• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Peranan usaha tani padi sawah sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Dalam uraian ini dipaparkan beberapa hasil penelitian terdahulu yang dapat memberikan landasan ilmiah untuk mempertajam dan menjawab masalah dalam penelitian ”EVALUASI PETANI PESERTA PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) PADI DI KABUPATEN NGAWI”

Sembiring T., Hasil Sembiring dan Lermansius Halolo, 2006, dalam penelitiannya tentang Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan PTT di Lubuk Bayas, Sumatera Utara menyimpulkan bahwa : (1) Komponen teknologi yang diterapkan dalam PTT terdiri dari ; penggunaan varietas unggul, benih bermutu, benih muda (15 – 18 Hari Setelah Sebar/HSS), jumlah tanaman 2 lubang per lubang, sistem tanam legowo 4 : 1, pengairan berselang, pemupukan berdasarkan analisis tanah. Pupuk susulan (Urea) masing-masing 1/3 diberikan pada saat tanaman umur 1 bulan. (2) Produktivitas petani peserta PTT mencapai 7,4 ton/ha, sedangkan hasil gabah petani nonkoperator sebesar 6 ton/ha. Analisis usaha tani petani kooperator memberikan nilai R/C ratio sebesar 2,0 dan petani nonkooperator sebesar 1,76”.

9

Peneliti lainnya (Wasito, Tuah Sembiring, Nova Primawati, Darwin Harahap, Rinaldi dan Hasil Sembiring, 2006) tentang, Diseminasi dan Adopsi Model Pengelolaan Tanaman Terpadu di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, menunjukkan bahwa kepemilikan lahan sawah petani PTT rata-rata kecil (berkisar antara 0,2 – 0,5 ha). Akibatnya walaupun dilengkapi dengan kelembagaan pendukung cukup baik, secara umum belum semua komponen teknologi PTT dapat diterapkan dan diadopsi petani. Penerapan 5 kegiatan teknologi PTT secara sinergis dapat meningkatkan produksi padi 1,75 – 2,25 ton /ha (30 – 37,5 %).

Demikian halnya tentang Penerapan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi di Kulonprogo, Yogyakarta, yang diteliti Widodo, S., Roh Mudjisihono, Mulyadi dan Th. K. Nugroho, 2006. Hasilnya menunjukkan bahwa (1) Model PTT dengan varietas Ciherang memberikan hasil 7,10 ton /ha GKP; (2) Cara tanam legowo dengan varietas Ciherang memberikan hasil 8,0 ton/ha, lebih tinggi daripada sistem tapis; (3) Secara finansial model PTT layak dan menguntungkan dengan R/C rasio 1,95 dan B/C rasio 1,20”. Penelitian serupa dilakukan I Made Mastra Sunantara dan IGK Dana Arsana, 2006, tentang Penerapan Intensifikasi Pengelolaan Tanaman Terpadu di Bali. ”Hasilnya menunjukkan bahwa petani kooperator pelaksana PTT dapat meningkatkan hasilnya sebesar 1,17 ton/ha (20,38 %) dan 1,9 ton/ha (33,45 %) dibandingkan dengan petani non-kooperator di luar PTT. Sedangkan IGK Dana Arsana dan Sunantara, I.M.M., 2006 tentang Pengenalan Model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di Karangasem Bali. Menunjukkan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

sedangkan cara petani konvensioanal hanya 6,1 ton/ha GKP.

Selanjutnya hasil penelitian Hartono, R., Hamdan dan Johny HR, (2006), juga menyebutkan bahwa implementasi PTT, produksi padi rata-rata mencapai 6,43 ton/ha gabah kering panen (GKP) atau meningkat 1,19 ton/ha dari hasil rata-rata petani non peserta yaitu sebesar 5,24 ton/ha.

Upaya peningkatan produktivitas padi sawah melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu, juga telah diteliti di Jawa Tengah oleh Pramono, J., Seno Basuki dan Widarto (2005), yang mengemukakan bahwa : 1) Pendekatan model PTT pada padi sawah menerapkan komponen-komponen teknologi budidaya sinergis mampu meningkatkan produktivitas usahatani berupa peningkatan hasil panen Gabah Kering Giling (GKG) yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan pola petani.peningkatan hasil mencapai 10 % atau sekitar 0,68 ton/ha GKG pada Musim Kemarau I (MK I) dan 0,59 ton/ha pada MK II di Kabupaten Sragen, sedangkan untuk Kabupaten Grobogan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 5,3 % atau 0,33 ton/ha GKG pada MK I; 2) Pendekatan model PTT disamping meningkatkan hasil gabah,juga mampu meningkatkan tingkat keuntungan usahatani berkisar antara 25 – 58 %.

Selanjutnya Adnyana dan Ketut Kariyasa, (2006), juga meneliti tentang Dampak dan persepsi petani terhadap penerapan sistem pengelolaan tanaman terpadu padi sawah, menunjukkan sebagai berikut : 1) Usahatani padi dengan menerapkan PTT mampu memberikan hasil gabah

11

dan keuntungan lebih tinggi dibanding teknologi petani, baik menurut musim maupun propinsi kajian. Indikator benefit cost ratio (BCR), cost price ratio (CPR) dan Marginal Benefit Cost Ratio (MBCR) juga menunjukkan usahatani padi yang dikelola dengan PTT lebih efisien dibanding teknologi petani; 2) Biaya adopsi PTT masih dibawah harga gabah yang berlaku, sehingga petani tertarik menerapkannya; 3) Petani umumnya mengatakan bahwa sebagian besar komponen PTT merupakan hal baru dan mudah diterapkan, karena sebagian besar sesuai kebutuhan; 4) Tingkat adopsi PTT cukup baik walaupun belum sepenuhnya dilakukan akibat adanya beberapa permasalahan teknis dan kondisi sosial ekonomi petani. Penerapan PTT telah mendorong penghematan penggunaan benih, peningkatan penggunaan benih berlabel, penanaman benih muda,penggunaan jumlah benih per lubang, penghematan penggunaan pupuk urea, adanya penggunaan pupuk kandang dan makin banyaknya petani yang menerapkan pengendalian hama terpadu (PHT) dan sistem pengairan berselang.

Thamrin, T., Yanter Hutapea dan Rudi Soehendi (2009), Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada petani kooperator jumlah anakan padi produktif 16,6 batang dengan tinggi tanaman 100,5 cm, sedangkan pada petani non kooperator jumlah anakan produktif 14,5 batang dan tinggi tanaman 87,5 cm. Produksi gabah kering giling pada petani kooperator sebesar 6200kg/ha, R/C 2,27 dengan pendapatan Rp. 10.413.616,-/ha, sedangkan pada petani non kooperator produksi padinya 4.920 kg/ha, R/C 2,06 dengan pendapatan Rp. 7.734.000,-/ha.

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

13

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

15

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

17

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

Usahatani Padi

Menurut Bustanul Arifin (2004), dalam ekonomi produksi pertanian, teknologi adalah suatu cara, mekanisme dan proses produksi untuk melakukan kombinasi faktor-faktor produksi (input) dalam menghasilkan suatu produk (output). Perubahan teknologi dengan sendirinya dapat diartikan sebagai perubahan cara mengkombinasikan faktor-faktor tadi. Sementara itu produktivitas dimaksudkan sebagai suatu ukuran efisiensi yang berupa rasio produk dengan faktor produksi tertentu. Inovasi baru atau perubahan teknologi umumnya mampu menaikkan tingkat produksi sekaligus produktivitasnya.

Terjadinya kesenjangan produktivitas tanaman pangan antara penelitian dengan petani dapat disebabkan sulitnya petani mengadopsi teknologi baru. Penguasaan teknologi yang terbatas ini sebagian besar disebabkan karena lemahnya permodalan dan terbatasnya ketrampilan berusahatani. Selanjutnya, terbatasnya proses adopsi inovasi, hal ini memang sering terjadi pada masyarakat agraris yang pada umumnya memerlukan waktu yang relatif lama untuk adopsi inovasi tersebut. Apalagi kalau aspek penunjangnya, yaitu terbatasnya penyuluhan pertanian maka proses adopsi inovasi menjadi lamban (Soekartawi, 1993). Adopsi, dalam proses penyuluhan pertanian menurut Mardikanto, T., (2009), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa :pengetahuan (cognitive), sikap

19

menerima inovasi yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penyuluhan memegang paran strategis dalam pembangunan pertanian yang mayoritas pelakunya adalah petani kecil, seperti di Indonesia. (Nuhung, I.A., 2006).

Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi tingkat produksi usahatani secara umum adalah luas lahan garapan, benih, jumlah tenaga kerja efektif, dosis (jumlah) pupuk , dosis (jumlah) obat-obatan.

Faktor produksi tanah (lahan) mempunyai kedudukan yang paling penting dalam pertanian terutama di negara Indonesia. Hal ini terbukti dari besarnya balas jasa yang diterima oleh tanah dibandingkan dengan faktor-faktor produksi lainnya, selain itu tanah (lahan) merupakan pabriknya hasil pertanian (Mubyarto, 1989).

Menurut Gomes (1977), (dalam Soekartawi, 1986), seringkali ditemui adanya kendala hasil yang mempengaruhi proses produksi pertanian disebabkan karena : 1) Ada perbedaan teknologi yang tidak dapat dipindahkan dan karena perbedaan lingkungan, maka akan selalu ada perbedaan dalam hasil per satuan luas antara hasil tinggi yang dicapaioleh lembaga eksperimen dan hasil potensial terbaik yang dicapai usahatani, perbedaan ini disebut Perbedaan I. 2) Bahwa perbedaan antara hasil potensial dan yang sesungguhnya dicapai usahatani disebut Perbedaan II. Hal ini disebabkan oleh kendala biologi dan sosial ekonomi. Kendala biologi disebabkan oleh peningkatan input yang rendah atau sama sekali tidak digunakan meliputi : a) Varietas, tanaman pengganggu, hama dan penyakit,

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

oleh keadaan yang menghalangi petani untuk menggunakan tekbologi yang direkomendasikan meliputi : Biaya dan penerimaan, kredit, kebiasaan dan sikap, pengetahuan, kelembagaan, ketidakpastian dan resiko. Sedangkan menurut Iskandar Andi Nuhung (2006), paling tidak ada tiga penyebab aplikasi teknologi tersebut terhambat yaitu : 1) Petani tidak siap, tidak mau dan tidak mampu memanfaatkan teknologi, termasuk di dalamnya system budidaya bertani yang diwariskan turun-temurun; 2) Teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian tidak didesiminasi ke petani karena berbagai kendala; 3) Proses dan mekanisme transformasi teknologi tidak efektif, seperti penyuluhan yang lemah.

Faktor produksi benih baik dari segi kualitas maupun kuantitas sangat berpengaruh terhadap produksi yang tinggi dan bermutu. Dari segi kualitas penggunaan benih varietas unggul tahan hama dan penyakit akan memberikan peluang untuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi dengan kualitas produk yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan benih lokal (varietas lama). Anonim (2008), menyebutkan bahwa dampak temuan varietas unggul telah mengubah budidaya padi dari usahatani sub sistem menjadi usahatani komersial, karena hasil padi yang semula hanya 2 – 3 ton/ha, dapat meningkat menjadi 5 – 6 ton/ha gabah kering giling (GKG). Menurut Sadjat, S., F.C. Suwarno dan S. Hadi (2001), benih merupakan penentu utama produktivitas,dalam arti semua unsur dasar lain dan faktor-faktor (sarana) produksi tergantung pada kualitas benih. Subsidi benih sangat

21

tepat dijadikan sebagai satu program pemerintah termasuk kepada para penangkar benih sehingga ada insentif dalam memanfaatkan benih unggul bagi petani dan penangkar benih memiliki mootivasi di dalam mengembangkan usaha penangkarannya (Nuhung, I.A., 2006).

Tanaman di dalam pertumbuhannya membutuhkan unsur-unsur mineral. Unsur-unsur tersebut berada dalam tanah dalam keadaan kurang, maka harus ditambah dengan unsur-unsur mineral tambahan dengan cara dipupuk. Agar pemakaian pupuk dapat berhasil dengan baik dalam artian bisa meningkatkan produktivitas tanaman maka harus memperhatikan ketepatannya dalam hal dosis pemberian, cara pemberian dan jenis pupuk yang akan diberikan (Anonim, 1983).

Tanaman juga mengalami gangguan oleh hama dan penyakit yang dapat mengakibatkan tanaman turun produktivitasnya atau bahkan dapat mengakibatkan kematian. Untuk mengendalikan hama dan penyakit salah satunya adalah dengan menggunakan pestisida. Pengunaan pestisida harus memperhatikan dosis pestisida, cara penggunaannya. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut maka penggunaan pestisida akan dapat mengamankan produktivitas tanaman pertanian.

Faktor produksi tenaga kerja dapat diartikan sebagai daya manusia untuk melakukan usaha, sedangkan usaha sendiri diartikan sebagai ikhtiar yang dijalankan untuk memproduksi barang atau jasa. Dalam usahatani padi sawah curahan jam kerja efektif disesuaikan dengan kegiatan produksi yang meliputi : pengelolaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :

dampak posisif terhadap produksi usahatani padi sawah.