POLA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN
HUTAN MANGROVE
(Studi Deskriptif di Desa Jago-jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah)
SKRIPSI
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Diajukan Oleh :
FAKHRURRAZI SIMATUPANG
070901001
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAKSI
Sumber daya eksositem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah pesisir, merupakan sumber daya alami dan dapat diperbaharui (renewable resources), yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya. Hal ini diharapkan dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Kekayaan sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan laut dan hutan mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik mendorong berbagai pihak untuk berusaha melakukan pemanfaatan kawasan sumberdaya tersebut. Pemanfaatan sumberdaya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya menyebabkan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pola pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Jago-jago belum maksimal. Namun, ada beberapa masyarakat yang mengetahui dan berpartisipasi untuk menjaga dan melestari hutan mangrove. Begitu juga potensi pemanfaatan mangrove oleh masyarakat setempat, ada yang sudah di manfaatkan dan ada yang belum dimanfaatkan. Pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan masyarakat masih bersifat tradisional. Terdapat alternatif pemanfaatan yang bisa dilakukan masyarakat seperti: bahan bangunan, bahan makanan dan minuman, obat-obatan, perkakas/peralatan dan lain-lain.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi deskriptif. Metode deskriptif yaitu memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan/ masalah yang bersifat aktual kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interprestasi rasional yang akurat. Dengan demikian, penelitian ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya dan mencoba mengaanalisa untuk mencari kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. (Nawawi, 1990 : 64).
Keberadaan mangrove ternyata mempunyai dampak yang baik bagi kemajuan dan perkembangan desa, beberapa responden merasa bahwa mangrove telah menjadi sebuah bagian dari perubahan desa itu sendiri. Dengan cara menjaga, sadar atau tidak sadar masyarakat setempat telah menikmati keberadaan mangrove itu sendiri.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Allah SWT, karena dengan kasih
dan sayang-Nya kita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri kita agar lebih
baik lagi untuk kedepannya. Shalawat beriring salam dihantarkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing kita menuju jalan kebenaran sejati untuk
mendapatkan ridho Illahi.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tuaku, abangku serta
keempat adikku, saya ucapkan terima kasih kepada mereka atas semua perhatiannya.
Ucapan terima kasih kepada semua keluarga yang memberikan motivasi dan
dorongan emosional kepada penulis. Selanjutnya kepada semua pihak yang selama ini
membantu penulis dalam perkuliahan dan penyusunan skripsi ini, saya hendak
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi sekaligus
juga selaku Ketua Penguji skripsi ini. Terima kasih atas semua perhatian dan
kebijaksanaan serta motivasi yang diberikan.
3. Bapak Drs. T. Ilham Saladin, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi dan
juga sebagai Dosen Wali penulis. Terima kasih atas semua perhatian dan
4. Bapak Drs. Henry Sitorus, MSi, selaku Dosen Pembimbing dan Penguji I
skripsi ini. Terima kasih atas semua perhatian dan kebijaksanaan serta
motivasi yang diberikan selama perkuliahan dan bimbingan proposal.
5. Seluruh Staff Pengajar dan Pegawai FISIP USU khususnya Departemen
Sosiologi yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan dan wawasan
selama kurang lebih 7 tahun kepada penulis.
6. Sahabat dan kawan-kawanku semua stambuk 2007 di HMI komisariat FISIP
USU dan Sosiologi FISIP USU, kalian memang yang terbaik. Dan semua
teman-teman Politik, AN, Komunikasi, Pajak, Antro, Kessos 2007, terima
kasih untuk perhatian dan motivasinya.
7. Keluarga besar HMI komisariat FISIP USU, semoga semua perjuangan dan
perkaderan yang dilakukan dilandaskan dengan hati yang ikhlas semata-mata
hanya mengharap ridho dari Allah SWT. Untuk kalian semua kakandaku,
saudaraku dan adindaku, terima kasih atas semua kekeluargaan ini.
8. Ucapan terima kasih kepada masyarakat Desa Jago-jago yang telah
memberikan kontribusi dan partisipasinya dalam penyediaan data sehingga
penulis mampu menyelesaikan Skripsi.
Pada akhirnya, semoga semua ilmu dan pengetahuan yang saya peroleh di
kampus Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tercinta ini
berguna bagi penulis dan dapat saya kembangkan serta diabdikan untuk masyarakat
DAFTAR ISI
Halaman
Abstraksi ... i
Kata pengantar ... ii
Daftar Isi... v
Daftar Tabel ... viii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang Masalah ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 8
I.3. Tujuan Penelitian ... 9
I.4. Manfaat Penelitian ... 9
I.5. Defenisi Konsep ... 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 13
II.1. Konsep Partisipasi ... 13
II.1.1. Praktika Partisipasi ... 18
II.1.2. Jebakan-jebakan Partisipasi ... 24
II.1.3. Advokasi Partisipasi ... 28
II.2. Teori Antroposentrisme ... 22
II.3. Budidaya Pesisir dan Hutan Mangrove ... 37
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 43
III.1. Jenis Penelitian... 43
III.3. Unit Analisis dan Informan ... 44
III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 45
III.5. Teknik Analisa Data ... 46
III.6. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 30
III.7. Keterbatasan Penelitian ... 32
BAB IV. HASIL DAN ANALISA PENELITIAN ... 33
IV.1. Gambaran Umum Desa Jago-jago ... 47
IV.2. Aspek Sosial dan Ekonomi Budaya ... 49
IV.2.1. Kependudukan ... 49
IV.2.2. Pendidikan ... 50
IV.2.3. Kesehatan Masyarakat ... 50
IV.2.4. Pemukiman... 50
IV.2.5. Mata Pencaharian dan Pendapatan ... 51
IV.2.6. Budaya Masyarakat ... 51
IV.2.7. Sarana dan Prasarana Umum ... 52
IV.2.8. Aspek Kelembagaan ... 53
IV.2.9. Hutan Bakau (Mangrove) di Desa Jago-jago ... 54
IV.3. Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove ... 57
BAB V. PENUTUP ... 71
V.1. Kesimpulan ... 71
V.2. Saran-Saran ... 72
ABSTRAKSI
Sumber daya eksositem mangrove termasuk dalam sumber daya wilayah pesisir, merupakan sumber daya alami dan dapat diperbaharui (renewable resources), yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya. Hal ini diharapkan dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Kekayaan sumberdaya pesisir seperti sumberdaya perikanan laut dan hutan mangrove yang memiliki nilai ekonomis yang cukup baik mendorong berbagai pihak untuk berusaha melakukan pemanfaatan kawasan sumberdaya tersebut. Pemanfaatan sumberdaya tanpa memperhatikan lingkungan di sekitarnya menyebabkan kerusakan ekosistem wilayah pesisir.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pola pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Jago-jago belum maksimal. Namun, ada beberapa masyarakat yang mengetahui dan berpartisipasi untuk menjaga dan melestari hutan mangrove. Begitu juga potensi pemanfaatan mangrove oleh masyarakat setempat, ada yang sudah di manfaatkan dan ada yang belum dimanfaatkan. Pelestarian dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang dilakukan masyarakat masih bersifat tradisional. Terdapat alternatif pemanfaatan yang bisa dilakukan masyarakat seperti: bahan bangunan, bahan makanan dan minuman, obat-obatan, perkakas/peralatan dan lain-lain.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan studi deskriptif. Metode deskriptif yaitu memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan/ masalah yang bersifat aktual kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interprestasi rasional yang akurat. Dengan demikian, penelitian ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian berdasarkan fakta-fakta sebagaimana adanya dan mencoba mengaanalisa untuk mencari kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. (Nawawi, 1990 : 64).
Keberadaan mangrove ternyata mempunyai dampak yang baik bagi kemajuan dan perkembangan desa, beberapa responden merasa bahwa mangrove telah menjadi sebuah bagian dari perubahan desa itu sendiri. Dengan cara menjaga, sadar atau tidak sadar masyarakat setempat telah menikmati keberadaan mangrove itu sendiri.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lingkungan hidup menyediakan sumber daya pada manusia berupa air,
tumbuhan dan hewan untuk bahan pangan, pakaian, obat-obatan, bahan bangunan,
peneduh dan lain-lain kebutuhan hidup. Lingkungan hidup juga menyajikan ancaman
bagi manusia, misalnya, hewan karnivor besar, seperti harimau, hewan dan tumbuhan
berbisa, pathogen serta banjir dan kekeringan, antara manusia dengan lingkungan
hidupnya selalu terjadi interaksi tmbal-balik. Manusia mempengaruhi lingkungan
hidupnya dan manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Demikian pula
manusia membentuk lingkungan hidupnya dan manusia dibentuk oleh lingkungan
hidupnya (Otto Soemarwoto, 2001).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000
km. Jajaran pantai ini tergabung di dalam 17.508 pulau yang merupakan gabungan
antara bentuk ekosistem pantai dan hutan pantai. Dengan banyaknya pulau-pulau ini,
maka banyak pula ekosistem hutan pantai yang tumbuh di sekitar garis pantai
tersebut. Ekosistem hutan pantai ini sangat berperan penting dalam kehidupan biota
darat dan biota laut. Diketahui juga bahwa beberapa tipe hutan pantai merupakan tipe
perantara antara ekosistem hutan darat dengan ekosistem laut (Sugiarto dan Willy,
Dewasa ini bangsa Indonesia telah mengalihkan perhatian yang serius dalam
hal pengelolaan sumber daya alam ke wilayah pesisir dan lautan sebagaimana
diarahkan oleh GBHN 1998. Data dan informasi kelautan dan pesisir harus terus
digali, dikumpulkan, diolah dan didistribusikan kepada masyarakat antara lain
melalui peningkatan kegiatan surver dan penelitian dalam rangka inventarisasi
kekayaan laut dan pesisir (GBHN, 1998).
Indonesia adalah salah satu Negara di kawasan iklim tropis yang sering
disebut sebagai paru-paru dunia hutan alam tropika yang luas dan sangat berperan
dalam penentu iklim dunia. Salah satunya adalah hutan mangrove atau bakau yang
terdapat di sepanjang wilayah pesisir pantai Indonesia. “Indonesia memiliki sekitar
40% dari total hutan mangrove di dunia, dan dari jumlah itu sekitar 75% berada di
Papua” (www.antara.co.id/mangrove).
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem transisi yang menghubugkan
ekosistem darat dan laut dan memegang peranan penting dalam mendukung
produktivitas laut yang berdekatan. Secara umum, hutan mangrove didefenisikan
sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur
tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut, tetapi tidak terpengaruh
oleh iklim. Mangrove merupakan vegetasi khas di zona pantai, floranya berjenis
semak hingga pohon yang besar dan tingginya hingga 50-60 meter dan hanya
mempunyai satu tajuk di pucuk tanaman (Istomo, 1992).
Beberapa ahli mendefinisikan istilah “mangrove” secara berbeda-beda, namun
pada dasarnya merujuk pada hal yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)
surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi
tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang
terlindung. Sementara itu Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove
sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah lumpur aluvial di daerah pantai dan
muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri atas jenis-jenis
pohon Aicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera,
Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa (Yus Rusila Noor dkk,
2006).
Pada tahun 1984, menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan mengeluarkan
Surat Keputusan Bersama No. KB 550/246/ KPTS/1984 dan No. 082/KPTS-II/1984,
yang menghimbau pelestarian jalur hijau selebar 200 meter sepanjang pantai,
melarang penebangan mangrove di Jawa, serta melestarikan seluruh mangrove yang
tumbuh pada pulau-pulau kecil (kurang dari 1.000 ha.)
Berkaitan dengan konservasi, peraturan yang paling relevan nampaknya
adalah Kepres No. 32 Tahun 1990 mengenai areal lindung, Undang-undang No. 5
Tahun 1990 mengenai perlindungan sumber daya hayati dan ekosistemnya dan
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah. UU yang terakhi
ini memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk melakukan pengelolaan
dan pelestarian mangrove.
Secara ideal, sebaiknya pemanfaatan kawasan mangrove dalam membantu
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat tidak sampai mengakibatkan kerusakan
terhadap keberadaan mangrove. Selain itu yang menjadi pertimbangan paling
masyarakat, namun dengan tetap mempertimbangkan kelestarian fungsi mangrove
secara ekologis (fisik-kimia dan biologis). Perlu juga mengembangkan mata
pencaharian alternatif bagi masyarakat di sekitar kawasan mangrove dengan
pemanfaatan bahan baku non-kayu dan diversifikasi bahan baku industri kehutanan
(Anonim, 2008).
Untuk menciptakan kawasan mangrove yang lestari, masyarakat di sekitar
kawasan hutan mangrove tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dalam
mendukung suksesnya kegiatan ini. Peran tersebut dapat secara individual maupun
secara kelompok sebagai organisasi masyarakat. Keberhasilan pengelolaan hutan
mangrove tidak terlepas dari partisipasi/peran serta masyarakat. Untuk itu masyarakat
perlu dimotivasi agar berperan aktif dalam pengembangan hutan mangrove. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 6 ayat (1) yang berbunyi “ Setiap orang
berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan pengerusakan lingkungan hidup “. Kemudian
dipertegas dalam penjelasan bahwa hak dan kewajiban mengandung makna bahwa
setiap orang (anggota masyarakat) baik individu maupun kelompok sebagai
organisasi masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya memelihara lingkungan hidup
(Sianipar, 2001).
Di daerah Sumatera Utara hanya beberapa kabupaten yang memiliki pesisir
pantai. Diantaranya adalah Kabupaten Tapanuli Tengah. Secara geografis Kabupaten
Tapanuli Tengah terdiri dua puluh Kecamatan. Dimana beberapa kecamatan tersebut
lautan dari pada daratan yang tergolong daerah beriklim tropis. Kabupaten Tapanuli
Tengah mempunyai luas 2.194,98 Km2. Bumi Tapanuli Tengah, sebagai daerah yang
berada di pesisir pantai Barat Pulau Sumatera, yang berbatasaan langsung dengan
Samudera Indonsia (Hindia) dan dibawah kaki Gunung Bukit Barisan memiliki Teluk
yang indah yaitu Teluk Tapian Nauli. Garis pantai sepanjang 200 km berkelok-kelok.
(Rapson Okardo Purba, 2011).
Hanya ada beberapa kecamatan di Tapanuli Tengah yang memiliki daerah
pesisr, seperti Kecamatan Badiri, tepatnya di Desa Jago-jago. Wilayah pesisir Desa
jago-jago mempunyai panjang garis pantai sekitar 1,5 km dan berhadapan dengan laut
terbuka, yaitu Samudera Hindia. Tinggi gelombang laut berkisar antara 0,6 – 2,5 m,
dengan tinggi rata-rata 0,7 m. Kedalaman air 1 – 10 m dan jenis substrat pantai
berpasir dan lumpur (Rapson Okardo Purba, 2011).
Di Desa ini terdapat juga hutan mangrove baik mangrove yang berjenis nipah,
bakau maupun mangrove yang berjenis lainnya. Untuk mangrove yang berjenis
nipah, terdapat di bagian hilir sungai Badiri dan Lumut dengan kondisi yang masih
bagus. Umumnya ibu-ibu rumah tangga memanfaatkan nipah ini menjadi rokok yang
pemasarannya sampai ke Padang Sidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi
Sumatera Utara. Ada juga hutan mangrove berjenis bakau. Dimana kebanyakan
bakau ini tumbuh dibibir pantai Desa Jago-jago. Biasanya untuk yang berjenis bakau
ini dimanfaatkan untuk kayu bakar, bahan bangunan dan lain-lain. Pemanfaatan hutan
mangrove yang dilakukan oleh masyarakat disana masih dapat dikatakan sangat
tradisional dan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat merusak mangrove
Hutan mangrove disana kurang mendapat perhatian masyarakat dalam hal
pelestarian dan budidaya. Selain pengetahuan masyarakat yang kurang dalam
pelestarian hutan mangrove, ditambah dengan peralatan dan perlengkapan yang
digunakan dapat dikatakan kurang memadai. Pelestarian hutan mangrove di Desa ini
sangat jarang sekali dilakukan oleh masyarakat setempat. Pada umumnya masyarakat
Desa jago-jago melakukan pelestarian hanya bersifat induvidual, sehingga secara
umum kebanyakan masyarakat tidak dapat menyadari arti pentingnya ekosistem
mangrove dalam penyanggah kehidupan. Pada tahun 2005 silam, masyarakat
melakukan kerja sama dengan Dinas Kehutanan Tapanuli Tengah dalam rangka
penghijauan hutan mangrove di Desa Jago-jago. Ini memberikan dampak positif bagi
kehidupan pesisr di desa tersebut walaupun tindak lanjut dari kerja sama tersebut
tidak bersifat berkelanjutan. Dan pelestarian diserahkan sepenuhnya kepada
masyarakat setempat.
Kesadaran masyarakat sangatlah penting dalam menjaga ekosistem kehidupan
khususnya ekosistem laut dan hutan mangrove. Limbah rumah tangga juga sangat
berantakan di daerah bibir pantai. Ini sebabkan oleh pembuangan limbah masyarakat
tersebut tidak dapat dikelola dengan baik, sehingga akan berpotensi untuk merusak
lingkungan khususnya ekosistem laut dan hutan mangrove itu sendiri. Kendati
demikian program kebersihan yang dilakukan oleh masyarakat desa tersebut dalam
rangka untuk melestarikan ekosistem laut sangatlah minim. Ini disebabkan adanya
factor apatis (tidak peduli) masyarakat terhadap lingkungan mereka. Hanya beberapa
kecil masyarakat yang sadar dan melestarikan ekosistem mangrove di desa tersebut.
dengan peralatan seadaanya masyarakat di desa tersebut tetap berusaha menjaga
keseimbangan lingkungan mereka. Namun, pemanfaatan yang dilakukan oleh
masyarakat perlu dilakukan kajian dalam bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan,
memperhatikan kelestarian lingkungan maupun ekosistem mangrove sebagai
penyangga kehidupan masyarakat sekitarnya.
Partisipasi yang diharapkan di masyarakat adalah partisipasi yang benar-benar
muncul dari masyarakat atas kesadaran sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat yang
dikemukakan oleh salah satu warga desa Jago-jago yang menginginkan supaya
partisipasi dari masyarakat tersebut bersifat aktif dan bukan bersifat pasif. Sesuai
dengan teorinya bahwa partisipasi tersebut adalah merupakan keterlibatan mental dan
emosional seseorang individu dalam situasi kelompok tertentu yang mendorongnya
untuk mendukung tercapainya tujuan-tujuan kelompok serta ikut bertanggung jawab
terhadapnya. Dengan demikian maka partisipasi masyarakat tersebut dapat di
wujudkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dart pengawasan terhadap
pelestarian hutan mangrove
Oleh sebab itu, usaha untuk melestarikan hutan mangrove sangat diperlukan
agar masyarakat dapat terus memanfaatkan hasil mangrove tersebut dan menjaga
hutan mangrove agar dapat terus dipertahankan untuk kelancaran kehidupan manusia
sampai keanak cucunya. Pada tahun 2004 yang lalu, Coral Reef Rehabilitation and
Management Program (COREMAP) pun melakukan program mereka di desa
tersebut. Dengan memberikan bantuan dan fasilitas dengan tujuan masyarakat disana
dapat melestarikan ekosistem laut khususnya tetap menjaga dan melestarikan terumbu
diberikan di setiap rumah tangga. Namun, program kebersihan yang dilakukan oleh
masyarakat setempat hanya untuk beberapa bulan saja.
Dalam hal ini yang menjadi fokus penelitian adalah pelestarian ekosistem
hutan mangrove. Salah satu bentuk pelestarian hutan mangrove adalah bentuk
penangkapan ikan dan pemanfaatan hutan mangrove dan lain-lain yang tidak
menggunakan bahan peledak atau alat/bahan yang dapat merusak hutan mangrove
tersebut. Dan menjaga agar hutan mangrove didaerah tersebut dapat dilestarikan dan
diambil manfaatnya guna untuk meningkatkan pendapat ekonomi masyarakat.
Dimana dalam pelaksanaan program pelestarian ekosistem hutan mangrove tidak
terlepas dari peran pemerintah setempat dan juga masyarakat desa tersebut. Sampai
saat ini pelestarian ekosistem hutan mangrove masih tetap terus diupayakan, agar
keseimbangan dan gerak perekonomian keluarga dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul : “Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Si Jago-Jago Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara”
1.2 Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penelitian dan agar penelitian memiliki arah yang jelas
dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan laporan , maka terlebih
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian
ini adalah “Bagaimana Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove di Desa Si Jago-Jago Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah Sumatera Utara?”
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui potensi ekosistem hutan mangrove di Desa Si Jago-jago.
2. Untuk mengetahui partisipasi masyarakat Desa Sijago-jago dalam
melestarikan lingkungannya, khususnya hutan mangrove.
3. Untuk mengetahui peranan masyarakat desa Si Jago-jago dalam
memanfaatkan hutan mangrove di Desa Jago-jago.
1.3 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Untuk menambah pengetahuan peneliti mengenai partisipasi masyarakat
dalam memanfaatkan dan melestarikan ekosistem laut, kemudian sebagai
bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, serta bermanfaat dalam
pengembangan ilmu-ilmu sosial khususnya Ilmu Sosiologi Lingkungan.
b. Manfaat Praktis
Memberikan masukan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan
setiap individu yang membaca hasil penelitian ini dan menjadi bahan
1.5 Definisi Konsep
Konsep merupakan istillah dan definisi yang digunakan untuk
menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat
perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat
menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa
kejadian yang berkaitan satu dengan lainnya.
1. Masyarakat menurut Paul B. Horton & C. Hunt merupakan kumpulan
manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup
lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta
melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia
tersebut. Masyarakat yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah masyarakat
di Desa Jago - Jago yang pasif dalam melakukan pelestarian lingkungan,
khususnya melestarikan dan memanfaatkan ekosistem laut.
2. Partisipasi adalah suatu sistem yang mengikutsertakan masyarakat dalam
proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pembangunan.
Partisipasi masyarakat seperti :
a. Masyarakat merasa bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan kegiatan pembangunan.
b. Program pembangunan yang dilakukan efektif karena direncanakan dan
c. Penyimpangan pelaksanaan pembangunan dapat diminimalisir karena
diawasi oleh masyarakat.
3. Pelestarian lingkungan hidup (Environmentalism) adalah perlindungan
lingkungan hidup dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya pencemaran, bising,
pemanasan global, dan perusakan sumber daya alam.
4. Hutan mangrove adalah tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi
tumbuhan daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang
terlindung.
5. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan
juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur
lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.
Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah:
Komponen hidup (biotik)
Komponen tak hidup (abiotik)
6. Ekologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat
mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk
hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau
lingkungannya.
7. Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan
sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan
kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana
menggunakan lingkungan fisik tersebut.
8. Pelestarian secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk merawat, melindungi dan mengembangkan objek pelestarian
yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan
9. Lautdari segi Bahasa Indonesia adalah kumpulan air asin dalam jumlah yang
banyak dan luas yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau
pulau. Jadi laut adalah merupakan air yang menutupi permukaan tanah yang
sangat luas dan umumnya mengandung garam dan berasa asin. Biasanya air
mengalir yang ada di darat akan bermuara ke laut.
10.Nelayan adalah masyarakat pesisir yang menggantungkan hidup pada
kegiatan melaut di Desa Jago- Jago. Masyarakat di desa ini tergolong nelayan
tradisonal yang terdiri dari nelayan jaring selam, nelayang pancing, nelayan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2. 1. Konsep Partisipasi
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik,
yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat diperlukan dalam
kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) barang-barang
(sumberdaya) publik. Di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuasaan
massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan
penghubung antara Negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik
membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Partisipasi dalam governance cenderung merujuk pada keterlibatan dan
interaksi organisasi dan institusi yang mempunyai tanggung jawab terhadap atau
berhubungan dengan tindakan kolektif di bidang publik. Hubungan horizontal antara
actor atau stakeholders dalam jaringan kerja merupakan cirri khas governance, dan
dinyatakan bahwa partisipasi dalam governance itu dipengaruhi oleh kebijakan
(Schmitter, 2002). Banyak organisasi ‘sektor ketiga’ organisasi komunitas dan
sukarela – memperoleh tanggung jawab dalam governance (Stoker, 1998: 21).
Partisipasi dalam governance berhubungan kuat dengan gagasan mengenai
kepentingan dan organisasi publik dan swasta yang mempunyai risiko dalam sebuah
bagi usulan kebijakan, memperbaiki kualitas keputusan dengan mengerahkan
keahlian dan pengetahuan eksternal, dan meningkatkan legitimasi keputusan
demokratis (Klijn dan Koppenjan,2000).
Dari sudut pandang Negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat
dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi hanya menabur
pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci
pemberdayaan. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa
lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat .
Dalam konteks governance, partisipasi hendak menempatkan masyarakat
pada posisi yang sebenarnya. Pertama, masyarakat bukanlah sebagai hamba (client)
melainkan sebagai warga (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara
total, kalau konsep warga menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang
utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Warga dan kewargaan secara jelas
merupakan bangun politik, yang menggambarkan sifat hubungan yang dimiliki
individu dengan institusi Negara dan masyarakat sipil. Warga dapat dipandang
sebagai anggota masyarakat yang mempertahankan beberapa gagasan kepentingan
umum, dan gagasan kewargaan diikat dengan gagasan demokrasi. Warga dibedakan
dari nasabah (customers), klien dan consumer. Terutama menarik ilham dari sektor
swasta, nasabah dan consumer yang berhubungan dengan organisasi sebagai pembeli
pada, keahlian professional; warga mempunyai kesadaran yang jauh melebihi bidang
mereka sendiri dan berkepentingan untuk “mempengaruhi keputusan public yang
mempengaruhi kualitas kehidpuan lokal”, mungkin dengan mengorbankan
kepentingan perorangan mereka sendiri (Burns et al., 1994; Gyford, 1991). Kedua,
masyarakat bukan dalam posisi yang diperintahakan tetapi sebagai teman sejajar
(partner) pemerintah dalam memengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga,
partisipsi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai hak warga masyarakat.
Keempat, warga bukan sekedar objek subjek pasif pemerima manfaat kebujakan
pemerintah, tatapi sebagai aktor at u subjek yang aktif menentukan kebijakan. Warga
yang aktif didefinisikan sebagai agen demokrasi, yang memberdayakan diri mereka
sendiri melalui tantangan mereka terhadap aktivitas institusi dan organisasi yang
membentuk kehidupan sehari-hari mereka. Kewarganegaraan adalah tentang
kontribusi, atau input, dari individu kepada hubungan kolektif, dan hubungan antara
individu dan hubungan mereka yang lebih luas dengan masyarakat. Warga
diharapkan terlibat dalam urusan public dan memberikan kontribusi terhadap isu-isu
dalam urusan publik (Raco dan Imri, 2000).
Pembangunan pengelolaan sumber daya alam sangat terkait pula dengan
lingkungan hidup. Maka peran serta masyarakat dalam pembangunan sumber daya
alam akan memberikan pengaruh pula terhadap kualitas lingkungan hidup. Dalam
pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, masyarakat memiliki hak dan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta hak dan kewajiban masyarakat ini
diperjelas dalam ayat (3) bahwa peran masyarakat tersebut dilakukan untuk:
1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan.
3. Menumbuh-kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.
4. Menumbuh-kembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial.
5. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Ketentuan diatas menunjukkan peran serta masyarakat dapat berperan sebagai
bagian dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan bagian subyek pemanfaat
hasil dari lingkungan hidup. Tjokroamidjojo (1986) mengemukakan 3 (tiga) bentuk
partisipasi masyarakat, yaitu: a) Partisipasi dalam perencanaan; b) Partisipasi dalam
pelaksanaan pembangunan dan c) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.
Salah satu aspek yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya pengelolaan
yang dilakukan selama ini karena tidak melibatkan masyarakat lokal dalam mata
rantai pengambilan keputusan yang semestinya pembangunan lingkungan tetap
mendayagunakan potensi masyarakat lokal ( Hadi, 2009 ). Masyarakat lokal dapat
dikatakan lebih memahami kondisi lingkungan sekitarnya, pengalaman masyarakat
yang berkaitan langsung dengan alam sekitarnya menjadikan masyarakat mampu
beradaptasi dan penyelarasan dengan alam. Masyarakat lokal dapat menjadi aset
akan informasi keseharian yang dipuji sebagai “Usable Knowledge” yang amat
berguna bagi pengelolaan dan perencanaan pembangunan (Hadi, 2009).
Partisipasi masyarakat sangat menentukan hasil pola pemanfaatan sumber
daya oleh masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun
2007 tentang Pedoman Penataan Kelembagaan Masyarakat, partisipasi masyarakat
merupakan bentuk keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam
proses perencanaan pembangunan. Secara umum, partisipasi adalah proses
tumbuhnya kesadaran terhadap terhadap interaksi antara stakeholders yang berbeda
dalam masyarakat yaitu antara kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil
kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Jadi, dalam partisipasi siapapun dapat
memainkan peran secara aktif memiliki pengawasan terhadap kehidupannya sendiri,
mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan
(Syahyuti, 2006). Selanjutnya, dalam karakteristik tipologi partisipasi berturut-turut
semakin dekat pada bentuk yang ideal adalah:
1. Partisipasi Pasif, merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah.
2. Partisipasi Informatif, masyarakat menjawab pertanyaan dari pihak lain, namun
masyarakat tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan kebijakan pihak
lain.
3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat berpartisipasi berkonsultasi dengan pihak lain,
pihak lain mendengarkan, menganalisis masalah dalam perencanaan.
4. Partisipasi Insentif, masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh
5. Partisipasi Fungsional, masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari
proyek setelah ada keputusan yang disepakati.
6. Partisipasi Mandiri (Self mobilization), masyarakat mengambil inisiatif sendiri
secara bebas untuk merubah nasib atau nilai-nilai yang mereka junjung.
2.1.1 Praktika Partisipasi Masyarakat
Cara pandang baru menempatkan posisi masyarakat itu secara historis yang
mempengaruhi haluan baru pembangunan dan mempengaruhi haluan baru
pembangunan dan pemerintahan, meski secara empirik belum menjadi kenyataan.
Kaum miskin, misalnya, sekarang ditempatkan sebagai pemangku kepentingan
pembangunan. Partisipasi juga dipandang dengan tujuan, bukan hanya proses atau
cara untuk mencapai tujuan, sehingga muncul agenda pemberdayaan yang
menghubungkan partisipasi dengan demokrasi, kewargaan dan kesetaraan. Partisipasi
dilihat sebagai kekuatan besar untuk transformasi relasi social, ekonomi dan politik
yang telah lama membuat kemiskinan. Sekarang agenda penanggulangan kemiskinan
mulai menempatkan kaum miskin dalam posisi yang terhormat, memberi ruang pada
mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal, sehingga konsep kaum
miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan dibicarakan.
Literatur klasik selalu menunujukkan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program pembangunan.
Partisiaspi adalah voice, akses dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan
dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas
terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi
kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola
kehidupan secara kolektif dan mandiri.
Kedua, akses berarti kesempatan, ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan
serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Akses warga terhadap pelayanan
public termasuk dalam rubrik ini. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan
secara terbuka (inclition) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung
kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclution menyangkut siapa yang terlibat,
sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan
berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses
politik, terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan lain-lain.
Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib
membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik, terutama pada
kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif
mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan
merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama
dengan berpihak pada kemitraan dan kepercayaan.
Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenai kontrol
internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup
kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan
(implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga
melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan
mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat sudah lama berada dalam
konteks penindasan berantai: yang atas menindas yang ke bawah, sementara yang
paling bawah saling menindas ke samping. Artinya kontrol eksternal digunakan
masyarakat untuk melawan eksploitasi dari atas, sementara self-control dimaksudkan
untuk menghindari mata rantai penindasan sesame masyarakat, seraya hendak
membangun tanggung jawab social, komitmen dan kompetensi warga terhadapat
segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
Partisipasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tentu mempunyai hubungan
simbiosis. Pada suatu pihak, desentralisasi yang berhasil memerlukan beberapa
partisipasi lokal. Kedekatan pemerintah lokal dengan konstituen mereka akan
memungkinkan mereka merespons secara lebih baik terhadap kebutuhan lokal dan
menyesuaikan secara efisien pengeluaran publik dengan kebutuhan perorangan hanya
jika informasi mengalir antar warga Negara dan pemerintah lokal. Pada pihak lain,
menempatkan lebih banyak kekuasaan dan sumberdaya pada tingkat pemerintah yang
lebih dekat, lebih dikenal, dan lebih muda dipengaruhi. Dalam lingkungan dengan
tradisi partisipasi warga Negara buruk, desentralisasi dapat merupakan langkah
pertama yang penting dalam menciptakan kesempatan interasi rakyat-negara yang
teratur,dapat diramalkan.
Hubungan simbiosis antara desentralisasi dan partisipasi ini dapat mengarah
pada garis pedoman kebijakan yang agak bertentangan. Mekanisme partisipasi warga
Negara dapat dianggap sebuah prasyarat yang sangat berguna ketika mengevaluasi
prospek desentralisasi harus memperhitungkan kesempatan dan keterbatasan yang
ditentukan oleh saluran partisipasi lokal yang ada. Kekurangan mekanisme
partisipatoris, bagaimanapun, dapat membantu menciptakan tuntutan lokal terhadap
saluran partisipatoris yang lebih banyak untuk menyuarakan prefensi. Saluran
partisipasi yang dilembagakan dan kemampuan orang untuk menggunakan saluran
tersebut harus dipertimbangkan dalam desain desentralisasi. Pemilu lokal yang jujur
dan teratur, semaraknya forum warga, dan tingkat modak social yang tinggi (kesatuan
komunitas dan sejarah kerja sama) memungkinkan warga Negara untuk menandai
prefensi mereka secara efisien dan menjalankan pemenuhan keinginan mereka oleh
pemimpin.
Penilaian seberapa banyak input warga mempengaruhi tindakan pemerintah
lokal memberikan titik permulaan untuk mendesain kebijakan desentralisasi. Kondisi
awal semacam itu membantu menentukan tingkat yang pada tingkat itu desentralisasi
memberikan garis petunjuk bagi pelibatan tindakat peningkatan partisipasi dalam
kebijakan desentralisasi. Pemilu teratur, referendum lokal, forum warga, dewan
publik, dan struktur kelembagaan lainnya merupakan memperbaiki kemampuan
pemerintah lokal untuk mengindentifikasi dan bertindak menurut preferensi warga
Negara. Tingkat modal social, yang menentukan bagaimana sebaiknya warga Negara
dapat memanfaatkan rencana institusional untuk berpartisipasi, lebih lambat
berkembang dan lebih sulit untuk menentukannya.
Desentralisasi mengandalkan pada partisipasi untuk memperbaiki alokasi
pelayanan, tetapi ia tidak memerlukan jenis input warga Negara yang luas disebutkan
di depan. Dalam kasus di mana pemerintah lokal tidak dipilih, di mana proses
pemilihan mengistimewakan sekelompok kecil elit, atau di mana tingkat modal sosial
yang rendah menghalangi pertukaran aktif, proses desentralisasi dapat didesain untuk
membangun jenis partisipasi yang lebih terbatas. Mekanisme isu-khusus dan proyek
khusus untuk meningkatkan arus informasi antara pemerintah dan warga Negara
sering dapat dengan lebih cepat dan lebih mudah pada tingkat lokal daripada di
pemerintah pusat.
Partisipasi warga dapat dibenarkan dalam hubungannya dengan legitimasi
berorientasi input dan output, dan ia dapat memberikan kontribusi terhadapat
efektivitas system. Legitimasi berbasi input mengungkapkan nilai partisipasi luas
dalam governance, yang memperlihatkan, yang memperlihatkan perlunya penentuan
sendiri dan persetujuan rakyat, di mana nilai-nilai demokrasi sangat kuat. Partisipasi
mengungkapkan preferensi mereka, dan teori yang berhubungan dengan demokrasi
partisipatoris memuat unsur-unsur yang berhubungan dengan legitimasi input.
Pateman yang mengupas karya Rousseau, Mikk dan Cole, menunjuk pada tiga alasan
mengapa partisipasi luas diperlukan sekali ia mendidik partisipan, ia memberi warga
kontrol, dan ia menghasilkan identitas komunitas. Pemerintah demokratis, yang
dipedomani oleh input partisipasi warga, hanya menghasilkan kebijakan, karena ia
tidak akan mungkin setuju pada kegiatan-kegiatan yang tidak adil. Partisiapsi warga
menyokon dan mendukung system partisipatoris, karena”kualitas yang diperlukan
warga adalah kualitas proses partisipasi itu sendiri yang mengembangkan dan
membantu perkembangan” (Pateman, 1970:25). Partisipasi warga membantu
mendidik raykat dalam seni partisipasi.
Partisipasi warga juga dapat memberikan kontribusi terhadap legitimasi
berbasis-output. Keterbilatan warga membantu menjamin persetujuan publik, dan ini
pada gilirannya akan membantu menjamin persetujuan publik, dan ini pada gilirannya
akan membantu pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Mereka yang terlibat
dalam penyiapan kebijakan dan permusyawaratan kebijakan lebih mungkin untuk
tunduk ketika kebijakan itu berlaku, khususnya jika mereka adalah dikalangan
mereka dari mereka yang dipengaruhi dan mendapat dampak. Pembenaran ini adalah
pembenaran yang timbul dari perdebatan terdahulu dan lebih belakangan ini. Pateman
berargumen partisipasi “membantu penerimaan keputusan bersama”. Demikian pula,
model-model keterlibatan misalnya debat publik, keterlibatan dari mereka yang
bahwa mereka membantu meningkatkan penerimaan dan pemecahan persoalan atau
membantu memfasilitasi pelaksanaan. Partisipasi ini dapat juga membantu pembuat
kebijakan lebih tahu, dan karena para wakil dan kaum professional membuat
keputusan yang didasarkan pada pengetahuan publik dan keahlian politik dan
professional
2.1.2 Jebakan-jebakan Partisipasi
Pemahaman dan praktik selama ini diwarnai oleh sejumlah jebakan yang
membuat partisipasi kurang bermakna, dan advokasi partisipasi menjadi tunggang
langgang. Pertama, partisipasi sebagai mobilisasi. Kalau butuh dukungan (material dan fisik), pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi, yang juga diyakini
sebagai partisipasi. Di setiap sudut kota kita selalu melihat tulisan besar yang kental
mobilisasi:”Partisipasi Masyarakat Membayar Pajak Merupakan Kunci Keberhasilan
Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Tidak hanya lewat tulisan, para pejabat selalu
menyerukan agar masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi dalam membayar
pajak. Dalam bahasa kasarnya, mobilisasi ini adalah pemaksaan dan eksploitasi,
sebab akumulasi pajak rakyat diikuti dengan akumulasi korupsi pejabat. Mobilisasi
sangat tampak terjadi di tingkat komunitas lokal, dengan kebiasan gotong-royong dan
swadaya masyarakat. Gotong-royong dan swadaya masyarakat sebenarnya
merupakan modal sosial yang telah lama tumbuh dalam masyarakat. Akan tetapi
selama ini keduanya dimanipulasi dan dimobilisasi oleh pemerintah sebagai ukuran
konkret keberhasilan pemerintah sebagai ukuran konkret keberhasilan pemerintah
terbatas sebagai stimulan untuk mendukung pembangunan di tingkat komunitas
maupun Kepala Desa/Kepala Lorong/Ketua RT melakukan mobilisasi besar-besaran
terhadap swadaya dan gotong-royong masyarakat. Jika akumulasi gotong-royong dan
swadaya yang diuangkan menjadi lebih besar ketimbang dana stimulant, maka
pemerintah akan mengklaim bahwa dirinya berhasil. Demikian juga sebaliknya.
Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan masyarakat. Pemerintah maupun parlemen yakin betul bahwa mereka memegang kekuasaan
(jabatan) karena memperoleh mandate dan kepercayaan dari masyarakat melalui
proses pemilihan umum. Karena telah memperoleh mandat, maka menurut peratura
perundang-undangan mereka mempunyai kewenangan dan kewajban membuat
kebijakan maupun peraturan yang sedikit-banyak mengikat rakyat. Di tingkat daerah,
Bupati/Walikota dan DPRD mempunyai kewenangan dan kewajiban menyiapkan
peraturan daerah (Perda), termasuk perda yang menjadi justifikasi untuk member
beban kepada masyarakat, misalnya tentang pajak dan retribusi daerah. Setelah
menduduki jabatan, pemerintah dan parlemen itu membuat serangkaian rencana
kebijakan (mulai dari propenas,rencana strategis hingga RAPBD), yang mereka
yakini untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan rakyat.
Rancangan kebijakan yang indah tersebut kemudian disosialisasikan kepada
masyarakat, agar masyarakat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Dalam setiap pidatonya, para pejabat selalu mengatakan bahwa mereka dalam
mengemban mandate rakyat tidak mungkin berhasil, kalau tidak didukung oleh
masyarakat. Dukungan berarti memberikan persetujuan terhadap rencana kebijakan
pemerintah (meski rencana itu disusun secara sepihak), mematuhi dan menjalankan
kebijakan atau peraturan yang telah disiapkan, serta berkorban atas energy ymaupun
materi agar kebijakan bisa berjalan. Sebagai contoh, dukungan yang paling konkret
adalah membayar pungutan (pajak dan retribusi) yang telah ditetapkan dalam
peraturan. Masyarakat yang tidak mau membayar pajak berarti sebagai warga Negara
yang tidak baik yakni tidak mendukung, tidak sadar, dan tidak patuh pada peraturan.
Dengan demikian, dukungan itu merupakan sesuatu yang dipaksakan oleh instrument
kebijakan atau peraturan.
Ketiga, partisipasi dipahami dan dipraktikkan sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks kebijakan, pemerintah
merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, untuk memberi tahu sebelum
kebijakan dilaksanakan agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Dalam proses
sosialisasi yang terjadi adalah “Anda bertanya, saya menjawab”, atau semacam
komunikasi yang monolog. Repotnya kalau kebijakan itu tidak sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Sekalipun ada sosialisasi pasti akan terjadi gejolak dan penolakan.
Kejadian ini sering terulang, tetapi pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan,
kenapa tidak merubah pola sosialisasi menjadi konsultasi sejak awal. Pemahaman
seperti ini sebenarnya juga dikonstruksi oleh para ilmuwan sosial yang berhaluan
teknokratis. Menurut mereka, pembuatan kebijakan tidak bisa diserahkan pada rakyat
harus disiapkan oleh pihak-pihak yang betul-betul ahli dan paham tentang masalah,
yang dimulai dengan policy research yang memadai.
Keempat, partisipasi diapahami dalam pengertian nominal yakni menjatuhkan pilihan (vote), bukan dalam pengertian substantifm yakni
menyampaikan suara (voice). Sering muncul argument bahwa partisipasi secara
langsung dengan melibatkan seluruh warga masyarakat tidak bakal terjadi, sehingga
membutguhkan pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum
secara berkala. Partisipasi warga dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat itu
dianggap sebagai bentuk penyerahan mandate dari warga untuk dikelola secara
bertanggung jawab. Dalam praktiknya proses pemilihan umum itu hanya
membuahkan lembaga-lembaga formal.
Kelima, partisipasi cenderung dipahami dalam kerangka formal prosedural. Kalau sudah ada pemilihan dan lembaga perwakilan tampaknya dianggap sudah ada
partisipasi. Kalau Perda sudah memberikan jaminan, kalau Musbangdes sampai
Rakorbang digelar, kalau DPRD sudah melakukan dengar pendapat, dan sebagainya,
dianggap sudah ada pelembagaan partisipasi. Pihak kabupaten sering menyampaikan
klaim bahwa perencanaan pembangunan daerah berlangsung partisipatif karena
Rakorbang yang digelar telah melibatkan berbagi stakeholders yang ada. Aktivis
NGO juga sering terjebak dalam pola piker formal-prosedural ini. Dalam melakukan
advokaso partisipasi, kalangan NGO hanya berpikir tentang siapa saja yang
berpartisipasi dan bagaimana berpartisipasi. Mereka cenderung mengabaikan aspek
betul-betul dibangun secara partisipatif dengan konstituen, mereka biasa bersikap
waton suloyo, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan politik “tolak” ketika
merespons naskah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sering muncuknya kata
“TOLAK” itu memperlihatkan bahwa kalangan NGO sebenarnya tunggang langgang,
kedodoran atau tidak mampu menyiapkan naskah sanding yang betul-betul memadai
untuk disandingkan dengan naskah kebijakan pemerintah.
Keenam, jebakan tirani partisipasi, yang sering terjadi di sektor pejuang masyarakat. Mereka yang sangat romantic terhadap masyarakat mengatakan bahwa
partisipasi adalah segala-galanya dalam pemerintahan dan pembangunan. Apapun
kata rakyat itulah yang terbaik, karena rakyat tidak berbuat salah. Semuanya harus
ditentukan secara partisipatif, sehingga terkesan menihilkan otoritas pemerintah dan
representasi wakil rakyat yang telah diberi “mandat” oleh rakyat. Kita sekarang
sering mendengar jargon-jargon baru yang menyerukan partisipasi: participatory
governance, participatory development, participatory budgeting, APBD partisipatif,
dan seterusnya. Bagi pejuang masyarakat, partisipasi dianggap sebagai esensi dasar
demokrasi dan pemberdayaan, yang memungkinkan penyelanggaraan pemerintahan
lebih terkontrol dan akuntabel. Mereka begitu getol memperjuangkan partisipasi juga
karena didasarkan pada ketidakpercayaan (distrust) pada pemerintah dan parlemen.
Secara empiric pemerintah dan parlemen, yang telah memperoleh mandat dari rakyat,
hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak akuntabel, tidak peka (responsif), dan tidak
pendekatan konfrontatif antara warga masyarakat dengan pemerintah, sehingga
semakin menjauhkan proses pembelajaran dan trust building,
2.1.3 Advokasi Partisipasi
Partisipasi tentu tidak datang dengan sendirinya. Hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat tidak serta merta terbangun secara demokratis dan partisipatif,
sebab pemerintah dimanapun akan cenderung otoritarian dan sentralistik bila tidak
dihadapkan pada pembatasan kekuasaan kekuasaan dan kontrol dari lar yang kuat. Di
era otonomi daerah sekarang, munculnya wacana dan gerakan partisipasi bukan
semata inisatif dari pemerintah, melainkan juga karena peran kekuatan-kekuatan
intermediary dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Begitu banyak NGO di
Indonesia yang terus-menerus memperjuangkan partisipasi masyarakat untuk
membangkitkan sura rakyat dan menentang dominasi elite dalam proses politik dan
pembangunan.
Benarkah di era otonomi ini pembangunan di daerah sudah semakin
demokratis dan benar-benar sesuai dengan kehendak atau kebutuhan rakyat? Pada hal
lain, benarkah pembangunan di era otonomi ini sudah berpihak pada rakyat bawah,
khusunya kepada warga masyarakat yang kebanyakan tinggal di pedesaan?
Partisipasi warga dimaksudkan sebagai proses keterlibatan warga masyarakat
dalam pembuatan keputusan bersama mengenai penggunaan sumberdaya publik dan
pemecahan masalah publik untuk pembangunan daerahnya. Sebagai bentuk voice,
program pembangunan. Tanpa partisipasi warga mustahil suatu pembanguan itu
benar-benar sesuai dengan kebutuhan serta diorientasikan untuk meningkatkan
derajat hidup rakyat banyak. Sebuah teori mengajarkan, demokrasi tanpa partisipasi
semua pihak adalah utopia, alias omong kosong. Kebijakan politik atau pembangunan
tidak akan punya makna tanpa diimbangi proses partisipasi rakyat yang
sesungguhnya, karena legitimasi dan kepercayaan rakyat adalah paling esensi yang
tidak mudah dikesampingkan oleh siapapun meskipin dia memiliki otoritas.
Sebaliknya, peran serta yang sadar dari hati nurani rakyat dalam pembangunan justru
semakin menambah tingkat kepercayaan rakyat karena dengan sendirinya setiap
individu merasa memiliki dan terpanggil untuk terlibat dalam setiap agenda
pembangunan. Partisipasi warga bukanlah suatu daur almiah yang muncul secara
natural atau sebuah proses tanpa sengaja dan campur tangan manusia, namun ia butuh
perencanaan yang matang bahkan diperlukan aturan main yang jelas atau landasan
legal formal.
Sejumlah rekomendasi untuk memperkuat partisipasi masyarakat ke depan.
Pertama, kepada semua agen perubahan perlu memperhatikan percepatan transformasi sosial yaitu merubah tata nilai lama supaya masyarakat marjinal pada
umumnya tidak terus berada pada kubangan nilai-nilai agraris-foedal, yang selalu
tidak menguntungkan pada posisi mereka sebagai sub-ordinat dalam menentukan
kepentingan bersama di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Titik pencerahan ini
menyuarakan sendiri kepentingan mereka dalam posisi kesederajatan seperti warga
bangsa lainnya.
Kedua, pada tahun praktik-empiris, upaya-upaya yang digagas di atas perlu diintegrasikan melalui program pendidikan kewarganegaraan (civil education) yang
menekankan pada kesadaran massif akan hak-hak warga Negara yang berdaulat
penuh supaya lebih diperhatikan oleh para pejabat Negara. Tanggung jawab ini
terutama ditujukan kepada para aktivis organisasi politik maupun oraganisasi
sosial-kemasyarakatan yang paling berkompeten di bidang ini.
Ketiga, untuk mendorong kesadaran kritis warga masyarakat agar mau berpartisipasi dalam program pembangunan daerah maka perlu diback-up oleh
regulasi yang jelas-jelas berpihak pada kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah
merupakan lokomotif utama yang harus mengambil inisiatif dan memprakarsai
tindakan konkret di lapangan. Maka, jargon ‘mendorong partisipasi warga’ tidak
sekedar kamulfrase dan penghias bibir belaka, tetapi merupakan suatu tindakan riil
yang benar-benar membumi, yang pada gilirannya nanti muncul indikator-indikator
yang jelas dan dapat dievaluasi demi kemajuan dan kebaikan bersama.
Keempat, bahwa upaya konkret untuk menggalang partisipasi warga di daerah pedesaan perlu dukungan peningkatan alokasi dana anggaran yang signifikan
bagi pembangunan di pedesaan. Paling tidak, dengan mekanisme perimbangan
diseluruh sektor kehidupan desa semakin terdorong, karena itu keterlibatan warga
desa dalam program-program pembangunan dapat dimaksimalkan.
2. 2. Teori Antroposentrisme
Secara etimologis Antroposentrisme tersusun dari dua kata bahasa Yunani
yaitu "antropos" yang berarti manusia dan "centrum" yang berarti pusat.
Antroposentrtisme dapat diartikan sebagai suatu meyakinkan bahwa manusia dan
karya-karyanya adalah pusat dari alam sebagai realitas yang ada di luar manusia.
Alam merupakan sesuatu yang asing bagi dirinya.
Secara sempit antroposentrisme merupakan sebuah pemikiran dimana
manusia diletakan di atas alam semesta, dalam arti manusia diciptakan untuk
menikmati alam semesta beserta isinya. Lingkungan dianggap sebagai bahan-bahan
pemuas kebutuhannya belaka.
Kesalahan cara pandang dari etika antroposentrisme adalah pandangan akan
manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai,
sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari
alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan
apa saja. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa
kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak
Teori antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya
dianggap paling memnentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang
diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya, hanya manusia yang mempunyai
nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yanglain di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh
karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai onyek, alat dan sasaran bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan
manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. (A. Sonny Keraf. 2002)
Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala
tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap
lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak
pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam
pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab
moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab semata -
mata demi memenuhi kepentingan sesame mausia. Bukan merupakan perwujudan
kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri. (A. Sonny
Keraf. 2002)
Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrument talistik, dalam
pengertian pola hubungna manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental.
Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai
hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri
sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak
berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Teori semacam
ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia.
Kepentingan makhluk hidp lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi
pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekalai lagi,
pertimbangan itu bersifat egoistis demi kepentingan mansuia. (A. Sonny Keraf.
2002).
Sebenarnya paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia
dengna lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang bisa idkatakan
berlebihan. Hukum-hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang
pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah-ubah
dengan sifat yang terbatas. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Secara ekologis, produk konsumtif telah menyebabkan sampah sebagai salah
satu persoalan utama masyarakat daerah pesisir pantai. Saat ini banyak sekali daerah
pesisir pantai yang membuang limbah rumah tangganya kelaut dan kesungai.
Sehingga ekosistem laut dan ekosistem sungai pun tercemar karena. Memang tidak
mudah untuk menyatakan siapa sebenarnya yang pertama-tama dan utama harus
bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan lingkungan yang sekarang ini bisa
dinyatakan telah masuk ke area krisis. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Perilaku antroposenstrisme baik secara sadar ataupun tidak yang berinteraksi
dengan komponen-komponen lain, seperti antroposentrisme yang berinteraksi dengan
menjadi sebab kerusakan lingkungan akibatnya kita lihat, semua sisi lingkungan
menjadi rusak, tidak peduli lingkungan fisik maupun lingkungan biologi, akibatnya
dampak langsung yang diterima masyarakat adalah bencana alam yang dinyatakan
oleh Ralph Metzner. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Antroposentrisme terlibat dalam memasukkan sikap, nilai-nilai, persepsi, dan
pandangan dunia itu, rusaknya lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai
kita, selain disebabkan oleh limbah rumah tangga, juga oleh adanya limbah-limbah
pabrik yang tidak dikelola secara baik. Kasus di kawasan alut dan pantai Kampung
Dapur 12 di Sumatera misalnya pencemaran berat disebabkan 7.000 ton minyak
mentah ditumpahkan oleh Kapal Tanker Natuna Sea yang menabrak karang
(Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Sementara itu, rusaknya tana-tanah tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis
akibat penggundulan hutan yang tidak memperhatikan aturan (Illegal Logging) dan
rusaknya kadar produktif tanah sebab dieksploitasi secara terus-menerus. Hutan yang
menyangga sebagai system lingkungan hidup dunia telah mengalami kerusakan.
(Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Murdi mengatakan bahwa yang menjadi masalahh bukanlah kecenderungan
antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk
kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan
adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia, di luar
batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia bunuh diri. Sejauh
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat (proper ends), ini
alam semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung darri
keberadaan spesies lain lagi. (A. Sonny Keraf. 2002).
Menurut Darling, manusia mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan spesies lain, sebagai “aristocrat biologis.” Sebagai aristocrat biologis,
manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk hidup lain. Manusia mempunyai posisi
istimewa puncak piramida kehidupan. Menurut Darling, justru karena manusia
adalah aristocrat biologis, ia harus melayani semua yang ada dibawah kekuasaannya
secara baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga dan
melindunginya. (A. Sonny Keraf. 2002)
Seperti paparan sebelumnya mengenai manfaat dan fungsi hutan mangrove.
Hutan mangrove juga merupakan habitat spesies laut maupun darat. Dimana di
daerah pesisir pantai hutan mangrove ini mengambil peran yang cukup besar dalam
menjaga keseimbangan kehidupan, yang mampu memberikan kehidupan bagi
makhluk hidup yang di sekitarnya. Jika hutan mangrove di babat habis demi ambisi
membangun perumahan mewah, pusat industry dan pusat-pusat ekonomi. Akibatnya
habitat-habitat yang seharusnya diperuntukkan bagi spesies (biota) laut semain
sempit. Padahal, spesies-spesies yang hidup di udara dan darat amat bergantung pada
keberadaan hutan mangrove ini. Akibatnya, spesies-spesies tersebut mencari habitat
baru yang menambah persoalan manusia. Bukan hanya itu, hutan mangrove bisa
berfungsi sebagai penahan ombak air laut, agar tidak mengenai secara langsung
pemukiman-pemukiman penduduk.
Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversional
pihak antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hingga
sekarang. Di pihak, lain antroposentrisme juga bela, pertama, karena validitas
atgumennya sulit dibantah – dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu
sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme
menawarkan etika lingkungan yang mempunyai daya tarik kuat untuk mendorong
manusia menjaga lingkungan. (A. Sonny Keraf, 2002).
Dalam kaitan dengan ektika lingkungan yang ditawarkanya, ada beberapa
kelemahan yang perlu disinggung disini. Pertama, model etika ini mengabaikan
masalah-masalah lingkungna yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia.
Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai, laut, atau
menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia
tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu
berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya sejauh dipandang
menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius
dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia, maka
akan diabaikan. Ini berbahaya, karena pertimbangan moral pun berubah-ubah sejalan
dengan perubahan kepentingan manusia. Ketiga, yang menjadi perhatian
antroposentrisme adlaah (urusan kepentingan manusia) jangka pendek, khususnya
kepentingan ekonomi. Akibatnya, lingkungan hidup selalu dikorbankan demi
kepentingan jangka pendek tersebut. Padahal dengan yang disebut kepentingan
manusia, bahkan kepentingan ekonomi sekalipun, mempunyao perspektif jangka
2. 3. Budaya Pesisir dan Hutan Mangrove
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan
berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial
masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi
sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir
memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan Walaupun demikian,
di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai
nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh
besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara
keseluruhan (Ginkel, 2007). Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan
merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan
pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.
Wilayah pesisir dan lautan merupakan potensi ekonomi Indonesia yang perlu
dikembangkan. Hal ini disebabkan wilayah pesisir dan laut merupakan 63% dari
wilayah teritorial indonesia. Didalamnya terkandung kekayaan sumberdaya alam dan
jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam, seperti perikanan, terumbu karang,
hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral, dan kawasan
pariwisata (Dahuri, 2001). Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam
pelestarian lingkungan diproyeksikan dengan cara cara yang sesuai dengan pola pikir
dan tradisi setempat, diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menja- ga
keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bantuk pantangan, larangan,