• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Pelayanan

1. Skrining resep

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Skrining resep dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication error yang berusaha diminimalisir melalui skrining resep ini adalah dispensing error yang merupakan lingkup tanggung jawab farmasis.

a. Persyaratan administratif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu melakukan skrining resep persyaratan administratif.

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep (inscriptio); tanda tangan/paraf dokter penulis resep (subsciptio); nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien;

nama obat (invocatio), potensi, dosis, jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas (signature) dan informasi lainnya.

Pada penelitian ini tidak dijabarkan mengenai persyaratan administratif yang dilakukan karena responden dianggap sudah mengetahui dan memahami mengenai persyaratan administratif beserta cakupannya.

b. Kesesuaian farmasetik

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek melakukan skrining resep sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga kemungkinan terjadinya medication error relatif kecil.

c. Pertimbangan klinis

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek melakukan skrining resep pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga kemungkinan terjadinya medication error relatif kecil.

e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep. 100.00% 100.00% 100.00% 0.00% 50.00% 100.00% persyaratan administratif

kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian

pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat

Gambar 12. Pelaksanaan Skrining Resep

Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep semuanya telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi skrining resep persyaratan administratif (100%), konsultasi dengan dokter penulis resep (86%) skrining resep kesesuaian farmasetik (100%) dan skrining resep pertimbangan klinis (100%).

2. Penyiapan obat

a. Etiket

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat

menyebabkan terjadinya medication error karena pasien salah membaca/mengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket harus jelas dan dapat dibaca.

KELUHAN PASIEN TENTANG ETIKET

TIDAK 71%

YA 29%

Gambar 13. Penerima Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien

Gambar menunjukkan bahwa terdapat 71% apotek yang tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien dan 29% sisanya pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien karena tidak jelas atau sulit dibaca sehingga dapat menyebabkan terjadinya medication error.

b. Pengecekan kesesuaian resep dengan obat

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Menurut UU RI nomer 8 tahun 1999 pasal 7, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir (medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak apoteker.

c. Konseling

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti sengaja tidak memberikan batasan mengenai pengertian konseling karena peneliti bermaksud mengetahui kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mengenai pengertian konseling. Melalui wawancara lepas kepada beberapa responden, sebagian besar dari mereka mempunyai pemahaman yang hampir sama mengenai pengertian

konseling yaitu konseling adalah proses tanya jawab searah antara pasien dengan apoteker, dimana apoteker hanya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pasien, yang dating kepada mereka. Responden juga berpendapat bahwa konseling dan konsultasi itu mempunyai pengertian yang sama, padahal konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang berbeda. Jika konseling merupakan proses dua arah, konsultasi merupakan proses satu arah dan ada perbedaan status, baik dalam hal pengalaman maupun pengetahuan. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai pemahaman yang berbeda/tidak sesuai dengan yang tertera pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Namun demikian, walaupun mempunyai pemahaman yang berbeda namun dalam pelaksanaannya apoteker sering melakukan apa yang disebut konseling karena mereka juga menerima masukan dari pasien yang lebih mengetahui keadaan dirinya sendiri dan dari dokter yang menangani pasien tersebut, terutama tentang obat-obatan yang sering mereka konsumsi.

Menurut Undang – Undang no. 23 tahun 1992 pasal 53 (2) menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 9 menyebutkan bahwa seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 1996 pasal 22 (1) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam

melaksanakan tugasnya berkewajiban menghormati hak pasien; menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan; dan meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilangsungkan.

JAM KONSELING SETIAP HARI

TIDAK 14%

YA 86%

Ganbar 14. Penyediaan Jam Konseling Setiap Hari di Apotek

Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Gambaran mengenai pelaksanaan pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel XI berikut.

Tabel XI. Pemberian Konseling Secara Berkelanjutan oleh Apoteker

No Memberikan konseling secara

berkelanjutan Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Ya 3 43 2 Tidak 4 57 Total 7 100

Penderita penyakit tertentu seperti yang telah disebutkan membutuhkan jangka waktu pengobatan yang tidak sebentar untuk dapat sembuh dan harus teratur meminum obat yang telah diberikan, karena itulah apoteker seharusnya memberikan perhatian khusus kepada mereka, salah satunya adalah dengan memberikan konseling secara berkelanjutan guna mendukung proses penyembuhan.

e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian penyiapan obat 71,00% 100% 86,00% 43,00% 0,00% 50,00% 100,00%

etiket jelas&dapat dibaca

pengecekan resep sebelum diserahkan jam konseling setiap hari

konseling secara berkelanjutan

Gambar 15. Pelaksanaan Penyiapan Obat

Berdasarkan keterangan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pelayanan penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, maliputi pengecekan resep sebelum diserahkan kepada pasien (100%), penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca (71%), adanya jam konseling setiap hari (86%), dan pemberian informasi oleh apoteker kepada pasien (57%). Namun demikian hal

mendasar yang belum terlaksana justru keterlibatan apoteker secara langsung dalam penyerahan obat (0%) dan juga adanya konseling secara berkelanjutan (43%).

3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi a. Diseminasi informasi kesehatan

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya. Sumber informasi tersebut berasal dari pabrik atau distributor obat, sehingga dalam hal ini apotek hanya sebagai perantara pemberi informasi kepada pasien.

Hasil penelitian ditunjukkan dalam gambar 15 berikut ini

DISEMINASI KESEHATAN

YA 29%

TIDAK 71%

Gambar 16. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Kesehatan.

b. Tindak lanjut terapi

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah

(pelayanan residensial), khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Hasil penelitian ditunjukkan dalam Tabel XII berikut:

Tabel XII. Adanya Tindak Lanjut Terapi

No Melakukan tindak lanjut

terapi Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Ya 3 43 2 Tidak 4 57 Total 7 100

Selain melakukan konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi dengan kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon merupakan salah satu bentuk perhatian khusus yang seharusnya dilakukan apoteker guna mendukung proses penyembuhan pasien, terutama bagi pasien lansia atau pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek.

c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi

29.00%

43.00%

0.00% 50.00% 100.00%

diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi

Gambar 17. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi

Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase dibawah 50% yaitu meliputi diseminasi informasi kesehatan (29%) dan pelayanan tindak lanjut terapi (43,48%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.

Dokumen terkait