BAB II. AJARAN KEBATINAN PANGESTU
B. Ajaran tentang Wahyu dan Iman dalam Kebatinan Pangestu
Dalam Kebatinan Jawa khususnya hal “wahyu pribadi” dengan aneka wujudnya merupakan salah satu pokok penting yang banyak digumuli. Sumber
ajaran yang disebut “piwulang” berasal dari penerangan batin guru yang menjadi pendiri aliran, yang didapatkannya melalui wahyu langsung dari Tuhan. Bagian
pertama, penulis akan membahas wahyu dari Tuhan dalam Pangestu yang dikenal
dengan wahyu Sasangka Jati dan bagian kedua akan membahas iman sebagai
jawaban untuk mendekat kepada Tuhan dengan syarat menjalankan ajaran dalam
kitab Sasangka Jati.
1. Wahyu Sasangka Jati dalam Pangestu
Dalam berbagai aliran Kebatinan dikenal beberapa wahyu sesuai dengan
pemberian nama alirannya masing-masing. Kebatinan Pangestu memberi
wahyunya dengan nama “Wahyu Sasangka Jati”. Telah dikisahkan bahwa penerima wahyu pertama adalah R. Soenarto.
Semua wahyu yang diterima oleh R. Soenarto dicatat dan dihimpun oleh
R. Tumenggung Harjoprakosa dan R. Sumodiharjo. Sabda yang diwahyukan
selama berbulan-bulan dan dihimpunnya menjadi Kitab Sasangka Jati (Jiwa
Sejati). Menurut Harjoprakosa, kitab Sasangka Jati harus dibedakan dengan
dengan Wahyu Kristus atau Wahyu Ilahi. Dalam ajaran Kebatinan Pangestu,
Wahyu adalah suatu hal yang diberikan oleh yang Maha Esa kepada manusia
terpilih, setelah melampaui ujian-ujian yang berat. Wahyu tidak memiliki sebuah
wujud. Datangnya wahyu tidak sekaligus tiba-tiba, namun secara berangsur-
angsur sedikit demi sedikit, yang berati bahwa derajat Sasangka Jati itu didekati
selangkah demi selangkah melalui waktu yang lama. Wahyu ada dan tumbuh
dalam jiwa manusia terpilih. Wahyu itu anugrah bagi derajat kejiwaannya yang
tinggi. Wahyu tidak berbentuk atau berupa apa-apa. Wahyu merupakan suatu
derajat kejiwaan, pepadang (terang), Suksma Sejati, kesadaran hidup. Sebenarnya
tidak ditentukan siapa yang bisa menerima wahyu Sasangka Jati, yang
menentukan adalah cara atau jalan untuk mendapatkan wahyu yang terdapat
dalam kitab Sasangka Jati (Hardjoprakoso, 2010: 7-8).
2. Iman dalam Pangestu
Iman dalam ajaran Kebatinan Pangestu dirumuskan dengan gambaran
bahwa seorang beriman bersedia mendekati Tuhan dengan jalan menerima dan
melaksanakan ajaran Sang Guru Sejati yang yang terkandung dalam kitab
Sasangka Jati. Terbentuknya iman karena manusia menanggapi wahyu Sasangka
Jati dengan mengimani dan melaksanakannya.
Ajaran Sang Guru Sejati yang terkandung dalam kitab Sasangka Jati
adalah sebagai berikut: (a) Hasta Sila, (b) Paliwara (larangan-larangan), (c)
Gumelaring Dumadi (terbentangnya alam semesta), (d) Tunggal Sabda (satu
tujuan), (h) Panembahan (pemujaan). Yang akan dipaparkan secara singkat
sebagai berikut (Suwarno, 2005: 297-300):
a. Hasta Sila
Ajaran hasta sila atau panembahan batin delapan sila, sebagai jalan untuk
kembali bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, dibagi menjadi dua bagian, yakni
Tri Sila dan Panca Sila. Tri Sila adalah panembahan hati dan cipta kepada Tuhan
Yang Maha Tunggal. Tri Sila terdiri atas: sadar (Eling), percaya (Piandel), dan
taat (Mituhu). Panca sila atau lima watak utama, terdiri dari: rela, narima,
jujur,sabar, dan budi luhur. b. Paliwara
Paliwara adalah pokok larangan Tuhan kepada manusia. Pokok larangan
ada lima macam, yaitu:
1) Jangan menyembah selain kepada Allah.
2) Berhati-hatilah dalam hal syahwat.
3) Jangan makan atau mempergunakan makanan yang memudahkan rusaknya
badan jasmani.
4) Taatilah undang-undang negara dan peraturannya.
5) Jangan berselisih.
c. Gumelaring Dumadi
Gumelaring Dumadi berisi penjelasan tentang terjadinya dunia besar atau
seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, para dewa dan makluk halus seperti
jin, setan.
d. Tunggal Sabda
Tunggal Sabda mengandung arti bahwa baik Kitab Suci Al-quran, maupun
Kitab Suci Injil, demikian juga kitab Sasangka Jati, ketiga-tiganya merupakan
sabda tunggal atau tunggal sabda, dalam arti sama-sama sabda dari Tuhan Allah.
Islam dan Kristen adalah agama besar, keduanya mempunyai nabi dan rasul, yaitu
Nabi Muhammad dan Nabi Isa. Sementara itu Pangestu menyatakan diri bukan
agama dan tidak akan mendirikan agama baru. Pangestu juga tidak mempunyai
nabi dan rasul yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Sementara R. Sunarto
sendiri mengaku hanya sebagai “siswa” Suksma Sejati dan menyebut dirinya
hanya sebagai warana (perantara ) sabda.
e. Jalan Rahayu
Jalan rahayu berarti jalan selamat, yaitu jalan utama untuk mencapai makna
petunjuk dalam hasta sila, terdiri dari lima ajaran sebagai berikut:
1) Pahugeran Tuhan kepada hamba, sebagai dasar kepercayaan.
2) Panembahan sebagai sarana untuk memperkuat kebaktian kepada Tuhan.
3) Budi darma sebagai wujud kasih sayang kepada hidup.
4) Mengekang hawa nafsu.
f. Sangkan Paran
Sangkan Paran mengandung arti dari mana asal mulanya dan kemana
tujuanya. Sangkan paraning ngaurip, mengandung arti dari mana asalnya dan
kemana tujuan hidupnya. Sangkan paran berisi lima ajaran sebagai berikut:
1) Kembalinya jiwa ke asal mulanya, jika tiba saatnya hamba dipanggil ke
hadirat Tuhan.
2) Sebab-sebab yang merintangi kembalinya jiwa ke asal mulanya, karena
melanggar larangan Tuhan.
3) Pahala dan pidana Tuhan
4) Datangnya pembalasan dan pidana Tuhan.
5) Datangnya pembalasan bagi perbuatan buruk yang belum dibebaskan melalui
pertobatan.
g. Panembahan Tiga Tingkat
1) Panembah raga kepada Roh suci adalah tingkatan panembah bagi jiwa yang
masih muda. Pada tingkatan ini Roh suci berupaya menundukkan empat
nafsu, yakni: lawwamah, amarah, sufiah, dan mutmainah.
2) Panembah Roh suci kepada Suksma Sejati, adalah tingkatan penembah bagi
jiwa yang telah dewasa, karena roh suci telah berhasil menundukkan hawa
nafsunya. Pada tingkatan ini Roh Suci berupaya taat kepada suksma sejati.
3) Panembah Suksma Sejati kepada Suksma Kawekas adalah tingkatan
panembah bagi jiwa yang telah luhur budinya. Panembah pada tingkat ini
Melalui penyucian jiwa, penjernihan batin, lewat olah rasa, maka di
sanalah wahyu mendapat tempatnya. Iman merupakan sebuah pertemuan atau
perjumpaan manusia kepada Allah dan manusia memberikan diri kepada Allah
sepenuhnya dengan menjalankan ajaran yang menjadi syarat untuk menjadi siswa
Sang Guru Sejati. Selain itu Pangestu juga terbuka untuk belajar sari-sari
kehidupan dari sastra jawa, seperti kisah Dewa Ruci dalam buku pegangan wajib
Pangestu, digunakan untuk penggambaran kehidupan manusia (Soemantri, 2011:
22).