• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

3.5. Teknik Analisa Data

Analisa data kualitatif adalah upaya yangdilakukan degan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satu bagian yang dapat dikelola, mensistensikannyam mencarai dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. (Lexi J. Moleong, 2006). Setiap data yang diambil akan direkam dan dicatat, data yang dicatat atau direkam tersebut adalah data wawancara maupun data penunjang lainnya. Selanjutnya setelah semua data terkumpul maka data akan dilakukan analisis data dan interpretasi data dengan mengaju pada kajian pustaka yang telah ada. Sedangkan hasil observasi akan diuraikan dan dinarasikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Setiap daya yang diperoleh tersebut akan diinterpretasikan untuk menggambarkan keadaan dengan mengacu pada dukungan teori dan kajian pustaka.

BAB IV

HASIL DAN ANALISA PENELITIAN 4.1. Gamabaran Umum Desa Jago-jago

Desa jago-jago merupakan salah satu desa yang berada dalam pemerintahan Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah yang terletak di bagian barat yang sebagian besar terdiri dari pantai dan daratan. Keadaan topografi desa dan karakteristik wilayahnya memiliki pengaruh terhadap mata pencaharian dan tingkat kehidupan penduduknya. Wilayah desa ini terbelah oleh tiga aliran sungai yang semuanya mengalir dan bermuara ke pantai di Desa Jago-jago, Teluk Sibolga, dan Lautan Indonesia.

Secara astronomis, wilayah desa ini terletak di antara 1032’ lintang utara, 1037’ Lintang Utara, 98047’30” Bujur Timur dan 98053’06” Bujur Timur. Jadi, wilayah desa ini terletak di sekitar garis katulistiwa, sehingga iklim di wilayah ini merupakan iklim tropis. Iklim tropis cukup mempengaruhi pola pemanfaatan dan pengolahan baik sumber daya laut maupun sumber daya daratnya. Ada[un batas wplayah desa Jago-jago, di sebelah utara, wilayah desa ini berbatasa dengan Aek Horsik, sebelah timur berbatasasn desa Desa Hutabalang, sebelah selatan berbaasan dengan Desa Lumut dan Sitardas, dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Tapanuli. Karena sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan laut, sebagian penduduknya lebih banyak memanfaatkan laut baik sebagai jalur berhubungan dengan daerah lainyya (transportasi) maupun sumber mata pencaharian. Desa jago-jago memiliki jarak sekitar 5 km dari ibu kota Kecamatan Badiri (Desa Lopian) dan sekitar 21 km dari ibu kota Kabupaten Pandan.

Luas wilayah desa jago-jago sekitar 22,8 Km persegi atau sekitar 11% dari seluruh wilayah Kecamatan Badiri. Wilayah ini terbagi kedalam 4 dusun atau lingkungan, yaitu dusun 1 adalah desa jago-jago (dusun induk)m dusun II adalah sigubo, dan dusun III adalah lumut dan dusun IV adalah bongal. Sementara dusun yang paling barat adalah jago-jago. Dusun ini merupakan satu satunya desa yang paling banyak berhadapan dengna teluk sibolga, laut lepas (lautan Indonesia), dan Muara Sungai Aek lumut.

Dari ketiga dusun di atas, desa Jago-jago memiliki wilayah darat paling sempit dan akses paling mudah ke daerah lainnya. Dusun desa jago-jago emmiliki jumlah penduduk terbanyak di antara tiga dusun lainnya dan meliputi hampir 60% dari seluruh penduduk desa. Oleh kare itu, tingkat kepadatan penduduknya pun paling tinggi.

Wilayah pesisir Desa jago-jago mempunyai panjang garis pantai sekitar 1,5 km dan berhadapan dengan laut terbuka yakni Samudera Indonesia. Wilayah desa Jago-jago merupakan dataran rendah dengan ketinggiasn 0-15 m di atas permukaan laut. Lahan yanag digunakan sebagai daerah pemukiman dan pekarangan pada umumnya lebih kecil, sementara lahan yang paling banyak digunakan dan dimanfaatkan adalah lahan untuk perkebunan, sawah, dan padang penggembalaan. Lahan kebun umumnya ditanami dengan jenis tanaman keras seperti kelapa, karet, kelapa sawit dan tanaman palawija seperti jang, kacang tanah, dan ubi kayu.

Disebelah Utara desa ini terdapat Sungai Badiri dan merupakan perbatasan dengan Desa Aek Horsik, Sungan Aek Lobu merupakan perbatasan desa Sitardasn

dan Sungai Lumut sebagai sara penyeberangan masyarakat. Di bagian hilir atau muara Sungai Badiri dan Sungai Lumut terdapat hutan mangrove yang didominasi jenis Rhizphpra sp dan Nipah. Kondisinya masih cukup baik dan pemanfaatan bakau masih terbatas untuk pembuatan arang, sedangkan nipah untuk pembuatas kertas rokok. Kawasan mangrove tersebut potensian dijakan sebagai lahan tambak udang dan budidaya kepiting, tetapi harus memperhatikan keseimbangan fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem mangrove tersebut. Oleh sebab itu, di desa ini dapat dikembangkan budidaya tambak ikan, udang dan kepeting bakau sebagai alternative mata pencaharian.

4. 2. ASPEK SOSIAL EKONOMI DAN BUDAYA

4. 2. 1. Kependudukan

Jumlah penduduk di Desa Jago-jago yang tercatat sampai Bulan Mei tahun 2007 di Kantor Camat Badiri ada sebanyak 2.669 jiwa, dengan komposisi 1287 jiwa perempuan dan 1382 laki-laki. Penduduk desa ini memeluk agama Islam dan Kristen.

Penduduk Desa Jago-jago terdiri dari beberapa suku, yakni suku Batakm Nias, Melayu, Jawa, Minang dan Aceh, dengan kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dehngan budaya pesisir. Bahasa yang digunakan sehari hari mempunyai cirri teresndiri, seperti bahasa melayu pesisir yang diwarnai dialek Batak atau Dialek Jawa. Walaupun heterogenitas pendidik tinggi, sentiment primordial tidak pernah muncul, karena mereka saling menghargai dan tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari.

4. 2. 2. Pendidikan

Berdasarkan tingkat pendidikan, masyarakat Desa Jago-jago mempunyai kualitas sumberdaya manusia yang masih relative rendah. Hal ini ditandai dengan banyaknya penduduk yang tidak bersekolah yakni 53,35 % sedangkan yang sekolah hanya 46, 65%. Angka ini memberikan gambaran rendah akan pentingnya pendidikan. Masyarakat membutuhkan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia, baik melalui pendidikan formal maupun informal. (RPTK 4 Desa Kab. Tapteng, 2005)

4. 2. 3. Kesehatan Masyarakat

Penyakit yang pernah diderita masyarakat Desa Jago-jago adalah penyakit yang umum di daerah tropis, seperti demam, influenza dan diare. Penanggulangan penyaki ini dilakukan dengan berobat ke Puskesmas Pembantu dan Polindes yang terdapat di dusun I Jago0jago atau mereka menggunakan bahan obat tradisional. Sementara tenaga medis yang ada di desa Jago-jago hanya 2 orang bidan. Di desa ini hanya terdapat 1 buah MCK umum yakni di Dusun I Desa Jago-jago.

4. 2. 4. Pemukiman

Lokasi pemukiman penduduk di Desa Jago-jago hanya berjarak sekitar 5 m dari garis pantai. Kondisi rumah yang ada umunya sederhana, terbuat dari kayu, berlantai papan dan semen, berdinding papan dan beratap seng. Sebagian kecil rumah sudah permanen, namun beberapa rumah masih mempunyai atap rumbia.

Bentuk rumah penduduk terdiri dari 2 tipe, yakni bentuk rumah panggung dan rumah non panggung. Rumah panggung mempunyai lantai papan, sedangkan rumah

non panggung mempunyai lantai semen, ada juga yang beberapa rumah masih mempunyai lantai tanah.

Kamar mandi umumnya berada di luar rumah, karena sebagian besar penduduk memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan mandi cuci dan kakus. Sumber air bersih diperoleh dari air sumur dan air dari bukit. Bila terjadi musim kemarau, penduduk sangat kesulitan memperoleh air bersih untuk masak dan minum.

4. 2. 5. Mata Pencaharian dan Pendapatan

Masyarakat Desa Jago-jago mnempunyai beberapa jenis pekerjaan dan terbesar adalah nelayan. Pekerjaan lainnya adalah petani karet, pedagang, pengrajin nipah, PNS, Karyawan Swasta dan pengolah ikan. Nelayan yang terdapat di desa ini terdiri dari buruh nelayan (anak buah kapal), tekong (juru mudi kapal), nelayan pemilik kapal (toke), nelayan pengolah, karyawan yang bekerja di tambak, karyawan di perkebunan.

Di Desa Jago-jago terdapat perkebunan Sawit dan Karet milik masyarakat. Sebagian besar karyawan di perkebunan tersebut berasal Dario warga Jago-jago. Selain perikanan tangkap, di desa ini juga terdapat budidaya perikanan yakni tambak udang. Tambak tersebut terdapat di dusun I dan dusun II Desa Jago-jago.

4. 2. 6. Budaya Masyarakat

Kondisi sscial masyarakat di Desa Jago-jago pada umumnya seperti kondisi social masyarakat yang tinggal dipesisir pantai. Dengan sebuah pemahaman budaya gotong royong yang sederhana dan selalu repek terhadap keadaan dan kegiatan yang berlaku di desa dalam arti kata setiap ada kegiatan yang melibatkan khalayak ramai, penduduk Desa Jago0jago selalu meluangkan waktu untuk ikut berpartisipasi

membantu setidaknya menyumbangkan tenaga untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Hanya saja kekurangannya adalah masih rendahnya perekonomian masyarakat di Desa Jago-jago ini.

Budaya atau adat istiadat yang retaktualisasi di Desa Jago-jago adalah adat pesisir dengan ciri tersendiri. Budaya masyarakat ini pada dasarnya merupakan akulturasi dari budaya Batak, Minang, Nias dan etnis lainnya dengan kebudayan pesisir yang kondisinya hampir sama denga desa-desa yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku di pesisir Tapanuli Tengah mempunyai satu kesatuan dalam budaya pesisir yang lazim disebut dengan “Pesisir Kampung Halaman”. Salah satu produk adat di desa ini yang cukup dikenal adalah "Tarian Sikambang”.

4. 2. 7. Sarana dan Prasara Umum

Di Desa Jago-jago belum ada fasilitas pasar, sehingga masyarakat harus pergi ke Desa Hutabalang atau ke Desa Hajoran yang telah mempunyai fasilitas pasar untuk membeli bahan kebutuhan sehari-jhari. Demikian jugan dengan fasilitas pendaratan ikan belum ada, sehingga bongkar muat produksi perikanan dilakukan di pinggir pantai sekitar pemukiman.

Sarana perkantoran di Desa Jago-jago hanya ada 1, yaitu kantor Kepala Desa. Prasarana pendidikan yang ada di desa ini adalah 1 buah gedung Sekolah Dasar (SD), 2 buah Madrasah (Sekolah Mengaji/Sekolah Sore) dan satu 1 untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Puskesmas Pembantu dan satu buah Pondok bersalin desa (Polindes). Untuk fasilitas penerangan listrik PLN telah masuk di Dusun I Jago-jago

sedangkan di dusun lainnya belum ada. Prasarana lainnya yang menunjang kegiatan keagamaan adalah 7 buah gereja, 2 buah masjid dan 2 buah mushollah. Sarana olahraga yang ada di desa Jago-jago adalah: Lapangan Bola Kaki, dan lapangan Badminton.

Sementara itu prasarana infrastruktur yang bersumber dari Coremap di Desa Jago-jago adalah Pondok Informasi, tambatan perahu (jety), MCK, dan Balai Pertemuan.

4. 2. 8. Aspek Kelembagaan

Lembaga kemasyarakatn yang ada di Desa Jago0jago adalah Serikat Tolong Menolong (STM) dan Majelis Ta’lim, Karang Taruna, Kegiatan STM adalah membantu setiap anggota apabila terjadi musibah atau kemalangan, pesta pernikahan dan sunatan. Sedangkan kegiatan Majelis Ta’lim adalah pengajian yang dilakukan kaum ibu dan bapak secara terpisah sekali dalam seminggu atau sekali dalam sebulan secara bergantian dari rumah ke rumah.

Desa Jago-jago dipimpin oleh seorang Kepala Desa, dan dibantu oleh seorang Sekretaris Desa, seorang Kepala Urusan Pemerintahan, seorang Kepala Urusan Umum, dan seorang Kepala Urusan Pembangunan. Desa Jago-jago mempunyai 4 dusun, dan masing-masing dipimpin oleh Kepala Dusun serta bertanggungjawab langsung kepada Kepala Desa. Dan pusat pemerintah Desa Jago-jago berada pada Dusun I.

4. 2. 9. Hutan Bakau (mangrove) di desa Jago-jago

Hutan bakau (mangrove) tersebar dalam wilayah yang termasuk Kabupaten Tapanuli Tengah dengan kondisi yang lumayan baik seperti mangrove yang ada di Pulau-pulau kecil hingga Pulau Mansalar. Di sepajang aliran sungai Si Jago-jago ditumbuhi oleh jenis mangrove Nypa fruticans yang diselangselingi oleh asosiasi jenis Xylocarpus granatum, Cerberra odollam, Soneratia alba. Selain itu, ditemukan pula mangrove dengan jenis Sonneratia caseolaris yang spefikikasinya tidak ditemukan di pulau-pulau lainnya, diman jenis ini dapat ditemui di aliran sungai dengan salinitas yang rendah.

Sesuai dengan hasil penelitian tim CRITC-COREMAP LIPI tahun 2006, bahwa keseluruhan mangrove berada di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah yang umumnya didominasi oleh jenis Rhizopora mucronata (NP. 103,46 %), Rhizopora apiculata (95,23 %), serta jenis Lummnitzera racemosa, Xylocarpus granatum, dan Ceriops tagal dengan kondisi tutupan kurang dari 50 %. Kepadatan anak pohon mangrove yang berada di Kabupaten Tapanuli Tengah mencapai 2995 pohon perhektar, dengan rata-rata ketinggian 5,35 meter dan diameter rata-rata 4,54 cm (CRITC-LIPI, 2006). Sedangkan yang berada di wilayah perairan kota Sibolga kondisinya sudah buruk, karena aktivitas reklamasi dan penimbunan yang dilakukan penduduk dan pemerintah kota untuk memperluas wilayah daratannya.

Dibandingkan dengan hasil yang telah ditemui di Nias dan Mentawai, maka kepadatan mangrove di Kabupaten Tapanuli Tengah yaitu 288 pohon/hektar, yang lebih sedikit dibandingkan dengan di Mentawai (473 pohon/hektar), namun lebih

banyak dibandingkan dengan di Nias yang hanya 160 pohon/hektar (CRITC-LIPI, 2006).

Saat ini, hutan Mangrove di Kabuapaten Tapanuli Tengah telah mengalami penyusutan luasan dan kerusakan varietas, dari 1800 Ha hanya tinggal 1.570 Ha (dalam KKLD, DKP Tapteng, 2008), yang penyebabnya antara lain penebangan secara massif, konversi lahan untuk pertambakan, perkebunan, dan pemukiman, yang menimbulkan berkurangnya luasan, menurunnya kualitas air, dan berkurangnya biodiversity, erosi pantai, dan abrasi.

Di wilayah pantai, sekitar muara sungai Badiri, sungai Lumut/Aek Pinangsori dan sungai Sigubo terdapat hutan bakau (rhizophora). Di daerah ini banyak terdapat udang dan kepiting. Kelestarian hutan bakau cukup mengkhawatirkan mengingat penebangan kayu bakau terus-menerus dilakukan.

Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memihah ikan-ikan laut seperti ekosistem mangrove, lamu dan karang. Seiring dengan berlajannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya khususnyalingkungan perairannya.

Di daerah aliran sungai Jago-jago kondisi mangrovenya berbeda dengan pulau-pulau lainnya dimana di sepanjang sungainya ditumbuhi jenis Nypa fruticans yang dibarengi dengan asosiasi jenis lain seperti Xulocarpus granatum, cerbera odollam, Sonneratia alba dan lainnya. Selain itu juga ditemukan Sonneratia

caseolaris yang tidak ditemukan di pulau lainnya. Jenis ini biasanya ditemukan di aliran sungai yang kondisi salinitas airnya rendah.

Kawasan laut di sekitar Desa jago-jago berpotensi cukup tinggi, baik yang ada di laut lepas, maupun di sekitar pantai. Kawasan laut dapat dikategorikan ke dalam empat kawasan, yakni kawasan pantai, kawasan terumbu karang, kawasan laut dalam dan kawasan hutan bakau (mangrove). Keempat kawsasan ini mempunyai ekosistem tersendiri sesuai dengan kondisi dari lokasi tersebut.

Hutan bakau banyak dijumpai di sekitar muara sungai yang ada di Desa Jago-jago, yakni Sungai Badiri, Sungai Lumut/Aek Pinangsori dan Sungai Sigubo. Kawasan ini merupakan tempat berkembangnya biota laut kepeiting bakau dan udang yang saat ini populasinya berkurang sehingga habitat ini sulit ditemukan. Kondisi ini dikarenakan makin sedikitnya hutan bakau yang kondisinya pun mengkhawatirkan karena tidak terkontrolnya penebangan hutan tersebut oleh masyarkat, baik untuk pemenuh kebutuhan ekonomi, maupun bangunan rumah dan bagan. Permasalahan ini bila tidak cepat diatasi, maka dikhawatirkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia dan biota laut yang berdiam dibawahnya.

Tebel 1. Luas mangrove dan terumbu karang di Kabupaten Tapanuli Tengah Jenis Tutupan Luas (km2) Luas seluruhnya (km2) Pelab uhan Sibolga dan sekitarnya Desa Sitardas, Teluk Tapian Nauli

dan sekitarnya

Pula u Mansalar

Mangrove 0,451 4 2,9776 4,56 12 7,990 2 Terumbu karang Fringing reef Patch reef Shoal 1,212 7 0,456 8 0,217 3 3,0422 - 0,3845 16,4 108 - 3,63 29 20,66 57 0,456 8 4,234 7 Sumber: Tim CRITC, Studi Baseline Ekologi Tapanuli Tenga.Jakarta : LIPI, 2006

4. 3. Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove

Saat ini kondisi mangrove di kawasan pesisir desa Sijago-jago belum memprihatinkan, karensa konversi lahan untuk budidaya dan pemukiman belum dieksploitasi secara besar-besaran yang dapat mempengerauhi luasan vegetasi mangrove di sepanjang wilayah pesisir pantai si Jago-jago hingga kampong Sawah. Kondisi buruk yang ditimbulkan penurunan luas vegetasi mangrove seacara teoritis dapat menyebabkan :

a. Penurunan kualitas air

b. Penurunan hasil tangkapan terutama kepiting, kerang dan udang c. Erosi pantai meluas

Penghijauan hutan mangrove yang telah gundul merupakan salah satu upaya yang bertujuan bukan hanya untuk mengembalikan nilai estetika, tetapi yang paling utama adalah untuk mengembalikan fungsi ekologisnya. Sementara itu, dalam konteks pelestarian hutan mangrove, sebagian masyarakat tidak melakukan penanaman kembali mangrove dengan alasan: tidak mengetahui cara menanam mangrove; lokasi hutan mangrove yang jauh dari pemukiman; tidak mempunyai bibit mangrove; dan masyarakat lebih senang menanam tanaman pangan daripada menanam mangrove (Suwignyo, 2011)

Berkaitan dengan konservasi, peraturan yang paling relevan nampaknya adalah Kepres No. 32 Tahun 1990 mengenai areal lindung, Undang-undang No. 5 Tahun 1990 mengenai perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya dan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. UU yang terakhi ini memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk melakukan pengelolaan dan pelestarian mangrove.

Menurut Sianipar (2001), partisipasi merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, dimana tujuan dimaksud adalah dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik dalam menentukan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini partisipasi datang dari pola pandang masyarakat yang berada di desa penelitian, dengan tujuan pelestarian hutan mangrove. Bila dilihat secara umum kata partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan mengambil peran tertentu dalam kegiatan pelestarian kawasan mangrove. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat adalah kelompok penduduk yang dapat dikategorikan menjadi masyarakat lokal, masyarakat swasta, dan masyarakat umum yang ada di desa penelitian (Sianipar, 2001 ).

Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses yang melibatkan masyarakat yang berada di desa itu dalam pengambilan keputusan, perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pembinaan masyarakat yang mendukung kegiatan pelestarian hutan mangrove. Adapun asas partisipasi masyarakat yang dipakai adalah kebebasan berpendapat mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan secara rasional, efisien, tepat guna dan tepat sasaran. Sedangkan tujuan dari partisipasi itu adalah meningkatkan kualitas dan keefektifan kebijakan yang dirumuskan dan ditetapkan dalam membangun pemerintahan yang demokratis dan partisipatif. Tujuan lainnya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan makna penting peran dan tanggung jawab bersama dalam menentukan masa depan kehidupannya khususnya pelestarian hutan mangrove, sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal maupun kebijakan nasional.

Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove sebaiknya ada keterlibatan aktif masyarakat secara sukarela dalam seluruh tahapan proses pembangunan bukan melalui para wakilnya. Dikatakan bahwa pengertian tersebut mengandung substansi pokok yaitu : (1) Partisipasi dalam perencanaan kegiatan; (2) Partisipasi dalam pelaksanaan keg iatan; (3) Partisipasi dalam penerimanmanfaat ; (4) Partisipasi dalam pemantuan dan evaluasi; (5) Partisipasi dalam menerima resiko (Mishra, 1984).

Partisipasi masyarakat juga dapat berupa suatu perwujudan dari proses intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat dengan pemberian bantuan bantuan yang bersifat stimulan/perangsang (Awang, 2002). Partisipasi secara kelompok ditunjukkan dengan wujud perpanjangan tangan pemerintah ke tingkat

masyarakat desa dengan memanfaatkan pihak-pihak yang telah menjadi kekuatan informal di desa itu . Berkaitan dengan perekonomian, partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi sekarang bukan lagi merupakan mau tidaknya masyarakat di desa itu ikut berpartisipasi, tapi sejauh mana masyarakat memperoleh manfaat dari program partisipasi itu (Soetrisno, 1995).

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam kegiatan palestarian hutan mangrove, terdiri dari tiga hal, yaitu : (1) Keadaan sosial masyarakat meliputi; pendidikan, tingkat pendapatan, kebiasaan, dan kedudukan sosial dalam sistem sosial, (2) Kegiatan program pembangunan meliputi; kegiatan pelestarian mangrove yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah dalam waktu yang telah dijadwalkan. Hal ini dapat mengikutsertakan organisasi masyarakat, dan (3) Keadaan alam sekitar meliputi; faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat (Amba, 1998).

Adapun kerusakan pada kawasan mangrove sering ditimbulkan oleh kepentingan pribadi oleh masyarakat sekitar hutan mangrove itu sendiri. Baik tujuannya pembuatan tambak, penebangan kayu bakau untuk dijual, maupun pendirian pelabuhan dan lain-lain. Kerusakan hutan mangrove di Tapanuli tengah dapat dikatakan tidak terlalu parah seperti ditempat-tempat lainnya. Namun bukan berarti kondisi mangrove di daerah tersebut lebih bagus. Ada beberapa titik yang dilakukan konversi lahan menjadi tambak, panglon (tempat pemotongan kayu) dan lain-lain. Dengan observasi yang dilakukan oleh peneliti bahwa partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan mangrover, baik dalam perencanaan, sosialisasi, pengasan, maupun evaluasi masih sangat rendah.

Partisipasi masyarakat disekitar hutan mangrove sangat diperlukan untuk mensukseskan kegiatan pelestarian hutan mangrove. Oleh sebab itu sangat diperlukan masyarakat yang memiliki jiwa partisipasi yang tinggi. Namun tingkat partisipasi tiap-tiap masyarakat berbeda. Hal ini disebabkan oleh karakteristik individu tiap masyarakat tersebut berbeda-beda. Adapun karakteristik individu masyarakat itu adalah umur, jumlah anggota keluarga, lama masa bermukim, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan. Tingkat partisipasi masyarakat dapat dinilai dari tindakan-tindakan masyarakat dalam kegiatan pelestarian hutan mangrove yang berkelanjutan di desa penelitian. Tindakan pelestarian itu dapat berupa kegiatan penanaman bibit (baik dari lembaga desa maupun individu masyarakat), kegiatan pemeliharaan hutan mangrove, pengawasan terhadap hutan mangrove, hingga pemanfaatan yang bersifat lestari. Hasil yang diharapkan dari adanya partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove adalah terciptanya kawasan hutan mangrove yang lestari. Keadaan ini juga akan memberikan pengaruh kepada lingkungan di sekitar hutan mangrove, dapat berupa manfaat ekologi (lingkungan), manfaat biologi, hingga manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar hutan itu. Namun pada kenyataannya ada beberapa kendala yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan mangrove. Kendala ini dapat menghambat partisipasi masyarakat untuk ikut dalam kegiatan pelestarian kawasan mangrove .

Dokumen terkait