• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroforestry dan Pengusahaannya Pengertian Agroforestry

Istilah agroforestry banyak dikemukakan berbagai pihak, sampai dengan saat ini belum ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang definisi “agroforestry”. Hampir setiap ahli mengusulkan definisi yang berbeda satu dari yang lain. Salah satu definisi agroforestry yang digunakan oleh lembaga penelitian agroforestry internasional (ICRAF = International Centre for Research in Agroforestry) adalah (Huxley, 1999 dalam Hairiah et al. 2003) :

….. sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.

Prinsip penting yang harus dipegang adalah: apakah kombinasi suatu bentuk pemanfaatan lahan tersebut memenuhi ciri-ciri dan tujuan agroforestry, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani dan konservasi alam? Hal tersebut akan berbeda dengan ciri-ciri dan tujuan kegiatan murni kehutanan/pertanian yang lebih menekankan pada konservasi alam saja atau peningkatan produksi tanaman saja (Hairiah et al. 2003).

Jenis dan Manfaat Agroforestry

Beberapa ciri penting agroforestry yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree (1982) dalam Hairiah et al. (2003) adalah:

1. Agroforestry biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan). Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.

2. Siklus sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun.

3. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.

4. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.

5. Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat.

6. Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestry

tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomassa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.

7. Sistem agroforestry yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.

Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestry dikembangkan untuk memberi manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestry

utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.

Agroforestry merupakan salah satu alternatif bentuk penggunaan lahan terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanpa tanaman semusim dan ternak dalam satu bidang lahan. Melihat komposisinya yang beragam, maka

agroforestry memiliki fungsi dan peran yang lebih dekat kepada hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan kosong atau terlantar. Sampai batas tertentu agroforestry memiliki beberapa fungsi dan peran yang menyerupai hutan baik dalam aspek biofisik, sosial maupun ekonomi. Agroforestry merupakan salah satu sistem penggunaan lahan yang diyakini oleh banyak orang dapat mempertahankan hasil pertanian secara berkelanjutan. Agroforestry memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai), mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, dan

mempertahankan keanekaragaman hayati. Mengingat besarnya peran Agroforestry

dalam mempertahankan fungsi DAS dan pengurangan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer melalui penyerapan gas CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam bentuk biomassa tanaman (Hairiah dan Utami, 2002 dalam Widianto et al. 2003).

Agroforestry dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem

agroforestry sederhana dan sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem pertanian di mana pepohonan ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar (Hairiah et al. 2003).

Berdasarkan jaraknya terhadap tempat tinggal, sistem agroforestry

kompleks dibedakan menjadi dua, yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon

(home garden) yang letaknya di sekitar tempat tinggal dan ‘agroforest’, yang biasanya disebut ‘hutan’ yang letaknya jauh dari tempat tinggal. Pekarangan atau kebun adalah sistem bercocok-tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia selama berabad-abad. Kebun yang umum dijumpai di Jawa Barat adalah sistem pekarangan, yang diawali dengan penebangan dan pembakaran hutan atau semak belukar yang kemudian ditanami dengan tanaman semusim selama beberapa tahun (fase kebun). Pada fase kedua, pohon buah-buahan (durian, rambutan, pepaya, pisang) ditanam secara tumpangsari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada fase ketiga, beberapa tanaman asal hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terbentuk pola kombinasi tanaman asli setempat misalnya bambu, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan (fase talun). Pada fase ini tanaman semusim yang tumbuh di bawahnya sangat terbatas karena banyaknya naungan. Fase perpaduan berbagai jenis pohon ini sering disebut dengan fase talun. Dengan demikian pembentukan talun memiliki tiga fase yaitu kebun, kebun campuran dan talun.

Agroforest biasanya dibentuk pada lahan bekas hutan alam atau semak belukar yang diawali dengan penebangan dan pembakaran semua tumbuhan. Pembukaan lahan biasanya dilakukan pada musim kemarau. Pada awal musim

penghujan, lahan ditanami padi gogo yang disisipi tanaman semusim lainnya (jagung, cabe) untuk satu-dua kali panen. Setelah dua kali panen tanaman semusim, intensifikasi penggunaan lahan ditingkatkan dengan menanam pepohonan misalnya karet, damar atau tanaman keras lainnya. Pada periode awal ini, terdapat perpaduan sementara antara tanaman semusim dengan pepohonan. Pada saat pohon sudah dewasa, petani masih bebas memadukan bermacam- macam tanaman tahunan lain yang bermanfaat dari segi ekonomi dan budaya, misalnya penyisipan pohon durian atau duku. Tanaman semusim sudah tidak ada lagi. Tebang pilih akan dilakukan bila tanaman pokok mulai terganggu atau bila pohon terlalu tua sehingga tidak produktif lagi (Hairiah et al. 2003).

Sosial Ekonomi Agroforestry

Pengetahuan Lokal Masyarakat

Petani telah mempraktekkan agroforestry selama berabad-abad. Tidak jarang mereka berpedoman bahwa lebih baik menerapkan teknik yang sudah biasa mereka lakukan dibandingkan dengan menerapkan sesuatu yang masih baru (dan dibawa oleh orang luar). Petani akan lebih mudah mengadopsi agroforestry jika mereka terbiasa dengan penggunaan pohon dalam sistem pertanian, dan mengetahui bahwa integrasi pohon ke dalam proses produksi pangan telah sukses dilakukan oleh petani yang lain. Memang, risiko kegagalan akan lebih besar pada petani dengan teknik ilmiah baru daripada dengan teknik tradisional. Jadi inovasi penyesuaian terhadap teknik tradisional akan mengurangi risiko kegagalan

agroforestry (Suharjito et al. 2003).

Pengetahuan lokal merupakan konsep yang lebih luas yang merujuk pada pengetahuan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang hidup di wilayah tertentu untuk jangka waktu yang lama. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri. Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumberdaya alam dan

bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani maupun ketrampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam (Suyarno et al. 2003).

Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan pemahaman petani sebagai pelaku utama pengelola sumberdaya lokal. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumberdaya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal (Sunaryo dan Joshi 2003 dalam Hilmanto 2009). Pengetahuan lokal juga dapat sebagai masukan dalam meningkatkan kehidupan petani, baik dari segi ekonomi, ekologi dan sosialnya (Mulyoutami et al. 2004 dalam Hilmanto 2009).

Ekonomi Agroforestry

Menurut Gold dan Garrett (2009) dalam Ranjith et al. (2010), agroforestry

adalah pengelolaan lahan yang intensif di mana praktek pohon yang sengaja terintegrasi dengan tanaman, padang rumput, dan/atau dengan hewan untuk lingkungan dan manfaat ekonomi.

Agroforestry berbasis buah dapat berpotensi dikembangkan dari buah- buahan asli yang sekarang banyak ditemukan di alam liar sebanyak sumber buah eksotis. Kontribusi buah-buahan lokal untuk pengurangan kemiskinan dan peran vital dalam mata pencaharian masyarakat semakin banyak mendapat pengakuan yang baik (Garrity 2004; Ndoye et al 2004;. Schreckenberg et al. 2006 dalam

Fentahun dan Hager 2010).

Berdasarkan penelitian Prasad et al. (2010), tumpangsari pada tanaman

Eucalyptus memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan hanya tanaman Eucalyptus saja. Tumpangsari tahunan di pohon-pohon kayu dibandingkan dengan kumpulan pohon kayu tunggal menawarkan keuntungan mengurangi biaya pembentukan pohon, peningkatan pendapatan selama fase tidak produktif pohon, efisien pemanfaatan sumberdaya alam, dan pengurangan risiko dari bencana kebakaran (Garrity dan Mercado 1994 dalam Prasad et al. 2010). Couto dan Gomes (1995) dalam Prasad et al. (2010) melaporkan bahwa hasil tumpangsari lebih tinggi dan adanya interaksi yang saling melengkapi dalam sistem Eucalyptus-kacang. Salah satu tumpangsari baris berupa jagung tidak mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan kayu putih dan

mengurangi biaya perkebunan dengan 60%. Sistem berbasis Eucalyptus tidak hanya menyediakan pendapatan reguler untuk kelangsungan petani sebelum kayu putih dipanen (4 tahun), tetapi juga pakan untuk ternak.

Budidaya tanaman yang berbeda dalam kebun dianggap sebagai strategi petani untuk mendiversifikasikan kebutuhan hidup dan kebutuhan uang tunai mereka. Keberlanjutan sosio-ekonomi dalam pemenuhan subsisten dan tanaman harus dipertimbangkan, seiring dengan penyempurnaan pemenuhan jenis tanaman. Dalam rangka memenuhi kebutuhan makanan dan uang tunai rumah tangga, tanaman pangan terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serta tanaman tunai harus cukup terwakili dalam sistem (Abebe et al. 2010).

Menurut Suharjito et al (2003), Sistem agroforestry dapat dikatakan menguntungkan apabila 1) dapat menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input yang lebih rendah untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor produksi.

Dokumen terkait