BAB II : KEWARISAN DALAM ISLAM
C. Ahli Waris dan Bagiannya
1. Golongan Ahli Waris
28
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami. Hal, 62.
29
Golongan ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.30 mereka adalah:
Kelompok ahli waris laki-laki a. Anak laki-laki
b. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah
c. Bapak
d. Kakek shohih dan seterusnya keatas e. Saudara laki-laki kandung.
f. Saudara laki-laki sebapak g. Saudara laki-laki seibu
h. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung i. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak
j. Paman sekandung
k. Paman sebapak
l. Anak laki-laki paman sekandung
m. Anak laki-laki paman sebapak
n. Suami
o. Orang laki-laki yang memerdekakan budak.
Kelompok ahli waris perempuan
a. Anak perempuan
30
Muhammad Ibnu Hasan al-Ruhby, Matnu al-Ruhbiyyah (Surabaya: Maktabah Saqofah, Tth) hal, 3.
b. Cucu perempuan pancar laki- laki
c. Ibu
d. Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas e. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas
f. Saudara perempuan sekandung
g. Saudara perempuan sebapak
h. Saudara perempuan seibu
i. Isteri
j. Orang perempuan yang memerdekakan budak
Dari kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh)
tertentu, yakni bagian yang telah ditentukan kadarnya (Furudhul muqaddarah),
mereka disebut ahli waris ashabul furudh atau dzawil furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashabul furudh, mereka disebut ahli waris ashabah.31
Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah keluarga terdekat (zul arham), yang tidak disebutkan didalam kitab Allah tentang bagiannya (fardh) atau tentang usbhat, mereka dikenal dengan sebutan ahli waris dzawil arham.
2. Bagian Ahli Waris
31
Bagian-bagian yang telah ditentukan dalam al-Qur’an hanya ada enam, yakni 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6.32
Para ulama, dalam mengkaji pembahasan tentang bagian-bagian yang telah
ditentukan al-Qur’an (fardh dan ash-habul furudnya) menggunakan dua metode.
Pertama, membahas setiap fardh secara terperinci, misalnya menyebutkan bagian separuh (1/2), kemudian menyebutkan ahli waris yang mendapatkan bagian separuh, menyebutkan bagian seperempat (1/4) dengan menyertakan ahli waris yang mendapatkan bagian itu, dan seterusnya. Kedua, menyebutkan ashabul furudh beserta uraian seputar kondisi mereka satu persatu. Misalnya, menyebutkan suami adakalanya mewarisi setengah (1/2) harta peninggalan dan adakalanya mewarisi seperempat (1/4) bagian, atau menyebutkan ibu pada satu kondisi dia mewarisi (1/3), adakalanya dia mewarisi bagian (1/6), dan adakalanya pada kondisi yang lain, si ibu dapat mewarisi satu pertiga (1/3) dari sisa harta waris.33
Dalam mengurutkan Bagian ahli waris ini, akan dipakai pada metode yang kedua, sekaligus klasifikasi fardh dan ashabah.
a. Ahli waris dzawil furudh
Ahli waris dzawil furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian
tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam al-Qur’an) yang bagiannya itu tidak
32
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, hal. 66.
33
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 106.
akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah–masalah yang terjadi radd
atau aul.
Ahli Waris tetap menjadi dzawil furudh dan tidak bisa menjadi ashabah,
Berjumlah 7 orang yaitu:
1) Ibu: seperenam (1/6) bila bersama keturunan si mayyit, juga ketika ada
dua orang saudara atau lebih, atau sepertiga (1/3) utuh ketika tidak ada keturunan simayyit dan tidak ada saudara, atau sepertiga (1/3) sisa jika orang yang ada bersama ibu dan bapak adalah suami atau istri, dan hanya pada dua kelompok ahli waris yang ditinggalkan, yang dikenal dengan
umariyyatain atau al-Gharrowain.
2) Nenek dari jalur ayah: seperenam (1/6), baik sendiri maupun
bersama-sama dengan ahli waris yang lainnya. Dengan syarat tidak ada ayah.
3) Nenek dari jalur ibu: seperenam (1/6), baik sendiri maupun bersama-sama
dengan ahli waris yang lainnya. Dengan syarat tidak ada ibu.
4) Saudara laki-laki seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan
sepertiga (1/3), bila bersama –sama dengan ahli waris lainnya.
5) Saudara perempuan seibu: seperenam (1/6), bila hanya seorang diri, dan
sepertiga (1/3), bila bersama-sama dengan yang lain.
6) Suami: setengah (1/2) bila tidak bersama dengan keturunan si mayyit dan
7) Istri: seperempat (1/4) bila tidak bersama keturunan simayyit dan seperdelapan (1/8) bila bersama keturunan si mayyit.34
Ahli Waris sewaktu-waktu bisa fardh dan ashobah yaitu:
8) Ayah
9) Kakek
Keduanya dapat mewarisi jalan fardh 1/6 ketika tidak ada keturunan si
mayyit. Namun, keduanya juga dapat mewarisi dengan cara ashabah, yakni ketika
mereka tidak bersama-sama keturunan simayyit secara mutlak.
Keduanya juga dapat mewarisi secara fardh dan tashib, secara bersama-sama dengan keturunan si mayyit. Dengan syarat sisa harta waris yang telah dibagikan kepada ashabul furudh lebih dari seperenam (1/6) bagian. Namun, jika sisa harta waris hanya seperenam (1/6) bagian itu. Demikian pula, jika sisa harta waris tidak mencapai seperenam (1/6) bagian. Jika kondinya demikian, asal masalahnya dinaikkan untuk menyempurnakan bagian seperenam (1/6). Tidak menutup kemungkinan, dalam satu kasus, harta waris telah habis di bagikan atau tidak tersisa sama sekali. Dalam kondisi ini, asal masalahnya di aulkan menjadi seperenam.35 Contoh:
Mewarisi hanya jalan fardh
Ayah 1/6
34
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 106.
35
Anak laki-laki sisa Mewarisi jalan Ashobah
Istri 1/4
Ayah Sisa
Mewarisi dengan jalan fardh dan tashib secara bersamaan
Anak perempuan 1/2 3
Ibu 1/6 1
Ayah 1/6 + sisa 1 secara fardh + 1 secara tashib = 2
Ahli waris yang mewarisi jalan fardh pada suatu ketika dan disaat lain mewarisi dengan jalan ashobah. Ahli waris semacam ini ada 4 orang yaitu:
10)Seorang anak perempuan atau lebih
11)Seorang cucu perempuan dari seorang keturunan laki- laki atau lebih 12)Seorang saudara perempuan sekandung atau lebih
13)Dan seorang saudara perempuan seayah atau lebih
Jika tidak, empat orang tadi disebut sebagai kelompok ahli waris yang mendapatkan bagian separuh (1/2) dan dua pertiga (2/3). Mereka dapat mewarisi harta peninggalan dengan jalan fardh, jika mereka tidak bersama ahli waris yang mengashobahkan mereka. Sedangkan bagian tetap mereka adalah adalah separoh (1/2) jika sendiri dan dua pertiga (2/3) jika bersama-sama. Mereka juga mendapatkan bagian hak waris secara lunak, jika terdapat ahli waris yang menyisakan untuk
mereka. Akan tetapi, mereka tidak menyatu dalam waris mewarisi secara fardh dan waris mewarisi secara tashib.36
Contoh waris mewarisi secara fardh
1 anak perempuan 1/2
Paman kandung sisa
Contoh waris mewarisi secara tashib
Istri 1/8
1 anak perempuan sisa
1 orang anak laki-laki sisa
b. Ahli Waris Ashabah
Kata ashabah merupakan jama’ dari tashib yang berarti kerabat seorang dari
pihak bapaknya. Dalam memberikan defenisi ashabah atau tashib pada hakikatnya ulama faraidh mempunyai kesamaan persepsi dan maksud, antar lain:
Sebagaimana dikemukakan Rifa’i Arief yang dikutip oleh Usman Suparman dan Yusuf Soawinata yaitu: “bagian yang tidak ditentukan dengan kadar tertentu seperti mengambil seluruh harta atau menerima seluruh harta atau menerima sisa setelah pembagian ashabul furudh”.37 Menurut Fathurrahman ashabah ialah: “ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah
36
Ibid, hal.101.
37
disepakati oleh seluruh fuqaha. Seperti ashabul furudh dan yang belum disepakati seperti dzawil arham”.38
Dalam kitab Matnur al-Ruhbiyyah ashabah adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya, yang telah disepakati oleh seluruh
fuqoha (seperti ashabul furudh) dan yang belum disepakati oleh mereka (seperti
dzawil arham) serta mereka mendapatkan sisa harta peninggalan setelah dikurangi bagian furudh.39
Sayid Sabiq membagi ashabah atas dua bagian, yakni ashabah nasabiyyah yaitu berdasarkan kekerabatan dan ashabah sababiyyah yaitu berdasarkan adanya sebab memerdekakan hamba sahaya. Mengenai ashabah nasabiyyah para ahli faraidh membaginya menjadi tiga bagian yaitu: Pertama, ashabah bil nafsi. Kedua, ashabah bil ghair. Ketiga, Ashabah ma’al ghair.40
Adapun rincian ashabah nasabiyyah sebagai berikut:
1) Ahabah bi an-Nafsi ialah tiap-tiap kerabat yang lelaki yang tidak diselangi
dalam hubungannya dengan yang meninggal oleh seorang wanita.41
Orang- orang yang menjadi ahli waris ashabah bi an-Nafsi berjumlah 12 orang. Yaitu: Anak laki, cucu laki dari anak laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki-laki-laki se ayah, anak laki-laki-laki-laki dari saudara laki-laki-laki-laki
38
Fathurrahman, Ilmu Waris, hal. 339.
39
Muhammad Sabatul al-Maridini, Sarhu al-Matnu al-Ruhbiyyah, hal. 23.
40
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Hal.432
41
sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman sekandung, Paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, anak laki-laki dari paman seayah, laki-laki yang memerdekakan budak, perempuan yang
memerdekakan budak.42
2) Ashabah bi al-Ghoir ialah tiap wanita yang mempunyai furudh tapi dalam
mawaris menerima ashabah, memerlukan orang lain dan dia bersekutu dengannya untuk menerima ashabah.43
Orang-orang yang menjadi ashabah bi al-Ghoir adalah sekelompok anak perempuan bersama seorang atau sekelompok anak laki-laki, dan seorang atau sekelompok saudara perempuan dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki, mana kala kelompok laki-laki tersebut menjadi waris ashabah bi an-Nafsi.44
3) Ashabah ma’a al-ghoir ialah tiap wanita yang memerlukan orang lain dalam
menerima ashabah, sedangkan orang lain itu bersekutu menerima ashabah tersebut.45
Adalah seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung maupun sebapak, yang mewaris bersama-sama dengan seorang atau
42
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh MawarisHukum Kewarisan Islam, hal. 75.
43
Ahmad Kuzari, Sistem Ashabah Dasar Pemindahan Hak Milik Atas Harta Tinggalan, hal. 92.
44
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh MawarisHukum Kewarisan Islam, hal. 77.
45
sekelompok anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-laki, atau bapak, serta tidak ada saudaranya yang laki-laki, yang menjadikannya sebagai ahli waris bil ghoir. Jadi saudara perempuan sekandung atau sebapak mempunyai tiga keadaan, yaitu sebagai penerima warisan secara fardh manakala tidak bersama-sama dengan saudara laki- lakinya sebagai ashabah bi ghoir manakala bersama dengan saudara laki-lakinya; dan sebagi ashabah ma’al ghair manakala bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki.46
c. Dzawil Arham
Semula istilah dzawil arham mempunyai arti yang luas, yakni mencakup
seluruh keluarga yang mempunyai hubungan kerabat dengan orang yang meninggal.47 Para Ulama faraidh memberikan definisi dzawil arham yaitu setiap kerabat yang bukan (tidak termasuk) ashabul furud dan bukan (tidak termasuk) golongan ashabah. Penyebutan ini dimaksudkan untuk membedakan orang-orang
yang termasuk dzawi al-arham dengan orang orang–orang yang termasuk ash-habul
furudh dan ashabah.48 Orang-orang yang kelompok dzawil arham antara lain:49
46
Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawaris FI al-Syari’ al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah Al-Bayyan al-Araby, 1958) hal. 102-103.
47
Usman Suparman dan Yusuf Somawinata, Fiqh MawarisHukum Kewarisan Islam, hal. 79..
48
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 339.
49
1) Cucu perempuan pancar perempuan dan seterusnya kebawah.
2) Cucu laki-laki pancar perempuan dan seterusnya kebawah
3) Anak perempuan saudara laki-laki sekandung dan seterusnya ke bawah
4) Anak perempuan saudara laki-laki sebapak dan seterusnya kebawah.
5) Anak laki-lakisaudara perempuan sekandung dan seterusnya kebawah.
6) Anak perempuan saudara perempuan sekandung da seterusnya kebawah
7) Anak laki-laki saudara perempuan sekandung dan seterusnya kebawah
8) Kakek dari pihak ibu dan seterusnya kebawah
Mengenai hak waris dzawil arham, para fuqaha masih berselisih pendapat. Sebagian mereka menyatakan bahwa dzawil arham sama sekali tidak dapat menerima warisan, dan sebagian lainnya menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, yakni mana kala tidak ada lagi golongan ashabul furudh dan ashabah, dzawil arham dapat
menerima warisan. Golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham sama sekali
tidak menerima warisan adalah, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab, Sufyan al-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i dan ibn hazm. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak ada hak waris bagi dzawil arham dan harta warisan tersebut diberikan ke Baitul Mal.50
50
Golongan yang menyatakan bahwa dzawil arham berhak menerima warisan adalah Ali, Ibn Mas’ud, Syuraih al-Qadhi, Ibnu Sirrin,’Atho’ Mujahid, Imam Abu Hanifah dan Imam Ibnu Hanbali.51