• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Etnik Tionghoa merupakan salah satu etnik yang sangat menarik untuk diperbincangkan.Sebagai salah satu etnik pendatang, mereka cukup banyak menyita perhatian masyarakat Indonesia, banyak penulis dan sarjana yang telah mengkaji etnik ini baik dari bidang sosial, ekonomi maupun budaya.

Ketertarikan penulis untuk mengkaji etnik Tionghoa berawal dari pertemuan penulis dengan beberapa keturunan Tionghoa yang bisa menggunakan bahasa Toba dan Pakpak tetapi tidak bisa menggunakan bahasa asli mereka sendiri, ada juga yang memakai marga dari etnik lain seperti marga dari batak Toba dan Simalungun. Selain itu penulis juga tertarik melihat keaktifan mereka dalam bidang perdagangan yang membuat mereka menjadi orang yang sukses dibidang ekonomi.Faktor lainnya yaitu keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia yang pernah mengalami masa-masa yang berat dan sulit, tidak jarang mereka mendapatkan tekanan dan perlakuan yang diskriminatif baik dalam lingkungan masyarakat juga dalam kehidupan birokrasi Indonesia.1

1

Ketegangan, kebingungan, keraguan seakan-akan “harus” menjadi bagian hidup etnis Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari ia harus berhati-hati, harus memperhitungkan banyak faktor, dalam berbicara, dalam makan-minum, dalam urusan dengan birokrasi, dalam berdagang dan sebagainya ia tidak boleh sembarangan. Ada banyak “awas ini” dan “awas itu”. Ia seakan-akan

berjalan dalam jalan yang di penuhi rambu-rambu. Lihat I. Wibowo, Harga yang Harus Dibayar,

2 Kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara sudah terjadi sangat lama, berdasarkan berita Cina yang ditulis oleh Fa Hian disebutkan bahwa etnik Tionghoa sudah datang ke Indonesia sejak sekitar abad ke-4 M. Mereka ada yang datang untuk mengunjungi kerajaan Sriwijaya untuk belajar agama Budha, kerajaan Tarumanegara, kerajaan Kalingga yang diperintah oleh ratu Sima dan berdagang dengan beberapa kerajaan yang ada di Nusantara.2

Etnik Tionghoa menyebar hampir di seluruh kawasan Nusantara seperti di Jawa, Kalimantan Barat, Sumatera, Bangka-Belitung, dan Sulawesi Selatan.Hadir dan berkembangnya etnik Tionghoa di Indonesia tidak hanya di wilayah kota-kota besar, tetapi sampai juga ke wilayah pedesaan dan kota-kota kecil.Salah satu wilayah yang menjadi tempat tinggal mereka yaitu Sidikalang.Sidikalang merupakan salah satu kecamatan dan sekaligus menjadi ibu kota Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Sidikalang memiliki masyarakat yang heterogen, berbagai etnik tinggal di daerah ini seperti Toba, Simalungun, Pakpak, Karo, Jawa, Minang, Tionghoa dan lain-lain.

Di Sidikalang kita dapat menemui wilayah tempat tinggal etnik Tionghoa berada di pusat kota yaitu daerah Simpang Empat. Pada daerah ini, rumah mereka berjejer sepanjang jalan dan daerah ini merupakan pusat aktivitas berbagai kegiatan perdagangan, bentuk rumah sekaligus ruko menjadi ciri tempat tinggal mereka. Dapat dikatakan hampir semua penduduk etnik Tionghoa membuka usaha

2

3 perdagangan di sana seperti usaha bengkel, pembuat roti, tukang jahit, tukang mas, gilingan kopi, kelontong, toko elektronik dan lain-lain.

Sidikalang bukan daerah pertama yang didatangi etnik Tionghoa ini ketika meninggalkan Tiongkok, kakek mereka telah terlebih dahulu sampai ke daerah lainnya seperti Pematang Siantar dan Berastagi.Dalam mata pencaharian banyak mereka yang sukses dan kaya dari perdagangan, namun pada awal kedatangannya mereka belum memiliki banyak modal/uang, sebagian dari mereka ada yang awalnya hanya pekerja upahan pada masyarakat setempat.Mereka melewati masa-masa sulit untuk mengumpulkan modal yang kemudian yang dipakai untuk mengembangkan usahanya.3

Etnik Tionghoa adalah salah satu etnik yang berpengalaman dalam berhubungan dengan sesama etnik, maupun dengan etnik lain. Relasi sosial dengan etnik lain telah mengajarkan kepada mereka dari berbagai pengalaman historis tentang bagaimana memanfaatkan relasi tersebut bagi diri dan kelompoknya.4 Hal ini memang ada benarnya jika melihat banyak mereka yang sukses terutama dibidang

3

Wawancara, Jon Antoni (45 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 03 Januari 2015, seorang narasumber yang masih keturunan Tionghoa, beliau menjelaskan dulu kakeknya datang tanpa membawa uang atau harta. Pertama sekali kakeknya tinggal di Berastagi dan menikah dengan seorang perempuan suku Jawa, namun karena alasan ekonomi yang kurang baik mereka pindah ke Saribu Dolok, disinilah mereka mendapatkan marga yaitu marga Sinaga dan tinggal menetap. Tapi Pak Jon tidak tinggal lama di sana setelah memiliki modal, beliau pindah menetap ke Dairi dan membuka usaha menjadi seorang toke kopi dan jagung. Beliau menikah dengan seorang perempuan dari etnik Pakpak.

4

Suwardi Lubis, Komunikasi Antarbudaya Studi Kasus Etnik Batak Toba & Etnik Cina,

4 ekonomi yang tidak lepas dari cara adaptasi mereka. Adaptasi ialah penyesuaian terhadap lingkungan5, hal ini sangat diperlukan bagi setiap pendatang baru agar dapat diterima oleh masyarakat setempat.

Etnik Tionghoa ini sendiri ternyata tidak homogen, walaupun mereka berasal dari negara yang sama namun mereka juga terdiri dari berbagai suku. Hal inilah yang mempengaruhi sikap atau tingkah laku mereka ketika mereka sampai di perantauan, misalnya orang Hakka atau Khek dikenal dengan keuletannya, mereka adalah kelompok yang miskin saat meninggalkan Cina, hanya berbekal pakaian yang melekat di badan. Untuk menyambung hidup mereka bekerja mengumpulkan goni botot, pemulung barang-barang bekas, pedagang kelontong keliling sampai berhasil menjadi pedagang besar Selain itu ada juga orang Tio Ciu yang dikenal berwatak keras, gigih, kasar dan temperamental. Kemudian, ada orang Hokkian yang berhasil di bidang perdagangan eceran, pengusaha losmen dan penjaga toko. Ada juga suku Puntis atau Cantonese, pada zaman perkebunan di Deli kebanyakan perempuan suku ini berprofesi sebagai pelacur, selain itu mereka juga banyak yang berprofesi sebagai tukang mas, tukang kayu, tukang jahit dan pedagang kain.6

5

KBBI, Adaptasi, http:/kemdikbud.go.id/kbbi.index.php, (akses 27 Mei 2015).

6

Nasrul Hamdani, Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960,

5 Dalam hal kekerabatan banyak ditemukan pernikahan antara etnik Tionghoa dengan etnik lain dan juga pemakaian marga dari etnik Toba7. Sedangkan bidang ekonomi, mereka pintar melihat peluang bisnis yang bagus untuk dikembangkan.Berdasarkan penuturan masyarakat setempat, orang Tionghoa inilah dulunya yang pertama sekali membuka berbagai jenis perdagangan di Sidikalang, misalnya pabrik sepatu, pembukaan kilang padi, jagung dan kacang, pembukaan bioskop, toko roti dan lain-lain.

Adaptasi ini telah membawa perubahan pada kehidupan mereka, misalnya ketika seorang Tionghoa masuk ke dalam satu marga, maka mereka akan diberi lahan tanah oleh yang punya marga untuk dikelola. Selain itu dengan pemakaian marga tersebut mereka juga harus mengikuti adat-astiadat dari suku yang dipakai marganya 8 . Meskipun etnik Tionghoa ini telah beradaptasi dengan masyarakat setempat, tetapi mereka tetap menggunakan kebudayaan aslinya. Mereka tetap melakukan berbagai macam kebudayaan mereka seperti bahasa, kebiasaan pemujaan leluhur, perayaan imlek, cap gomeh dan lain-lain.

7 Etnik Toba merupakan etnik mayoritas di Sidikalang, biasanya etnik Tionghoa akan mengambil marga dari etnik yang mendominasi seperti Toba. Mengenai keberadaan etnik Toba di Kabupaten Dairi Budi Agustono dalam “Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial-Politik Orang

Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003”, Disertasi, belum diterbitkan, Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada (UGM), 2010., menjelaskan bahwa etnik Pakpak merupakan etnik asli atau etnik yang pertama sekali mendiami Dairi, namun migrasi orang Toba membuat etnis Pakpak ini akhirnya tersingkir baik dalam bidang sosial maupun politik, dengan kata lain etnik Toba ialah pendatang yang akhirnya mendominasi.

8Wawancara, Alin (52 tahun), Jl. Sisingamangaraja Bawah, Sidikalang tanggal 18 Mei 2015, beliau ialah seorang keturunan Tionghoa asli, ayahnya dulu mengambil marga Silaban kemudian diturunkan pada anak-anaknya.

6

Keberadaan etnik Tionghoa ini sendiri telah mendapat perhatian khusus dari pemerintah, hal ini terbukti dengan di keluarkannya berbagai macam kebijakan mengenai keberadaan etnik Tionghoa di Indonesia.Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah indonesia terhadap etnik Tionghoa berbeda-beda setiap periode kepemimpinan pemerintahan Indonesia, masa pemerintahan Soekarno misalnya dengan di keluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang pedagang keturunan Tionghoa sampai ke pedesaan.9Hal inilah yang menyebabkan ketika dikeluarkannya peraturan tersebut etnik Tionghoa banyak yang pergi meninggalkan Sidikalang namun sebagian ada yang tetap tinggal di Sidikalang dan memilih kewarganegaraan Indonesia.10

Pada masa pemerintahan Soeharto peraturan yang dikeluarkan lebih sulit lagi yakni melarang segala sesuatu yang berbau Tionghoa. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tionghoa tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah yang melarang segala yang berbau Tionghoa pada tahun 1967, maka etnik Tionghoa dituntut harus melakukan adaptasi yang lebih

gigih lagi.Mereka dipaksa untuk „meng-Indonesiakan‟ nama-nama mereka, dilarang mempraktikkan budaya Tionghoa dan dikucilkan dari kehidupan politik. Kewajiban

9

Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984, hal. 140

10

Kelas pedagang Tionghoa yang WNA dan WNI berada dalam kesulitan setelah ada larangan berdagang buat orang asing pada tahun 1959 dan hal ini talah menyebabkan larinya sekitar 100 ribu

orang Tionghoa ke Daratan Cina dari Indonesia. Lihat Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang

7 untuk mengganti nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia, pembatasan dalam melakukan aktivitas keagamaan dan menggunakan bahasa Mandarin secara

terbuka, memberikan tanda kepada masyarakat bahwa „identitas Tionghoa‟ ini

merupakan sesuatu yang mengancam hingga perlu dihapus.11

Adapun alasan pemilihan judul ini adalah untuk mengkaji etnik Tionghoa di kecamatan Sidikalang terutama dalam hal adaptasi antara tahun 1967-2000.Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut tentu akan sangat mempengaruhi kehidupan mereka baik itu dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya, apalagi hal ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu 33 tahun. Penulis memilih mengawali tahun 1967 karena pada tahun tersebut dikeluarkannya Inpres No. 14 tahun 1967 yang melarang segala yang serba Tionghoa di Indonesia termasuk agama, kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan maupun sastra. Tahun 2000 menjadi batas penelitian karena merupakan tahun ketika Abdurrahman Wahid saat menjabat sebgai Presiden RI menghapus Inpres No.14 tahun 1967 dan menggantinya dengan

11

Jemma Purdey, Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999, Bali: Pustaka Larasan,

2006, hal. 32. Berbicara tentang identitas, Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s

(St. Leonard, NSW, Australia: Allen & Unwin, 1994) menyebutkan sebagian etnik Tionghoa menganggap identitas mereka sebagai suatu beban atau kutukan. Mereka adalah orang-orang yang sejak tahun 1967 setelah trauma peristiwa G-30-S/PKI berhasil menyembunyikan identitas “Tionghoa” mereka dan menempatkan diri sebagai orang Indonesia atau setidaknya orang Tionghoa yang telah ber-„asimilasi penuh‟ menjadi orang Indonesia. Beberapa orang yang pernah diwawancarai dengan bangga mengatakan banyak orang tidak tahu bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa. Lihat I.

8 keputusan presiden No.6 tahun 2000 yang mengijinkan perayaan imlek, barongsai, cap gomeh dilakukan dengan terbuka dan sah.12

Dokumen terkait