• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi Etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang dalam menghadapi Politik Asimilasi Pemerintah Orde Baru

EKSISTENSI ETNIK TONGHOA DI KECAMATAN SIDIKALANG TAHUN 1967-2000

4.2 Adaptasi Etnik Tionghoa di Kecamatan Sidikalang dalam menghadapi Politik Asimilasi Pemerintah Orde Baru

4.2.1 Agama, Kepercayaan dan Rumah Ibadah Etnik Tionghoa

Larangan pemerintah Orde Baru terhadap agama tradisional Tionghoa dan kewajiban menganut salah satu agama resmi negara menyebabkan agama tradisional Tionghoa mulai ditinggalkan. Sejak Tao, Kong Hu Cu dan aliran kepercayaan laiinya menjadi ajaran yang dilarang di Indonesia, banyak etnik Tionghoa yang memilih agama Budha, Hindu, Kristen, Katolik ataupun masuk Islam. Proses perpindahan agama ini dilakukan karena setiap warga negara Indonesia diwajibkan menganut salah satu agama resmi yang diakui negara. Jika tidak beragama, berarti tidak mematuhi Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.54

Berkurangnya praktek aliran kepercayaan seperti Tao dan Fe Kong dan lain-lain di Sidikalang selain-lain karena faktor dari luar (larangan pemerintah) juga dipengaruhi faktor dari dalam (dari etnik Tionghoa itu sendiri).Para generasi tua masih mempraktekkan/meneruskan kepercayaan tradisional tersebut kepada generasi muda. Namun pengetahuan mereka sendiri akan kepercayaan tersebut sudah semakin berkurang semakin ke bawah, pemahaman akan kepercayaan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena mereka semakin jauh dari tanah kelahirannya dan juga jauh

54

Masalah agama di Indonesia diatur oleh Negara, ada 6 agama yang diakui di Indonesia yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan khonghucu. Agama yang terakhir ini memang masih sering menjadi bahan perdebatan.Khonghucu dianggap bukan agama melainkan sebuah aliran kepercayaan.Namun pada dasarnya Khonghucu memang dibawa dan dipraktekkan oleh etnik Tionghoa.

60 dari orang-orang Tionghoa yang paham/menguasai serta mempraktekkan ajaran leluhur tersebut. Selain itu, pernikahan campuran dengan etnik lain yang memiliki agama berbeda juga menjadi penyebab beberapa etnik Tionghoa memeluk agama baru mengikuti agama istri yang mengakibatkan keturunan mereka tidak akan menerima ajaran leluhurnya secara utuh.

Orde Baru dengan politik asimilasinya menggunaan agama sebagai alah satu cara untuk menekan atau menghilangkan kepercayaan Tionghoa. Negara menjadikan agama sebagai salah satu alat untuk megontrol masyarakatnya. Pemerintah berharap etnik Tionghoa sebagai etnik asing juga dapat dikontrol melalui kebijakan larangan berkembangnya aliran kepercayaan yang telah mendarah daging dan menjadi identitas bagi etnik Tionghoa.

Tabel 4

Perbadingan Jumlah Penduduk Sidikalang Menurut Agama yang Dianut tahun 1995-2000

TAHUN

JUMLAH

TOTAL

Islam Protestan Katolik Hindu Budha

1995 14.550 32864 3433 116 261 51224 1996 14550 30974 3433 116 261 49334 1997 14535 31696 3480 - 387 50098 1998 14535 31696 3480 - 387 50098 1999 14563 31762 3484 - 392 50201 2000 23434 36020 3986 - 392 63832

61 Tabel diatas menunjukkan jumlah penduduk Sidikalang berdasarkan agama yang dianut dari tahun 1995-2000. Agama Kristen Protestan mendominasi tiap tahunnya, lebih dari setengah total jumlah penduduk Sidikalang menganut agama tersebut. Diurutan kedua terdapat agama Islam dengan jumlah yang cukup stabil tiap tahun yaitu sekitar 14.000-an, tetapi di tahun 2000 terjadi peningkatan yang cukup besar menjadi 23.434 jiwa.Selanjutnya agama Katolik ada pada urutan ke tiga, untuk jumlah tidak menunjukkan peningkatan yang drastis dari tahun ke tahun, angkanya selalu berkisar di 3.400-an, kecuali tahun terakhir terjadi sedikit peningkatan menjadi 3.986 jiwa.Sementara untuk agama Hindu, ada suatu perubahan jumlah yang sangat drastis. Setelah dua tahun berurut penganut agama Hindu berjumlah 116 jiwa, pada tahun 1997 jumlah tersebut menghilang menjadi 0 sampai tahun 2000. Sedangkan agama Budha justru mengalami peningkatan dari 261 jiwa menjadi 387 dan terus meningkat sampai tahun 2000 berjumlah 392 jiwa.

Tabel 5

Banyaknya Saran/Rumah Ibadah di Kecamatan Sidikalang tahun 1995-2000

TAHUN JUMLAH Mesjid Musholla Gereja Protestan Gereja Katolik Vihara 1995 30 - 116 7 1 1996 19 6 116 6 1 1997 20 5 116 7 1 1998 20 5 116 7 1 1999 20 6 129 8 1 2000 28 8 95 6 1

62 Dari tabel 5 terlihat jelas bahwa jumlah rumah ibadah gereja Protestan mendominasi. Namun tahun 2000 terjadi penurunan, jumlah gereja yang tadinya berkisar ratusan menurun menjadi 95. Jumlah masjid juga mengalami penurunan dari 30 menjadi 20 sampai tahun 1999 dan bertambah menjadi 28 pada tahun 2000. Gereja Katolik tahun 1995 berkurang yaitu dari 7 berkurang menjadi 6, dua tahun berikutnya kembali menjadi 7 dan pada tahun 1999 menjadi 8 namun tahun 2000 berkurang menjadi 6. Sedangkan untuk musshola jumlahnya paling banyak berada di tahun 2000 yaitu 8 sebelumnya secara bururut berjumlah 6,5,5 dan 6. Kemudian rumah ibadah Vihara adalah satu-satunya yang tidak pernah mengalami perubahan, dari tahun1995-2000 jumlah vihara yang terdapat di Sidikalang hanya ada 1 saja.

Di Indonesia ajaran Konghucu dan Taoisme maupun aliran kepercayaan lainnya diharamkan dan dilarang berkembang, akibatnya kelenteng sebagai sarana

rumah ibadah kepercayaan etnik Tionghoa‟pun tak luput dari sasaran.Sebagai salah satu program asimilasi, Pemerintahan Soeharto berusaha mengubah kelenteng menjadi vihara, walaupun secara makna dan fungsi antara keduanya sangat berbeda. Kelenteng merupakan tempat ibadah yang digunakan oleh umat Konghucu dan Tao sedangkan vihara hanya diperuntukkan bagi umat Budha. Dengan kata lain ajaran Taoisme dan Konghucu harus berlindung dibalik agama Budha.55

55

Di Indoneia masalah agama menjadi urusan pemerintah, ada 6 agama yang diakui yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha daan Khong Hu Cu. Khong Hu Cu sendiri masih sering menjadi bahan perdebatan karena dianggap bukan agama melainkan sebuah aliran kepercayaan. Namun pada umunya Khong Hu Cu memamg dibawa dan dipraktekkan oleh etnik Tionghoa.

63 Di kecamatan Sidikalang kelenteng terdapat di desa Bintang yang sudah berdiri sangat lama, yaitu hampir sama sejak kedatangan mereka di Sidikalang. Sejak ada larangan pemerintah untuk aliran kepercayaan maka kelenteng berubah nama menjadi vihara (lihat tabel 5: tidak ada kata kelenteng tapi vihara), karena kelenteng merupakan tempat beribadah penganut aliran kepercayaan (Tao dan Konghucu). masyarakat Sidikalang sampai sekarang lebih sering menggunakan kata vihara daripada kelenteng jika menyebutkan rumah ibadah etnik Tionghoa.

Setelah terjadi berbagai peristiwa politik yang diduga melibatkan etnik Tionghoa (seperti peristiwa G30S), banyak diantara mereka yang memutuskan untuk keluar dari Sidikalang. Kelenteng yang dahulunya ramai dengan berbagai macam ritual ataupun untuk sembahyang semakin lama semakin berkurang. Mereka yang masih tinggal di Sidikalang merasa ragu-ragu, was-was untuk mengunjungi kelenteng. Selain itu fisik bangunan kelenteng pun menjadi kurang terawat.

Tidak hanya pada ajarannya, pemerintah juga membatasi pembangunan kelenteng-kelenteng di seluruh Indonesia, kelenteng hanya cukup di rawat tanpa ada pembangunan yang lebih besar.Meskipun etnik Tionghoa memilki uang dan berniat untuk membangun kelenteng yang lebih besar dan bagus, maka itu hanya sebatas angan-angan saja, mereka sudah harus cukup puas dengan kelenteng yang sudah ada

64 sejak dulu.Akibatnya pada masa Orde Baru banyak kelenteng di seluruh Indonesia yang kurang terawat dan tidak berkembang, termasuk kelenteng di desa Bintang.56

Hanya pada hari-hari tertentu, kelenteng ini mendapat banyak pengunjung. Misalnya saat Imlek dan Cap Gomeh akan banyak pengunjung yang datang ke kelenteng. Mereka ada yang datang dari luar kota seperti Medan, Berastagi, Siantar, Jakarta bahkan dari luar negeri. Mereka datang untuk sembahyang di kelenteng serta mengunjungi kuburuan leluhurnya, sebagian dari mereka adalah etnik Tionghoa yang dulu pernah tinggal di Sidikalang, meskipun mereka telah meninggalkan Sidikalang, tetapi mereka tidak melupakan kewajibannya untuk selalu jiarah ke makam leluhur.57

Di Sidikalang berkembang sebuah aliran kepercayaan yaitu Budha Maitreya atau disebut juga Ikuanisme atau I kuan Tao; sebuah aliran kepercayaan yang berasal dari Taiwan berkembang di Indonesia sekitar tahun 1950-an dan sudah berkembang di Sidikalang sejak tahun 1970. Ajaran Maitreya menekankan ajaran moral yang menggabungkan aliran Konfusianisme, Taoisme dan Budha.58

Di Indonesia aliran kepercayaan Budha Maitreya berkembang sebagai satuan dari agama Budha, padahal banyak pihak dari aliran kepercayaan lainnya seperti

56

Wawancara, Aseng (41 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 24 Agustus 2015, sejak tahun 1990 beliau bekerja sebagai kuli khusus membangun kelenteng dan kuburan Tionghoa.

57

Pengelola kelenteng ialah Bapak Jamesli, beliaulah yang bertanggung jawab atas kelenteng ini. Biasanya pihak kelenteng akan memperkerjakan beberapa orang untuk membersihkan dan merapikan kelenteng tersebut, mereka selalu menjaga suasana lingkungan kelenteng nyaman dan rapi.

58

Vihara Maitreya pertama didirikan di Malang tahun 1950. Di bawah pimpinan Tan Pik Ling, Buddha Maitreya berkembang pesat ke Surabaya, Jakarta, Medan, Bagansiapi-api, Pontianak dan kota lainnya di Indonesia. Di Taiwan, I kuan Tao atau Maitreya berdiri sendiri sebagai sebuah agama, berbeda dengan Indonesia yang mendombleng nama agama Budha.

65 Theravada, Mahayana dan Tantrayana menolak kepecayaan Maitrya sebagai bagian dari agama Budha. Menurut mereka ajaran-ajaran dan ritual-ritual dalam aliran ini tidak ada hubungannya dengan agama Budha. Pemakain label Budha pada aliran kepercayaan Maitreya lebih untuk alasan politis. Sebab tanpa label Budha aliran ini akan dianggap sebagai suatu agama baru dan akan dianggap malawan hukum sebab tidak termasuk dalam 6 agama resmi yang diakui pemerintah.

Adanya tekanan dari pemerintah Orba terhadap aliran kepercayaan membuat Budha Maitreya harus mampu beradaptasi, misalnya ada larangan penggunaan bahasa Mandarin maka liturgi dan upacara keagamaan dilaksanakan menggunakan bahasa Indonesia.Selain itu Vihara Budha Maitreya di Indonesia memiliki ciri khas yaitu

tercantum kalimat “Tuhan Maha Esa” di dalam ruangan tempat ibadah.

Aliran kepercayaan Budha Maitreya ini telah memiliki sebuah balai pendidikan yang bernama Balai Pendidikan Sad Paramita yang terletak di kelurahan Batang Beruh, Sidikalang. Di sinilah mereka akan dibina dan dibimbing mengenai Maitreya itu seperti apa. Pengunjung yang datang ke balai ini tidak hanya etnik Tionghoa yang berasal dari Sidikalang tetapi juga dari luar daerah seperti dari Medan, Berastagi, Pematang Siantar, Jakarta, Bandung dan kota-kota lainnya di Indonesia. Biasanya orang tua mereka akan mengirimkan anak-anaknya untuk belajar agama di balai tersebut untuk selama kurang lebih 5 bulan.

66 Balai ini jika dilihat dari luar terkesan tertutup, karena dikelilingi tembok tinggi dan gerbang yang selalu tertutup, terlihat seperti hanya sebuah rumah, padahal luas balai ini kurang lebih 2 ha, dengan segala macam fasilitas di dalam (disana telah tersedia asrama, ruang belajar, taman dan sarana untuk sembahyang). Hal ini dapat dipahami mengingat ketentuan pemerintah yang melarang aliran kepercayaan untuk berkembang di seluruh Indonesia.

67 Gambar 1

Kelenteng di desa Bintang kecamatan Sidikalang

Gambar 2

Balai Pendidikan Sad Paramita

68 4.2.2 Tradisi Ceng Beng dan Pemujaan Leluhur Etnik Tionghoa

Etnik Tionghoa mempunyai tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya kia hao atau filial piety, alias rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya) yang dikenal dengan Ceng Beng. Tradisi ini terus dlaksanakan bahkan pada masa Orde Baru yang sangat melarang segala yang berbau Tionghoa.Politik asimilasi pemerintah bertujuan untuk mengurangi atau menghapus segala budaya Tionghoa termasuk Ceng Beng.Akan tetapi dari sekian banyak hal yang berbau Tionghoa, Ceng Beng sepertinya menjadi salah yang sulit untuk hilangkan.

Begitu juga dengan etnik Tionghoa yang di Sidikalang, mereka masih menjalankan tradisi Ceng Beng tersebut. Pada hari Ceng Beng ini, yang jatuh pada tanggal 5 April untuk setiap tahunnya, mereka datang ke makam atau kuburan orang tua untuk membersihkannya dan sekalian bersembahyang di makam sambil membawa buah-buahan, kue-kue, makanan, dan karangan bunga. Selain itu hari Ceng Beng juga dirayakan dengan caramembakar uang-uangan, sembayang dan membersihkan kuburan, lembaran kertas ditaruh di atas kuburan.

Pesan Moral Perayaan Ceng Beng terkait dengan pilar-pilar budaya Tionghoa yaitu penghormatan leluhur, makanan, kekerabatan, keselarasan dan harmoni, setia, berbakti, dan juga kebersamaan.Dan hal itu tidak hanya ada pada Ceng Beng saja tapi tercermin pada semua ajaran Tionghoa yang ada.Dengan menghormati leluhur berarti kita harus menjaga sikap hidup kita agartidak mencoreng

69 nama leluhur. Melalui Ceng Beng ini kita menyadari bagaimana cara kita menghormati leluhur, caranya sederhana yaitu berikanlah kontribusi positif pada lingkungan kita dan selalulah menjaga perilaku kita agar tidak memalukan para leluhur.

Sistem kekerabatan etnik Tionghoa memberikan pengaruh besar pada bertahannya tradisi pemujaan leluhur ini. Mereka memiliki tradisi yang harus dilaksanakan secara turun-menerun yaitu anak laki – laki tertualah yang merupakan ahli waris dan yang akan meneruskan pemujaan terhadap leluhurnya. Dimana pun dia berada maka ia harus tetap melaksanakan tanggung jawab itu. Makanya di rumah-rumah Tionghoa sering ditemukan rumah-rumah abu atau meja sembahyang leluhur.59

Pemujaan terhadap leluhur juga akan dilakukan saat terdapat perayaan atau kesusahan dalam keluarga. Perayaan keluarga adalah hal membahagiakan yang terjadi dalam keluarga, misalnya adanya kelahiran dalam keluarga atau adanya pernikahan.Kesusahan dalam keluarga misalnya menyangkut adanya kematian, penyakit dan musibah tak terduga dalam keluarga. Barang-barang yang dibutuhkan pada saat pemujaan leluhur, antara lain :

1. Papan Arwah

Biasanya papan arwah diletakkan di ruang tengah.Bentuk papan arwah bermacam-macam, yang paling umum adalah papan kecil berbentuk persegi panjang

59

Dari ke tiga rumah etnik Tionghoa yang penulis pernah kunjungi, ketiga-tiganya masih memiliki meja sembahyang lengkap dengan patung-patung dewa-dewinya.

70 yang terbuat dari kayu. Orang-orang biasanya akan meletakkan papan arwah di atas meja pendupaan biasa atau digantung di dinding. Tetapi saat ini sebagian besar menggunakan kertas merah untuk menggantikan papan kayu. Terhadap leluhur dalam keluarga yang telah meninggal, fotonya akan digantungkan di atas papan arwah atau langsung menggantungkannya di dinding

2. Dupa dan Lilin

Memulai pemujaan leluhur dengan menyalakan dua buah lilin merah, menandakan kemakmuran keturunan. Setelah menyalakan lilin, akan membakar dupa (hio). Secara umum, membakar dua dupa untuk memuja leluhur, sedangkan untuk memuja dewa membakar tiga dupa. Namun ada juga orang yang membakar tiga dupa, karena menganggap leluhur sama seperti dewa.

3. Uang Kertas

Uang kertas adalah „uang akhirat‟ yang disediakan untuk digunakan oleh

orang yang telah meninggal.Di dunia, yang pertama dibutuhkan oleh orang adalah uang.Oleh karena itu, dalam pemujaan leluhur, sering ditemui pembakaran uang kertas.Mereka percaya bahwa uang kertas adalah uang yang digunakan orang yang telah meninggal di dunia akhirat.Hal ini menandakan bahwa mereka masih percaya kehidupan di dunia akhirat menyerupai kehidupan yang mereka jalani saat ini. Di sini membutuhkan uang, disana pun juga pasti membutuhkan. Oleh karena itu mereka berharap dengan membakar uang kertas, leluhur dapat memiliki kehidupan yang baik. 4. Makanan dan Minuman

71 Pemujaan leluhur tidak dapat dilakukan tanpa makanan.Menu makanan sembahyang leluhuryang paling sering dihidangkan adalah sansheng/samsiang, yakni suatu menu yang terdiri dari ayam, ikan dan daging babi (saat ini sebagai gani daging babi sering juga menggunakan daging sapi).Pada saat hari raya disediakan pula makanan khas seperti bakcang, kue bulan dan kue keranjang. Dalam menu makanan pemujaan juga disediakan nasi putih yang disediakan berdasarkan jumlah leluhur yang dipuja, sehingga leluhur masing-masing akan mendapatkan semangkuk nasi.Selain makanan pokok, pemujaan juga menggunakan buah-buahan dan sayur-sayuran segar. Makanan dan minuman yang disediakan untuk pemujaan leluhur, umumnya tidak hanya berdasarkan kebiasaan yang dulu, tapi juga disesuaikan dengan makanan dan minuman yang disukai oleh leluhur.

Pemerintah Orde Baru melarang adat dan istiadat etnis Tionghoa dilaksanakan didepan umum, mereka boleh melakukan aktivitas adat hanya sebatas dilingkungan keluarga saja.Sebagai contoh upacara pemakaman dan pernikahan etnik Tionghoa. 60 Masa ini upacara pemakaman dilakukan secara sederhana saja.Sebelumnya pemakaman etnik Tionghoa di Sidikalang memakai upacara adat

60

Etnik Tionghoa yang datang ke Sidikalang dengan berbagai macam status, ada yang sudah menikah dan ada juga yang belum. Jika mereka menikah dengan sesama etnik Tionghoa mereka akan melangsungkan pernikahan memakai adat mereka. Acara pernikahan itu biasanya dihadiri oleh keluarga atau kerabat saja.Budaya yang sangat berbeda menyebabkan masyarakat Sidikalang non-Tionghoa sulit menghadiri acara pernikahan mereka.Perayaan pernikahan dapat dikatakan terbatas hanya bagi kalangan mereka sendiri. Namun berbeda jika yang menikah ialah etnik Tionghoa dengan etnik lain, misalnya dengan Toba maka adat Toba juga akan digunakan. Biasanya sehari sebelum pesta adat Toba dilaksanakan, mereka akan melakukan adat Tionghoa. Pihak keluarga Toba akan mengikuti adat/ritual pernikahan yang telah ditentukan oleh keluarga Tinghoa. Begitu juga sebaliknya, keesokan harinya pesta denga adat Toba harus mereka ikuti.

72 yang mewah yaituadanya iring-iringan dari keluarga yang berduka disertai musik tradisional mereka dan juga anak-anak yang membawa bendera merah dan kuning. Sepanjang jalan dari rumah hingga ke tempat pemakaman yaitu kuburan khusus Tionghoa di desa Bintang mereka akan berdoa dan bernyanyi. Bagi pihak keluarga untuk menunjukkan kalau sedang berduka, mereka biasanya mengenakan pakaian berwarna putih dari bahan belacu (bahan yang murah).Untuk wanita biasanya mengenakan tutup kepala yang berbetuk kerucut dan berwarna putih dan untuk pria mengenakan ikat kepalakepala juga berwarna putih.61

Semenjak adanya larangan dari pemerintah hal tersebut tidak dijumpai lagi, adat dan budaya menjadi hanya untuk kalangan sendiri.Tidak boleh ditunjukkan didepan umum dan peraturan ini berlaku secara resmi di seluruh Indonesia. Namun jika yang meninggal ialah seorang etnik setempat yang memiliki suami atau istri Tionghoa maka proses penguburannya bisa menggunakan adat dan kepercayaan etnik setempat.

Adaptasi dan pembauran yang terjadi akhirnya memberikan unsur baru kepada kuburan etnik Tionghoa di Sidikalang. Ada yang berbeda antara kuburan etnik Tionghoa yang telah menganut agama Kristen, memakai marga Batak dan

61

Etnik Tionghoa merupakan salah satu suku yang sangat menghargai siklus kehidupan.Bagi masyarakat Tionghoa, lahir, tua, sakit dan mati adalah hal yang harus dilalui semua orang. Menurut masyarakat Tionghoa, kematian merupakan sesuatu yang tabu untuk dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa kematian merupakan sesuatu yang buruk meskipun mereka meyakini adanya kehidupan setelah kematian yang dikenal dengan istilah Reinkarnasi.

73 melakukan pernikahan campuran dengan kuburan etnik Tionghoa yang belum

„tercampur‟ dengan etnik lain. Beberapa kuburan yang merupakan hasil asimilasi tersebut memiliki beberapa perbedaan yang mendasar seperti bentuk dan ukuran kuburan yang lebih kecil, tulisan-tulisan yang terdapat di dinding sudah memakai bahasa Indonesia dan Toba serta beberapa kuburan yang sudah tidak memakai meja sesajen lagi.62

4.2.3 Perayaan Imlek dan Cap Gomeh

Pada tahun 1950-an saat imlek, etnik Tionghoa di Sidikalang akan menyelenggarakan pertunjukkan Barongsai di lapangan besar (di samping Gedung Nasional sekarang). Biasanya Barongsai di sewa dari luar kota Sidikalang khusus untuk memeriahkan imlek. Selama pertunjukan, lapangan akan dipadati masyarakat Sidikalang non-Tionghoa, mereka tertarik untuk melihat pertunjukan yang masih

tergolong “baru” tersebut.63

Namun menjelang pemerintahan Orde Baru, perayaan Imlek tidak diperbolehkan dilakukan secara terbuka, tidak boleh ada bentuk perayaan seperti

62

Wawancara, Aseng (41 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 24 Agustus 2015 menyatakan bahwa sebenarnya pemakaman Tionghoa tidak boleh digunakan oleh etnik atau agama lain. Pemakaman itu khusus untuk mereka, karena itu dianggap bertentangan dan akan mengganggu kenyamanan dipemakaman. Kita tahu mereka sangat menghormati leluhurnya yang sudah meninggal.

63

Wawancara, S. Sihombing (81 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 25 Austus 2015, selain saat saat Imlek petunjukan Barongsai juga diselenggarakan pada perayaan ulang tahun kemerdekaan RI. Barongsai akan menjadi salah satu acara hiburan saat acara 17-an bersama dengan pertunjukan lannya (tarian daerah, panjat pinang, balap karung dan lain-lain). Perayaan tahun baru imlek dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Gomeh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).Malam tahun baru imlek dikenal sebagai malam pergantian tahun.

74 pertunjukan Barongsai dan pertunjukan lainnya yang menunjukkan budaya Tionghoa. Pemerintah tidak mengeluarkan ijin untuk mereka karena dianggap sama saja memberikan kesempatan kepada etnik Tionghoa untuk mempertahankan budayanya. Sementara pemerintah menginginkan asimilasi total, dimana etnik Tionghoa diharapkan akan meninggalkan budaya dan terserap pada budaya masyarakat Indonesia.

Maka pada saat itu, perayaan Imlek di Sidikalang dilakukan di Vihara dan dirumah. Tidak ada perayaan besar seperti Barongsai, kembang api, petasan dan acara hiburan lainnya. Semua dilakukan secara tertutup dan hati-hati.Namun meskipun keadaan tidak mendukung, mereka tidak pernah melewatkan Imlek dan Cap Gomeh.

Etnik Tionghoa yang telah menganut agama Kristen ataupun Katolik juga tetap ikut merayakan. Biasanya mereka tetap akan ke Vihara dan ikut sembahyang, dirumah mereka tetap sediakan berbagai macam kue khas Imlek seperti kue keranjang, mie panjang umur, bihun, bakmi goreng, samsiang, Tanghun (sup ikan dan sup daging), buah-buahan, arak dan lain-lain. Imlek juga menjadi moment penting karena seluruh keluarga akan berkumpul. Sejauh apapun mereka merantau pada imlek mereka akan pulang ke Sidikalang untuk mengunjungi keluarga dan makam leluhur. mereka akan merayakan Imlek bersama dengan sembahyang serta serangkaian acara kecil lain.64

64Wawancara, Lau Li Ying (55 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 11 Agustus 2015, semenjak ada larangan dari pemerintah, masyarakat Sidikalang merayakan Imlek dengan lebih

75 Gambar 3

Kuburan Tionghoa asli

Gambar 4 Kuburan Hasil Asimilasi

(sumber: Dokumentasi pribadi, 20 Agustus 2015).

sederhana. Meskipun Barongsai dilarang, mereka tetap membuat acara hiburan kecil untuk mereka sendiri.misalnya acara bernyanyi dan perlombaan-perlombaan yang dilakukan secara tertutup.

Dokumen terkait