• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.2 Keadaan Penduduk

Kecamatan Sidikalang sebelum datangnya kolonial maupun zending masih berupa hutan belantara, semak belukar dan padang ilalang. Hutan yang sangat lebat itu dihuni oleh binatang-binatang seperti: trenggiling, rusa, monyet, mawas, kera, babi hutan dan harimau. Daerah Sidikalang masih berupa desa atau disebut juga kuta dengan jumlah penduduk yang masih sedikit.13

Seiring dengan perubahan zaman, Sidikalang mengalami perkembangan menjadi sebuah kecamatan dan sekaligus ibu kota Kabupaten Dairi. Sebagai wilayah ibukota, Sidikalang merupakan pusat permukiman dan kegiatan penduduk, sebagai

13

Kuta adalah kesatuan territorial yang biasanya dihuni oleh keluarga-keluarga yang dari satu klen yang sama disusul kemudian oleh keluarga pendatang dari marga yang berbeda, tapi terikat oleh suatu hubungan perkawanan dengan penduduk asli. Selain memiliki lahan pemukiman, sebuah kuta biasanya juga memiliki lahan perladangan yang khusus diperuntukkan bagi anggota kuta bersangkutan.Sistem pemerintahan masyarakat masih dipimpin oleh Takal Aur (Pertaki) yang juga merangkap sebagai Raja Adat.Jabatan Pertaki adalah jabatan turun-temurun yang diwarisi oleh anak laki-laki tertua atau laki-laki yang dituakan.Takal Aur (Pertaki) adalah masyarakat biasa yang dituakan oleh masyarakat setempat atau merupakan seorang kepala marga dalam satu kuta.Pertaki berperan dalam menyelesaikan segala persoalan yang menyangkut anggota masyarakat dan adat istiadat. Pertaki tersebut tidak digaji atau mendapat imbalan akan tetapi cukup dihormati didalam kehidupan bermasyarakat. Bila ada kegiatan pesta dan persoalan-persoalan dalam kuta atau antarkuta, maka Takal Aur akan menyelesaikannya dengan musyawarah dengan masyarakat. Setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang sistem pemerintahan desa, maka sistem pemerintahan kuta berubah total menjadi konsep desa seperti yang di atur oleh pemerintah dalam undang-undang. Tidak ada lagi Pertaki dan raja dengan segala sistem pemerintahannya sebagai ganti diperkenalkanlah istilah jabatan yang baru yaitu Kepala Desa, Kepala Lorong serta RT/RW. Lihat Lister Berutu, Nurbani

Padang, Tradisi dan Perubahan – Konteks Masyarakat Pakpak Dairi, Medan: MONORA, 1998. Lihat

juga Katalog BPS, “Kecamatan Sidikalang dalam Angka”, Sidikalang, 2012, hal. 1. Lihat juga

Mariana Makmur, Lister Berutu, Aspek-aspek Kultural Etnis Pakpak Suatu eksplorasi tentang potensi

17 pusat aktivitas manusia yang meliputi pusat pemerintahan, pusat perekonomian, pendidikan dan lainnya.Berbagai aktivitas penduduk terus berjalan membentuk budaya dan karakter sosial masyarakat Sidikalang. Karakterstik sosial di suatu wilayah akan dibentuk dan dipengaruhi oleh penduduk yang mendiami wilayah tersebut. Begitu juga dengan karakteristik sosial kecamatan Sidikalang yang dipengaruhi oleh penduduk yang ada, seperti etnik Pakpak, Toba, Simalungun, karo, dan suku lainnya.Kehidupan yang berlangsung masih sangat dipengaruhi oleh adat dan norma dari tiap etnik tersebut.

Di Sidikalang karakter etnik Batak Toba terlihat lebih menonjol di bandingkan dengan etnik lain. Logat Batak dengan suara keras dan agak kasar menjadi ciri khas yang akan kita dengar setiap hari di Sidikalang. Etnik lain seperti Karo, Simalungun dan Pakpak lebih halus dalam bertutur kata meskipun secara fisik tidak telihat perbedaan yang mencolok dengan etnik Toba. Selain itu terdapat juga etnik Jawa yang dikenal dengan sikap diam dan kelembutannya, etnik Padang dan Minang dengan jiwa berdagang (jual sate dan usaha rumah makan), etnik Tionghoa yang dikenal pekerja keras dan jiwa bisnis yang tinggi dan etnik-etnik lain yang turut membentuk budaya dan karakter sosial Sidikalang.

Etnik Pakpak dianggap sebagai penduduk asli karena telah lebih dulu mendiami Sidikalang.Penduduk Sidikalang yang berasal dari etnik Pakpak adalah keturunan si Tellu Nempu yang mempunyai 3 orang anak yaitu Ujung, Angkat dan

18 Bintang. Marga Ujung mendiami wilayah Sidikalang kota sekarang, marga Angkat mendiami daerah Sidiangkat sedangkan marga Bintang mendiami desa Bintang.

Adat istiadat Toba yang berazaskan Dalihan Natolu mendominasi kehidupan masyarakat di Sidikalang.Jika terjadi pernikahan campuran antara etnik Toba dengan etnik lain maka adat yang dipakai pada umumnya adalah adat Toba termasuk dengan etnik asli yaitu Pakpak. Pengaruh Toba yang kuat membuat etnik Pakpak tidak percaya diri dalam mengamalkan adat budayanya misalnya dalam pernikahan.14Hal ini juga didukung karena memang pola adat toba ini hampir sama juga dengan adat etnik Pakpak misalnya dikalangan Pakpak Dalihan Natolu disebut dengan Daliken

Sitelu yaitu: 1. Kula-kula (pemberi anak gadis) 2. Dengan sebeltek (teman semarga)

3.Berru (penerima anak gadis).15

Banyaknya pembauran yang terjadi antar etnik menjadi pemicu hubungan yang saling mengikat misalnya pernikahan antara etnik asli dengan etnik pendatang yang tentu menambah keharmonisan antaretnik. Pembauran ini menyebabkan terjalinnya hubungan kekeluargaan antara satu sama lain sehingga timbul rasa saling

14

Budi Agustono, op.cit., hal.59. 15

Wawancara, R. Kaloko (48 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 26 Juli 2015, selain itu mas kawin pada adat Pakpak dinilai mahal oleh beberapa orang sehingga menjadi factor pemicu lebih dipakainny adat Toba dalam suatu pernikahan campuran. Beberapa contoh mas kawin dalam etnik Pakpak yaitu emas dan perak, alat music, tanah atau kebun (sawah, kebun kemenyan), dan alat-alat produktif (misalnya mesin jahit, alat berburu), hewan terna (kerbau, lembu), sejumlah uang dan

mandar (kain sarung). Lihat jugaTandak Berutu, Lister Berutu, Adat & Tata Cara Perkawinan

19 memiliki dan menghormati. Berikut ini beberapa etnik yang telah lama ada dan berkembang di Sidikalang.

1. Etnik Pakpak

Berdasarkan kedekatan wilayah, sosial dan ekonomi Etnik Pakpak dapat di bagi menjadi limasuakyaitu:

Simsim, di kawasan Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe.

Keppas, di kitaran Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan Perbuluhen.

Pegagan dan Karo Kampung, di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem.

Boang, di lingkup Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, dan Singkil.

Kelasan, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas, dan Barus.

Secara umum sejak zaman Belanda, oleh para etnolog orang Pakpak digolongkan ke dalam etnik Batak. Jadi sama seperti orang Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Adanya sejumlah unsur kedekatan atau kesamaan-misalnya dalam struktur sosial, sistem budaya, dan bahasa etnik ini satu sama lain menjadi dasar penggolongan.

Pakpak bukan Batak, sebuah pernyataan yang sering terdengar akhir-akhir ini terlepas dari sejumlah unsur kesamaan tadi.Menurut pemegang pendapat ini

20 (umumnya mereka orang Pakpak) sebagai etnik Pakpak lebih tua dari Toba yang selama ini mengklaim sebagai leluhur segenap suku Batak.Disklaim serupa juga datang dari etnik Mandailing, Karo dan Simalungun.

Mereka yang menyatakan Pakpak lebih tua dari Toba merujuk pada folklor lokal dan benda-benda budaya dari zaman Hindu (di antaranya mejan) yang sampai kini bisa ditemukan di tanah Pakpak untuk menguatkan argumennya.Mejan berupa batu yang terdapat di kuburan sebagai tempat menyerahkan sesajen pada roh-roh nenek moyang. Selain itu ada juga koden loyang (periuk), kalakati (alat pengupas pinang), sulapah (tempat sirih), pinggan pasu (piring pinggan), gabus (ikat pinggang), dan borgot. Menurut mereka benda-benda tersebut adalah benda yang berasal dari hubungan dagang dengan luar negeri (Portugis, Mesir, India).Jejak ini menjadi pertanda bahwa sebagai etnik Pakpak memang sudah tua (sebelum Toba masuk ke Dairi).16

2. Etnik Toba

Jika kita tela‟ah kedatangan etnik Toba ke Sidikalang dan daerah lainnya di Dairi terjadi secara bertahap.Pertama dapat di kategorikan sebagai migrasi yang masih berjumlah sedikit, etnik Toba yang datang ini adasecara perorangan ada juga secara kelompok.Etnik Toba datang dan kemudian menetap dengan berbagai latar

16

Sumber: http//www.pakpakadalahpakpak.com (upload tanggal 03 Agustus 2015).

Penjelasan mengenai perbedaan budaya Pakpak dengan Toba sampai sekarang lebih banyak berupa info lisan, belum terpublikasi dalam bentuk tulisan atau buku.

21 belakang, misalnya mereka yang ingin mengembara belaka untuk mengenal lebih dekat dunia, ada juga yang ingin mencari penghidupan yang baik dan berdagang.

Sebagai salah satu contoh yaitu marga Limbong misalnya ada yang awalnya datang dari Samosir dengan mambawa ulos sebagai dagangan.Ia kemudian dipermantukan oleh orang Pakpak kemudian diberi rading tanoh (tanah pemberian orangtua kepada putrinya yang menikah).Marga Sigalingging semula seorang kakek moyang mereka datang ke Dairi untuk belajar membuat koden (periuk). Setelah beroleh ilmu ia pulang kampung dan di sana ia bergiat membuat periuk tanah. Hasil karya tersebut ia bawa ke Dairi untuk dijual. Bisnisnya ternyata berhasil dan ia kemudian dipermantukan marga Ujung yang menjadi penguasa lokal. Sebagai menantu ia kemudian diberi rading tanoh. Turunannya kemudian beranak pinak disana sampai sekarang.17

Selanjutnya ialah pada zaman kolonial Belanda.Untuk membangun fasilitas militer Belanda membutuhkan para pekerja termasuk tukang, kuli bangunan, dan

portir.Belanda menggunakan tenaga kerja yang tersedia dari Silindung. Para pekerja

inilah kemudian yang akhirnya tinggal menetap dan bahkan mengajak serta keluarganya untuk tinggal di Dairi.18Masuknya zending (gereja) juga menjadi faktor pemicu semakin berkembangnya Toba di Sidikalang.Tak hanya etnik Toba yang

17

Wawancara, Raja Ardin Ujung (65 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 12 Agustus 2015.

18

Pada tahun1906/1907 karena situasi perang ada pembukaan jalan dari Doloksanggul ke Sidikalang, sehingga petani dari Humbang, Toba dan Silindung memasuki Dairi.Selain itu orang dari Tapanuli Utara juga memasuki daerah tanah Pakpak untuk mengabarkan injil. Tahun 1911 para pedagang kaum Kristen dari Tapanuli Utara melakukan penginjilan dengan melakukan pendekatan terhadap masyarakat setempat dengan cara memperdagangkan ulos dan alat-alat pertanian. Budi Agustono, op. cit, hal. 133.

22 belum Kristen yang dirangkul oleh zending kala itu tapi juga orang Pakpak yang sebagian besar masih menganut agama suku.Hasilnya, tahun 1909, Jaekuten Keppas Raja Asah Ujung beserta keluarganya dibaptis menjadi Kristen. Jika penguasa sudah dapat diangkul otomatis pengikutnya akanmengikut atau paling tidak lebih mudah diajak serta.

Migrasi orang Toba terus berlanjut bahkan hingga pada Orde baru.Mereka

mengisi posisi birokrasi kabupaten, guru, dan tenaga kesehatan hingga ke desa-desa. Di sektor lain juga di masuki oleh mereka seperti pertanian dan perdagangan. Saat ini berdasakan data statistik, jumlah etnik Toba jauh lebih banyak dibandingkan etnik Pakpak.19

3. Etnik Karo

Tanah Karo berbatasan langsung dengan Tanah Dairi.Berbeda dengan etnik Toba, Karo tidak memiliki tradisi migrasi ekspansi, sehingga secara jumlah etnik Karo termasuk kecil jika dibandingkan dengan etnik Toba yang tinggal di Sidikalang.Dalam disertasinya Budi Agustono menjelaskan bahwa tanah karo sangat

19

Kedatangan etnik Toba ke suatu wilayah juga dipengauhi oleh istilah Batak sahala hasangapon yaitu kualitas kehormatan patut dihargai oleh orang lain, untuk memperoleh kualitas itu orang harus mengembangkan sahala harajaon‟nya (kerajaan pribadi). Sahala hasangapon baru akan menjadi kenyataan apabila seseorang telah memperlihatkan prestasinya, misalnya dengan banyak anak/cucu, berhasil dalam pertanian dan pekerjaan lainnya. Dalam hal ini menunujukkan bahwa komplek sahala hasangapon juga mendorong orang Batak untuk berpindah dan mendirikan kerajaan

baru. Lihat Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peran Misi Budaya Minangkabau dan

23 subur dan bahkan sudah lebih terutama bidang pertanian dibandingkan Dairi sehingga orang Karo kurang tertarik untuk migrasi ke Dairi.

Saat etnik Karo dipertemukan dengan etnik lain maka untuk menambah ikatan antar etnik, sejumlah marga di Dairi dan Karo menjalin perikatan khusus.Awal perkenalan dari etnik akan menanyakan marga dan akan ditarik persamaan marga dari kedua belah pihak sehingga dapat diketahui tutur/panggilan apa yang baik untuk masing-masing Dalam Etnik Pakpak misalnya Kudadiri dengan Ginting Suka, Sinuraya dengan Angkat, dan Padang Jambu dengan Pinem. Dalam etnik Toba misalnya Sinaga dengan perangin-angin, Simbolon dengan Ginting, Purba dengan Tarigan dan masih banyak contoh lain.

Secara wilayah ada sebuah wilayah di perbatasan yang oleh penguasa Belanda dulu disebut sebagai Onderdistrik van Karo Kampung. Kawasan ini meliputi lima kenegerianyakni : Lingga (Tigalingga), Tanah Pinem, Pegagan Hilir, Juhar Kidupen Manik, dan Lau Juhar. Dinamai Karo Kampung karena kulturnya memang Karo.Kemungkinan besar kawasan ini merupakan wilayah Karo yang masuk wilayah Dairi akibat demarkasi oleh Belanda.Kecamatan Sidikalang sebagai pusat segala aktivitas tentu telah mengundang orang termasuk etnok Karo untuk tinggal dan membuka usaha disana. Contoh konkrit kehadiran etnik Karo ini yang banyak yang membuka usaha sebagai tukang emas di Sidikalang.

24 4. Etnik Simalungun

Dairi dengan Simalungun tidak berbatasan langsung, akan tetapi migrasi tetap terjadi walaupun tidak besar seperti pada Etnik Toba. Etnik Simalungun di Sidikalang beradaptasi dan melakukan pembauran dengan penduduk setempat, jika diperhatikan tidak terlihat perbedaan yang menonjol antara etnik Simalungun dengan etnik lain.

Adat dan budaya yang mereka laksanakan juga telah dipengaruhi oleh masyarakat setempat. Ada sebagian yang secara total mengadopsi budaya etnik lain misalnya Toba dan ada juga yang mencampur keduanya tergantung pada kesepakatan bersama. Namun pada dasarnya mereka cukup terbuka dengan budaya dari etnik lain. Kemudian saat Agresi Belanda tahun 1949 sudah mulai masuk ke Dairi.Mungkin karena terbukanya akses jalan dan juga karena faktor keamanan mereka berdatangan.Saat itu Sidikalang dan sekitarnya masih banyak lahan kosong dan jumlah penduduk juga sedikit, selain itu mereka mengangap daerah Sidikalang lebih aman dari penjajah yang saat itu sedang genting-gentingnya ingin menguasai Simalungun.20

Namun selama ini banyak juga orang Dairi yang bermigrasi ke Simalungun.Seribudolok menjadi tujuan utama mereka. Sewaktu Belanda meluaskan kekuasaanya ke Simalungun pada tahun 1905-an yang dikenal sebagai daerah

20

Wawancara, J. Sinaga (68 tahun), kecamatan Sidikalang tanggal 19 Juli 2015, kakeknya dahulu berasal dari Simalungun, awalnya marga Sinaga dari Toba namun banyaknya mereka yang telah lebih dulu bermigrasi ke Simalungun sebelum ke daerah lain sehingga memunculkan istilah Sinaga Simalungun

25 perkebunan, etnik Batak Toba didorong pemeintah kolonial tinggal menetap di wilayah itu untuk membuka persawahan baru. Kedatangan Batak Toba semakin besar tahun 1915-1930 sewaktu pemerintahan kolonial mengembangkan irigasi di Sidamanik dan Tanah Jawa.Kemudian ada sebagian dari mereka yang kembali ke kampung halaman namun ada juga yang akhirnya menetap di Simalungun.21

Selain etnik diatas ada juga etnik lain yang ada di Sidikalang yaitu Jawa, Minang, Mandailing-Angkola, dan Tionghoa. Etnik Jawa datang umumnya menjadi pegawai baik di pemerintahan, perusahaan swasta, maupun di sektor informal. EtnikMinang bergiat di bisnis rumah makan dan Etnik Tionghoa eksis di bidang perdagangan.

Sejak zaman kolonial bisnis utama etnik Tionghoa adalah menampung dan menyalurkan hasil bumi seperti kemenyan, nilam, dan kopi.Perintis bisnis ini di Sidikalang antara lain toke Teseng, Pengki, dan Pinciang.22Namun belakangan ini dominasi mereka dalam perdagangan seperti terimbangi, dan itu terutama karena semakin banyaknya generasi muda orang Tionghoa meninggalkan Sidikalang dan membuka bisnis di luar Sidikalnag seperti Siantar, Medan, Jakarta, bahkan luar negeri (akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya).

21

Clark Cunningham, the Postwar Migration of the Toba Bataks to East Sumatera, (New

Haven: Yale University Southeast Asia Studies, 1958), hal.85 dalam Disertasi, Budi Agustono, op.cit, hal. 127.

22

Sumber: http://pakpak-pakpakblog.blogspot.com/p/asal-usul-pakpak.html (Upload tgl 03

26 Tabel 1

Jumlah Penduduk Sidikalang Menurut Suku Bangsa

No Suku Bangsa Jumlah

1. Melayu 95 2. Karo 1.208 3. Simalungun 1.212 4. Toba 36.629 5. Madina 414 6. Pakpak 10.815 7. Nias 135 8. Jawa 1902 9. Minang 634 10. Tionghoa 368 11. Aceh 115 12. Lainnya 402 Jumlah 53.837

(Sumber: Karakteristik Penduduk Kabupaten Dairi Hasil Sensus Penduduk 2000, hal.59)

Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa etnik dengan jumlah paling besar ialah Toba dengan jumlah 36.629 jiwa, disusul etnik Pakpak sebesar 10.815, selanjutnya etnik Jawa berada pada posisi ke tiga dengan jumlah 1902 jiwa, sementara etnik Simalungun dan Karo memiliki jumlah yang tidak jauh berbeda yaitu 1212 dan 1208 jiwa, selanjutnya secara berurutan etnik Minang, Madina, dan Tionghoa berjumlah 634, 414 dan 368 jiwa. Etnik dengan angka yang kecil ditempati oleh Nias, Aceh, Melayu dengan jumlah masing-masing 135, 115, dan

Dokumen terkait