• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pengelolaan Sumber Daya

4. Administrasi

Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi :

4.1. Administrasi umum.

Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4.2. Administrasi pelayanan.

Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

b. Pelayanan

1) Pelayanan resep. 1.1. Skrining resep.

Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1.1.1. Persyaratan administratif :

- Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep.

- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta.

- Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya.

1.1.2. Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

1.1.3. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

1.2. Penyiapan obat. 1.2.1. Peracikan.

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

1.2.2. Etiket.

Etiket harus jelas dan dapat dibaca. 1.2.3. Kemasan obat yang diserahkan.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

1.2.4. Penyerahan obat.

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

1.2.5. Informasi obat.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

1.2.6. Konseling.

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

1.2.7. Monitoring penggunaan obat.

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes ,TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya.

2) Promosi dan edukasi.

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi . Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

3) Pelayanan residensial (Home Care).

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

c. Evaluasi mutu pelayanan

Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket

atau wawancara langsung.

2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan).

3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.

Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk :

• Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; • Adanya pembagian tugas dan wewenang;

• Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga .kesehatan lain yang bekerja di apotek;

• Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; • Membantu proses audit.

• Tujuan : merupakan tujuan protap.

• Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan.

• Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur.

• Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. • Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk

penerapan standar.

• Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian.

(Anonim, 2004a)

D. Sumpah Apoteker

Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Selain terikat secara horizontal dengan masyarakat, Profesi Apoteker terikat pula secara vertikal dengan Tuhan.

Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-Nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981).

E. Kode Etik Apoteker

Etika profesi yaitu suatu aturan yang mengatur suatu pekerjaan itu boleh atau tidak dilakukan oleh pelaku profesi sewaktu menjalankan praktek profesinya (Anonim, 2003). Kode etik merupakan salah satu pedoman untuk membatasi, mengatur dan sebagai petunjuk bagi profesi secara baik dan benar serta tidak melakukan perbuatan tercela dan juiga sebagai aturan – aturan norma yang menjadi ikatan moral profesi..

Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006).

F. Etika Bisnis

Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).

Etika bisnis mengajari para pelaku bisnis untuk melakukan refleksi tentang dunia bisnis dari sudut etika karena keberhasilan suatu bisnis tidak semata – mata dilihat dari sudut keuntungan yang dapat diraih tetapi dari nilai – nilai luhur yang dilakukan para pelaku bisnis. Ciri – ciri bisnis beretika adalah:

a. memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen untuk mendapatkan laba yang wajar dan tidak meneksploitasi konsumen.

b. memberikan barang dan jasa kepada konsumen dengan cara yang bertanggung jawab dan jujur.

c. peduli pada kepentingan pekerjaannya, pemegang saham dan pihak – pihak lain yang terlibat didalamnya.

d. berproduksi dengan cara yang paling aman.

e. memberi sumbangan terhadap pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, berperan aktif dalam membentuk kepuasan dan kesejahteraan masyarakat.

Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah :

1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.

2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan.

3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain.

4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain.

(Isdaryadi, 2005) Apotek merupakan bagian dari bisnis, selayaknya apotek menerapkan pula prinsip – prinsip etika dalam bisnis. Terlebih pelayanan di apotek menerapkan pelayanan yang berhubungan langsung dengan manusia sehingga aspek moral dan kemanusiaan benar – benar dijunjung tinggi. Pasien menghendaki pelayanan yang cepat, tepat dan benar. Kejujuran, keramahan dan rasa kekeluargaan dengan pasien dapat memperkuat hubungan pihak apotek dan pasien. Pelayanan yang terbaik sejak awal hingga akhir proses akan meningkatkan kepuasan pasien sehingga aspek loyal terhadap apotek.

G. Keterangan Empiris

Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperleh gambaran mengenai pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subjek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003).

Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998).

B. Definisi Operasional Penelitian

1. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. 2. Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan

tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan.

4. Apotek adalah delapan apotek yang berada di wilayah Kabupaten Kulon Progo.

5. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner.

6. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan selama bulan Juli 2007.

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang : 1. Karakteristik responden.

2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam

suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang ada di Kabupaten Kulon Progo.

Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Kulon Progo pada bulan Juni 2007 berdasarkan data terakhir bulan Agustus 2006 adalah sebanyak 8 apotek. Sampel

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk, 1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001).

Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).

E. Tata Cara Penelitian

1. Pembuatan kuesioner

Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subjek penelitian) (Adi, 2004).

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan.

2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa

Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek di luar populasi penelitian.

b. Uji validitas isi

Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat

tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004).

Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner akan tercapai.

c. Uji reliabilitas

Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).

Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subjek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999).

3. Penyebaran kuesioner

Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner tersebut. Peneliti harus bertemu langsung dengan responden untuk memastikan bahwa yang menerima kuisioner adalah apoteker. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan Juli 2007.

Pada penelitian ini ada satu apotek yang apotekernya tidak bisa ditemui secara langsung dalam beberapa kali rencana pertemuan karena suatu hal sehingga peneliti tidak dapat meninggalkan kuisioner di apotek. Dengan demikian pada penelitian ini, apotek yang menjadi objek penelitian hanya tujuh apotek.

4. Pengumpulan kuesioner

Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang dikembalikan sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak tujuh apotek.

5. Wawancara

Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985). Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis, 2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling, pengertian medication record dan alasan tidak adanya ruang konseling. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk diwawancarai, hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 8.

F. Tata Cara Analisis Data

Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik (Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik/diagram.

Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut.

G. Kesulitan Penelitian

Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Peneliti dan responden sulit menentukan waktu bertatap muka secara langsung dalam pengisian kuisioner.

2. Tidak dilakukannya wawancara kepada responden berkaitan dengan alasan responden terhadap tiap jawaban yang diberikan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Deskripsi Responden

Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek, pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam sehari.

1. Usia responden

Gambaran mengenai rentang usia responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. UMUR RESPONDEN 21-35 th 57% > 50 th 29% 36-50 th 14%

Gambar 1. Diagram Umur Respoden

Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden, yaitu sebanyak 57% berada dalam rentang usia antara 21-35 tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja seseorang. Berdasarkan keterangan tersebut diharapkan responden dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan lebih baik.

2. Posisi responden di apotek

Tabel I. Posisi Responden di Apotek

No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Apoteker Pengelola Apotek 6 86

2 Apoteker Pendamping 1 14

Total 7 100

Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan peneliti karena apoteker sangat paham mengenai semua sistem dan pengelolaan kinerja apotek dibandingkan dengan staf lainnya.

3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang

Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun sebesar 14%, 1-5 tahun sebesar 43%, 6-10 tahun sebesar 14% dan yang bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 29%.

LAMA BEKERJA DI APOTEK

< 1 t h 14% 1-5 t h 43% > 10 t h 29% 6-10 t h 14%

Dari data tersebut, yang telah memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama lebih dari 1 tahun sebesar 86%, di diharapkan bahwa responden telah memahami sistem dan pengelolaan kinerja apotek mereka yang sekarang dan dapat mengisi kuesioner dengan baik sehingga dapat diketahui mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek mereka.

4. Adanya pekerjaan lain dari responden

Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 3 berikut.

A D A T ID A KN Y A P E KE R J A A N LA IN

TIDA K 71%

YA 29%

Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden

Adanya pekerjaan lain, apapun jenisnya dan berapapun frekuensi pekerjaan tersebut, akan mengganggu kehadiran dan kinerja apoteker di apotek. Menurut Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 18, yang ditegaskan dalam KepMenKes No. 1332 tahun 2002, menyatakan bahwa selama apotek tersebut buka maka Apoteker Pengelola Apotek harus berada di apotek. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan, maka ia dapat digantikan oleh Apoteker Pendamping.

Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker yang bekerja penuh (full-time). Demikian juga dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai apoteker di apotek walaupun memiliki pekerjaan lainnya.

5. Waktu kerja responden di apotek

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden bekerja di apotek selama 4 – 6 jam dalam sehari, sedangkan waktu kerja dalam seminggu ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

Tabel II. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu

No Waktu kerja di apotek

dalam seminggu Jumlah

Persentase (%) n = 7 1 < 40 jam 7 100 2 40 jam 0 0 3 > 40 jam 0 0 Total 7 100

Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Hasil penelitian tersebut menujukkan bahwa waktu kerja apoteker dalam satu hari

belum sesuai dengan Undang – Undang Ketenagakerjaan. Hasil yang sama didapatkan dari perhitungan waktu kerja dalam satu minggu disesuaikan dengan jam kerja dalam satu hari.

Bila apotek buka dari pukul 8.00 sampai 22.00 (Permenkes nomer 244 tahun 1990), maka untuk enam hari kerja dalam seminggu apotek buka 84 jam; sehingga setiap apotek harus mempunyai lebih dari dua apoteker.

B. Pengelolaan Sumber Daya

1. a. Sumber daya manusia

Sumber daya manusia di apotek meliputi apoteker, asisten apoteker, pemilik sarana apotek dan juru resep. Dalam struktur organisasi apotek, Apoteker Pengelola Apotek menempati posisi tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja Asisten Apoteker dan karyawan lainnya (Hartini dan Sulasmono, 2006).

Salah satu peran Apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai leader, dimana diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemapuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. Hal ini diperkuat

Dokumen terkait