• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adopsi Petani Terhadap Pelaksanaan Program SL-PTT Padi Di Kabupaten Ngawi

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3. Masalah dan Kendala Dalam Pelaksanaan Program SL-PTT Padi Masalah yang timbul dalam pelaksanaan program SL-PTT padi

4.4.4. Adopsi Petani Terhadap Pelaksanaan Program SL-PTT Padi Di Kabupaten Ngawi

Tingkat adopsi atau penyerapan suatu teknologi dapat dipakai sebagai ukuran sampai sejauh mana teknologi yang diintrodusikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi petani setempat. Tingkat adopsi juga dapat dipakai sebagai indikasi komponen teknologi yang harus diperbaiki jika teknologi tersebut akan dikembangkan dalam skala yang lebih luas, sesuai dengan kebutuhan petani pengadopsi. Dalam penelitian ini tingkat adopsi komponen teknologi PTT dapat dilihat dari beberapa aspek seperti penggunaan benih (kg/ha, berlabel, umur bibit, jumlah bibit per-lubang), penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang dan anorganik (kimia) secara seimbang, sistem pengairan dan pengendalian hama penyakit. Keragaan tingkat penerapan komponen teknologi PTT dapat disampaikan dalam Tabel 15, berikut :

79

Tabel 15. Tingkat penerapan komponen teknologi PTT Sebelum dan Sesudah Mengikuti SL-PTT Padi di Kabupaten Ngawi

No Koponen Teknologi PTT Sebelum ( % )

Sesudah ( % ) 1 Jumlah Penggunaan Benih 50,15 85,35 2 Benih berlabel (unggul) 83,74 93,74

3 Tanam Muda 15.,00 60,50

4 Jumlah bibit per lubang 2-3 20,15 80,50

5 Pupuk Berimbang 25,24 70,35

6 Pupuk Organik/kandang 12,50 50,75 7 Pengaturan tata tanam 50,45 75,35

8 Irigasi Berselang 65,80 95,50

9 Umur bibit 14 – 21 HSS 35,40 60,25

10 Penerapan PHT 30,75 35,60

11 Penggunaan alat perontok mekanis 25,25 35,45 Sumber : Diolah Dari Data Pimer, 2010

Dari Tabel 15. tersebut menunjukkan bahwa penggunaan benih pada penerapan PTT sudah mendekati anjuran yaitu lebih kurang 25 kg/ha. Masih adanya penggunaan benih diatas anjuran (diatas 25 kg/ha) hal ini terkait dengan kebiasaan petani. Mereka masih khawatir jika terjadi pertimbuhan benih yang tidak bagus, sehingga diatasi dengan melakukan persemaian dengan jumlah benih yang lebih banyak. Kejadian ini sering dijumpai di lapangan mengingat benih yang dibeli petani sekalipun berlabel kadang-kadang pertumbuhannya masih tidak seperti yang diharapkan. Sedangkan perlakuan benih dengan larutan garam untuk mendapatkan benih yang bernas belum dilakukan oleh petani. Namun demikian jika dibandingkan dengan kebiasaan petani menggunakan benih 30 – 40 kg/ha terlihat bahwa teknologi PTT mampu menghemat penggunaan benih 16 – 37,5 % dari sebelum ikut SLPTT padi.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

penerapan PTT lebih dari 93 %, hal ini karena semua benih bantuan adalah berlabel dan sebelum adanya program SL-PTT pun petani Ngawi sudah terbiasa menggunakan benih berlabel kecuali daerah atas (Kecamatan Ngrambe dan Kendal). Sedangkan pemilahan benih bernas dengan menggunakan air garam atau ZA (3%) belum dilakukan karena mereka tidak terbiasa dan sudah percaya kualitas benihnya.

Sebelum ikut SL-PTT, petani sudah terbiasa menanam bibit pada umur diatas 21 HSS (hari setelah sebar) dan tidak dijumpai petani menanam bibit pada umur 7 – 14 HSS. Setelah ikut SL-PTT sebagian besar petani menanam bibit pada umur 14 - 21 HSS. Dengan demikian dengan PTT telah terjadi penananam bibit relatif muda. Adanya kekhawatiran petani jika bibit mati dan tidak ada penggantinya serta adanya serangan hama keong emas dan belalang, maka jarang dijumpai petani yang berani menanam 1 bibit per lubang tanam, kebanyakan petani peserta SLPTT menanam bibit 2-3 bibit per lubang tanam. Hal ini jika dibandingkan dengan kebiasaann petani sebelum ikut SLPTT yang menanam 4 – 6 bibit per lubang tanam, maka dapat dikemukakan bahwa dengan PTT telah terjadi penurunan jumlah penanaman bibit per lubang, dan hal ini juga terlihat dari penggunaan benih (kg/ha) yang disebar pada persemaian. Belum adanya petani yang mau menanam satu bibit per lubang (seperti program SRI (system of rice intensification)), hal ini disebabkan terbatasnya tenaga tanam yang terampil. Walau ada tenaga

81

kerja yang mau mengerjakannya, tapi dengan upah lebih tinggi atau dengan upah yang sama dibutuhkan jumlah hari kerja yang lebih banyak.

Terbatasnya jumlah Bagan warna Daun (BWD) di lokasi penelitian menyebabkan komponen teknologi ini tidak sepenuhnya diadopsi petani. BWD hanya dipunyai oleh petugas pertanian saja. Kebiasaan petani menggunakan dosis pemupukan tidak berimbang dan kurangnya BWD menyebabkan penggunaan pupuk kimia terutama Urea relatif tinggi. Rata-rata penggunaan pupuk Urea dalam penerapan PTT masih diatas dosis anjuran (300 kg/ha) yaitu antara 400 – 500 kg/ha.

Penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang sudah biasa dilakukan oleh petani Ngawi, hal ini dikarenakan adanya program pengembangan pupuk organik berupa pembinaan dan pelatihan pembuatan pupuk organik yang selama lebih dari 5 (lima) tahun ini dikembangkan secara besar-besaran oleh Pemerintah Kabupaten Ngawi, Sebagian kecil petani peserta SL-PTT belum menggunakannya pupuk organik. Alasan yang dikemukakan adalah meraka kesulitan mendapatkan bahan baku, tidak praktis penggunaannya dan sebagain kecil mengatakan bahwa penggunaan pupuk organik tidak terlihat secara cepat pengaruhnya. Walaupun sebagian besar petani mengetahui bahwa penggunaan pupuk organik akan mampu meningkatkan produktivitas dan memperbaiki struktur tanah dan juga dapat menghemat penggunaan pupuk kimia khususnya Urea.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

SL-PTT (87 – 95 %) sedah melakukan pengairan berselang pada pertanaman padi. Faktor utama yang menyebabkan berjalannya sistem ini dikarenakan terbatasnya ketersediaan air (banyak yang menggunaan air dari pompa diesel). Petani yang tidak menerapkan pengairan berselang

(intermitten) adalah petani yang dekat dengan saluran air (saluran skunder dan tersier).

Pada penerapan PHT (pengendalian hama dan penyakit secara terpadu) sebagaian besar petani sudah mengetahuinya yaitu dengan melakukan pengamatan mingguan dan penggunaan pestisida sesuai kebutuhan secara bijaksana. Akan tetapi dari hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit masih tinggi. Salah satu penyebabnya adalah adanya serangan hama penyakit yang relatif tinggi. Dari hasil penelitian ini diketahui salah satu penyebabnya adalah oleh penanaman padi hibrida dan non hibrida secara bersamaan dalam satu hamparan.

Komponen penggunaan tenaga kerja mulai dari pengolahan tanah, pemeliharaan, pengendalian gulma, pemanenan dan seterusnya antara sebelum ikut SL-PTT dan sesudah ikut SL-PTT relatif sama.

Selanjutnya, harapan petani setelah ikut SL-PTT Padi adalah adanya kesinambungan dan keberlanjutan program SL-PTT dan peningkatan pembinaan dan alokasi bantuan sebagai salah satu sarana untuk meningkatan produksi dan pendapatan usaha taninya

83

4.5. Upaya-upaya Pengembangan SL-PTT Padi di Kabupaten Ngawi