• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tataniaga Kayu Kebun Campuran Karacak 1 Pelaku dan Saluran Tataniaga Kayu

Sebaran Diameter Pohon

5.2 Tataniaga Kayu Kebun Campuran Karacak 1 Pelaku dan Saluran Tataniaga Kayu

Pelaku tataniaga

Pelaku tataniaga/pemasaran kayu di Karacak terdiri dari petani kebun campuran, pedagang pengumpul dan industri penggergajian kayu.

Pedagang pengumpul atau sering disebut dengan tengkulak kayu adalah orang yang mendistribusikan kayu rakyat dari petani sampai ke industri pengolahan kayu (sawmill). Pedagang pengumpul melakukan beberapa kegiatan produksi seperti penebangan, penyaradan dan muat bongkar. Oleh sebab itu pedagang pengumpul harus memiliki modal dan informasi pasar agar usahanya dapat memperoleh keuntungan. Disini pedagang pengumpul sebagai monopsoni, yang dengan mudah dapat membeli kayu dari para petani dengan harga yang dapat ditentukan sendiri. Kelangsungan usaha pedagang pengumpul ditunjang oleh para petani yang menjual kayunya ke pedagang pengumpul. Kemudian dialirkan dari pedagang pengumpul ke sawmill.

Sawmill mendapat bahan baku produknya sebagian besar dari pedagang pengumpul, dapat dikatakan bahwa pedagang pengumpul merupakan pemasok utama bahan baku kayu untuk sawmill. Kegiatan produksi yang paling banyak dilakukan berada di tingkat sawmill. Sehingga keuntungan yang diperoleh sawmill

pun jauh lebih besar dibandingkan dengan para pelaku pemasaran kayu lainnya. Hal ini menyebabkan usaha sawmill (industri penggergajian) semakin berkembang. Dari sawmill produk kayu rakyat dipasarkan ke industri besar di luar kota.

1. Petani Kebun Campuran

Umumnya petani kebun campuran merupakan pekerjaan utama di Desa Karacak sehingga dalam kegiatan pengusahaan kebun campuran petani melakukannya sendiri tanpa mengupahkannya kepada orang lain. Mayoritas jenis pohon kayu yang ditanam yaitu sengon (P. falcataria) dan kayu afrika (M. eminii). Kegiatan penanaman tidak menggunakan jarak tanam, hanya beberapa orang petani saja yang melakukan jarak tanam pada kebunnya.

Penjualan kayu yang dilakukan oleh petani pada umumnya adalah jenis sengon (P. falcataria), dikarenakan sengon merupakan jenis yang paling banyak ditanam di lahan para petani dan juga memiliki umur tebang yang relatif singkat (5 tahun). Petani melakukan penjualan kayu dalam bentuk pohon berdiri, hal ini dikarenakan penjualan kayu dalam bentuk pohon berdiri sangat praktis karena mulai dari penebangan hingga pengangkutan termasuk seluruh biayanya ditanggung oleh pembeli yang biasanya adalah pedagang pengumpul.

Penjualan kayu dalam bentuk pohon berdiri mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian bagi petani. Keuntungan yanng diperoleh adalah petani tidak perlu menanggung biaya pemanenan dan biaya pemasaran, juga tidak perlu susah dalam memikirkan tenaga kerja karena sudah menjadi tanggung jawab pembeli (pedagang pengumpul). Sedangkan kerugian yang diperoleh yaitu petani dalam posisi yang lemah dalam menentukan harga karena kurangnya akses terhadap informasi harga, dan jika terjadi kerusakan pada pohon-pohon dalam tegakan tidak mendapat ganti rugi dari pembeli.

(a) (b)

Gambar 12 Bentuk penjualan kayu (a) kayu berdiri (b) kayu bulat.

Pemasaran kayu di lokasi penelitian termasuk mudah, petani cukup menghubungi pedagang pengumpul dan melakukan transaksi jual beli di tempat (lahan), biasanya harga ditentukan atas dasar kesepakatan bersama. Adapun motivasi penjualan mayoritas untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membiayai

pendidikan anak. Dalam sistem penjualannya, kayu biasanya dijual oleh petani dengan beberapa sistem penjualan, yaitu menghitung per pohon, dan borongan. Sistem penjualan borongan adalah sistem penjualan kayu dengan cara menghitung pohon yang akan dijual dalam luasan lahan tertentu (satuan Rp/tegakan) sedangkan sistem penjualan per pohon adalah sistem penjualan kayu dengan cara menghitung pohon yang dijual dengan satuan per pohon. Sistem yang paling banyak digunakan adalah dengan menghitung jumlah pohon yang akan dijual. Dalam penjualannya, pohon yang akan dijual dihitung berapa jumlahnya kemudian ditaksir berapa harga yang sesuai untuk membeli kayu tersebut oleh pembeli. Umumnya petani menjual kayu dengan cara menghitung jumlah pohon yang akan dijual, baik itu pohon yang berdiameter besar maupun berdiameter kecil sehingga pembeli hanya menaksir harga borongan dari pohon-pohon yang dijual. Kerugian petani dalam sistem penjualan ini yaitu seringkali harga beli dari pedagang pengumpul tidak sesuai dengan volume pohon yang dibeli, hal ini disebabkan karena harga beli ditentukan dengan cara menaksir volume pohon dari bentuk pohon yang dijual.

Sebaiknya digunakan sistem kubikasi dimana dalam penjualannya petani sudah mengerti perhitungan volume pohon. Dalam penjualannya, pohon yang akan dijual dihitung diameter dan tinggi taksirannya kemudian pembeli menentukan volume pohon tersebut dengan melihat Tabel Tarif Volume Kayu. Sistem penjualan dengan kubikasi merupakan sistem penjualan yang paling baik karena harga beli yang diberikan oleh pedagang pengumpul sesuai dengan volume pohon yang dijual oleh petani. Keuntungan dari sistem ini yaitu petani akan mendapatkan harga yang sesuai dengan volume pohon yang dijual, dan tidak tertipu oleh harga beli dari pedagang pengumpul. Adapun kekurangan dari sistem ini adalah tidak banyak petani yang menggunakan sistem penjualan ini karena keterbatasan informasi cara menghitung volume pohon sehingga petani membutuhkan bantuan Tabel Tarif Volume yang juga jarang dimiliki petani.

2. Pedagang Pengumpul

Pedagang pengumpul yang ditemui di lokasi penelitian terdiri dari 5 orang. Keterangan pedagang pengumpul/tengkulak dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Kapasitas pembelian kayu oleh pedagang pengumpul

No Nama Pedagang

Intensitas Pembelian

(phn/bln) Cakupan Penjualan 1 Bagia 12 Luar Desa (CV. Karya Jaya)

2 Samin 20 Luar Desa (Bpk Solikin, Pabangbon) 3 Ma'at 8 Luar Desa (Bpk Solikin, Pabangbon) 4 Warja 20 Luar Desa (CV. Karya Jaya)

5 Zumri 80 Luar Desa (CV. Karya Jaya)

Kayu yang dipasarkan dalam bentuk kayu bulat (log), hal ini disebabkan karena hanya sedikit pedagang pengumpul yang memiliki keahlian untuk mengolah kayu log menjadi kayu gergajian dan adanya keterbatasan modal yang dimiliki. Dalam pemasarannya, pedagang pengumpul menjual kayu dari kebun campuran ke sawmill (industri penggergajian). Pedagang pengumpul yang memiliki wilayah kerja sempit (lingkup desa) memiliki konsumen yang berlokasi di sekitar wilayah penelitian.

3. Industri Penggergajian (sawmill)

Industri yang dimaksud adalah industri pengolahan kayu rakyat. Industri pengolahan kayu rakyat yang ada di Desa Karacak adalah industri penggergajian yang memproduksi palet dan papan. Namun, untuk produk papan material ini jarang diproduksi karena bahan bakunya yang berasal dari tanaman buah-buahan yang jarang dijual oleh petani.

Gambar 13 Industri penggergajian (sawmill).

Jumlah industri yang menggunakan kayu dari kebun campuran Karacak berjumlah empat industri namun data satu industri tidak diperoleh. Kapasitas produksi industri yang terbesar adalah industri Dian Surya Gemilang mencapai

16.000 m3 per bulan untuk memenuhi target produksi, namun frekuensi pembelian hanya sebesar 150 m3. Sehingga industri Dian Surya Gemilang lebih mencari kayu di luar desa dan luar kecamatan. Sedangkan untuk industri Karya Jaya memperoleh kiriman kayunya secara intensif dari tengkulak Karacak sebesar 8 m3 per hari namun realisasi produknya hanya 1,36 m3 setiap harinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang terampilnya tenaga kerja dalam mengolah kayu menjadi sebuah produk. Keterangan kapasitas produksi dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Kapasitas produksi industri

No Nama Cara Frekuensi Kubikasi* Jenis Harga Beli Jenis

Industri Pembelian Pembelian (m3/bln) (m3/bulan) Kayu kayu (Rp) Produksi 1 - Tengkulak 40 50 Sengon 350.000/m3 Palet

Afrika 350.000/m3

2 Dian

Surya Petani 150 16.000 Afrika 300.000/m3 Palet

Gemilang Sengon 300.000/m3 Durian 1.200.000/btg Rambutan 1.200.000/btg Kuweni 1.200.000/btg 3 Karya

Jaya Tengkulak 208 65 Afrika 300.000/m3 Palet

Sengon 300.000/m3 Bahan material Durian 250.000/m

*Kubikasi adalah kapasitas industri untuk memproduksi kayu

Meskipun sawmill di lokasi penelitian masih termasuk industri penggergajian kecil karena memiliki kapasitas < 6000 m3/tahun, namun usaha

sawmill di lokasi penelitian semakin berkembang. Salah satunya karena kegiatan produksi yang paling banyak dilakukan berada di tingkat sawmill sehingga keuntungan yang diperoleh sawmill pun jauh lebih besar dibandingkan dengan para pelaku pemasaran kayu rakyat yang lain. Hal ini menyebabkan usaha sawmill

semakin berkembang.

Saluran Tataniaga Kayu

Saluran tataniaga kayu rakyat menggambarkan proses pendistribusian kayu dari petani di lahan milik sebagai produsen kayu sampai ke konsumen. Konsumen pada saluran tataniaga kayu dari petani masyarakat rumah tangga, pedagang dan industri. Sistem tataniaga yang terdapat pada Desa Karacak memiliki dua jalur pemasaran yang digambarkan pada Gambar 14.

Gambar 14 Saluran tataniaga kayu kebun campuran Desa Karacak. Alur 1 : Petani -> Tengkulak -> Industri -> Konsumen Akhir

Alur I ini merupakan alur yang paling sering terjadi di lapangan, pedagang pengumpul menjadi perantara antara petani dengan pihak industri. Di Desa ini terdapat pedagang pengumpul yang tidak terikat dengan industri, hal ini dikarenakan pengalaman terdahulu bahwa pedagang yang terikat dengan industri merasa dipermainkan oleh pihak industri karena adanya modal yang diberikan oleh pihak industri sehingga dengan bebas menebang pohon yang dikehendaki. Untuk pedagang pengumpul yang tidak terikat, memakai modal sendiri dan bebas menjual kepada siapa saja.

Alur 2 : Petani -> Industri -> Konsumen Akhir

Dalam alur ini industri membeli langsung dari petani dan memiliki pekerja yang bertugas menebang kayu. Terlebih dahulu industri membeli kebun petani dan kemudian menebang kayunya. Biasanya pihak industri seperti ini telah memiliki kepercayaan dari petani sehingga jika ingin menjual kayu mereka akan langsung menghubungi pihak industri. Cara ini dirasa paling menguntungkan baik bagi petani maupun industri. Tapi kenyataan di lapangan tidak seudah yang diduga, petani telah terbiasa menjual langsung kepada pedagang pengumpul/tengkulak.

Dari kedua alur tersebut, umumnya petani menjual kayunya kepada pedagang pengumpul/tengkulak walaupun dengan harga yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Effendi (2008) mengenai kajian tataniaga kayu rakyat di Jawa Bagian Barat, permasalahan sistem tataniaga yang dihadapi petani kayu rakyat secara teoritis tidak ada, sebagian petani untuk menjual hasil produksinya pada lembaga pemasaran tertentu. Dengan demikian keberhasilan petani untuk meningkatkan pendapatannya melalui saluran tataniaga kayu rakyat tergantung pada kemampuan petani secara individual dalam

memanfaatkan peluang pasar yang dapat memberikan tingkat keuntungan relatif lebih tinggi.

5.2.2 Analisis Struktur Pasar dan Prilaku Pasar

Struktur Pasar

Jumlah populasi petani produsen kayu rakyat di Desa Karacak tidak diketahui secara tepat jumlahnya, sedangkan pedagang pohon (pedagang pengumpul/tengkulak) berjumlah lima orang. Dari pengamatan di lapangan dapat disimpulkan bahwa proporsi jumlah produsen lebih banyak daripada pelaku lembaga pemasaran.

Informasi pasar yang diterima oleh petani adalah informasi yang diperoleh dari petani lain dan pedagang pengumpul. Namun seringkali petani tidak mengetahui secara tepat informasi harga yang berkaitan dengan jenis dan kualitas pohon yang diperjualbelikan.

Secara umum, struktur pasar di atas lebih menunjukkan struktur produsen dan pedagang kayu berada dalam bentuk pasar oligopsoni, dimana pihak petani mempunyai kekuatan yang lebih lemah dalam pembentukan hasil produksi yang dipasarkan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Baumol (1988) dalam Triyono (2000) bahwa dalam struktur pasar yang oligopsoni, pembeli mempunyai posisi tawar yang lebih baik dibanding penjual sehingga menjadi penentu harga dan penjual hanya sebagai penerima harga.

Keadaan struktur pasar tersebut sesuai dengan pernyataan Irawan (2007), Di tingkat desa sistem pasar yang terbentuk seringkali mengarah pada pasar yang bersifat monopsoni atau oligopsoni. Sistem pasar demikian dapat terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang desa akibat jumlah pedagang yang terbatas. Kalaupun jumlah pedagang yang terlibat cukup banyak tetapi dalam kegiatannya para pedagang tersebut seringkali dikendalikan oleh satu atau beberapa pedagang tertentu. Pada kondisi pasar tersebut petani cenderung menerima harga yang rendah akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemasaran komoditas dengan kekuatan oligopsoni tidak efisien karena kepentingan petani sebagai produsen dapat dirugikan.

Prilaku Pasar

Prilaku pasar merupakan pola tingkah laku dari lembaga pemasaran dalam hubungannya dengan sistem pembentukan harga dan praktek transaksi (melakukan penjualan dan pembelian) secara horizontal maupun vertikal. Petani pada umumnya mengalami kesulitan untuk memasarkan pohonnya dengan harga yang sesuai kepada pihak pedagang pengumpul. Beberapa petani biasanya bersedia menjual hasil pohonnya dengan sistem borongan apabila mereka tidak memerlukan biaya tambahan yang tidak mereka dapat dari mata pencaharian lain.

Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul/tengkulak pada saat membeli pohon sengon adalah dengan cara tunai dan hutang. Kedudukan tawar-menawar petani termasuk lemah terutama dalam penentuan harga yang mensyaratkan kualitas pohon yang baik. Jadi petani hanya mengikuti harga yang secara umum berlaku dan ditetapkan oleh pedagang pengumpul.

5.2.3 Analisis Marjin dan Efisiensi Tataniaga

Pada umumnya besarnya marjin pemasaran merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mendeteksi terjadinya inefisiensi pemasaran yang disebabkan oleh kekuatan pasar yang tidak sempurna (Irawan 2007).

Menurut Sylviani dan Elvida (2010), tujuan analisis marjin pemasaran adalah untuk melihat efisiensi pemasaran yang diindikasikan oleh besarnya keuntungan yang diterima oleh masing-masing pelaku pemasaran. Semakin tinggi proporsi harga yang diterima produsen, semakin efisiensi sistem pemasaran tersebut. Besarnya keuntungan yang diterima oleh masing-masing pelaku pemasaran relatif terhadap harga yang dibayar konsumen dan atau relatif terhadap biaya pemasaran terkait dengan peran yang dilakukan oleh masing-masing pelaku. Sebaran rata-rata marjin dan efisiensi pemasaran kayu rakyat pada saluran pemasaran 1 disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Marjin dan Efisiensi Saluran Pemasaran

Saluran Pemasaran Pelaku Pemasaran Total Marjin (%) Total K/B Petani (%) Tengkulak (%) Industri (%) Farmer

Share Biaya π Marjin Biaya π Marjin

1 7,46 16,9 3,64 20,54 36,19 35,81 72 100 0,74

Pada saluran pemasaran 1, keuntungan paling besar adalah di tingkat industri. Harga produk industri bernilai Rp. 1.050.000 per m3 sedangkan di tingkat petani hanya bernilai Rp. 78.299 per m3 dan di tingkat tengkulak seharga Rp. 294.000 per m3. Berbeda halnya tingkat petani pada saluran pemasaran 2, petani langsung menjual pohon berdirinya pada industri tanpa melalui perantara sehingga memperoleh marjin pemasaran 20% dan industri memperoleh marjin 80%. Hal ini lebih baik bila dibandingkan saluran pemasaran 1. Penyebaran marjin yang tidak merata juga mengindikasikan penguasaan informasi pasar yang tidak seimbang di antara pelaku pemasaran. Semakin maju pengetahuan produsen, lembaga pemasaran dan konsumen terhadap penguasaan informasi pasar maka semakin merata distribusi keuntungan yang diterima.

Hal ini sejalan dengan penelitian pemasaran kayu jati rakyat di Kabupaten Lampung Timur oleh Ulya et.al (2007), bahwa distribusi marjin pemasaran kayu jati pada tiap tingkatan tidak merata dan keuntungan tertinggi dinikmati oleh industri. Secara umum dapat dikatakan bahwa penyebab marjin pemasaran dan keuntungan yang tinggi pada tingkat industri berawal dari rendahnya pengetahuan petani akan pemasaran kayu, kebutuhan mendesak dalam menjual kayunya dan besarnya peranan pedagang pengumpul/tengkulak dalam pemasaran.

Pengukuran efisiensi tataniaga dilakukan dengan konsep marjin pemasaran dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Pada sisi petani, pemasaran dikatakan efisien bila dapat memberikan tingkat harga yang relatif tinggi. Berdasarkan penelitian Effendi (2008), sistem pemasaran kayu sengon dengan saluran pemasaran petani Æ konsumen akhir lebih efisien daripada saluran-saluran pemasaran lainnya sebab petani menjual kayu sudah dalam bentuk kayu gergajian yang harga jualnya di pasar lebih tinggi daripada bentuk kayu bulat dan pohon berdiri. Hal tersebut ditegaskan kembali oleh Hakim et. al (2009) bahwa dengan adanya perbedaan saluran dan panjang pendeknya saluran pemasaran ini akan mempengaruhi tingkat harga, bagian keuntungan dan biaya serta margin pemasaran yang diterima setiap pelaku pemasaran kayu sengon.

Menurut Mubyarto (1977), sistem tataniaga dianggap efisien apabila memenuhi dua persyaratan yaitu 1) mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan 2) mampu

mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi tataniaga barang itu, yang dimaksud adil dalam hal ini adalah pemberian balas jasa fungsi-fungsi pemasaran sesuai sumbangannya masing-masing.

Namun Mubyarto (1977) juga menyatakan bahwa suatu komoditi dapat mempunyai sistem tataniaga yang sangat efisien tetapi persentasi biaya tataniaganya tinggi. Buah-buahan dalam kaleng misalnya, biaya pemasarannya jauh lebih tinggi daripada biaya pemasaran untuk daging atau padi. Komoditas yang lekas rusak atau yang memakan tempat yang besar untuk mengangkut dan menyimpannya juga akan memakan biaya tataniaga yang relatif tinggi dibandingkan dengan komoditi yang tahan lama atau yang ringkas, juga faktor resiko memegang peranan yang sangat penting. Kalau resiko rusak atau penurunan mutu komoditi besar maka biaya tataniaganya juga akan cenderung bertambah besar. Dari keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kita tidak dapat membandingkan efisiensi pemasaran untuk beberapa komoditi hanya dengan membandingkan besarnya persentasi biaya pemasaran ini.

Ditinjau dari sudut pandang lembaga pemasaran, sistem pemasaran dikatakan efisien bila dapat memberikan keuntungan relatif tinggi dan biaya pemasaran relatif rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari rasio antara keuntungan dan biaya pemasaran, bila rasio keuntungan dan biaya pemasaran lebih besar dari satu, atau minimal keuntungan dan biaya pemasaran adalah sama. Pada Tabel 18 menunjukkan bahwa keuntungan relatif rendah dan biaya pemasaran relatif tinggi dengan angka menunjukkan sebesar 0,74 pada saluran pemasaran 1 dan 0,25 pada saluran pemasaran 2 sehingga kedua saluran pemasaran ini dapat dikatakan tidak efisien.

Stepherd (1962) dalam Soekartawi (2002) menyatakan bahwa efisiensi pemasaran adalah nisbah antara total biaya dengan total nilai produk yang dipasarkan. Berdasarkan pengertian ini, dapat diartikan bahwa setiap ada penambahan biaya pemasaran memberi arti bahwa hal tersebut menyebabkan adanya pemasaran yang tidak efisien.

Tabel 19 Nilai Biaya, Nilai Produk dan Efisiensi Pemasaran Kayu Saluran Pemasaran Total Biaya Pemasaran (Rp) Total Nilai Produk (Rp) Efisiensi Pemasaran (%) (1) (2) (1)/(2) 1 557.500 1.422.300 39,20 2 960.000 1.800.000 53,33 Rata-rata 758.750 1.611.150 47,09

Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa saluran 1 merupakan saluran pemasaran lebih efisien karena biaya pemasaran yang harus ditanggung konsumen paling kecil dibandingkan saluran pemasaran yang lain yaitu 39,20% dengan kata lain setiap Rp. 100 nilai yang dibayar konsumen untuk pembelian kayu hanya Rp. 39,2 merupakan biaya pemasaran. Nilai rata-rata efisiensi pemasaran kayu rakyat yang berasal dari kebun campuran Karacak sebesar 47,09%, berarti dalam setiap Rp. 100 nilai yang dibayarkan konsumen untuk pembelian kayu Rp. 47,09 merupakan biaya pemasaran. Hal ini mencerminkan bahwa pemasaran kayu rakyat kebun campuran Karacak tidak efisien. Menurut Effendi (2008) hal ini disebabkan karena lebih dari 30% nilai yang dibayar oleh konsumen merupakan biaya pemasaran.

Hal tersebut di atas sesuai dengan pernyataan Halim (1960) bahwa yang dimaksud dengan marketing efficiency ialah suatu struktur marketing dimana biaya untuk menyebarkan barang dan jasa adalah yang paling rendah. Jika dilihat pada Tabel 19 maka nilai biaya pemasaran yang paling rendah terdapat pada saluran pemasaran 1.

Menurut Ulya (2007), efisiensi pemasaran dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pengetahuan petani akan teknik budidaya, kondisi pasar, spesifikasi jenis dan kualitas dan ukuran kayu yang akan dibutuhkan oleh pasar. Dengan pengetahuan yang lebih baik pada tingkat petani, diharapkan kualitas kayu yang dihasilkan mengalami peningkatan dan peranan petani dalam kegiatan pemasaran dapat ditingkatkan. Karena menurut idealnya, petani pun harus mampu menjangkau seluruh konsumen tanpa harus ada perantara. Sehingga harga lebih kompetitif, saluran pemasaran dapat diperpendek dan petani dapat memperoleh marjin pemasaran yang lebih tinggi.

Sedangkan menurut Irawan (2007), keadaan yang menguntungkan petani mengharuskan petani harus mampu mengatur pola penawarannya dengan mengatur kegiatan produksinya dan mengatur kegiatan pemasarannya (penyimpanan, sortasi dan grading, outlet pemasaran, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Namun demikian akibat berbagai faktor petani seringkali tidak mampu mengatur pola penawarannya pada pasar yang lebih menguntungkan. Ketidak mampuan petani tersebut antara lain dipengaruhi oleh penguasaan lahan garapan yang sempit, keterbatasan sumber pendapatan nonpertanian, keterbatasan fasilitas kredit, dan keterbatasan sarana transportasi di daerah pedesaan (Rao dan Subbarao, 1987; Utami dan Ihalow, 1993 dalam Irawan 2007). Di samping itu keterbatasan informasi pasar dan permodalan serta kebutuhan konsumsi yang mendesak sering pula menyebabkan petani tidak mampu mengatur penawarannya untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran yang memadai.

5.2.4 Permasalahan Saluran Tataniaga Kayu Karacak

Beberapa masalah yang dihadapi oleh petani dalam pemasaran kayu rakyat di Desa Karacak diantaranya adalah :

1. Masih rendahnya pengetahuan petani tentang tata cara bertani

atauberkebun kayu sengon (budidaya, pemanenan, penanganan pasca panen) yang baik sehingga produksi kayu umumnya masih sedikit untuk setiap kebunnya. 

2. Terbatasnya akses informasi pasar oleh petani, mereka hanya mengetahui

dari sesama petani atau tengkulak atau hanya menunggu pembeli datang ke kebun. 

3. Sebagian besar petani tidak mengetahui secara pasti spesifikasi ukuran,

jenis dan kualitas kayu yang dibutuhkan pasar, sehingga mereka umumnya menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri. 

4. Kualitas dan jumlah kayu yang dipanen masih rendah, karena konsumen

seperti tengkulak memanen sebelum usia kayu siap panen hal ini karena kebutuhan keuangan yang mendesak dari petani. 

5. Petani tidak memiliki kelompok kerja antara sesama petani atau dengan

pelaku tataniaga lainnya sebagai tempat untuk bertukar pengalaman mengenai budidaya, pemasaran, dll. 

Dokumen terkait