kepada seorang pengusaha di Jakarta yaitu Made Oka Masagung
(sebagai Penggugat) telah melakukan tindak pidana korupsi perbankan dan oleh
Pada saat berada dalam tahanan, Penggugat diminta untuk menandatangani
akta Notaris, yaitu akta Notaris No. 41 yang memuat pernyataan bahwa Penggugat
masih mempunyai hutang kepada Tergugat I sebesar Rp.215.837.382.000,- (duaratus
lima belas milyar delapan ratus tigapuluh juta tigaratus delapanpuluh duaribu rupiah)
dan telah ditentukan harus dibayar kepada Tergugat I hanya sebesar
Rp.100.000.000.000.-(seratus milyar rupiah). Selanjutnya diikuti dengan pembuatan
akta Notaris No. 42 yang isinya mengenai penjaminan utang (bortogcht) dengan
mencantumkan pihak ketiga sebagai pihak yang menjamin atas utangnya kepada
pihak Tergugat I. Selain itu dibuat akta No. 31 sebagai perubahan akta No. 42 yang
mengganti penjaminan (bortogcht) dengan harta kekayaan pihak ketiga lainnya.
Dalam keadaan frustasi dan tertekan karena sedang ditahan di kepolisian, dan dengan
adanya janji-janji dari Tergugat I yang akan membantu untuk melakukan
penangguhan tahanan, maka Penggugat akhirnya menandatangani semua akta
Notaris tersebut.
Setelah kasus yang menimpa Penggugat disidangkan pada Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dan pada akhirnya Penggugat dinyatakan tidak bersalah dan
selanjutnya dibebaskan dari dakwaan. Oleh karena itu, Penguggat yang merasa
dirugikan dengan terbitnya akta Notaris itu, yang mana harta kekayaan Penggugat
beralih kepada Tergugat I, maka Penggugat mengajukan gugatan perdata dengan
salah satu tuntutan ataupetitum,agar Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan
batal terhadap akta-akta Notaris yang dibuat di rumah tahanan (rutan) dihadapan
Tergugat IV (Notaris), karena akta-akta tersebut dibuat dalam keadaan dimana
dalam tahanan yang berwajib, yang mana penandatanganan itu dilakukan dengan
adanya sifat keterpaksaan.
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dilakukan
penelitian tentang ”Pembatalan Akta Notaris Yang Penandatangannya Dilakukan
di Dalam Rumah Tahanan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.3641
K/Pdt/2001)”.
B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kecakapan hukum seseorang yang berada di dalam rumah tahanan
menandatangani Akta Notaris?
2. Bagaimanakah jika ada unsur paksaan yang dapat menimbulkan pembatalan
terhadap Akta Notaris yang ditandatangani di dalam rumah tahanan?
3. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris terhadap pembatalan akta yang dibuat
dihadapannya ditandatangani di dalam rumah tahanan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kecakapan hukum seseorang yang berada di dalam rumah
tahanan menandatangani Akta Notaris.
2. Untuk mengetahui jika ada unsur paksaan yang dapat menimbulkan pembatalan
3. Untuk mengetahui tanggung jawab Notaris terhadap pembatalan akta yang
dibuat dihadapannya yang ditandatangani di dalam rumah tahanan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan
praktis, yaitu:
a. Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan secara
akademis dalam memberikan gambaran terhadap perkembangan hukum
kenotariatan, terutama tentang kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya yang melakukan penandatanganan terhadap akta yang salah satu
pihaknya berada di dalam rumah tahanan (rutan).
b. Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
pemikiran-pemikiran baru bagi kalangan Notaris dalam menjalankan profesinya
serta menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik sesuai UUJN.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara, penelitian mengenai “Suatu Tinjauan Tentang Pembatalan Akta
Notaris Yang Penandatanganannya Dilakukan di Dalam Rumah Tahanan (Studi
Kasus Putusan Mahkamah Agung RI No.3641 K/Pdt/2001)” belum pernah dilakukan
oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan
pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah tugas jabatan
Notaris, namun secara judul dan substansi pokok permasalahan yang dibahas sangat
jauh berbeda dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang berkaitan dengan tugas
jabatan Notaris tersebut yang pernah dilakukan adalah :
1. Mohandas Sherividya, NIM: 067011056, mahasiswa Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana USU, Tahun 2008 dengan judul “Pengawasan Terhadap
Notaris dan Tugas Jabatannya Guna Menjamin Perlindungan Bagi Kepentingan
Umum”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:
a. Sejauh mana kewenangan Notaris sebagai pejabat umum pembuat akta?
b. Bagaimana kedudukan majelis pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan
terhadap Notaris dibandingkan dengan tugas dewan kehormatan Notaris?
c. Apakah pengawasan terhadap Notaris dan tugas jabatannya telah menjamin
perlindungan hukum bagi kepentingan umum?
2. Edi Natasari Sembiring, NIM: 077011016, mahasiswa Magister Kenotariatan
Sekolah Pascasarjana USU, Tahun 2009, dengan judul “Kewenangan Notaris
Dalam Status Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat
Akta Otentik”. Adapun permasalahan yang dibahas adalah:
a. Bagaimana prosedur untuk melakukan penyidikan terhadap Notaris yang
dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana?
b. Bagaimana kewenangan Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka
pelaku tindak pidana menjalankan tugas jabatannya membuat akta otentik?
c. Bagaimana prosedur untuk menetapkan pemberhentian sementara terhadap
3. Masda Nadapdap, NIM: 087011080, mahasiswa Program Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum USU, Tahun 2010 dengan judul “Analisis Yuridis Tentang
Tanggung Jawab Notaris Kaitannya Dengan Mal Administrasi”. Adapun
permasalahan yang dibahas adalah:
a. Faktor–faktor apakah yang dapat mempengaruhi seorang Notaris untuk
melakukan mal administrasi?
b. Bagaimana tanggungjawab notaris dalam hal terjadinya mal administrasi?
c. Bagaimana upaya yang dilakukan pemerintah dan Majelis Pengawas Notaris
dalam hal meminimalisir terjadinya mal administrasi di kalangan profesi
Notaris?
Jika diperhadapan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini,
baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian
ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai
landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan
postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga
penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa
dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.10
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.11
Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono
Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada
metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.”12
Snelbecker mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang
terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat
dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat
diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena
yang diamati.13
Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori keseimbangan
berkontrak. Menurut Laesio Enormis, menyatakan bahwa, “suatu janji yang tidak
diimbangi dengan sesuatu yang equivalent (sama nilainya) dengan isi janji itu oleh
pihak kedua (lazimnya perjanjian sepihak eenzijdige overeenkomst atau abstract
promise) tidak merupakan janji yang wajar, dan karenanya tidak pula mengikat”.14
11 M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 80. 12 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal. 6. 13
Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002, hal. 34-35.
14Sunarjati Hartono,Mencari Bentuk Dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita,Alumni,
Prinsip di atas mencerminkan telah adanya rasa keadilan di dalam melakukan
perjanjian. “Walaupun teori tersebut ternyata bukanlah yang tumbuh dalam hukum
perjanjian kita yang bersumber dari KUHPerdata, dimana dikatakan masih
berasaskan kehendak bebas perseorangan, yang merupakan falsafah hidup masyarakat
Eropa pada abad ke-19”.15
Pencapaian keadaan yang seimbang mengimplikasikan, dalam konteks
pengharapan masa depan yang objektif, upaya mencegah dirugikannya salah satu
pihak dalam perjanjian. “Dalam asas keseimbangan, faktor yang menentukan
bukanlah kesetaraan prestasi yang diperjanjikan, melainkan kesetaraan para pihak,
yakni jika keadilan pertukaran perjanjianlah yang hendak dijunjung tinggi”.16
Mengenai asas keseimbangan R. Kranenburg mengatakan bahwa:
Asas keseimbangan merupakan dasar berfungsinya kesadaran hukum orang, yang mana kesadaran hukum seseorang adalah menjadi sumber hukum seseorang. Dalil atas asas keseimbangan tersebut adalah bahwa tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu, dan dalam hal pembagian keuntungan dan kerugian tersebut tidak ditetapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, maka tiap-tiap anggota-anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.17
Selanjutnya Sutan Remy Syahdeini menjelaskan bahwa:
Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, kontrak tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.18
15 Ibid, hal. 60.
16 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 318-319.
17
C.S.T. Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,Balai Pusaka, Jakarta, 1984, hal. 63 - 64.
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai
undang-undang bagi para pihak.19
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Jika terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan
keadaan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.
Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dinyatakan tidak cakap
menurut hukum adalah :
a. Orang-orang yang belum dewasa.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai
objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun
suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek
dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas.
4. Suatu sebab yang halal.
Mengenai suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah
sebab dalam arti yang menyebabkan/yang mendorong orang untuk membuat
perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai tidak bertentangan dengan
Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam
suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak
dapat dilaksanakan. “Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka
suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. Sedangkan
apabila salah satu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal
demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian
dan tidak pernah ada suatu perikatan”.20
Perjanjian yang dari sudut substansi ternyata bertentangan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum adalah batal demi hukum (nietig) dan pada prinsipnya hal
serupa berkenaan dengan perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang.
Dalam tercipta atau terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan bisa muncul sebagai
akibat perilaku para pihak sendiri ataupun sebagai konsekuensi dari muatan isi
perjanjian atau pelaksanaan perjanjian.21
20 Subekti,Op.cit.,hal. 20.
21Herlien Budiono,Asas Keseimbangan Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Op.cit.,
Berdasarkan ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Tiada
suatu persetujuanpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau
diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Maksud paksaan dalam KUHPerdata adalah paksaan secara kejiwaan atau
rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang secara melawan hukum
mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang menurut hukum sehingga
orang yang berada di bawah ancaman itu berada di bawah ketakutan dan akhirnya
memberikan persetujuannya dengan tidak secara bebas.22
Begitu juga dengan akta Notaris, apabila dalam pembuatannya terdapat
unsur paksaan, unsur kekeliruan, atau unsur penipuan, maka pihak-pihak yang
merasa dirugikan dalam memintakan pembatalan terhadap akta tersebut. Oleh
karena itu, Notaris menjalankan profesinya harus lebih melindungi pihak-pihak yang
terkait dalam pembuatan akta. Hal tersebut diperlukan agar pihak-pihak yang terkait
dalam pembuatan akta akan mendapatkan kepastian hukum dan tidak mengalami
kerugian.
Profesi Notaris menitikberatkan ketrampilan teknik dan keahlian khusus di
bidang pembuatan akta otentik secara profesional. Seorang Notaris diwajibkan
memiliki kualitas ilmu yang tidak diragukan dalam melayani klien, sehingga mampu
bekerja secara mandiri. Tanggung jawab hukum, Notaris dalam menjalankan tugas
profesinya terikat oleh aturan hukum yang mengaturnya, dituntut harus mampu
menguasai segala aturan hukum yang berlaku.
Apabila aturan hukum dipatuhi, maka risiko bagi Notaris untuk menghadapi
gugatan atau tuntutan hukum sangat kecil. Bentuk tanggung jawab hukum Notaris
adalah tanggung jawab hukum perdata bilamana Notaris melakukan kesalahan karena
ingkar janji sebagaimana yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 1243 KUH
Perdata atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan dalam
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata.
Terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Notaris yang mengakibatkan akta
yang dibuat dihadapannya batal demi, maka akan menimbulkan kerugian bagi pihak
klien atau pihak lainnya. Sebagai dampaknya, maka Notaris dapat dimintakan
pertanggung jawaban atas kesalahannya tersebut. Bentuk tanggung jawab Notaris
yang telah melakukan melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena
sengaja atau lalai yang menimbulkan kerugian pihak lain dapat dituntut secara
perdata maupun pidana.
Beberapa ketentuan di dalam UUJN telah mendefinisikannya baik secara
eksplisit maupun implisit terhadap pembatalan akta Notaris. Sanksi-sanksi terhadap
pembatalan akta Notaris diatur dalam Pasal 84 yaitu:
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51,atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Lebih lanjut dalam Pasal 85 mengatur bahwa:
Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa :
a. teguran lisan; b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau e. pemberhentian dengan tidak hormat.
Hans kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan
bahwa: “seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu
atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia
bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan”.23
Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan:24
Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum di sebut “kekhilapan” (negligence); dan kekhilapan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari “kesalahan” (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.
Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala
sesuatunya atau fungsi menerima pembenanan sebagai akibat tindakan sendiri
atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
(jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).25
Menurut kamus hukum ada 2 istilah pertanggungjawaban yaitu, liability (the
state of being liable)danresponsibility (the state or fact being responsible). Liability
merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang
23Hans Kelsen sebagaimana diterjemakan oleh Somardi,General Theory Of law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik,Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81.
24Ibid
, hal. 83.
25Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta, Balai Pustaka,
paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab,
yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefinisikan untuk
menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi
tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab
terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan,
biaya atau beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan
undang-undang dengan segera atau pada masa yang akan datang.26 Sedangkanresponsibility
berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan,
ketrampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban
bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki
atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan yang telah ditimbulkannya.27
Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang berhubungan
dengan kebenaran materiil, membedakannya menjadi 4 (empat) hal, yaitu:
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya;
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya
3. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Peraturan jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil akta yang dibuatnya
4. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris.28
Notaris sebagai Pejabat Umum (openbaar ambtenaar) mempunyai
kewenangan untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam UUJN. Dengan kewenangan ini, akta Notaris mengikat para pihak
26
Ridwan HR.,Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 335.
27Ibid.,hal. 335-336.
28 Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta, Center For
atau mereka yang membuatnya, dan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang
sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti tidak perlu didukung atau
ditunjang oleh alat bukti lain, tapi akta Notaris itu sendiri harus dilihat sebagaimana
apa adanya yang tertulis di dalamnya.
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya.
Sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan
dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seseorang pejabat (Notaris)
melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya
dicantumkan dalam pasal 15 ayat (1), (2), dan (3) UUJN.29
Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 UUJN, “Notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya”.
Dengan diaturnya kewenangan Notaris dalam UUJN, maka dapat diketahui bahwa
Notaris memiliki kewenangan atribusi, dimana kewenangan yang dimilikinya ini
melekat pada jabatannya sebagai seorang pejabat umum.
2. Konsepsi
Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.”30
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa kerangka konsepsi pada hakekatnya
merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis
29Habib Adjie,Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Bandung, Refika Aditama, 2009, hal. 15.
yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional
yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”31
Samadi Surya Brata memberikan arti mengenai pengertian konsep, yaitu
sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai kata
yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang
disebut dengan defenisi operasional”.32 Defenisi operasional perlu disusun, untuk
memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki makna ganda.
Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada
proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan
serangkaian defenisi operasional atas beberapa variable yang digunakan. Selanjutnya,
untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda
tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian
dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:
1. Pembatalan menurut kamus umum bahasa Indonesia yaitu berasal dari kata
“batal”, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada.
2. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.33
3. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut
bentuk dan tata cara yang di tetapkan dalam undang-undang ini.34
31Soerjono Soekanto,Op.cit, hal. 133. 32 Samadi Surya Barata,Op.cit, hal. 3. 33
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 1.
34 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris,
4. Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk
pula parap, teraan atau cap tanda tangan atau cap parap, teraan cap nama atau
lainnya sebagai pengganti tanda tangan.35
5. Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut Rutan adalah tempat tersangka atau
terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
di sidang Pengadilan.36
6. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.37
7. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945.38
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, artinya dalam
penelitian akan menguraikan/memaparkan sekaligus menganalisa terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan atas kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya.
35Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, Pasal 1
Ayat 2 (b).
36 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2.
37
Republik Indonesia, Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 1 angka 11.
38 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode
penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sebagai pijakan normatif, yang berawal dari
premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini
dimasudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan
kebenaran-kebenaran induk(teoritis).
Penelitian yuridis normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga dengan
penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu “penelitian yang menganalisis
hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it written in the book), maupun
hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it is decided
by the judge trough judicial process)”.39
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Dimana Pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan
mengkaji berbagai aspek hukum. Pendekatan yuridis normatif dipergunakan dengan
melihat peraturan perundang-perundangan yang mengatur tentang jabatan profesi
Notaris, sehingga akan diketahui secara hukum tentang kewenangan Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya dalam pembuatan akta otentik.
39
3. Sumber Data
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, cacatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan
dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas putusan pengadilan.
Bahan utama dari penelitian ini adalah data sekunder yang dilakukan dengan
menghimpun bahan-bahan berupa :
1. Bahan Hukum Primer
yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi
yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Nomor: M.02.PR.08.10 tahun 2004, tertanggal 7
Desember 2004, tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian
Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan
2. Bahan Hukum Sekunder
yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi
meliputi buku-buku, karya ilmiah.”40
3. Bahan Hukum Tertier
yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum,
jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet yang masih relevan dengan
penelitian ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian
ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka studi dokumen atau bahan pustaka ini
penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data, dengan cara mengunjungi
perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku,
literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang
berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian yaitu terkait dengan
kewenangan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
5. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga
apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil
40Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005,
penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat
dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat
pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah studi dokumen.
Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun
data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakaan yang meliputi
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.
“Langkah-langkah ditempuh untuk melakukan studi dokumen di maksud di mulai dari studi
dokumen terhadap bahan hukum primer, baru kemudian bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier”.41
6. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.42
Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang
diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul
dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam
usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan
metodededukatifditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah tersebut
yang merupakan hasil penelitian.
41Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 13-14.
BAB II
KECAKAPAN HUKUM SESEORANG
YANG BERADA DI DALAM RUMAH TAHANAN MENANDATANGANI AKTA NOTARIS
A. Tinjauan Umum Notaris
1. Sejarah Notaris
Lembaga Notariat mempunyai peranan yang penting, karena yang
menyangkut akan kebutuhan dalam pergaulan antara manusia yang menghendaki
adanya alat bukti tertulis dalam bidang hukum perdata, sehingga mempunyai
kekuatan otentik mengingat pentingnya lembaga ini maka harus mengacu pada
peraturan perundang-undangan dibidang Notariat, yaitu Peraturan Jabatan Notaris
(staatblad 1860 Nomor 3, Reglement op het Notaris Ambt in Indonesie) yang
selanjutnya disebut PJN.
Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke
11 atau ke 12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di
Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan
“Latijnse Notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang
diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima
uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. Namun untuk mengetahui
asal dari lembaga notariat, para sarjana Italia telah mencoba mengadakan penelitian
sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga mencapai kesatuan pendapat
mengenai hal itu.43
Notariat di Italia adalah sebagai pengabdian kepada masyarakat umum.
Namun notariat berasal dari nama pengabdinya yaitu “Notarius” yang merupakan
golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis menulis tertentu.
Sebelum penggunaan nama notarius, ada beberapa nama yang pernah digunakan,
yaitu :
a. Notarii
Pada abad ke 2 dan ke 3 sesudah masehi sebelum nama notarius, dikenal
dengan nama “Notarii” yaitu orang-orang yang mempunyai keahlian untuk
mempergunakan tulisan cepat atau sekarang ini dikenal sebagai
“Stenografen”. Nama notarii awalnya diberikan kepada orang-orang yang
mencatat atau menuliskan pidato yang dahulu diucapkan oleh cato dalam
senat romawi dengan menggunakan tanda-tanda kependekan, yang lalu
berkembang menjadi menuliskan segala sesuatu yang dibicarakan dalam
konsorsium kaisar pada rapat yang membahas tentang kenegaraan.
b. Tabeliones
Selain nama notarii, pada permulaan abad ke 3, juga dikenal dengan nama
“Tabeliones”, yang dalam pekerjaannya mempunyai beberapa persamaan
yaitu untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat untuk kepentingan
masyarakat umum, walaupun jabatan atau kedudukan mereka tidak
mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk atau diangkat oleh
kekuasaan umum untuk melakukan suatu formalitas yang ditentukan oleh
Akta-akta dan surat-surat yang dibuat oleh tabeliones tidak mempunyai
kekuatan sebagai akta otentik sehingga hanya mempunyai kekuatan sebagai
akta di bawah tangan.
c. Tabulari
Nama“Tabulari” juga dikenal sebagai pegawai negeri yang mengadakan dan
memelihara pembukuan keuangan kota-kota dan pengawasan terhadap
arsip-arsip dari mengisrat kota-kota di bawah ressort mana mereka berada, hal ini
menimbulkan persaingan dengan tabeliones. Para tabeliones yang diangkat
menjadi notarii mempunyai kedudukan yang lebih terhormat di mata rakyat
sehingga banyak tabeliones yang menjadi notarii walaupun tanpa
pengangkatan, maka nama“Tabelio”menjadi “Notarius”.44
Lembaga notariat yang berada di Italia Utara, dibawa ke Perancis dan pada
abad ke 13 mencapai puncak perkembangannya. Raja Lodewijk De Heilige banyak
berjasa dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang notariat, hal
tersebut dapat dilihat dengan diundangkannya undang-undang di bidang notariat
pada tanggal 16 Oktober 1791 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang 25
Ventosa an XI (16 Maret 1803). Sejak diundangkannya undang-undang tersebut,
notaris menjadi “ambtenaar” dan berada di bawah pengawasan “Chamber Des
Notaires”.
Pelembagaan notariat yang pertama ini, dimaksudkan untuk memberi
jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat, oleh karena tidak boleh
dilupakan, bahwa notariat mempunyai fungsi yang harus diabaikan bagi
masyarakat umum dan tidaklah dimaksudkan oleh undang-undang untuk memberikan
suatu kedudukan yang kuat bagi notariat itu sendiri, akan tetapi untuk kepentingan
umum.45
Peraturan kelembagaan notariat di Perancis kemudian dibawa ke Belanda dan
berlaku di Belanda berdasarkan dua dekrit kaisar, di mana pada saat itu Belanda
berada dalam kekuasaan Perancis sehingga peraturan perundang-undangan mengenai
notariat juga berlaku di Belanda.
Setelah lepas dari kekuasaan Perancis pada tahun 1813 peraturan tersebut
tetap ada. Dengan adanya desakan dari rakyat Belanda maka dibentuklah suatu
peraturan perundang-undangan nasional tentang notariat yang sesuai dengan
masyarakat Belanda maka dikeluarkanlah Undang-Undang tanggal 9 Juli 1842
(Ned.Stb. No. 20) tentang Jabatan Notaris namun isinya merupakan
perubahan-perubahan dari peraturan-peraturan “Ventosewet”.46
Lembaga Noariat masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke 17 dari
Belanda. Pada tanggal 27 Agustus 1620 diangkatlah notaris pertama di Indonesia
yaitu Melchior Kerchem oleh Gubernur Belanda saat itu yaitu Jan Pieterz Coen,
setelah pengangkatan notaris pertama di Indonesia pada tahun 1620, lambat laun
jumlah notaris di Indonesia terus bertambah.
Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai dengan tahun 1822, notariat
hanya diatur dengan dua reglemen yaitu tahun 1625 dan tahun 1765, lalu pada tahun
1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan “Instructie Voor De Notarissen In Indonesia” yang