BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2. 1. Konsep Partisipasi
Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik,
yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat diperlukan dalam
kekuasaan, kewenangan dan kebijakan yang mengatur (mengelola) barang-barang
(sumberdaya) publik. Di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan politik, kekuasaan
massa, kebutuhan hidup, dan lain-lain. Dengan demikian, partisipasi adalah jembatan
penghubung antara Negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik
membuahkan kesejahteraan dan human well being.
Partisipasi dalam governance cenderung merujuk pada keterlibatan dan interaksi organisasi dan institusi yang mempunyai tanggung jawab terhadap atau
berhubungan dengan tindakan kolektif di bidang publik. Hubungan horizontal antara
actor atau stakeholders dalam jaringan kerja merupakan cirri khas governance, dan dinyatakan bahwa partisipasi dalam governance itu dipengaruhi oleh kebijakan (Schmitter, 2002). Banyak organisasi ‘sektor ketiga’ organisasi komunitas dan
sukarela – memperoleh tanggung jawab dalam governance (Stoker, 1998: 21). Partisipasi dalam governance berhubungan kuat dengan gagasan mengenai kepentingan dan organisasi publik dan swasta yang mempunyai risiko dalam sebuah
bagi usulan kebijakan, memperbaiki kualitas keputusan dengan mengerahkan
keahlian dan pengetahuan eksternal, dan meningkatkan legitimasi keputusan
demokratis (Klijn dan Koppenjan,2000).
Dari sudut pandang Negara, demokrasi mengajarkan bahwa partisipasi sangat
dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi hanya menabur
pemerintahan yang otoriter dan korup. Dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci
pemberdayaan. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa
lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat .
Dalam konteks governance, partisipasi hendak menempatkan masyarakat pada posisi yang sebenarnya. Pertama, masyarakat bukanlah sebagai hamba (client) melainkan sebagai warga (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, kalau konsep warga menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang
utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Warga dan kewargaan secara jelas
merupakan bangun politik, yang menggambarkan sifat hubungan yang dimiliki
individu dengan institusi Negara dan masyarakat sipil. Warga dapat dipandang
sebagai anggota masyarakat yang mempertahankan beberapa gagasan kepentingan
umum, dan gagasan kewargaan diikat dengan gagasan demokrasi. Warga dibedakan
dari nasabah (customers), klien dan consumer. Terutama menarik ilham dari sektor swasta, nasabah dan consumer yang berhubungan dengan organisasi sebagai pembeli
pada, keahlian professional; warga mempunyai kesadaran yang jauh melebihi bidang
mereka sendiri dan berkepentingan untuk “mempengaruhi keputusan public yang
mempengaruhi kualitas kehidpuan lokal”, mungkin dengan mengorbankan
kepentingan perorangan mereka sendiri (Burns et al., 1994; Gyford, 1991). Kedua,
masyarakat bukan dalam posisi yang diperintahakan tetapi sebagai teman sejajar
(partner) pemerintah dalam memengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga,
partisipsi bukanlah pemberian pemerintah tetapi sebagai hak warga masyarakat.
Keempat, warga bukan sekedar objek subjek pasif pemerima manfaat kebujakan pemerintah, tatapi sebagai aktor at u subjek yang aktif menentukan kebijakan. Warga
yang aktif didefinisikan sebagai agen demokrasi, yang memberdayakan diri mereka
sendiri melalui tantangan mereka terhadap aktivitas institusi dan organisasi yang
membentuk kehidupan sehari-hari mereka. Kewarganegaraan adalah tentang
kontribusi, atau input, dari individu kepada hubungan kolektif, dan hubungan antara individu dan hubungan mereka yang lebih luas dengan masyarakat. Warga
diharapkan terlibat dalam urusan public dan memberikan kontribusi terhadap isu-isu
dalam urusan publik (Raco dan Imri, 2000).
Pembangunan pengelolaan sumber daya alam sangat terkait pula dengan
lingkungan hidup. Maka peran serta masyarakat dalam pembangunan sumber daya
alam akan memberikan pengaruh pula terhadap kualitas lingkungan hidup. Dalam
pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, masyarakat memiliki hak dan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta hak dan kewajiban masyarakat ini
diperjelas dalam ayat (3) bahwa peran masyarakat tersebut dilakukan untuk:
1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan.
3. Menumbuh-kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.
4. Menumbuh-kembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial.
5. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Ketentuan diatas menunjukkan peran serta masyarakat dapat berperan sebagai
bagian dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan bagian subyek pemanfaat
hasil dari lingkungan hidup. Tjokroamidjojo (1986) mengemukakan 3 (tiga) bentuk
partisipasi masyarakat, yaitu: a) Partisipasi dalam perencanaan; b) Partisipasi dalam
pelaksanaan pembangunan dan c) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.
Salah satu aspek yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya pengelolaan
yang dilakukan selama ini karena tidak melibatkan masyarakat lokal dalam mata
rantai pengambilan keputusan yang semestinya pembangunan lingkungan tetap
mendayagunakan potensi masyarakat lokal ( Hadi, 2009 ). Masyarakat lokal dapat
dikatakan lebih memahami kondisi lingkungan sekitarnya, pengalaman masyarakat
yang berkaitan langsung dengan alam sekitarnya menjadikan masyarakat mampu
beradaptasi dan penyelarasan dengan alam. Masyarakat lokal dapat menjadi aset
akan informasi keseharian yang dipuji sebagai “Usable Knowledge” yang amat berguna bagi pengelolaan dan perencanaan pembangunan (Hadi, 2009).
Partisipasi masyarakat sangat menentukan hasil pola pemanfaatan sumber
daya oleh masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun
2007 tentang Pedoman Penataan Kelembagaan Masyarakat, partisipasi masyarakat
merupakan bentuk keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam
proses perencanaan pembangunan. Secara umum, partisipasi adalah proses
tumbuhnya kesadaran terhadap terhadap interaksi antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil
kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Jadi, dalam partisipasi siapapun dapat
memainkan peran secara aktif memiliki pengawasan terhadap kehidupannya sendiri,
mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan
(Syahyuti, 2006). Selanjutnya, dalam karakteristik tipologi partisipasi berturut-turut
semakin dekat pada bentuk yang ideal adalah:
1. Partisipasi Pasif, merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah.
2. Partisipasi Informatif, masyarakat menjawab pertanyaan dari pihak lain, namun
masyarakat tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan kebijakan pihak
lain.
3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat berpartisipasi berkonsultasi dengan pihak lain,
pihak lain mendengarkan, menganalisis masalah dalam perencanaan.
4. Partisipasi Insentif, masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh
5. Partisipasi Fungsional, masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian dari
proyek setelah ada keputusan yang disepakati.
6. Partisipasi Mandiri (Self mobilization), masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas untuk merubah nasib atau nilai-nilai yang mereka junjung.
2.1.1 Praktika Partisipasi Masyarakat
Cara pandang baru menempatkan posisi masyarakat itu secara historis yang
mempengaruhi haluan baru pembangunan dan mempengaruhi haluan baru
pembangunan dan pemerintahan, meski secara empirik belum menjadi kenyataan.
Kaum miskin, misalnya, sekarang ditempatkan sebagai pemangku kepentingan
pembangunan. Partisipasi juga dipandang dengan tujuan, bukan hanya proses atau
cara untuk mencapai tujuan, sehingga muncul agenda pemberdayaan yang
menghubungkan partisipasi dengan demokrasi, kewargaan dan kesetaraan. Partisipasi
dilihat sebagai kekuatan besar untuk transformasi relasi social, ekonomi dan politik
yang telah lama membuat kemiskinan. Sekarang agenda penanggulangan kemiskinan
mulai menempatkan kaum miskin dalam posisi yang terhormat, memberi ruang pada
mereka untuk mengembangkan partisipasi dan prakarsa lokal, sehingga konsep kaum
miskin sebagai penerima manfaat proyek tidak terlalu relevan dibicarakan.
Literatur klasik selalu menunujukkan bahwa partisipasi adalah keikutsertaan
masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program pembangunan.
Partisiaspi adalah voice, akses dan kontrol warga masyarakat terhadap pemerintahan dan pembangunan yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
Pertama, voice adalah hak dan tindakan warga masyarakat menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan, dan tuntutan terhadap komunitas
terdekatnya maupun kebijakan pemerintah. Tujuannya adalah mempengaruhi
kebijakan pemerintah maupun menentukan agenda bersama untuk mengelola
kehidupan secara kolektif dan mandiri.
Kedua, akses berarti kesempatan, ruang dan kapasitas masyarakat untuk masuk dalam arena governance, yakni mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik. Akses warga terhadap pelayanan
public termasuk dalam rubrik ini. Ada dua hal penting dalam akses: keterlibatan
secara terbuka (inclition) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclution menyangkut siapa yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti ketersediaan ruang dan kemampuan bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses
politik, terutama kaum miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan lain-lain.
Akses akan menjadi arena titik temu antara warga dan pemerintah. Pemerintah wajib
membuka ruang akses warga dan memberikan layanan publik, terutama pada
kelompok-kelompok marginal. Sebaliknya warga secara bersama-sama proaktif
mengidentifikasi problem, kebutuhan dan potensinya maupun merumuskan gagasan
merespons gagasan warga sehingga bisa dirumuskan visi dan kebijakan bersama
dengan berpihak pada kemitraan dan kepercayaan.
Ketiga, kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenai kontrol
internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja mencakup kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan
(implementasi dan risiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan warga
melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap risiko-risiko atas tindakan
mereka. Self-control ini sangat penting karena masyarakat sudah lama berada dalam konteks penindasan berantai: yang atas menindas yang ke bawah, sementara yang
paling bawah saling menindas ke samping. Artinya kontrol eksternal digunakan
masyarakat untuk melawan eksploitasi dari atas, sementara self-control dimaksudkan untuk menghindari mata rantai penindasan sesame masyarakat, seraya hendak
membangun tanggung jawab social, komitmen dan kompetensi warga terhadapat
segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya sehari-hari.
Partisipasi dan desentralisasi (otonomi daerah) tentu mempunyai hubungan
simbiosis. Pada suatu pihak, desentralisasi yang berhasil memerlukan beberapa
partisipasi lokal. Kedekatan pemerintah lokal dengan konstituen mereka akan
memungkinkan mereka merespons secara lebih baik terhadap kebutuhan lokal dan
menyesuaikan secara efisien pengeluaran publik dengan kebutuhan perorangan hanya
jika informasi mengalir antar warga Negara dan pemerintah lokal. Pada pihak lain,
menempatkan lebih banyak kekuasaan dan sumberdaya pada tingkat pemerintah yang
lebih dekat, lebih dikenal, dan lebih muda dipengaruhi. Dalam lingkungan dengan
tradisi partisipasi warga Negara buruk, desentralisasi dapat merupakan langkah
pertama yang penting dalam menciptakan kesempatan interasi rakyat-negara yang
teratur,dapat diramalkan.
Hubungan simbiosis antara desentralisasi dan partisipasi ini dapat mengarah
pada garis pedoman kebijakan yang agak bertentangan. Mekanisme partisipasi warga
Negara dapat dianggap sebuah prasyarat yang sangat berguna ketika mengevaluasi
prospek desentralisasi harus memperhitungkan kesempatan dan keterbatasan yang
ditentukan oleh saluran partisipasi lokal yang ada. Kekurangan mekanisme
partisipatoris, bagaimanapun, dapat membantu menciptakan tuntutan lokal terhadap
saluran partisipatoris yang lebih banyak untuk menyuarakan prefensi. Saluran
partisipasi yang dilembagakan dan kemampuan orang untuk menggunakan saluran
tersebut harus dipertimbangkan dalam desain desentralisasi. Pemilu lokal yang jujur
dan teratur, semaraknya forum warga, dan tingkat modak social yang tinggi (kesatuan
komunitas dan sejarah kerja sama) memungkinkan warga Negara untuk menandai
prefensi mereka secara efisien dan menjalankan pemenuhan keinginan mereka oleh
pemimpin.
Penilaian seberapa banyak input warga mempengaruhi tindakan pemerintah lokal memberikan titik permulaan untuk mendesain kebijakan desentralisasi. Kondisi
awal semacam itu membantu menentukan tingkat yang pada tingkat itu desentralisasi
memberikan garis petunjuk bagi pelibatan tindakat peningkatan partisipasi dalam
kebijakan desentralisasi. Pemilu teratur, referendum lokal, forum warga, dewan
publik, dan struktur kelembagaan lainnya merupakan memperbaiki kemampuan
pemerintah lokal untuk mengindentifikasi dan bertindak menurut preferensi warga
Negara. Tingkat modal social, yang menentukan bagaimana sebaiknya warga Negara
dapat memanfaatkan rencana institusional untuk berpartisipasi, lebih lambat
berkembang dan lebih sulit untuk menentukannya.
Desentralisasi mengandalkan pada partisipasi untuk memperbaiki alokasi
pelayanan, tetapi ia tidak memerlukan jenis input warga Negara yang luas disebutkan di depan. Dalam kasus di mana pemerintah lokal tidak dipilih, di mana proses
pemilihan mengistimewakan sekelompok kecil elit, atau di mana tingkat modal sosial
yang rendah menghalangi pertukaran aktif, proses desentralisasi dapat didesain untuk
membangun jenis partisipasi yang lebih terbatas. Mekanisme isu-khusus dan proyek
khusus untuk meningkatkan arus informasi antara pemerintah dan warga Negara
sering dapat dengan lebih cepat dan lebih mudah pada tingkat lokal daripada di
pemerintah pusat.
Partisipasi warga dapat dibenarkan dalam hubungannya dengan legitimasi
berorientasi input dan output, dan ia dapat memberikan kontribusi terhadapat efektivitas system. Legitimasi berbasi input mengungkapkan nilai partisipasi luas dalam governance, yang memperlihatkan, yang memperlihatkan perlunya penentuan sendiri dan persetujuan rakyat, di mana nilai-nilai demokrasi sangat kuat. Partisipasi
mengungkapkan preferensi mereka, dan teori yang berhubungan dengan demokrasi
partisipatoris memuat unsur-unsur yang berhubungan dengan legitimasi input.
Pateman yang mengupas karya Rousseau, Mikk dan Cole, menunjuk pada tiga alasan
mengapa partisipasi luas diperlukan sekali ia mendidik partisipan, ia memberi warga
kontrol, dan ia menghasilkan identitas komunitas. Pemerintah demokratis, yang
dipedomani oleh input partisipasi warga, hanya menghasilkan kebijakan, karena ia
tidak akan mungkin setuju pada kegiatan-kegiatan yang tidak adil. Partisiapsi warga
menyokon dan mendukung system partisipatoris, karena”kualitas yang diperlukan
warga adalah kualitas proses partisipasi itu sendiri yang mengembangkan dan
membantu perkembangan” (Pateman, 1970:25). Partisipasi warga membantu
mendidik raykat dalam seni partisipasi.
Partisipasi warga juga dapat memberikan kontribusi terhadap legitimasi
berbasis-output. Keterbilatan warga membantu menjamin persetujuan publik, dan ini pada gilirannya akan membantu menjamin persetujuan publik, dan ini pada gilirannya
akan membantu pelaksanaan kebijakan dan pencapaian tujuan. Mereka yang terlibat
dalam penyiapan kebijakan dan permusyawaratan kebijakan lebih mungkin untuk
tunduk ketika kebijakan itu berlaku, khususnya jika mereka adalah dikalangan
mereka dari mereka yang dipengaruhi dan mendapat dampak. Pembenaran ini adalah
pembenaran yang timbul dari perdebatan terdahulu dan lebih belakangan ini. Pateman
berargumen partisipasi “membantu penerimaan keputusan bersama”. Demikian pula,
model-model keterlibatan misalnya debat publik, keterlibatan dari mereka yang
bahwa mereka membantu meningkatkan penerimaan dan pemecahan persoalan atau
membantu memfasilitasi pelaksanaan. Partisipasi ini dapat juga membantu pembuat
kebijakan lebih tahu, dan karena para wakil dan kaum professional membuat
keputusan yang didasarkan pada pengetahuan publik dan keahlian politik dan
professional
2.1.2 Jebakan-jebakan Partisipasi
Pemahaman dan praktik selama ini diwarnai oleh sejumlah jebakan yang
membuat partisipasi kurang bermakna, dan advokasi partisipasi menjadi tunggang
langgang. Pertama, partisipasi sebagai mobilisasi. Kalau butuh dukungan (material dan fisik), pemerintah selalu menggunakan pendekatan mobilisasi, yang juga diyakini
sebagai partisipasi. Di setiap sudut kota kita selalu melihat tulisan besar yang kental
mobilisasi:”Partisipasi Masyarakat Membayar Pajak Merupakan Kunci Keberhasilan
Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Tidak hanya lewat tulisan, para pejabat selalu
menyerukan agar masyarakat mempunyai kesadaran yang tinggi dalam membayar
pajak. Dalam bahasa kasarnya, mobilisasi ini adalah pemaksaan dan eksploitasi,
sebab akumulasi pajak rakyat diikuti dengan akumulasi korupsi pejabat. Mobilisasi
sangat tampak terjadi di tingkat komunitas lokal, dengan kebiasan gotong-royong dan
swadaya masyarakat. Gotong-royong dan swadaya masyarakat sebenarnya
merupakan modal sosial yang telah lama tumbuh dalam masyarakat. Akan tetapi
selama ini keduanya dimanipulasi dan dimobilisasi oleh pemerintah sebagai ukuran
konkret keberhasilan pemerintah sebagai ukuran konkret keberhasilan pemerintah
terbatas sebagai stimulan untuk mendukung pembangunan di tingkat komunitas
maupun Kepala Desa/Kepala Lorong/Ketua RT melakukan mobilisasi besar-besaran
terhadap swadaya dan gotong-royong masyarakat. Jika akumulasi gotong-royong dan
swadaya yang diuangkan menjadi lebih besar ketimbang dana stimulant, maka
pemerintah akan mengklaim bahwa dirinya berhasil. Demikian juga sebaliknya.
Kedua, partisipasi dipahami sebagai bentuk dukungan masyarakat. Pemerintah maupun parlemen yakin betul bahwa mereka memegang kekuasaan
(jabatan) karena memperoleh mandate dan kepercayaan dari masyarakat melalui
proses pemilihan umum. Karena telah memperoleh mandat, maka menurut peratura
perundang-undangan mereka mempunyai kewenangan dan kewajban membuat
kebijakan maupun peraturan yang sedikit-banyak mengikat rakyat. Di tingkat daerah,
Bupati/Walikota dan DPRD mempunyai kewenangan dan kewajiban menyiapkan
peraturan daerah (Perda), termasuk perda yang menjadi justifikasi untuk member
beban kepada masyarakat, misalnya tentang pajak dan retribusi daerah. Setelah
menduduki jabatan, pemerintah dan parlemen itu membuat serangkaian rencana
kebijakan (mulai dari propenas,rencana strategis hingga RAPBD), yang mereka
yakini untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan rakyat.
Rancangan kebijakan yang indah tersebut kemudian disosialisasikan kepada
masyarakat, agar masyarakat mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Dalam setiap pidatonya, para pejabat selalu mengatakan bahwa mereka dalam
mengemban mandate rakyat tidak mungkin berhasil, kalau tidak didukung oleh
masyarakat. Dukungan berarti memberikan persetujuan terhadap rencana kebijakan
pemerintah (meski rencana itu disusun secara sepihak), mematuhi dan menjalankan
kebijakan atau peraturan yang telah disiapkan, serta berkorban atas energy ymaupun
materi agar kebijakan bisa berjalan. Sebagai contoh, dukungan yang paling konkret
adalah membayar pungutan (pajak dan retribusi) yang telah ditetapkan dalam
peraturan. Masyarakat yang tidak mau membayar pajak berarti sebagai warga Negara
yang tidak baik yakni tidak mendukung, tidak sadar, dan tidak patuh pada peraturan.
Dengan demikian, dukungan itu merupakan sesuatu yang dipaksakan oleh instrument
kebijakan atau peraturan.
Ketiga, partisipasi dipahami dan dipraktikkan sebagai bentuk sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat. Dalam konteks kebijakan, pemerintah
merasa perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, untuk memberi tahu sebelum
kebijakan dilaksanakan agar tidak terjadi gejolak dalam masyarakat. Dalam proses
sosialisasi yang terjadi adalah “Anda bertanya, saya menjawab”, atau semacam
komunikasi yang monolog. Repotnya kalau kebijakan itu tidak sesuai dengan aspirasi
masyarakat. Sekalipun ada sosialisasi pasti akan terjadi gejolak dan penolakan.
Kejadian ini sering terulang, tetapi pemerintah tidak pernah belajar dari kesalahan,
kenapa tidak merubah pola sosialisasi menjadi konsultasi sejak awal. Pemahaman
seperti ini sebenarnya juga dikonstruksi oleh para ilmuwan sosial yang berhaluan
teknokratis. Menurut mereka, pembuatan kebijakan tidak bisa diserahkan pada rakyat
harus disiapkan oleh pihak-pihak yang betul-betul ahli dan paham tentang masalah,
yang dimulai dengan policy research yang memadai.
Keempat, partisipasi diapahami dalam pengertian nominal yakni menjatuhkan pilihan (vote), bukan dalam pengertian substantifm yakni
menyampaikan suara (voice). Sering muncul argument bahwa partisipasi secara
langsung dengan melibatkan seluruh warga masyarakat tidak bakal terjadi, sehingga
membutguhkan pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum
secara berkala. Partisipasi warga dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat itu
dianggap sebagai bentuk penyerahan mandate dari warga untuk dikelola secara
bertanggung jawab. Dalam praktiknya proses pemilihan umum itu hanya
membuahkan lembaga-lembaga formal.
Kelima, partisipasi cenderung dipahami dalam kerangka formal prosedural. Kalau sudah ada pemilihan dan lembaga perwakilan tampaknya dianggap sudah ada
partisipasi. Kalau Perda sudah memberikan jaminan, kalau Musbangdes sampai
Rakorbang digelar, kalau DPRD sudah melakukan dengar pendapat, dan sebagainya,
dianggap sudah ada pelembagaan partisipasi. Pihak kabupaten sering menyampaikan
klaim bahwa perencanaan pembangunan daerah berlangsung partisipatif karena
Rakorbang yang digelar telah melibatkan berbagi stakeholders yang ada. Aktivis NGO juga sering terjebak dalam pola piker formal-prosedural ini. Dalam melakukan
advokaso partisipasi, kalangan NGO hanya berpikir tentang siapa saja yang
berpartisipasi dan bagaimana berpartisipasi. Mereka cenderung mengabaikan aspek
betul-betul dibangun secara partisipatif dengan konstituen, mereka biasa bersikap
waton suloyo, misalnya dengan mengeluarkan pernyataan politik “tolak” ketika merespons naskah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sering muncuknya kata
“TOLAK” itu memperlihatkan bahwa kalangan NGO sebenarnya tunggang langgang,
kedodoran atau tidak mampu menyiapkan naskah sanding yang betul-betul memadai
untuk disandingkan dengan naskah kebijakan pemerintah.
Keenam, jebakan tirani partisipasi, yang sering terjadi di sektor pejuang masyarakat. Mereka yang sangat romantic terhadap masyarakat mengatakan bahwa
partisipasi adalah segala-galanya dalam pemerintahan dan pembangunan. Apapun
kata rakyat itulah yang terbaik, karena rakyat tidak berbuat salah. Semuanya harus
ditentukan secara partisipatif, sehingga terkesan menihilkan otoritas pemerintah dan
representasi wakil rakyat yang telah diberi “mandat” oleh rakyat. Kita sekarang
sering mendengar jargon-jargon baru yang menyerukan partisipasi: participatory governance, participatory development, participatory budgeting, APBD partisipatif, dan seterusnya. Bagi pejuang masyarakat, partisipasi dianggap sebagai esensi dasar
demokrasi dan pemberdayaan, yang memungkinkan penyelanggaraan pemerintahan
lebih terkontrol dan akuntabel. Mereka begitu getol memperjuangkan partisipasi juga
karena didasarkan pada ketidakpercayaan (distrust) pada pemerintah dan parlemen. Secara empiric pemerintah dan parlemen, yang telah memperoleh mandat dari rakyat,
hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak akuntabel, tidak peka (responsif), dan tidak
pendekatan konfrontatif antara warga masyarakat dengan pemerintah, sehingga
semakin menjauhkan proses pembelajaran dan trust building,
2.1.3 Advokasi Partisipasi
Partisipasi tentu tidak datang dengan sendirinya. Hubungan antara pemerintah
dengan masyarakat tidak serta merta terbangun secara demokratis dan partisipatif,
sebab pemerintah dimanapun akan cenderung otoritarian dan sentralistik bila tidak
dihadapkan pada pembatasan kekuasaan kekuasaan dan kontrol dari lar yang kuat. Di
era otonomi daerah sekarang, munculnya wacana dan gerakan partisipasi bukan
semata inisatif dari pemerintah, melainkan juga karena peran kekuatan-kekuatan
intermediary dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. Begitu banyak NGO di Indonesia yang terus-menerus memperjuangkan partisipasi masyarakat untuk
membangkitkan sura rakyat dan menentang dominasi elite dalam proses politik dan
pembangunan.
Benarkah di era otonomi ini pembangunan di daerah sudah semakin
demokratis dan benar-benar sesuai dengan kehendak atau kebutuhan rakyat? Pada hal
lain, benarkah pembangunan di era otonomi ini sudah berpihak pada rakyat bawah,
khusunya kepada warga masyarakat yang kebanyakan tinggal di pedesaan?
Partisipasi warga dimaksudkan sebagai proses keterlibatan warga masyarakat
dalam pembuatan keputusan bersama mengenai penggunaan sumberdaya publik dan
pemecahan masalah publik untuk pembangunan daerahnya. Sebagai bentuk voice,
program pembangunan. Tanpa partisipasi warga mustahil suatu pembanguan itu
benar-benar sesuai dengan kebutuhan serta diorientasikan untuk meningkatkan
derajat hidup rakyat banyak. Sebuah teori mengajarkan, demokrasi tanpa partisipasi
semua pihak adalah utopia, alias omong kosong. Kebijakan politik atau pembangunan
tidak akan punya makna tanpa diimbangi proses partisipasi rakyat yang
sesungguhnya, karena legitimasi dan kepercayaan rakyat adalah paling esensi yang
tidak mudah dikesampingkan oleh siapapun meskipin dia memiliki otoritas.
Sebaliknya, peran serta yang sadar dari hati nurani rakyat dalam pembangunan justru
semakin menambah tingkat kepercayaan rakyat karena dengan sendirinya setiap
individu merasa memiliki dan terpanggil untuk terlibat dalam setiap agenda
pembangunan. Partisipasi warga bukanlah suatu daur almiah yang muncul secara
natural atau sebuah proses tanpa sengaja dan campur tangan manusia, namun ia butuh
perencanaan yang matang bahkan diperlukan aturan main yang jelas atau landasan
legal formal.
Sejumlah rekomendasi untuk memperkuat partisipasi masyarakat ke depan.
Pertama, kepada semua agen perubahan perlu memperhatikan percepatan transformasi sosial yaitu merubah tata nilai lama supaya masyarakat marjinal pada
umumnya tidak terus berada pada kubangan nilai-nilai agraris-foedal, yang selalu
tidak menguntungkan pada posisi mereka sebagai sub-ordinat dalam menentukan
kepentingan bersama di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Titik pencerahan ini
menyuarakan sendiri kepentingan mereka dalam posisi kesederajatan seperti warga
bangsa lainnya.
Kedua, pada tahun praktik-empiris, upaya-upaya yang digagas di atas perlu diintegrasikan melalui program pendidikan kewarganegaraan (civil education) yang menekankan pada kesadaran massif akan hak-hak warga Negara yang berdaulat
penuh supaya lebih diperhatikan oleh para pejabat Negara. Tanggung jawab ini
terutama ditujukan kepada para aktivis organisasi politik maupun oraganisasi
sosial-kemasyarakatan yang paling berkompeten di bidang ini.
Ketiga, untuk mendorong kesadaran kritis warga masyarakat agar mau berpartisipasi dalam program pembangunan daerah maka perlu diback-up oleh regulasi yang jelas-jelas berpihak pada kepentingan seluruh rakyat. Pemerintah
merupakan lokomotif utama yang harus mengambil inisiatif dan memprakarsai
tindakan konkret di lapangan. Maka, jargon ‘mendorong partisipasi warga’ tidak
sekedar kamulfrase dan penghias bibir belaka, tetapi merupakan suatu tindakan riil
yang benar-benar membumi, yang pada gilirannya nanti muncul indikator-indikator
yang jelas dan dapat dievaluasi demi kemajuan dan kebaikan bersama.
Keempat, bahwa upaya konkret untuk menggalang partisipasi warga di daerah pedesaan perlu dukungan peningkatan alokasi dana anggaran yang signifikan
bagi pembangunan di pedesaan. Paling tidak, dengan mekanisme perimbangan
diseluruh sektor kehidupan desa semakin terdorong, karena itu keterlibatan warga
desa dalam program-program pembangunan dapat dimaksimalkan.
2. 2. Teori Antroposentrisme
Secara etimologis Antroposentrisme tersusun dari dua kata bahasa Yunani
yaitu "antropos" yang berarti manusia dan "centrum" yang berarti pusat. Antroposentrtisme dapat diartikan sebagai suatu meyakinkan bahwa manusia dan
karya-karyanya adalah pusat dari alam sebagai realitas yang ada di luar manusia.
Alam merupakan sesuatu yang asing bagi dirinya.
Secara sempit antroposentrisme merupakan sebuah pemikiran dimana
manusia diletakan di atas alam semesta, dalam arti manusia diciptakan untuk
menikmati alam semesta beserta isinya. Lingkungan dianggap sebagai bahan-bahan
pemuas kebutuhannya belaka.
Kesalahan cara pandang dari etika antroposentrisme adalah pandangan akan
manusia sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang mempunyai nilai,
sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan
kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari
alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan
apa saja. Cara pandang seperti ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa
kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak
Teori antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang
manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya
dianggap paling memnentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang
diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya, hanya manusia yang mempunyai
nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yanglain di alam semesta ini hanya akan
mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh
karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai onyek, alat dan sasaran bagi pemenuhan
kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan
manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. (A. Sonny Keraf. 2002)
Bagi teori antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala
tuntutan mengenai perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap
lingkungan hidup dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak
pada tempatnya. Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam
pengertian tidak langsung, yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab
moral manusia terhadap sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab semata -
mata demi memenuhi kepentingan sesame mausia. Bukan merupakan perwujudan
kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam itu sendiri. (A. Sonny
Keraf. 2002)
Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrument talistik, dalam
pengertian pola hubungna manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental.
Alam dinilai sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai
hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri
sendiri sehingga pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak
berguna bagi kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Teori semacam
ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia.
Kepentingan makhluk hidp lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak menjadi
pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekalai lagi,
pertimbangan itu bersifat egoistis demi kepentingan mansuia. (A. Sonny Keraf.
2002).
Sebenarnya paham antroposentrisme mewarnai interaksi antara manusia
dengna lingkungan, tidak lepas dari rasa percaya diri manusia yang bisa idkatakan
berlebihan. Hukum-hukum alam bisa dikesampingkan, sebab ia memiliki sifat yang
pasif dan bergantung pada manusia, sedangkan kebutuhan manusia berubah-ubah
dengan sifat yang terbatas. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Secara ekologis, produk konsumtif telah menyebabkan sampah sebagai salah
satu persoalan utama masyarakat daerah pesisir pantai. Saat ini banyak sekali daerah
pesisir pantai yang membuang limbah rumah tangganya kelaut dan kesungai.
Sehingga ekosistem laut dan ekosistem sungai pun tercemar karena. Memang tidak
mudah untuk menyatakan siapa sebenarnya yang pertama-tama dan utama harus
bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan lingkungan yang sekarang ini bisa
dinyatakan telah masuk ke area krisis. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Perilaku antroposenstrisme baik secara sadar ataupun tidak yang berinteraksi
dengan komponen-komponen lain, seperti antroposentrisme yang berinteraksi dengan
menjadi sebab kerusakan lingkungan akibatnya kita lihat, semua sisi lingkungan
menjadi rusak, tidak peduli lingkungan fisik maupun lingkungan biologi, akibatnya
dampak langsung yang diterima masyarakat adalah bencana alam yang dinyatakan
oleh Ralph Metzner. (Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Antroposentrisme terlibat dalam memasukkan sikap, nilai-nilai, persepsi, dan
pandangan dunia itu, rusaknya lingkungan air, berbentuk pencemaran disungai-sungai
kita, selain disebabkan oleh limbah rumah tangga, juga oleh adanya limbah-limbah
pabrik yang tidak dikelola secara baik. Kasus di kawasan alut dan pantai Kampung
Dapur 12 di Sumatera misalnya pencemaran berat disebabkan 7.000 ton minyak
mentah ditumpahkan oleh Kapal Tanker Natuna Sea yang menabrak karang
(Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Sementara itu, rusaknya tana-tanah tidak lepas dari adanya lahan-lahan krisis
akibat penggundulan hutan yang tidak memperhatikan aturan (Illegal Logging) dan rusaknya kadar produktif tanah sebab dieksploitasi secara terus-menerus. Hutan yang
menyangga sebagai system lingkungan hidup dunia telah mengalami kerusakan.
(Rachmad K Dwi Susilo, 2008).
Murdi mengatakan bahwa yang menjadi masalahh bukanlah kecenderungan
antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam semesta untuk
kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis lingkungan
adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh manusia, di luar
batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia bunuh diri. Sejauh
alam semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung darri
keberadaan spesies lain lagi. (A. Sonny Keraf. 2002).
Menurut Darling, manusia mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan spesies lain, sebagai “aristocrat biologis.” Sebagai aristocrat biologis,
manusia mempunyai kekuasaan atas makhluk hidup lain. Manusia mempunyai posisi
istimewa puncak piramida kehidupan. Menurut Darling, justru karena manusia
adalah aristocrat biologis, ia harus melayani semua yang ada dibawah kekuasaannya
secara baik dan sekaligus mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga dan
melindunginya. (A. Sonny Keraf. 2002)
Seperti paparan sebelumnya mengenai manfaat dan fungsi hutan mangrove.
Hutan mangrove juga merupakan habitat spesies laut maupun darat. Dimana di
daerah pesisir pantai hutan mangrove ini mengambil peran yang cukup besar dalam
menjaga keseimbangan kehidupan, yang mampu memberikan kehidupan bagi
makhluk hidup yang di sekitarnya. Jika hutan mangrove di babat habis demi ambisi
membangun perumahan mewah, pusat industry dan pusat-pusat ekonomi. Akibatnya
habitat-habitat yang seharusnya diperuntukkan bagi spesies (biota) laut semain
sempit. Padahal, spesies-spesies yang hidup di udara dan darat amat bergantung pada
keberadaan hutan mangrove ini. Akibatnya, spesies-spesies tersebut mencari habitat
baru yang menambah persoalan manusia. Bukan hanya itu, hutan mangrove bisa
berfungsi sebagai penahan ombak air laut, agar tidak mengenai secara langsung
pemukiman-pemukiman penduduk.
Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversional
pihak antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hingga
sekarang. Di pihak, lain antroposentrisme juga bela, pertama, karena validitas
atgumennya sulit dibantah – dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu
sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme
menawarkan etika lingkungan yang mempunyai daya tarik kuat untuk mendorong
manusia menjaga lingkungan. (A. Sonny Keraf, 2002).
Dalam kaitan dengan ektika lingkungan yang ditawarkanya, ada beberapa
kelemahan yang perlu disinggung disini. Pertama, model etika ini mengabaikan masalah-masalah lingkungna yang tidak langsung menyentuh kepentingan manusia.
Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai, laut, atau
menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia
tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu berubah-ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya sejauh dipandang
menyangkut kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius
dari segi moral. Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia, maka
akan diabaikan. Ini berbahaya, karena pertimbangan moral pun berubah-ubah sejalan
dengan perubahan kepentingan manusia. Ketiga, yang menjadi perhatian antroposentrisme adlaah (urusan kepentingan manusia) jangka pendek, khususnya
kepentingan ekonomi. Akibatnya, lingkungan hidup selalu dikorbankan demi
kepentingan jangka pendek tersebut. Padahal dengan yang disebut kepentingan
manusia, bahkan kepentingan ekonomi sekalipun, mempunyao perspektif jangka
2. 3. Budaya Pesisir dan Hutan Mangrove
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan
berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial
masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi
sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir
memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan Walaupun demikian,
di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai
nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh
besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara
keseluruhan (Ginkel, 2007). Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan
merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan
pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan.
Wilayah pesisir dan lautan merupakan potensi ekonomi Indonesia yang perlu
dikembangkan. Hal ini disebabkan wilayah pesisir dan laut merupakan 63% dari
wilayah teritorial indonesia. Didalamnya terkandung kekayaan sumberdaya alam dan
jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam, seperti perikanan, terumbu karang,
hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral, dan kawasan
pariwisata (Dahuri, 2001). Perilaku masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal dalam
pelestarian lingkungan diproyeksikan dengan cara cara yang sesuai dengan pola pikir
dan tradisi setempat, diharapkan mampu memunculkan konsep dan cara menja- ga
keseimbangan pelestarian lingkungan. Berbagai macam bantuk pantangan, larangan,
pesan yang memiliki makna sangat besar bagi pelestarian lingkungan khususnya
sumberdaya pesisir.
Masyarakat nelayan mengacu pada konteks pemikiran di atas, yaitu suatu
konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi secara
signifikan oleh eksistensi kelompok – kelompok sosial yang kelangsungan hidupnya
bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan
memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis
kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas
kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di
dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di
sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan.
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau system
kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan
sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa
yang terjadi di lingkungannya (Keesing, 1989:68-69). Setiap gagasan dan praktik
kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak,
kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah
membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap
lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga
masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang
digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon,
1984:85, 91).
Dalam konteks hubungan eksploitasi sumber daya perikanan, masyarakat
nelayan kita memerankan empat perilaku sebagai berikut: (1) mengeksploitasi
terus-menerus sumber daya perikanan tanpa memahami batas-batasnya; (2)
mengeksploitasi sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir
dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir
laut; (3) mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan cara-cara yang merusak
(destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan,
melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan,
seperti trawl atau minitrawl; serta (4) mengeksploitasi sumber daya perikanan
dipadukan dengan tindakan konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan
penangkapan disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan
mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan (Kusnadi, 2009).
Perilaku pertama, kedua, dan ketiga dianut oleh sebagian besar nelayan kita
sebagai konsekuensi dari persepsi yang kuat terhadap sumber daya perikanan atau
sumber daya kelautan yang bersifat open access bagi siapa pun yang mau
memanfaatkannya. Perilaku keempat adalah perilaku minoritas di kalangan
masyarakat nelayan, seperti ditunjukkan oleh adanya komunitas-komunitas adat atau
komunitas local yang mengelola sumber daya perikanan untuk memperkuat
kepentingan ekonomi kolektif, kemandirian sosial, dan kelangsungan hidup.
Komunitas-komunitas adat seperti ini tersebar di berbagai wilayah tanah air. Mereka
menjaga dengan baik pranata-pranata pengelolaan sumber daya laut yang dimilikinya,
seperti sasi di Maluku, ondoafi di PapuaBarat, bati di Ternate, rompong di Sulawesi
Banten, atau gogolan di Tegal. Klaim pemilikan atas sumber daya komunal ini
dilegitimasi oleh sejarah sosial dan unsur-unsur identitas etnisitas yang mereka miliki
(Kusnadi, 2009).
Kepemimpinan Sosial
Sebagai suatu kesatuan sosial-budaya, masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri
perilaku sosial yang dipengaruhi oleh karakteristik kondisi geografis dan
matapencaharian penduduknya. Sebagian dari ciri-ciri perilaku sosial tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran.
2. Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan.
3. Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian.
4. Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung “kasar”.
5. Solidaritas sosial yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau membantu
sesama ketika menghadapi musibah.
6. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi.
7. Bergaya hidup “konsumtif “.
8. Demonstratif dalam harta-benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan
rumah, dan sebagainya) sebagai manifestasi “keberhasilan hidup”.
9. ”Agamis”, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.
10. ”Temperamental”, khususnya jika terkait dengan ”harga diri”.
Salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan
sikap temperamental dan harga diri tersebut dapat disimak dalam pernyataan
Ciri-ciri perilaku sosial di atas memiliki relevansi dengan ciri-ciri
kepemimpinan sosial masyarakat pesisir. Berdasarkan kajian filologis atas
naskah-naskah klasik (kuno) yang banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti Kitab
Sindujoyo Pesisiran dan Babad Gresik Pesisiran, syarat-syarat pemimpin di kalangan
masyarakat pesisir adalah sebagai berikut (Widayati, 2001):
1. Siap menolong siapa saja yang meminta bantuan.
2. Mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.
3. Dermawan kepada semua orang.
4. Selalu menuntut ilmu dunia dan akhirat untuk keseimbangan kehidupan.
5. Tidak berambisi terhadap jabatan atau kedudukan walaupun banyak berjasa.
6. Rendah hati (tidak sombong), tetapi tidak rendah diri (minder).
7. Sangat benci penindasan dan berbuat adil kepada siapa saja.
8. Rajin bekerja dan beribadah, khususnya shalat lima waktu.
9. Sabar dan bijaksana.
10. Berusaha membahagiakan orang lain.
Sebagian nilai-nilai perilaku sosial di atas merupakan modal sosial yang
sangat berharga jika didayagunakan untuk membangun masyarakat nelayan atau
masyarakat pesisir. Demikian juga, syarat-syarat pemimpin dan kepemimpinan
masyarakat pesisir memiliki relevansi yang baik untuk merekonstruksi kepemimpinan
bangsa dan negara Indonesia. Penjelajahan terhadap nilai-nilai budaya kepesisiran ini
tentu saja memiliki kontribusi yang sangat strategis untuk membangun masa depan