• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Hutan sebagai aset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan manfaat yang besar bagi kehidupan bangsa Indonesia, sosial budaya maupun lingkungan. Hutan juga sebagai salah satu penentu ekosistem penyangga kehidupan harus dikelola dengan bijaksana sehingga memberikan manfaat yang lestari untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan bahan pangan, papan dan sandang akan semakin bertambah. Di lain pihak, luas areal pertanian semakin menurun karena banyaknya lahan yang dikonversi menjadi tempat pemukiman, industri dan lainnya. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan sistem yang mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan secara bersama-sama atau berurutan pada suatu tempat.

Agroforestry adalah ekosistem buatan yang menggabungkan kedua unit ekosistem hutan dan pertanian/perikanan dan peternakan melalui budidaya yang memasukkan unsur ekosistem di atas ke dalam ruang dan waktu dalam ekosistem hutan. Berbagai model agroforestry yang sudah dipraktekkan leluhur kita di berbagai pedesaan Indonesia sejak zaman dahulu antara lain, tanaman pekarangan, ladang permanen, sistem tumpang sari, perladangan berpindah, kegiatan berburu dan lain-lain merupakan sumber pangan mandiri bagi mereka. Model-model tersebut dapat dikembangkan pada berbagai skala (rumah tangga, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional) yang pada akhirnya dapat menjadi lumbung pangan terutama dalam situasi kritis seperti saat ini dan di masa mendatang (Butarbutar 2009).

Ujicoba telah dilakukan dalam pengembangan model agroforestry untuk ketahanan pangan, seperti di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Rarung, Nusa Tenggara Barat di mana tanaman umbi-umbian, pisang dan lain-lain di bawah tanaman Duabanga moluccana. Jenis tanaman pangan lain yang dapat dikembangkan adalah sukun, tanaman tumpang sari seperti kacang-kacangan, sagu di hutan alam dan bekas tebangan di tanah berawa dan lain-lain. Model lain yang pernah dikembangkan oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam bentuk

agroforestry yang disebut dengan HPH Bina Desa Hutan dengan tujuan yang pertama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar areal kerja HPH dan yang kedua meningkatkan kualitas sumberdaya hutan dalam rangka pengusahaan hutan yang berkelanjutan (APHI 1991 dalam Butarbutar 2009).

Jauh sebelum ujicoba tersebut, model agroforestry telah dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu yakni berupa praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat, meskipun di bawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Keberadaan berbagai praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat yang dikenal dengan berbagai istilah: hutan rakyat, hutan desa, wanatani, kebun hutan; atau yang menggunakan istilah daerah seperti mamar di Nusa Tenggara Timur, lembo di Kalimantan Timur, tembawang

di Kalimantan Barat, repong di Lampung, dan tombak di Tapanuli Utara telah berpuluh-puluh tahun bertahan (Suharjito et al. 2000).

Salah satu model agroforestry yang ada di Desa Kasepuhan Jawa Barat yang dikenal dengan “leuweung talun”. Kebun ini terjadi secara tidak wajar. Lahan yang awalnya dari lahan bekas tebangan dan terbakar, secara tidak sengaja ditanami tanaman semusim dan pepohonan. Kegiatan penanaman ini pada kenyataannya tidak melingkupi karakteristik sebuah hutan tapi justru membawa kelestarian dari ekosistem hutan. Pertumbuhan semak-semak dan tanaman liar di sekitar leuweung talun menandakan bahwa area tersebut berupa hutan buatan manusia. Tanaman yang ditanami pada lahan tersebut berupa rambutan, nangka, durian, petai, mangga, jengkol, kelapa, sengon, ki sampang dan kayu afrika (Adimihardja 2005).

Bentuk-bentuk intensifikasi pemanfaatan lahan tersebut tergantung kepada kebiasaan masyarakat setempat baik dalam jenis, teknik penanaman maupun kelembagaannya. Praktek penggunaan lahan dalam bentuk agroforestry ini dianggap mempunyai kemampuan untuk mewujudkan fungsi ekonomi, ekologi dan sosial (Nair, 1993; Raintree, 1987 dalam Hardjanto 2003).

Pola agroforestry didefinisikan sebagai suatu sistem usahatani yang insentif dalam dimensi ruang dan waktu pada sebidang tanah yang sama dengan

menanam beberapa jenis tanaman yang tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas tanah dan pendapatan ekonomi. Pola pertanaman tersebut merupakan pilihan terbaik bagi petani saat ini. Dengan menerapkan pola pertanaman tersebut diduga petani akan memperoleh beberapa keuntungan yaitu meminimumkan resiko yang kelak akan ditanggung petani jika terjadi kegagalan terhadap satu jenis yang diusahakan maka jenis lain masih bisa diharapkan dapat menghasilkan, peningkatan frekuensi intensitas panen sehingga pendapatan usahatani meningkat dan lain-lain. Dengan demikian pola agroforestry tidak hanya memberikan manfaat ekonomi saja, tetapi diduga memiliki manfaat lain yaitu manfaat sosial dan lingkungan (Wardani 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Suharjito et al (2000), produktivitas kebun karet di Jambi cukup tinggi dengan hasil yang beragam. Dibandingkan dengan kebun karet monokultur, wanatani/agroforestry memberikan hasil lain yang cukup tinggi berupa kayu-kayuan, buah-buahan serta binatang buruan. Keberadaan semak belukar pada kebun karet dianggap sebagai input yang tidak dibeli, untuk menekan pertumbuhan alang-alang yang merupakan pesaing berat pohon karet. Wanatani karet ini merupakan bentuk pelestarian keanekaragaman hayati yang dianggap sebagai cadangan spesies di kemudian hari.

Bagi pembangunan ekonomi daerah kecamatan Leuwiliang, kebun campuran berperan sebagai pemasok bagi industri kayu. Dalam Data Industri Primer Hasil Hutan Kayu Kecamatan Leuwiliang Tahun 2007, kapasitas produksi industri sebesar 5520 m3/tahun dimana produktivitas diperhitungkan 20 m3/ha sehingga dengan kapasitas industri tersebut membutuhkan lahan seluas 2760 ha/tahun. Sedangkan luas areal hutan rakyat Kecamatan Leuwiliang dengan jenis tanaman campuran seluas 554,12 ha dengan jumlah pemilik lahan 6.095 orang (Dinas Pertanian dan Kehutanan 2009). Rincian keadaaan tanaman pada areal hutan rakyat tersebut adalah sebagai berikut:

Keadaan tanam baru (Ø ≤ 10 cm) = 518,22 ha Keadaan remaja (10 cm <Ø< 20 cm) = 13,64 ha Keadaan tebang (Ø ≥ 20 cm) = 22,26 ha

Dilihat dari luas areal di atas memperlihatkan bahwa luas hutan rakyat dengan keadaan tebang di Kecamatan Leuwiliang tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan kapasitas industri yang ada di daerah tersebut sehingga industri mencari bahan bakunya ke lahan kebun campuran dimana terdapat tanaman kayu, salah satunya adalah kebun campuran Karacak.

Kayu rakyat tidak lain adalah kayu yang dihasilkan oleh rakyat dari tanah miliknya baik berupa hutan rakyat, kebun, tegalan, pekarangan dan jenis penggunaan lahan lainnya. Kayu rakyat sudah menjadi alternatif sumber pemenuhan bahan baku bagi masyarakat dan industri perkayuan, sejalan dengan semakin berkurangnya pasokan kayu dari hutan produksi alam di luar Jawa dan perhutani di Pulau Jawa. Disamping itu, tingkat kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan yang cenderung menurun dan sulitnya mencari lapangan pekerjaan di luar kegiatan usahatani menunjukkan semakin meningkatnya tekanan terhadap lahan.

Demikian juga dengan model agroforestry berupa kebun campuran yang terdapat pada Desa Karacak Jawa Barat. Kebun campuran ini menjadi andalan dalam kehidupan sehari-hari bagi petani mulai dari tanaman semusim hingga tanaman kayu. Namun, pada saat ini terjadi perkembangan permintaan bahan baku industri perkayuan yaitu berupa kayu rakyat yang berpengaruh terhadap eksistensi sistem agroforestry, sehingga jika tidak dikelola secara lestari maka bahan baku pun menjadi sulit diperoleh.

Dokumen terkait