• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1.3 Advokasi Partisipasi

Partisipasi tentu tidak datang dengan sendirinya. Hubungan antara pemerintah dengan masyarakat tidak serta merta terbangun secara demokratis dan partisipatif, sebab pemerintah dimanapun akan cenderung otoritarian dan sentralistik bila tidak dihadapkan pada pembatasan kekuasaan kekuasaan dan kontrol dari lar yang kuat. Di era otonomi daerah sekarang, munculnya wacana dan gerakan partisipasi bukan semata inisatif dari pemerintah, melainkan juga karena peran kekuatan-kekuatan intermediary dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Begitu banyak NGO di Indonesia yang terus-menerus memperjuangkan partisipasi masyarakat untuk membangkitkan sura rakyat dan menentang dominasi elite dalam proses politik dan pembangunan.

Benarkah di era otonomi ini pembangunan di daerah sudah semakin demokratis dan benar-benar sesuai dengan kehendak atau kebutuhan rakyat? Pada hal lain, benarkah pembangunan di era otonomi ini sudah berpihak pada rakyat bawah, khusunya kepada warga masyarakat yang kebanyakan tinggal di pedesaan?

Partisipasi warga dimaksudkan sebagai proses keterlibatan warga masyarakat dalam pembuatan keputusan bersama mengenai penggunaan sumberdaya publik dan pemecahan masalah publik untuk pembangunan daerahnya. Sebagai bentuk voice, akses dan kontrol rakyat, partisipasi merupakan prasyarat mutlak untuk mewujudkan

program pembangunan. Tanpa partisipasi warga mustahil suatu pembanguan itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan serta diorientasikan untuk meningkatkan derajat hidup rakyat banyak. Sebuah teori mengajarkan, demokrasi tanpa partisipasi semua pihak adalah utopia, alias omong kosong. Kebijakan politik atau pembangunan tidak akan punya makna tanpa diimbangi proses partisipasi rakyat yang sesungguhnya, karena legitimasi dan kepercayaan rakyat adalah paling esensi yang tidak mudah dikesampingkan oleh siapapun meskipin dia memiliki otoritas. Sebaliknya, peran serta yang sadar dari hati nurani rakyat dalam pembangunan justru semakin menambah tingkat kepercayaan rakyat karena dengan sendirinya setiap individu merasa memiliki dan terpanggil untuk terlibat dalam setiap agenda pembangunan. Partisipasi warga bukanlah suatu daur almiah yang muncul secara natural atau sebuah proses tanpa sengaja dan campur tangan manusia, namun ia butuh perencanaan yang matang bahkan diperlukan aturan main yang jelas atau landasan legal formal.

Sejumlah rekomendasi untuk memperkuat partisipasi masyarakat ke depan.

Pertama, kepada semua agen perubahan perlu memperhatikan percepatan transformasi sosial yaitu merubah tata nilai lama supaya masyarakat marjinal pada umumnya tidak terus berada pada kubangan nilai-nilai agraris-foedal, yang selalu tidak menguntungkan pada posisi mereka sebagai sub-ordinat dalam menentukan kepentingan bersama di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Titik pencerahan ini sangat penting bagi mereka untuk gilirannya sadar akan hak-hak dan berani

menyuarakan sendiri kepentingan mereka dalam posisi kesederajatan seperti warga bangsa lainnya.

Kedua, pada tahun praktik-empiris, upaya-upaya yang digagas di atas perlu diintegrasikan melalui program pendidikan kewarganegaraan (civil education) yang menekankan pada kesadaran massif akan hak-hak warga Negara yang berdaulat penuh supaya lebih diperhatikan oleh para pejabat Negara. Tanggung jawab ini terutama ditujukan kepada para aktivis organisasi politik maupun oraganisasi sosial-kemasyarakatan yang paling berkompeten di bidang ini.

Ketiga, untuk mendorong kesadaran kritis warga masyarakat agar mau berpartisipasi dalam program pembangunan daerah maka perlu diback-up oleh regulasi yang jelas-jelas berpihak pada kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah merupakan lokomotif utama yang harus mengambil inisiatif dan memprakarsai tindakan konkret di lapangan. Maka, jargon ‘mendorong partisipasi warga’ tidak sekedar kamulfrase dan penghias bibir belaka, tetapi merupakan suatu tindakan riil yang benar-benar membumi, yang pada gilirannya nanti muncul indikator-indikator yang jelas dan dapat dievaluasi demi kemajuan dan kebaikan bersama.

Keempat, bahwa upaya konkret untuk menggalang partisipasi warga di daerah pedesaan perlu dukungan peningkatan alokasi dana anggaran yang signifikan bagi pembangunan di pedesaan. Paling tidak, dengan mekanisme perimbangan anggaran dana pembangunan sebesar 50% dari APBD, secara otomatis kegiatan

diseluruh sektor kehidupan desa semakin terdorong, karena itu keterlibatan warga desa dalam program-program pembangunan dapat dimaksimalkan.

2. 2. Teori Antroposentrisme

Secara etimologis Antroposentrisme tersusun dari dua kata bahasa Yunani yaitu "antropos" yang berarti manusia dan "centrum" yang berarti pusat. Antroposentrtisme dapat diartikan sebagai suatu meyakinkan bahwa manusia dan karya-karyanya adalah pusat dari alam sebagai realitas yang ada di luar manusia. Alam merupakan sesuatu yang asing bagi dirinya.

Secara sempit antroposentrisme merupakan sebuah pemikiran dimana manusia diletakan di atas alam semesta, dalam arti manusia diciptakan untuk menikmati alam semesta beserta isinya. Lingkungan dianggap sebagai bahan-bahan pemuas kebutuhannya belaka.

Kesalahan cara pandang dari etika antroposentrisme adalah pandangan akan manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri. Semua diukur atas asas kemanfaatan bagi manusia.

Teori antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap paling memnentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya, hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yanglain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai onyek, alat dan sasaran bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. (A. Sonny Keraf. 2002)

Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab semata - mata demi memenuhi kepentingan sesame mausia. Bukan merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri. (A. Sonny Keraf. 2002)

Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrument talistik, dalam pengertian pola hubungna manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demin menjamin kebutuhan

hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Teori semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Kepentingan makhluk hidp lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekalai lagi, pertimbangan itu bersifat egoistis demi kepentingan mansuia. (A. Sonny Keraf. 2002).

Sebenarnya paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia dengna lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang bisa idkatakan berlebihan. Hukum-hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah-ubah dengan sifat yang terbatas. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Secara ekologis, produk konsumtif telah menyebabkan sampah sebagai salah satu persoalan utama masyarakat daerah pesisir pantai. Saat ini banyak sekali daerah pesisir pantai yang membuang limbah rumah tangganya kelaut dan kesungai. Sehingga ekosistem laut dan ekosistem sungai pun tercemar karena. Memang tidak mudah untuk menyatakan siapa sebenarnya yang pertama-tama dan utama harus bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan lingkungan yang sekarang ini bisa dinyatakan telah masuk ke area krisis. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Perilaku antroposenstrisme baik secara sadar ataupun tidak yang berinteraksi dengan komponen-komponen lain, seperti antroposentrisme yang berinteraksi dengan industrialism, konsumerisme, moodernisasi, dan perkembangan pesat teknologi,

menjadi sebab kerusakan lingkungan akibatnya kita lihat, semua sisi lingkungan menjadi rusak, tidak peduli lingkungan fisik maupun lingkungan biologi, akibatnya dampak langsung yang diterima masyarakat adalah bencana alam yang dinyatakan oleh Ralph Metzner. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Antroposentrisme terlibat dalam memasukkan sikap, nilai-nilai, persepsi, dan pandangan dunia itu, rusaknya lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai kita, selain disebabkan oleh limbah rumah tangga, juga oleh adanya limbah-limbah pabrik yang tidak dikelola secara baik. Kasus di kawasan alut dan pantai Kampung Dapur 12 di Sumatera misalnya pencemaran berat disebabkan 7.000 ton minyak mentah ditumpahkan oleh Kapal Tanker Natuna Sea yang menabrak karang (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Sementara itu, rusaknya tana-tanah tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis akibat penggundulan hutan yang tidak memperhatikan aturan (Illegal Logging) dan rusaknya kadar produktif tanah sebab dieksploitasi secara terus-menerus. Hutan yang menyangga sebagai system lingkungan hidup dunia telah mengalami kerusakan. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).

Murdi mengatakan bahwa yang menjadi masalahh bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia bunuh diri. Sejauh memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat (proper ends), ini dibenarkan secara moral. Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada

alam semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung darri keberadaan spesies lain lagi. (A. Sonny Keraf. 2002).

Menurut Darling, manusia mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies lain, sebagai “aristocrat biologis.” Sebagai aristocrat biologis, manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk hidup lain. Manusia mempunyai posisi istimewa puncak piramida kehidupan. Menurut Darling, justru karena manusia adalah aristocrat biologis, ia harus melayani semua yang ada dibawah kekuasaannya secara baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga dan melindunginya. (A. Sonny Keraf. 2002)

Seperti paparan sebelumnya mengenai manfaat dan fungsi hutan mangrove. Hutan mangrove juga merupakan habitat spesies laut maupun darat. Dimana di daerah pesisir pantai hutan mangrove ini mengambil peran yang cukup besar dalam menjaga keseimbangan kehidupan, yang mampu memberikan kehidupan bagi makhluk hidup yang di sekitarnya. Jika hutan mangrove di babat habis demi ambisi membangun perumahan mewah, pusat industry dan pusat-pusat ekonomi. Akibatnya habitat-habitat yang seharusnya diperuntukkan bagi spesies (biota) laut semain sempit. Padahal, spesies-spesies yang hidup di udara dan darat amat bergantung pada keberadaan hutan mangrove ini. Akibatnya, spesies-spesies tersebut mencari habitat baru yang menambah persoalan manusia. Bukan hanya itu, hutan mangrove bisa berfungsi sebagai penahan ombak air laut, agar tidak mengenai secara langsung pemukiman-pemukiman penduduk.

Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversional dan menumbulkan perdebatan seru di anatara banyak fulsuf hingga sekarang. Di satu

pihak antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hingga sekarang. Di pihak, lain antroposentrisme juga bela, pertama, karena validitas atgumennya sulit dibantah – dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme menawarkan etika lingkungan yang mempunyai daya tarik kuat untuk mendorong manusia menjaga lingkungan. (A. Sonny Keraf, 2002).

Dalam kaitan dengan ektika lingkungan yang ditawarkanya, ada beberapa kelemahan yang perlu disinggung disini. Pertama, model etika ini mengabaikan masalah-masalah lingkungna yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia. Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai, laut, atau menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya sejauh dipandang menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia, maka akan diabaikan. Ini berbahaya, karena pertimbangan moral pun berubah-ubah sejalan dengan perubahan kepentingan manusia. Ketiga, yang menjadi perhatian antroposentrisme adlaah (urusan kepentingan manusia) jangka pendek, khususnya kepentingan ekonomi. Akibatnya, lingkungan hidup selalu dikorbankan demi kepentingan jangka pendek tersebut. Padahal dengan yang disebut kepentingan manusia, bahkan kepentingan ekonomi sekalipun, mempunyao perspektif jangka pangjang. (A. Sonny Keraf. 2002).

2. 3. Budaya Pesisir dan Hutan Mangrove

Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel, 2007). Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.

Wilayah pesisir dan lautan merupakan potensi ekonomi Indonesia yang perlu dikembangkan. Hal ini disebabkan wilayah pesisir dan laut merupakan 63% dari wilayah teritorial indonesia. Didalamnya terkandung kekayaan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam, seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral, dan kawasan pariwisata (Dahuri, 2001). Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam pelestarian lingkungan diproyeksikan dengan cara cara yang sesuai dengan pola pikir dan tradisi setempat, diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menja- ga keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bantuk pantangan, larangan, tabu, pepatah-petitih dan berbagai tradisi lainnya dapat mengungkapkan beberapa

pesan yang memiliki makna sangat besar bagi pelestarian lingkungan khususnya sumberdaya pesisir.

Masyarakat nelayan mengacu pada konteks pemikiran di atas, yaitu suatu konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara signifikan oleh eksistensi kelompok – kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan.

Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau system kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85, 91).

Dalam konteks hubungan eksploitasi sumber daya perikanan, masyarakat nelayan kita memerankan empat perilaku sebagai berikut: (1) mengeksploitasi terus-menerus sumber daya perikanan tanpa memahami batas-batasnya; (2) mengeksploitasi sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut; (3) mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan cara-cara yang merusak (destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan, melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti trawl atau minitrawl; serta (4) mengeksploitasi sumber daya perikanan dipadukan dengan tindakan konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan (Kusnadi, 2009).

Perilaku pertama, kedua, dan ketiga dianut oleh sebagian besar nelayan kita sebagai konsekuensi dari persepsi yang kuat terhadap sumber daya perikanan atau sumber daya kelautan yang bersifat open access bagi siapa pun yang mau memanfaatkannya. Perilaku keempat adalah perilaku minoritas di kalangan masyarakat nelayan, seperti ditunjukkan oleh adanya komunitas-komunitas adat atau komunitas local yang mengelola sumber daya perikanan untuk memperkuat kepentingan ekonomi kolektif, kemandirian sosial, dan kelangsungan hidup. Komunitas-komunitas adat seperti ini tersebar di berbagai wilayah tanah air. Mereka menjaga dengan baik pranata-pranata pengelolaan sumber daya laut yang dimilikinya, seperti sasi di Maluku, ondoafi di PapuaBarat, bati di Ternate, rompong di Sulawesi Selatan, tonass di Sulawesi Utara, awig-awig di Nusa Tenggara Barat, patenekan di

Banten, atau gogolan di Tegal. Klaim pemilikan atas sumber daya komunal ini dilegitimasi oleh sejarah sosial dan unsur-unsur identitas etnisitas yang mereka miliki (Kusnadi, 2009).

Kepemimpinan Sosial

Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan matapencaharian penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut adalah sebagai berikut :

1. Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran. 2. Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan. 3. Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.

4. Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”.

5. Solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau membantu sesama ketika menghadapi musibah.

6. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi. 7. Bergaya hidup “konsumtif “.

8. Demonstratif dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”.

9. ”Agamis”, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.

10. ”Temperamental”, khususnya jika terkait dengan ”harga diri”.

Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda di bawah ini (Boelaars, 1984):

Ciri-ciri perilaku sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri kepemimpinan sosial masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas naskah-naskah klasik (kuno) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti Kitab Sindujoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di kalangan masyarakat pesisir adalah sebagai berikut (Widayati, 2001):

1. Siap menolong siapa saja yang meminta bantuan. 2. Mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. 3. Dermawan kepada semua orang.

4. Selalu menuntut ilmu dunia dan akhirat untuk keseimbangan kehidupan. 5. Tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa. 6. Rendah hati (tidak sombong), tetapi tidak rendah diri (minder).

7. Sangat benci penindasan dan berbuat adil kepada siapa saja. 8. Rajin bekerja dan beribadah, khususnya shalat lima waktu. 9. Sabar dan bijaksana.

10. Berusaha membahagiakan orang lain.

Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di atas merupakan modal sosial yang sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan masyarakat pesisir memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia. Penjelajahan terhadap nilai-nilai budaya kepesisiran ini tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk membangun masa depan bangsa yang berbasis pada potensi sumber daya kemaritiman nasional.

BAB III

Dokumen terkait