• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : RADD DALAM KEWARISAN

C. Konsep Radd Dalam Pandangan Ulama Beserta

Radd diberikan kepada Baitul Mal, tidak boleh diberikan kepada ashabu al- Furudh secara nasab maupun secara hukum.15

Contoh penyelesaiannya:

Jika ahli warisnya suami dan anak Harta peninggalan simati Rp 36.000.000.’ maka penyelesaiannya adalah:

Ahli waris bagian AM: 12

Suami 1/4 x 12 = 3.’ 3x 36.000.000 = Rp 9.000.000.’ 12

5 Anak perempuan 2/3 x 12 = 8.’ 8 x 36.000.000 = Rp 24.000.000.’ 11 12 Rp 33.000.000.’

36.000.000 – 33.000.000 = Rp 3.000.000.’ Sisa dari pembagian ini tidak boleh diberikan kepada ahli waris ashabul furud yaitu suami dan anak perempuan, akan tetapi diberikan kepada Baitul Mal.

Pendapat pengikut mazhab Syafi’i belakangan berbeda dengan Imam Syafi’i seperti:

a) Al-Mazani dan Ibnu Suraij. Berpendapat radd diberikan kepada ashabu al- Furudh secara nasab, tidak boleh diberikan kepada suami atau istri, walaupun baitul mal terorgansir dengan adil atau tidak.

15

Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala Mazahibul Arbaah, hal. 174.

b) Imam an-Nawawi, Ibnu Suraqah dan Imam al-Mawardi. Mereka berpendapat bahwa radd diberikan kepada ashabu al-Furudh secara nasab, kecuali suami atau istri dengan syarat baitul Mal tidak terorganisir dengan adil, jika terorganisir dengan adil, radd diberikan kepada Baitul Mal..16 2. Imam Ahmad bin Hanbali dan Imam Abu Hanifah

Mereka berpendapat bahwa sisa harta sesudah dibagikan kepada ashabul furudh diberikan kepada ashabul furudh senasab kecuali kepada suami atau istri, baik baitul mal terorganisir secara adil atau tidak, wajib diberikan kepada ash-habul furudh.17 Contoh:

Jika ahli warisnya terdiri dari istri, nenek dan dua orang saudari tunggal seibu, harta peninggalan simati sejumlah Rp 24.000.000,00. penyelesaiannya sebagai berikut: ahli waris Fardh/Porsi AM Harta waris

12 Rp 24.000.000. Istri 1/4 x 12 = 3; 3 x 24.000.000. = Rp 6.000.000. 12 Nenek shohih 1/6 x 12 = 2; 2 x 24.000.000 = Rp 4.000.000 12 2 sadri se ibu 1/3 x 12 = 4; 4 x 24.000.000 = Rp 8.000.000 + 12 Sisa Rp 6.000.000

Sisa lebih ini diberikan kepada nenek dan dua saudari seibu dengan jalan perbandingan. Perbandingan fardh nenek dengan 2 saudari = 1/6 : 1/3 = 1 : 2.

Jumlah perbandingan = 1 + 2 = 3 = Rp 6.000.000.’

16

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989) hal.358.

17

Tambahan untuk nenek 1/3 x 6.000.000 = 2.000.000.’ Tambahan untuk 2 saudari 2/3 x 6.000.000 = 4.000.000’

Jadi penerimaan nenek seluruhnya adalah Rp 4.000.000 + 2.000.000. = Rp 6.000.000.’

Jadi penerimaan 2 sdri se ibu seluruhnya Rp 8. 000.000 + 4.000.000 = Rp 12. 000.000.’

Istri tidak mendapatkan sisa harta, tetap mendapat Rp 6.000.000.’

D. Analisis Penulis.

Mengenai keberadaan radd para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ at-Tabiin, para Imam Mujtahid, bebeda pendapat tentang radd itu ada atau tidak, dan radd itu diberikan kepada ahli waris yang bagaimana.

Klasipikasi perbedaan ini adalah:

1. Zaid bin Tzabit, Urwah bin Zubeir, Sulaiman bin Yasar, Imam Syafi’i dan Imam Malik. Mereka berpendapat bahwa radd itu tidak ada walaupun ada wajib diberikan kepada Baitul Mal.

2. Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, Pengikut Mazhab Syafi,i, dan Maliki, Syiah Zayidiyyah dan Imamiyyah. Mereka berpendapat bahwa radd itu ada, diberikan kepada ahli waris ashabu al-furudh.

Mereka berbeda pendapat tentang ashabu al-Furudh yang bagimana boleh mendapatkan radd. Apakah ia ashabu al-furudh disebabkan senasab atau disebabkan hukum. Karena bila kita teliti kembali ashabu al-furudh itu adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’, mereka adalah: ibu, Nenek, Kakek dari jalur ibu, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, suami, istri, ayah, kakek, anak perempuan, cucu perempuan,saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah.

Disini para ulama menyatakan bahwa ashabu al-Furudh yang boleh diberikan radd adalah yang disebabkan senasab, suami atau istri tidak boleh mendapatkan radd, karena ia ashabu al-furudh yang disebabkan hukum. Berbeda dengan pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan bahwa pemberian radd diberikan kepada semua ashabu al-furudh tanpa memandang sebab, artinya suami atau istri tetap mendapat radd.

Bila kita teliti alasan yang dikemukakan para Ulama, baik yang menyatakan radd diberikan kepada Baitul Mal atau ashabu al-Furudh sama kuatnya, karena al- Qur’an maupun Hadist yang menjelaskan secara mendetail tidak ada, kecuali hanya interpretasi para Ulama Mujtahid untuk menentukan hukum. Seperti pendapat yang menyatakan radd diberikan kepada Baitul Mal, dalil yang dikemukakan adalah surah an-Nisa’ ayat 13-14 yang artinya bahwa hukum ALLAH tidak boleh melampaui batas yang sudah ditentukan dari bagian-bagian ahli waris. Tidak boleh menambahi atau mengurangi, ketika ditambahi, itu artinya melampaui ketentuan ALLAH, maka ketika ada radd diberikan kepada Baitul Mal, karena sudah menjadi hak orang islam.

Terus bila kita teliti dalil yang menyatakan radd diberikan kepada ashabu al- Furudh, surah al-Anfal ayat 75 yang artinya orng-orang yang mempunyai hubungan kerabat lebih berhak mengambil sisa harta waris, karena mengambil sisa bukan menambahi bagian yang telah ditetapkan ALLAH, namun karena ada sebab yang lain, seperti mewarisi disebabkan kekerabatan, pernikahan dan memerdekakan budak. Begitu juga radd bagi ashabu al-Furudh dikarenakan sebab, bukan karena menambahi ketentuan ALLAH.

Mengenai ketentuan suami atau istri mendapatkan radd atau tidak, disini para Ulama menyatakan alasan bahwa radd itu adalah hak para ahli waris yang mempunyai hubungan darah, bukan karena hubungan perkawinan. Tetapi Utsman bin Affan menyatakan tidak adil ketika aul, suami atau istri ikut menanggung beban atu mereka dikurangi, seharusnya ketika radd mereka dapat, artinya suami atau istri wajib mendapatkan radd.

Setelah penulis meneliti pendapat yang dikemukakan para Ulama, mengenai masalah radd. Kaitannya dengan konsep radd dalam hukum pasitif di Indonesia adalah mengenai orang yang berhak menerima radd, menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, radd wajib diberikan kepada baitul Mal. Tetapi pengikut mazhab Syafi’i, Maliki, Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah berpendapat radd diberikan kepada ashabu al-Furudh kecuali kepada suami atau istri. Didalam Kompilasi Hukum Islam mengikuti pendapat Utsman bin Affan yang menyatakan radd diberikan kepada semua ashabu al-Furudh sesuai nisbat masing-masing. Maka perbedaan yang

mendasar antara konsep Kompilasi Hukum Islam dengan konsep para Imam Mazhab adalah pemberian radd kepada suami atau istri.

Adapun mengenai pertentangan dalam fiqh klasik dan KHI, adalah kaitannya dengan teori kebolehan mengenai hukum Islam, dengan dua hal. pertama, berkaitan dengan kebolehan. Kedua, pengkompromian nilai dengan KHI.18

1.Kebolehan dalam KHI ada tiga hal:

a) Fiqh ikhtilaf di dalam KHI ditetapkan boleh contoh pasal 53 yang membolehkan perempuan hamil dengan laki-laki yang menghamilinya. b) Fiqh membolehkan sedang KHI melarang contoh pasal 40 dilarangnya

laki-laki kawin dengan wanita yang ahl kitab.

c) Fiqh boleh, KHI membatasi contoh pasal 55 tentang poligami.19 2.Pengkompromian Nilai

Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pula metedologi yang menguatkan nilai-nilai terutama antara Nash, syarat dan dengan hukum adat. Karena ada beberapa hal yang tidak ada dalam Nash, tetapi dalam realita masyarakat Indonesia ada dalam bentuk adat. Sehingga diambil jalan keluar dengan metode pengkompromian nilai seperti halnya anak angkat yang tidak terdapat dalam nash, sedang dalam masyarakat ada, maka diambil jalan keluarnya dengan wasiat wajibah. Demikian juga ahli

18

Basiq Djalil, Pernikahan LIntas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan KHI, (Jakarta: Qolbun Salim, 2005) Cet Ke-1. Hal. 184.

19

waris pengganti semua itu bagian dari kandungan maslahah mursalah dalam KHI yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia baik metode kebolehan ataupun pengkompromian nilai.20

Adapun mengenai radd ini, menurut penulis masuk dalam kategori fiqh ikhtilaf dalam KHI ditetapkan boleh. Menurut penulis yang paling tepat penerapan hukum radd di Indonesia, antara konsep Jumhur Mujtahid dengan Kompilasi hukum Islam adalah konsep yang ada dalam KHI, karena sesuai dengan kondisi social- Kultur Masyarakat dan realitas yang terjadi dimasyarakat, bahwa suami atau istri sangat berperan untuk mengumpulkan harta mereka saat hidup, mereka saling bantu untuk menunjang dalam mengumpulkan harta.

Walaupun mayoritas warga Negara Indonesia dalam masalah masalul fiqhiyyah mereka lebih condong menganut mazhab Syafi’iyyah. Dalam masalah radd mazhab syafi’iyyah tidak memberikan radd kepada suami atu istri sedangkan dalam KHI memberikan kepada suami atau istri, karena melihat dari maqosidyus syariah yaitu tujuan dibentuknya hukum untuk mendapatkan keadilan dalam masyarakat, yang sesuai dengan perkembangan kondisi social-kultur masyarakat, karena bahwasanya pertimbangan hukum bukan hanya pertimbangan Nash akan tetapi juga pertimbangan realitas. Dan juga hukum bisa berubah sesuai perubahan masa, keadaan, adat dan niyat selama hukum itu tidak qoth’i.

Kemudian menurut penulis ada cara lain untuk menyelesaikan radd, yaitu kita harus melihatnya secara studi kasus perkasus, karena tujuannya untuk mendapatkan

20

keadilan didalam masyarakat, salah satu contoh ketika istri tidak mau mengurusi suami ketika sakitnya yang berkepanjangan adalah saudari perempuan kandung, maka radd lebih dapat dirasakan keadilannya apabila diberikan kepada yang mengurusi suaminya, yaitu saudari perempuan kandung. Demikian pula apabila istri yang terus menerus mengurusi suami maka radd diberikan kepada istri. Justru harta itu sebenarnya hasil dari babak belurnya istri, sedang suami banyak menganggurnya, lalu apakah sisuami yang wafat itu dianggap harta suami oleh saudari perempuan kandung, kemudian radd diberikan kepada saudari perempuan kandung atau istri tidak dapat apa-apa dari radd. Oleh sebab itu penyelesaian masalah radd hakim harus melihat studi dilapangan untuk menemukan hukum dalam menyelesaikan masalah radd. Bisa saja masalah radd bisa diberikan kepada satu ashabu al-Furudh karena pertimbangan maqosidu al-Syariah.

Menurut penulis, penyelesaian masalah radd sebaiknya diberikan seluruhnya kepada suami atau istri, mengingat kondisi keduanya di Indonesia sangat rentan ketika salah satu dari keduanya meninggalkan yang lain. Karena harta yang mereka kumpulkan pada hakikatnya, hasil dari usaha berdua untuk mengumpulkan harta. Maka ketika ada pembagian waris suami atau istri, kadang tidak diperdulikan oleh ahli waris yang lain. Pemberian radd seluruhnya kepada suami atau istri dengan pertimbangn maqosidu al- Syariah.

A. Kesimpulan

Dari seluruh pembahasan yang dikemukakan di atas, penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan.

1. Perbedaan antara Fiqh Klasik dengan Kompilasi Hukum Islam tentang konsep radd adalah: Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris (radd) wajib diberikan kepada baitul mal. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, pengikut mazhab syafi’i dan Maliki, seperti Imam Ibnu suraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mazani, Ibnu Suraij, Imam al-Mawardi dan Imam an-Nawawi, berpendapat bahwa: radd itu diberikan kepada ahli waris ash-habu al-Furud kecuali kepada suami atau istri Alasan pengecualian ini dikarenakan keduanya bukanlah ahli waris nasabiyyah, Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam radd itu diberikan kepada semua ahli waris termasuk kepada suami atau istri. Adapun persamannya adalah: persamaan pendapat antara KHI dengan Utsman bin Affan tentang pemberian radd keseluruh ashabu al-Furudh termasuk kepada suami atau istri.

2. Pemberian radd kepada suami atau istri dalam Kompilasi Hukum Islam dengan pertimbangan ketentuan nilai-nilai hukum adat, maslah al-Mursalah, pertimbangan maqosidu al-Syariah yang sesuai dengan pertimbangan sosio-

kultur masyarakat, dan mengikuti pendapat Utsman bin Affan. Penetapan ini sebagai misi unifikasi hukum, untuk membentuk kepastian hukum di Indonesia.

3. Penerimaan radd bagi seluruh ashabu al-Furudh menurut Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan proporsi bagian yang diterimanya. Sedangkan menurut Fiqh Klasik sesuai dengan pendapat para Ulama bahwa sesuai dengan proporsi masing-masing.

4. Perkembangan sosio-kultur masyarakat Indonesia sekarang ini, suami atau istri sangan rentan terhadap ahli waris yang lain, ketika salah satu dari keduanya meninggal. Karena pada hakikatnya, harta waris hasil dari usaha berdua, maka ketika ada pembagian waris, suami atau istri kadang tidak diperdulikan oleh ahli waris yang lain. Sebaiknya pemberian radd diberikan seluruhnya kepada suami atau istri, dengan pertimbangan maslahah al- Mursalah dan maqosidu al-Syariah, karena radd bukanlah hukum qoth’i, artinya radd bisa berubah sesuai dengan perubahan masa, keadaan, adat dan niyat selama hukum itu tidak qoth’i.

B. Saran-Saran

Dari semua uraian diatas, penulis ingin mengemukakan beberapa saran yaitu: 1. Konsep radd yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam untuk dijelaskan

kepada masyarakat biar tidak terjadi kesalahan pahaman. Seperti melalui seminar, work shop, sekolah dan pondok pesantren.

2. Meskipun para ulama sepakat bahwa radd itu tidak boleh diberikan kepada suami atau istri, seharusnya dalam prakteknya mengikuti pendapat kompilasi Hukum Islam. Melalui penetapan yang dilakukan oleh pengadilan agama, atau fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia biar tidak terjadi persengketaan dan perdebetan hukum

3. Bagi hakim Peradilan Agama untuk mengetahui secara baik tentang konsep radd. Karena Hakimlah yang menentukan mana yang dipakai dalam kewarisan.

4. Sebaiknya pasal tentang radd yang ada dikompilasi Hukum Islam dirubah, dengan mempertegas kedudukan suami atau istri dalam mendapatkan radd. 5. Konsep Radd dalam pelajaran hukum waris agar dimasukkan dalam

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Radar Jaya Offset, 2007.

Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Sahih Bukhari, Berut: Daar al- Kutub al-Ilmiyyah, 2003. Juz 4, Cet Ke-2.

Sulaiman, Abi Daud, Sunan Abi Daud, Berut: Daar Ibnu Hizm, 1998. Khotib, Hasan Ahmad, Al-Fiqh Al-Muqaran, Mesir: Darul Ta'rif, 1957. Hasan, M Ali, Hukum Waris Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

Usman, Suparman dan Yusuf, Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,

Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002. Cet ke-2.

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Cet ke-4.

Ash-Shiddiqy, Tengku Muhammad Hasbi, Hukum mawaris Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Rahman, Fathurrahman, Ilmu Waris, Bandung: Al-Maarif, 1975. Cet ke-4.

Komite Fakultas Syariah Universitas Al- Azhar, Hukum Waris, Terj. H Addiyz Al- Dizar dan Fathurrahman, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004.

Syarifin, Pipin, Pengantar ilmu Hukum, Jakarta: Pustaka Setia, 1999.

Ali, Parman, Kewarisan Dalam Al-Qur’an Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Pustaka Setia, 1999.

Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993. Surmadi, A Sukris, Transidensi Keadilan Hukum Waris Islam Trans Formatif,

Jakarta: Raja Grafindo, 1997.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

Danim, Sudarwan, Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: Pustaka setia, 2002.

Kuzari, Akhmad, Sistem Ashobah Dasar Pemindahan Hak milik Atau Harta Peninggalan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

K Lubis, Suhrawardi dan Simanjuntak, Komis, Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, jakarta: Sinar Grapika, 1999.

Manan, Abdul, Etika Hakim Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam) Jakarta: Kencana, 2007.

Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2005. ______________ Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam Dalam Lingkungan Adat

Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Al-Hudhuri, Ahmad Kamil, al-Mawaris al-Islamiyyah, Mesir: Lajnatu at-Taqrib, 1966.

Al-Khotib, Muhammad al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Mesir: Musthafa al-Baby al- Halaby, 1958.

Al-Mardani, Muhammad Saba’atul, Syarhu Matnu al-Ruhbiyyah, Semarang: Usaha Keluarga, Tth.

Muhammad Ibnu Hasan al-Ruhby, Matnur Ruhbiyyah, Surabaya: Maktabah Saqofah, Tth.

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus arab-Indonesia, Surabaya: Pusat Progressif, 1997, Cet ke-14.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.

Abul Azmi, Abul Yazid Muhammad, Maqosidu al-Miraz Fi Douni Nususi al-Syariati Waqonuni al-Mawaris, Mesir, Hukmu Attabi’i Mahfuzatul Lilmuallif, 1999. Makhluf, Hasanain Muhammad, al-Mawaris Fi al-syariatil al-Islamiyyah, Kairo:

Lajnah al-Bayyan al-Araby, 1958.

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, Ttp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), jilid II.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, Jakarta: Tritamas, 1964, Cet ke-3.

Abdul Hamid, Muhammad Muhyidin, Ahkamul Mawaris Fi as-Syariati al- Islamiyyah ala Mazahibu al-Arba’ah, Berut: Maktabah al- Azriyyah, 1996. Djalil, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia Gemuruhnya Politik Hukum (Hukum

Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syariat Islam Aceh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

______, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarata, Qolbun Salim, 2005.

Qudamah, Ibnu, Al-Mughni, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, T.th

Al-Syafi’i, Muhammad Ibn Idris, Al-Umm, Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyyah, 1993, Juz IV.

Rusyd, Ibn, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayah al Maqtashid, Ttp: Maktabah al- Kulliyah al Azhariyyah, 1969. Juz II

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islam Wa adillatuhu, Damaskus: Daar al-Fikr, 1989. Jawad, Mughniyyah, Fiqh lima Mazhab, terj, Afif Muhammad, Jakarta: Basri Press,

1994.

Ghazali, Hasan Yusuf, Al-Miras Ala al-Mazahibu al-Arba’ah Dirasatan watatbiqon,

Ttp, Daar al-Fikr, 2003.

Ali, Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Universitas Islam Negeri

Dokumen terkait