BAB II
AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA WASIAT YANG DIBUAT OLEH NOTARIS YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
DALAM PEMBUATAN AKTA WASIAT
A. Akta Wasiat Sebagai Akta Notaris
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 UUJN, bahwa salah satu kewenangan
notaris adalah membuat akta otentik. Artinya notaris memiliki tugas sebagai pejabat umum dan memiliki wewenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya yang diatur oleh UUJN.62Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaituActe. Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama mengartikan
akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Pitlo mengatakan, “akta sebagai surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu
dibuat”.63
Subekti mengatakan, “akta sebagai perbuatan hukum, yang mengartikan Pasal 108 KUHPerdata bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan perbuatan hukum”.64
Selanjutnya Sudarsono menguatkan pendapat yang menyatakan, “acte atau akta dalam arti luas merupakan perbuatan hukum (recht handeling), suatu tulisan yang dibuat untuk dipahami sebagai bukti perbuatan hukum”.65
62Abdul Ghofur Anshori, 2009, Op. Cit., hlm. 13‐14
Akta adalah surat yang disengaja dibuat sebagai alat bukti, berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum di bidang keperdataan yang dilakukan oleh pihak-pihak. Akta-akta yang dibuat menurut ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata Jo ketentuan UU
No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Akta itu disebut sebagai otentik bila memenuhi unsur sebagai berikut :
1) Dibuat dalam bentuk menurut ketentuan Undang-undang;
2) Dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum;
3) Pejabat Umum itu harus berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat.
Berdasarkan pihak yang membuatnya, untuk akta otentik dapat dibagi menjadi
2 (dua) yaitu :
a) Akta pihak(partij akte), adalah akta yang dibuat di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu dan akta itu dibuat atas permintaan pihak-pihak yang
berkepentingan.66Ciri khas dari akta ini adanya komparisi atas keterangan yang menyebutkan kewenangan para pihak dalam melakukan perbuatan melawan hukum yang dimuat dalam akta.
b) Akta Pejabat(Ambtelijk AkteatauRelaas Akte)
Akta pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, jadi inisiatif tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di
65Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 25
dalam akta.67 Ciri khas dari akta ini adanya komparisi atas keterangan yang menyebutkan kewenangan para pihak dalam melakukan perbuatan hukum yang dimuat dalam akta.
Akta Notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris menurut KUH Perdata pasal 1870 dan HIR pasal 165 (Rbg 285) yang mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat. Akta Notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama
ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan KUH Perdata pasal 1866 dan HIR 165, akta notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat pembuktian yang utama sehingga dokumen ini merupakan alat bukti persidangan yang memiliki kedudukan
yang sangat penting.68
Akta-akta yang boleh dibuat oleh Notaris sebagai berikut:
1. Pendirian Perseroan Terbatas (PT), perubahan juga Risalah Rapat Umum
Pemegang Saham.
2. Pendirian Yayasan
3. Pendirian Badan Usaha - Badan Usaha lainnya
4. Kuasa untuk Menjual
5. Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Jual Beli
6. Keterangan Hak Waris
67Ibid.,
7. Wasiat
8. Pendirian CV termasuk perubahannya
9. Pengakuan Utang, Perjanjian Kredit dan Pemberian Hak Tanggungan
10.Perjanjian Kerjasama, Kontrak Kerja
11.Segala bentuk perjanjian yang tidak dikecualikan kepada pejabat lain
Dalam hal pembuatan akta, salah satu akta yang dibuat Notaris adalah akta wasiat, dimana akta wasiat yang dibuat oleh Notaris disebut dengan wasiat umum
(openbare akte). Akta ini tidak tertutup seperti wasiat rahasia atau olografis, bukan berarti semua orang boleh melihatnya, kerahaasiaan tetap dijaga oleh notaris seperti pada setiap akta yang dibuatnya. Prosesnya adalah pembuat wasiat menghadap
notaris dan menerangkan dengan lugas apa yang menjadi keinginan terakhirnya, lalu notaris menuliskan dengan kata-kata yang jelas.
B. Tinjauan Umum Tentang Wasiat
1. Pengertian Wasiat
Wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan dan harta benda semasa hidupnya untuk menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian
Menurut Kamus Hukum, pengertian wasiat (testament) merupakan: “surat yang mengandung penetapan-penetapan kehendak si pembuat wasiat atau pesan-pesan yang baru akan berlaku pada saat si pembuatnya meninggal”.69
Pengertian wasiat juga dapat diketahui dari Pasal 875 KUHPerdata yang menyatakan : “Surat wasiat atau testamentialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia,
dan yang olehnya dapat dicabut kembali.”70
Selanjutnya, R. Subekti mengatakan bahwa, “wasiat/ testament itu adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia
meninggal”.71
Kehendak terakhir adalah suatu pernyataan kehendak yang sepihak dan suatu perbuatan hukum yang mengandung suatu “beschikkingshandeling” (perbuatan
pemindahan hak milik) mengenai harta kekayaan si pewaris yang dituangkan dalam bentuk tertulis yang khusus, yang setiap waktu dapat dicabut dan berlaku dengan meninggalnya si pewaris serta tidak perlu diberitahukan kepada orang yang tersangkut.72
Dengan demikian, pemberian wasiat (testament) adalah pembagian warisan kepada orang yang berhak menerima warisan atas kehendak terakhir si pewaris
69R. Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramitha,1996), Cetakan ke-12, hal. 106
70Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, (Bandung: Refika Aditama, 2012), hal. 51.
71R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1998), Cetakan Kesepuluh, hal 93.
(pewasiat) yang dinyatakan dalam bentuk tulisan dalam akta Notaris.73 Selanjutnya karena keterangan dalam wasiat (testament) tersebut adalah suatu pernyataan sepihak maka wasiat (testament) setiap waktu dapat ditarik kembali, boleh secara tegas atau
secara diam-diam.74
Isi wasiat/ testament tidak terbatas pada hal yang berkaitan dengan harta kekayaan saja, tetapi dapat berupa penunjukan wali untuk anak-anak yang meninggal,
pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan, atau pengangkatan executeur testamentair (seorang diberi kuasa mengawasi dan mengatur pelaksanaan wasiat).75Suatu wasiat/ testament juga dapat berisi apa yang dinamakan suatu
“erfstelling” yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Orang yang ditunjuk itu dinamakan “testamentaire erfgenaam” yaitu ahli waris menurut wasiat dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh
segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel”.76
Dari pengertian wasiat tersebut, maka dapat diketahui bahwa ciri-ciri surat wasiat adalah :
1. Merupakan perbuatan sepihak yang dapat dicabut kembali
2. Merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan hukum setelah pewaris meninggal dunia.
73Pasal 974 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
74Titik Triwulan Tutik,Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 269.
75Ibid.,
Dengan melihat ciri pokok dari surat wasiat/testamenttersebut, maka terdapat suatu larangan untuk membuat wasiat yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama untuk menguntungkan satu dengan pihak lainnya maupun untuk
kepentingan pihak ketiga dalam suatu akta.77
Menurut J. Satrio, unsur-unsur wasiat (testament) ada 4 (empat)78, antara lain sebagai berikut :
a. Suatu wasiat (testament) adalah suatu “akta”. Akta menunjuk pada syarat bahwa wasiat (testament) harus berbentuk suatu tulisan atau sesuatu yang tertulis. Surat wasiat (testament) dapat dibuat baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta otentik. Namun, mengingat bahwa suatu wasiat (testament) mempunyai akibat yang luas dan baru berlaku setelah si pewaris meninggal, maka suatu wasiat (testament) terikat pada syarat-syarat yang ketat.
b. Suatu wasiat (testament) berisi “pernyataan kehendak”, yang berarti merupakan suatu tindakan hukum yang sepihak. Tindakan hukum sepihak adalah pernyataan kehendak satu orang yang sudah cukup menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki. Jadi, wasiat (testament) bukan merupakan suatu perjanjian karena dalam suatu perjanjian mensyaratkan adanya kesepakatan antara dua pihak, yang berarti harus ada paling sedikitnya dua kehendak yang saling sepakat. Namun wasiat (testament) menimbulkan suatu perikatan, dan karenanya ketentuan-ketentuan mengenai perikatan berlaku terhadap testament, sepanjang tidak secara khusus ditentukan lain.
c. Suatu wasiat (testament) berisi mengenai “apa yang akan terjadi setelah ia meninggal dunia.” Artinya wasiat (testament) baru berlaku kalau si pembuat wasiat (testament) telah meninggal dunia. Itulah sebabnya seringkali suatu wasiat (testament) disebut kehendak terakhir karena setelah meninggalnya si pembuat wasiat (testament) maka wasiatnya tidak dapat diubah lagi.
d. Suatu wasiat (testament) “dapat dicabut kembali.” Unsur ini merupakan unsur terpenting karena syarat inilah yang pada umumnya dipakai untuk menetapkan
77Henny Tanuwidjaja,Op.cit., hal. 51
Pasal 930 KUHPerdata berbunyi: “Tidaklah diperkenankan dua orang atau lebih membuat wasiat dalam satu akta yang sama, baik untuk keuntunganpihak ketiga maupun berdasarkan penetapan timbal balik atau bersama.
apakah suatu tindakan hukum harus dibuat dalam bentuk akta wasiat (testament acte) atau cukup dalam bentuk lain.
2. Bentuk-Bentuk Wasiat (Testament)
Dalam pasal 931 KUHPerdata menyatakan bahwa : “suatu wasiat hanya boleh dinyatakan, baik dengan akta tertulis sendiri atau olografis, baik dengan akta umum, ataupun akta rahasia atau tertutup.”
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang pada dasarnya mengenal 3 (tiga) macam cara membuat wasiat (testament), yaitu :79
a. Testament Terbuka atau Umum (Openbaar Testament)
Pasal 938 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa
“wasiat/testament umum atau wasiat tak rahasia ini harus dibuat dihadapan seorang notaris yang dihadiri oleh dua orang saksi. Si pewaris menyatakan kemauannya kepada Notaris secara secukupnya, maka Notaris harus menulis atau
menyuruh menulis pernyataan itu dalam kata-kata yang terang”.
Pernyataan yang dibuat dalam Pasal 938 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah untuk menegaskan bahwa “Notaris tidak perlu menulis semua kata-kata yang diucapkan si pewaris, cukup hanya yang perlu saja menurut
Notaris, agar yang ditulis itu menjadi terang maksudnya”.
Dalam wasiat umum ini, syarat untuk menjadi saksi sama halnya dengan wasiat atau testament rahasia. Ditambah pula dengan ketentuan siapa-siapa yang
tidak boleh menjadi saksi, yaitu:80
1. Para ahli waris atau orang-orang yang dihibah barang-barang, sanak keluarga mereka sampai tingkat keempat.
2. Anak-anak, cucu-cucu serta anak menantu Notaris atau cucu, menantu
Notaris.
3. Pembantu notaris.
Pernyataan si pewaris ini dapat dilakukan kepada Notaris di luar hadirnya para
saksi, kemudian ditulis pula oleh Notaris. Sebelum tulisan Notaris itu dibacakan lebih dahulu si pewaris harus menyatakan lagi kemauannya secara singkat di muka para saksi. Barulah tulisan Notaris itu dapat dibacakan dan kepada si
pewaris ditanyakan, apakah sudah betul yang dibacakan itu sesuai kemauannya yang terakhir, hal ini ditegaskan oleh Pasal 939 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kemudian akta itu ditanda tangani Notaris, para saksi, dan oleh si pewaris tidak dapat atau berhalangan untuk menandatangani maka harus disebut dalam akta notaris dan harus disebutkan bahwa acara selengkapnya harus dilakukan.
Wasiat/testament umum ini merupakan bentuk testament yang paling umum
yang paling sering muncul, dan paling dianjurkan (baik), karena Notaris sebagai seorang yang ahli dalam bidang ini, berkesempatan dan bahkan wajib memberikan bimbingan dan petunjuk, agar wasiat tersebut dapat terlaksana
sedekat mungkin dengan kehendaktestateur.81
80Ibid., hal. 106
b. Testament Tertulis (Olographis Testament)
Menurut Pasal 932 Kitab undang-Undang Hukum Perdata bahwa wasiat/testament ini harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan
warisan itu sendiri (eigenhandig) dan harus diserahkan sendiri kepada notaris untuk disimpan (gedeponeerd). Penyerahan testament tersebut juga harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.82
Pada waktu penyerahan wasiat atau testament ini kepada Notaris untuk disimpan, wasiat/ testament sudah tertutup dalam satu sampul yang disegel. Dalam hal ini si pewaris di muka Notaris dan para saksi mencatat pada sampul yang menyatakan bahwa dalam sampul dan wasiatnya, dan catatan itu ditandatangani oleh si pewaris.83 Notaris sendiri harus membuat akta tersendiri dalam hal menerima wasiat atau testament untuk disimpan, akta mana harus ditandatangani oleh Notaris, para saksi dan si pewaris.
Wasiat atau testament olographis, setelah disimpan Notaris mempunyai kekuatan yang sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umum dan dianggap telah dibuat pada hari pembuatan akta penitipan, tanpa memperhatikan
hari penandatanganan yang terdapat dalam surat wasiat itu sendiri. Wasiat
olographisyang diterima oleh notaris untuk disimpan harus dianggap seluruhnya telah ditulis dan ditandatangani dengan tangan pewaris tersebut sendiri, sampai ada bukti yang menunjukkan sebaliknya.84
82Rahmadi Usman,Hukum Kewarisan Islam, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 110. 83Oemarsalim,2000, Op.cit., hal. 101.
Apabila wasiat/testament olographis itu diserahkan kepada Notaris dengan sampul yang disegel, maka Notaris tidak berhak membuka segel itu, kecuali jika si pewaris wafat atau meninggal dunia, Notaris menyerahkan kepada Balai Harta
Peninggalan (Weeskamer) untuk dibuka seperti wasiat atau testament rahasia, yaitu dengan membuat proses verbal dari pembukaan itu dan wasiat/ testament yang dikemukakan selanjutnya harus dikembalikan kepada Notaris.
c. Testament Tertutup atau Rahasia
Syarat-syarat wasiat/ testament rahasia ini diatur dalam Pasal 940 dan 941 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Wasiat ini dibuat sendiri oleh si pewaris
atau menyuruh orang lain untuk menulisnya. Jadi, harus ditulis sendiri dan ditandatangani sendiri. Testament ini harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh 4 (empat) orang saksi.85
Dalam testament ini, si peninggal warisan membuat suatu keterangan di muka Notaris dan saksi-saksi, bahwa yang termuat dalam sampul itu adalah wasiatnya atau testamentnya dan ditulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulisnya dan ditandatangani sendiri. Kemudian Notaris membuat akta
superscripsi yaitu untuk menyetujui keterangan itu, akta mana dapat ditulis sendiri dalam surat yang memuat keterangan itu sendiri atau pada sampulnya. Akta superscripsi ini harus ditandatangani oleh Notaris. Jika si pewaris tidak
dapat menanda tangani, maka hal tersebut harus disebut dalam akta superscripsi
itu. Wasiat atau testament rahasia ini harus disimpan oleh Notaris bersama-sama dengan aslinya dari akta-akta notaris lain.86
Jika si pewaris adalah orang yang bisu, tetapi dapat menulis maka wasiat atau
testament tetap harus ditulis, diberi tanggal dan ditanda tangani oleh pewasiat. Kemudian, wasiat atau testament harus ditulis si pewaris di muka Notaris dan para saksi. Bahwa tulisan yang diserahkan itu adalah wasiatnya. Untuk itu Notaris
membuat katasuperscripsidan menyebutkan di dalamnya bahwa keterangan dari si pewaris itu ditulis dihadapan notaris dan saksi-saksi.
3. Syarat-Syarat Pembuatan Wasiat (Testament)
Pembuatan wasiat atau testament adalah “merupakan suatu tindakan yang sangat pribadi, hal ini berarti bahwa tindakan itu tidak dapat oleh seorang wakil, baik wakil berdasarkan undang-undang maupun wakil berdasarkan kontrak. Lain halnya
dalam mengikat perkawinan dan membuat syarat-syarat perkawinan dapat dilakukan oleh seorang wakil, tetapi membuat wasiat atau testament harus pewaris sendiri, hal tersebut juga berlaku dalam hal pembuatan wasiat atau testament di muka seorang notaris, tetapi berlaku juga untuk semua formalitas-formalitas yang diperlukan untuk
membuat suatu wasiat atau testament, misalnya untuk formalitas membuat suatu wasiat atau testament rahasia atau juga diperlukan untuk membuat wasiat atau
testament yang dikehendaki juga untuk membatalkan wasiat atautestamentitu”.87
86Ibid.,
Sebelum membuat akta wasiat, tindakan Notaris terlebih dahulu melakukan pengenalan terhadap si penghadap. Ketika melakukan pengenalan, Notaris harus benar memastikan bahwa penghadap dalam keadaan sehat dan mampu melakukan
perbuatan hukum, kemudian menanyakan dan mencermati keinginan si penghadap. Notaris dapat terlebih dahulu menerangkan apa wasiat dan bagaimana cara pemberian wasiat, agar si penghadap benar-benar mengerti dan memahami apa yang akan
dikehendaki si penghadap. Kemudian Notaris wajib memeriksa bukti surat/ objek yang akan diberikan benar atau tidak secara terperinci mengenai adanya objek tersebut dan memastikan bahwa sudah pernah/ ada atau tidak dibuat sebelumnya
objek yang sesuai dengan keinginan si penghadap, juga melakukan pembacaan, dan penandatanganan suatu akta.88
Pembuatan wasiat atautestamentdilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Secara lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi, atau 2. Tertulis di hadapan 2 (dua) orang saksi, atau 3. Di hadapan Notaris.
Wasiat atau testament yang dibuat dengan akta umum harus dibuat di hadapan
Notaris dan disaksikan oleh dua orang saksi. Notaris harus menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris dalam kata-kata yang jelas menurut apa adanya yang disampaikan oleh pewaris kepadanya.
Apabila penyampaian wasiat tersebut dilakukan tanpa kehadiran para saksi, dan naskahnya telah disiapkan oleh Notaris, pewaris harus mengemukakan lagi
88
kehendaknya seperti apa adanya di hadapan para saksi, sebelum naskah itu dibacakan di hadapan pewaris. Selanjutnya, wasiat harus dibacakan oleh Notaris dengan kehadiran para saksi, dan setelah dibacakan oleh Notaris, harus ditanyakan kepada
pewaris apakah yang dibacakan tersebut telah sesuai dengan kehendaknya. Apabila kehendak pewaris dikemukakan dalam kehadiran para saksi itu dan langsung dituangkan dalam tulisan, pembacaan dan pertanyaan apakah yang dibacakan tersebut
telah sesuai dengan kehendaknya tersebut juga harus dilakukan juga dalam kehadiran para saksi. Selanjutnya akta tersebut harus ditandatangani oleh pewaris, Notaris, dan para saksi.89
Agar dapat mengadakan penetapan dengan kehendak terakhir (surat wasiat) atau agar dapat menarik kembali sebuah penetapan yang telah dibuat, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Bahwa orang yang mewariskan telah mencapai umur 18 tahun atau ia telah dinyatakan dewasa.
b. Bahwa orang yang mewariskan mempunyai akal budi yang sehat.90
Jika seseorang yang membuat wasiat kehilangan akal budinya, maka wasiat
tersebut batal demi hukum. Orang-orang yang tidak sehat akalnya dan ditempatkan dalam rumah perawatan dianggap tidak cakap. Ketidakcakapan yang ada di kemudian hari tidaklah membuat akta wasiat yang semula telah
89F. Satriyo Wicaksono,Hukum Waris, (Jakarta: Visimedia, 2011), hal. 48.
dibuat secara sah menjadi tidak sah. Dengan kata lain, akta wasiat tersebut tetaplah berlaku sah.91
4. Pencabutan dan Gugurnya Wasiat
Jika surat wasiat yang kemudian tidak dengan tegas memuat suatu pencabutan akan wasiat sebelumnya, maka yang demikian hanya membatalkan ketetapan-ketetapan tersebut tidak dapat disesuaikan dengan yang baru atau yang dahulu
bertentangan yang baru.92Dapat ditarik kesimpulan bahwa:93
1. Jika pewaris sudah mengeluarkan lebih dari satu testament, maka semuanya dapat dilaksanakan, kecuali testament yang dikeluarkan kemudian mencabut
dengan tegastestamentterdahulu.
b. Testamentyang dikeluarkan lebih dahulu hanya dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan isitestamentyang dikeluarkan kemudian.
c. Testament yang dikeluarkan paling akhir harus didahulukan pelaksanaannya dan masih ada sisa boedel setelah testament terakhir dilaksanakan baru diberikan kepada testament terdahulu sampai kepada testament yang paling tua usianya.
Pencabutan wasiat atau testament dapat dilaksanakan, antara lain:94 a. Dapat terjadi atas kehendak pewasiat.
91A. Ridwan Halim,Hukum Perdata dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal.123
92Pasal 994 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 93Titik Triwulan Tutik,Op.cit., hal. 273.
b. Dapat dinyatakan secara tegas dengan akta dan, diam-diam, dengan membuat testament baru yang bertentangan dengan testament lama.
c. Testament batal jika pelaksanaannya tidak mungkin.
Di antara pencabutan dan gugurnya wasiat terdapat perbedaan, dimana pencabutan merupakan suaitu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu testament, sedangkan gugur ialah tindakan dari pewaris tetapi wasiat tidak dapat
dilaksanakan, karena ada hal-hal di luar kemauan pewaris.
Testament akan menjadi gugur apabila bertentangan dengan syarat-syarat yang ditetapkan di dalamnya, antara lain:
a. Barang yang diwasiatkan musnah pada waktu pewaris masih hidup atau terjadi setelah meninggalnya pewaris, tetapi tidak diakibatkan oleh perbuatan atau kesalahan ahli waris.
b. Legaat yang berisi bunga, piutang atau tuntutan utang menjadi gugur apabila ada yang menjadi isi legaat tersebut telah dibayarkan kembali kepada pewaris atau penghibah.
c. Ahli waris penerima hibah (legataris) ternyata menolak hibah atau mereka
tidak cakap untuk menerimalegaat.
Jika suatu wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada peristiwa yang tak tentu, maka jika si waris meninggal dunia sebelum peristiwa itu terjadi,
wasiat itu gugur.95Dan jika yang ditangguhkan itu hanya pelaksanannya saja, maka
wasiat itu tetap berlaku, kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu.96
5. Pendaftaran Wasiat Pada Daftar Pusat Wasiat
Dalam hal surat wasiat yang dibuat baik berupa Akta Notaris maupun akta di bawah tangan, Notaris harus mengirimkan daftar akta atau surat yang berkenaan dengan wasiat tersebut ke Daftar Pusat Wasiat Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. Hal ini berdasarkan dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris juncto Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Jika tidak melaporkannya, maka akta tersebut tidak berlaku sebagai akta
otentik, atau dengan kata lain akta tersebut hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan, bahkan dapat dinyatakan batal demi hukum.
Kelalaian Notaris dengan tidak mendaftarkan wasiat ke daftar pusat wasiat mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di
bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris.97
96Pasal 998 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Dalam hal pengiriman laporan daftar akta berkenaan dengan wasiat, telah diterapkan online sistem pada tanggal 28 Maret 2014. Dengan pemberlakuan online sistem, maka Daftar Pusat Wasiat Subdirektorat Harta Peninggalan Direktorat Perdata
tidak lagi menerima pengiriman laporan daftar akta berkenaan dengan wasiat secara manual.98
Mengingat bahwa Daftar Pusat Wasiat Subdirektorat Harta Peninggalan
Direktorat Perdata secara adminstratif hanya mendata setiap laporan daftar akta wasiat yang oleh undang-undang diwajibkan dilaporkan oleh Notaris dalam jangka waktu tertentu, maka dampak hukum akibat Notaris tidak memenuhi kewajibannya
tersebut menjadi tanggung jawab Notaris yang bersangkutan apabila dikemudian hari menimbulkan permasalahan hukum.99
C. Kekuatan Pembuktian Akta Wasiat Sebagai Akta Otentik
Surat wasiat (Testament) merupakan sebuah akta yang berisi pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya terhadap harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia nanti. Karena wasiat ditulis dalam sebuah akta, maka syarat wasiat
adalah “tertulis” (dalam bentuk surat wasiat). Dalam prakteknya, surat wasiat
umumnya dibuat dalam bentuk akta otentik (dibuat di hadapan Notaris). Hal ini
penting mengingat dalam segi pembuktian, akta otentik memiliki nilai pembuktian
yang sempurna.
98 Surat edaran yang dikeluarkan Direktur Perdata Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Daulat Pandapotan Silitonga melalui http://ahu.go.id/
Akta wasiat yang dibuat Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian,100diantaranya :
1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)
Kemampuan Lahiriah akta yang dibuat oleh Notaris, merupakan kemampuan
akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai
terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai
yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menandatanganinya itu mengakui kebenaran dari tandatangannya atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat
dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan.101
Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangan
dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta
Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.
2. Formal (formele bewijskracht)
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai
dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, saksi dan
Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/ berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para oihak/ penghadap (pada akta pihak).
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,
disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tanda tangan para pihak
Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapa pun.
Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan
atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan
umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan.
3. Materil (materiele bewijskracht)
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/ dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan atau para pihak yang diberikan/ disampaikan di hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan/
dimuat dalam akta, berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian keterangannya dituangkan/ dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataan/
sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk / di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan
harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan
pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materiil dari akta Notaris.
D. Akibat Hukum Terhadap Akta Wasiat Yang Dibuat Oleh Notaris Atas Kelalaiannya Sehingga Dinyatakan Melakukan Perbuatan Melawan Hukum
1. Akta Notaris yang Dapat Dibatalkan dan Batal Demi Hukum
a. Akta Notaris Dapat Dibatalkan
Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi.
Demikian pula halnya dengan akta wasiat yang dibuat oleh notaris. Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif
yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat
perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.102
Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan
akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata
mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak
memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan.
Unsur subjektif yang pertama berupa adanya kesepakatan bebas dari para
pihak yang berjanji, atau tanpa tekanan dan intervensi dari pihak mana pun, tapi semata-mata keinginan para pihak yang berjanji.
Pasal 1321 KUHPerdata menegaskan, apabila dapat dibuktikan bahwa kontrak
ternyata disepakati di bawah paksaan atau ancaman yang menimbulkan ketakutan orang yang diancam sehingga orang tidak mempunyai pilihan lain, selain menandatangani kontrak tersebut, maka akta tersebut dapat dibatalkan. Menurut
Subekti, hal ini digambarkan sebagai paksaan terhadap rohani ataupun paksaan terhadap jiwa (physyc) berwujud ancaman yang berbentuk perbuatan melawan hukum, misalnya dalam bentuk kekerasan yang menimbulkan suatu ketakutan.103
Berkaitan dengan kesepakatan ini dalam praktek dikenal doktrin
penyalahgunaan keadaan (Undue Influence), doktrin ini dapat dipergunakan melalui kedudukan seseorang dari posisinya yang memungkinkan untuk melakukan penekanan kepada pihak lainnya, misalnya dalam jabatannya (baik pemerintahan atau
politik atau dalam masyarakat), secara ekonomis, dalam keadaan seperti ini, pihak yang lainnya tidak mempunyai kemampuan untuk menghindarinya selain menerima
103
isi akta yang diberikan kepadanya untuk disepakati. Dengan kata lain, dengan doktrin seperti ini tidak ada kekerasan fisik atau ancaman, tetapi lebih menitikberatkan pada kedaan (situasi dan lingkungan) salah satu subjek dalam akta yang bersangkutan.
Doktrin penyalahgunaan keadaan disebut jugaUnconscinabilityataumisbruik van omstandigheden. Dalam Common Law ada 3 (tiga) tolak ukur untuk diklasifikasikan telah terjadinya Unconscinability yaitu:104
a) Para pihak yang berkontrak berada dalam posisi yang sangat tidak seimbang dalam upaya untuk menegosiasikan penawaran dan penerimaan.
b) Pihak yang lebih kuat tersebut secaratidak rasional menggunakan posisi kekuatan yang sangat mendominasi tersebut untuk menciptakan suatu kontrak yang didasarkan pada tekanan dan ketidakseimbangan dari hak dan kewajiban.
c) Pihak yang kedudukannya lebih lemah tersebut tidak mempunyai pilhan lain selain menyetujui kontrak tersebut.
Adanya Penipuan merupakan alasan lain untuk membatalkan perjanjian, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1328 KUHPerdata, bahwa penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila ada tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuatan perikatan itu jika dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan ini dilakukan baik dengan serangkaian kata-kata atau kalimat yang menyesatkan ataupun pemberian yang tidak benar oleh salah satu pihak yang berkaitan dengan substansi akta, dan salah satu pihak kemudian tergerak untuk menyetujui akta tersebut. Penipuan semacam ini harus dapat dibuktikan oleh salah satu pihak, sebagai sebuah kerugian yang nyata.105
104
Ricardo Simanjuntak,Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Mingguan Ekonomi dan bisnis kontan, 2006), hal. 160-161.
105
Unsur subjektif yang kedua berupa adanya kecakapan untuk melakukan tindakan dari pihak yang berjanji. Kecakapan melakukan suatu tindakan hukum oleh para pihak dalam akta yang akan menimbulkan akibat hukum tertentu jika tidak
memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Dalam hal ini berkaitan dengan subjek hukum yang akan bertindak dalam akta tersebut.
Dikatakan mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak
cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum. Bagi mereka yang di bawah umur batasan tertentu dikaitkan dengan ukuran kuantitas, yaitu usia. Sebagai penghadap untuk pembuatan akta notaris harus memenuhi syarat paling
sedikit berumur 18 tahun (Pasal 39 ayat (1) UUJN. Ketika subjek hukum tersebut bertindak, maka harus diperhatikan kedudukannya yaitu untuk diri sendiri, selaku kuasa, selaku orangtua yang menjalankan kekuasaan orangtua untuk anaknya yang
belum dewasa, selaku wali, selaku pengampu, curator, dalam jabatannya.
b. Akta Notaris Batal Demi Hukum
Akta notaris dinyatakan batal demi hukum apabila akta tersebut tidak memenuhi unsur objektif akta, yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Dalam
hal yang demikian, secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Unsur objektif yang pertama berupa objek yang tertentu (clear and definite)
menjadi pokok perjanjian, tidak peduli apakah barang-barang itu sudah ada atau yang baru akan ada kelak.106
Prestasi tersebut hanya mengikat pihak-pihak yang tersebut dalam akta,
ketentuan ini sebagaimana tersebut dalam Pasal 1340 KUHPerdata, yaitu: “suatu perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, perjanjian tidak dapat memberi
keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317 KUHPerdata.”
Unsur objektif yang kedua yaitu substansi perjanjian adalah sesuatu yang
diperbolehkan baik menurut undang-undang, kebiasaan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan ketika akan dilaksanakan.107
Pasal 38 ayat 3 huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum, sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap
membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan cara
gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta yang berisi syarat objektif tetap
106Ibid., hal. 75.
107
mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.
Dalam Pasal 84 UUJN ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika
Notaris melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu108:
1. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan; dan
2. Akta Notaris menjadi batal demi hukum.
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai di bawah tangan
dan akta Notaris menjadi batal demi hukum adalah dua istilah yang berbeda, maka perlu ditentukan ketentuan (pasal-pasal) mana saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran dengan sanksi akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum.
Untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat dilihat dan ditentukan dari109:
1. Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai
akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
108
maka pasal lainya yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN, termasuk ke dalam akta batal demi hukum.
Pasal 1869KUHPerdata menentukan batasan akta Notaris yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena110:
1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan; atau
2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan; atau 3. Cacat dalam bentuknya.
Meskipun demikian, akta seperti itu tetap mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 44UUJN, Pasal 48 UUJN, Pasal 49, Pasal 50 UUJN dan Pasal 51 UUJN telah disebutkan sebagai pelanggaran Notaris dalam kewajibannya, yang jika dilanggar oleh Notaris, akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan termasuk ke dalam akta yang batal demi hukum.
2. Akibat Hukum Terhadap Akta Wasiat yang dibuat oleh Notaris atas Kelalaiannya
Akibat hukum adalah segala yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap objek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.111
110
Ibid.,
Notaris berprofesi sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari kekuasan negara di bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat bukti otentik (akta Notaris). Dalam pembuatan akta Notaris baik dalam bentukpartij akta maupun
relaasakta, Notaris bertanggungjawab supaya setiap akta yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Kewajiban Notaris untuk dapat mengetahui peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia
juga serta untuk mengetahui hukum apa yang berlaku terhadap para pihak yang datang kepada Notaris untuk membuat akta.
Hal tersebut sangat penting agar akta yang dibuat oleh Notaris tersebut
memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti yang sempurna, demikian juga dalam hal akta wasiat yang dibuat oleh Notaris . Namun dapat saja Notaris melakukan suatu kesalahan dalam pembuatan akta. Kesalahan-kesalahan
yang dapat terjadi, yaitu112:
a. Kesalahan ketik pada salinan Notaris, dalam hal ini kesalahan tersebut dapat diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang asli dan hanya salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai kekuatan sama seperti akta
asli.
b. Kesalahan bentuk akta Notaris, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat berita
acara rapat tetapi oleh Notaris dibuat sebagai pernyataan keputusan rapat.
112 Mudofir Hadi, 1991,Varia Peradilan Tahun VI Nomor 72, Pembatalan Isi Akta Notaris
c. Kesalahan isi akta Notaris, dalam hal ini mengenai keterangan dari para pihak yang menghadap Notaris, dimana saat pembuatan akta dianggap benar tapi ternyata kemudian tidak benar.
Demikian pula halnya dengan akta wasiat yang dibuat oleh Notaris, yang dijadikan alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat
dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.113
Akibat hukum terhadap akta wasiat yang bersifat otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum atas kelalaiannya dalam pembuatan akta (isi) adalah hilangnya keotentikkan akta tersebut dan menjadi
akta dibawah tangan serta akta otentik tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu akta otentik harus memuat ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan materiil) atau salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan
perkara pidana atau perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Sehingga dalam menjalankan jabatanya seorang Notaris harus tunduk pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh dan dihadapan Notaris sesuai dengan
prosedur dan tata cara pembuatan akta otentik agar keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan atau akta tidak sampai dibatalkan.
113
Dalam hal suatu akta wasiat yang dibuat oleh Notaris dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka jika menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, Notaris dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal
tersebut terjadi disebabkan oleh karena kesalahan Notaris. Namun dalam hal pembatalan akta wasiat yang dibuat Notaris oleh pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan Notaris, maka para pihak yang berkepentingan tidak dapat
menuntut Notaris untuk memberikan ganti rugi.114
Seorang Notaris telah menjalani kewajibannya dalam pembuatan akta wasiat apabila akta wasiat yang dibuatnya dan atau dibuat dihadapannya telah memenuhi
syarat formil. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris atas kelalaiannya dalam pembuatan akta wasiat pada dasarnya terjadi suatu perkara, dimana telah menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam UUJN dan UU
perubahan atas UUJN, dan seorang klien atau penghadap lainnya merasa dirugikan atas terbuatnya suatu akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris, sehingga berakibat wasiat yang bersifat otentik yang dibuat oleh Notaris dapat menjadi batal atau dapat dibatalkan.
Mengenai pembatalan akta adalah menjadi kewenangan hakim perdata, yakni dengan mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan. Apabila dalam persidangan dimintakan pembatalan akta oleh pihak yang dirugikan (pihak korban)
maka akta Notaris tersebut dapat dibatalkan oleh hakim perdata jika ada bukti lawan. Sebagaimana diketahui bahwa akta Notaris adalah akta otentik yang merupakan alat
bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan sempurna. Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan yakni diajukannya gugatan untuk menuntut pembatalan akta ke pengadilan agar akta
tersebut dibatalkan.115
Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu undang-undang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh undang-undang dapat
dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan oleh hakim perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan hukum/perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut
akan tetap berlaku atau sah. Setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas gugatan penuntutan pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang otentik karena mengandung
cacat secara yuridis/cacat hukum. Dan berlakunya pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat.116
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang tolak ukur sah atau tidaknya suatu perjanjian terdapat 2 (dua) macam syarat yaitu syarat subyektif dan
syarat obyektif. Syarat-syarat perjanjian pada angka 1 dan angka 2 Pasal 1320 KUH Perdata adalah syarat subjektif apabila jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sepanjang ada permintaan oleh
orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Pembatalan karena ada permintaan dari
115Habib Adjie, 2008, Op. Cit., hal. 102.
116
pihak yang berkepentingan, seperti orang tua, wali atau pengampu disebut pembatalan yang relatif atau tidak mutlak.117 Pembatalan relatif ini dibagi 2 (dua) yaitu pembatalan atas kekuatan sendiri, maka atas permintaan orang tertentu dengan
mengajukan gugatan atau perlawanan, agar hakim menyatakan batal (nietig verklaard) suatu perjanjian. Contohnya jika tidak dipenuhi syarat subjektif (Pasal 1446 KUHPerdata) dan pembatalan oleh hakim, dengan putusan membatalkan suatu
perjanjian dengan mengajukan gugatan. Contohnya Pasal 1449 KUHPerdata.118 Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Kebatalan seperti ini disebut kebatalan nisbi atau relatif.119
Selanjutnya, syarat-syarat perjanjian pada angka 3 dan angka 4 Pasal 1320
KUH Perdata adalah syarat objektif dan apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka suatu perjanjian dapat dinyatakan batal demi hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Habib Adjie yang mengatakan bahwa: “Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak,
dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun”.120
117Habib Adjie, 2011,Op. Cit.,hal. 65.
118
Wirjono Prodjodikoro,Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Bale Bandung, 1989), hal. 121. 119Habib Adjie, 2011,Op. cit., hal. 65.
Dengan demikian suatu perjanjian batal demi hukum jika121: 1. tidak mempunyai objek tertentu yang dapat ditentukan;
2. mempunyai sebab yang terlarang oleh undang-undang atau berlawanan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Pentingnya suatu objek tertentu dan kausa halal ditegaskan dalam Pasal 1335 KUHPerdata yaitu jika syarat suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat
karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, maka persetujuan tersebut tidak mempunyai kekuatan. Pasal 1336 KUHPerdata yaitu jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang halal (tidak dilarang), ataupun jika ada suatu sebab lain,
daripada yang dinyatakan, maka persetujuan tetap sah. Pasal 1337 KUHPerdata yaitu suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.122
Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.123 Misalnya jika suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum.124
121Ibid.,hal. 209. 122Ibid.,
Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh penghadap apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau kesalahan yang telah dituangkan dalam akta tersebut. Jika di dalam isi akta terdapat suatu keraguan
terhadap kesepakatan/perjanjian dari para pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat dibatalkan. Bilamana Notaris terseret dalam perkara pemalsuan akta yang menjadi aktor intelektualnya atau Notaris turut serta ikut melakukan pemalsuan surat yang
bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut maka secara yuridis tidak dapat ditolerir bukan hanya berdasarkan ketentuan pidana saja, tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta UUJN dan undang-undang perubahannya.
Perkara Notaris berkaitan dengan akta otentik yang dibuatnya dan aktanya menimbulkan perkara perdata atau pidana maka aktanya batal demi hukum karena dilihat dari sisi syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata
yang berisi kesepakatan para pihak, kecakapan bertindak, adanya suatu hal tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu sebab yang halal terhadap perjanjian tersebut. Jika suatu akta menimbulkan suatu pidana maka persyaratan perjanjian dilihat unsur-unsur perjanjian yang terkandung didalamnya. Para ahli hukum seperti Sudikno
Mertokusuno, Mariam Darus, dan J.J. Satrio bersepakat bahwa unsur-unsur perjanjian itu terdiri dari unsur esensialia, unsur naturalia, dan unsur aksidentalia.125
Unsur pertama lazim disebut dengan bagian inti perjanjian, unsur kedua dan
ketiga disebut bagian non inti perjanjian. Unsur esensialia adalah unsur yang mutlak
125
harus ada untuk terjadinya perjanjian, agar penjanjian itu sah dan ini merupakan syarat sahnya perjanjian. Jadi keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata merupakan unsur esensialia perjanjian. Dengan kata lain, sifat esensialia perjanjian
adalah sifat yang menentukan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel). Unsur naturalia adalah unsur yang lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya
dianggap ada dalam perjanjian. Unsur ini merupakan sifat bawaan (natuur) atau melekat pada perjanjian. Misalnya penjual harus menjamin cacat-cacat tersembunyi kepada pembeli. Sedangkan unsur aksidentalia, artinya unsur yang harus dimuat atau
dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian oleh para pihak. Misalnya jika terjadi perselisihan, para pihak telah menentukan tempat yang dipilih.
Atas keadaan demikian, akibat hukum terhadap akta wasiat yang dibuat oleh
Notaris dinilai mengandung perbuatan melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta dibawah tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan. Seperti dikemukakan dalam kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik termasuk dalam kewenangan secara atribusi, berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU
perubahan atas UUJN. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa akta otentik menjadi akta dibawah tangan, selain itu juga akta tersebut dibatalkan diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Notaris, dimana Notaris dalam
Sehubungan dengan kewenangannya tersebut Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya/ pekerjaannya yang telah menimbulkan kerugian dalam membuat akta. Besarnya tanggung jawab Notaris dalam menjalankan profesinya
mengharuskan Notaris untuk selalu cermat dan hati-hati dalam setiap tindakannya. Namun demikian sebagai manusia biasa, tentunya seorang Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya terkadang tidak luput dari kesalahan baik karena
kesengajaan maupun karena kelalaian yang kemudian dapat merugikan pihak lain.126 Adapun kedudukan akta Notaris diantaranya yaitu dapat dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena penerapan asas praduga sah. Kedudukan akta Notaris tersebut tidak dapat dilakukan secara bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja.127
Jika dalam halnya akta wasiat yang dibuat oleh Notaris diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada pengadilan umum (Negeri) dan telah ada putusan pengadilan umum yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta Notaris mempunyai kududukan pembuktian sebagai akta Notaris yang batal, maka akta wasiat yang dibuat oleh Notaris yang telah batal menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat atau jika akta wasiat yang dibuat oleh Notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri, maka akta wasiat tersebut menjadi akta di bawah tangan.
126 Hasil wawancara dengan Notaris/ PPAT Deli Serdang Erita Wagewati Sitohang, pada tanggal 22 Juli 2016.