KAJIAN PUSTAKA DAN TINJAUN TEORI A. Landasan Teori
1) Akhlak manusia kepada Allah
Pada dasarnya, akhlak manusia kepada Allah itu adalah hendaknya manusia itu: beriman kepada Allah, beribadah atau mengabdi kepada-nya dengan tulus ikhlas.33 Manusia sebagai hamba Allah sepantasnya mempunyai akhlak yang baik kepada Allah. Hanya Allah–lah yang patut disembah. Selama hidup, apa saja yang diterima dari Allah sungguh tidak dapat dihitung.
Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nahl/16: 18
نوَإِ
ۡ
َۡثٍَ ػُِۡ ْاوُّدُػَت ٱ
ِۡ َّللّ
ۡ َّنِإۡٓۗ ٓأَْ ُص ُتُۡ َلَ ۡ ٱ
َۡ َّللّ
ًۡٞيِحَّرۡٞرُٔفَغَى ۡ ١٨
ۡ
ۡ
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Jika kalian berusaha menghitung nikmat yang dikaruniakan Allah, niscaya kalian tidak akan dapat melakukannya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka bertobatlah kepada-Nya dan sembahlah Dia, niscaya Allah akan mengampuni dan mengasihi kalian.34
Beriman kepada Allah artinya mengakui, mempercayai, meyakini bahwa Allah itu ada, dan bersifat dengan segala sifat yang baik dan maha suci dari sifat yang tercela. Tetapi Iman kepada Allah, tidak hanya sekedar mempercayai akan adanya Allah saja, melainkan sekaligus diikuti juga dengan beribadah atau mengabdi kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari, yang manifesnya berupa mengamalkannya segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Dan ini semua dikerjakan dengan tulus ikhlas terhadap qodho dan qodar Allah serta taubat dan bersyukur kepada Allah.35
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai
33 Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1984, hal. 20
34 Muhammad Quraisy Shihab, Tafsir Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hal. 203
35 Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, hal. 22
makhluk dan Allah sebagai khalik. Berkenaan dengan akhlak kepada Allah dilakukan dengan cara memuji-Nya, yakni menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang menguasai dirinya. Oleh sebab itu, manusia sebagai hamba Allah mempunyai cara-cara yang tepat untuk mendekatkan diri.
Caranya adalah sebagai berikut:36 a) Mentauhidkan Allah.
Yaitu dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Seperti yang digambarkan dalam Al-Qur‟an surat al-Ikhlas/114: 1-4
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, yakni Dialah Tuhan Yang Satu, Yang Esa, Yang tiada tandingan-Nya, tiada pembantu-Nya, tiada lawan-Nya, tiada yang serupa dengan-Nya, dan tiada yang setara dengan-Nya.
Bergantung kepada-Nya semua makhluk dalam kebutuhan dan sarana mereka. Dia tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak mempunyai istri.37
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Satu, Yang Esa, yang tidak ada tandingan-Nya.
Manusia diperintahkan beribadah hanya kepada-Nya. Dia tidak beranak tidak pula diperanakkan.
b) Bertaqwa kepada Allah.
Yaitu berusaha dengan semaksimal mungkin untuk dapat melaksanakan apa-apa yang telah Allah perintahkan
36 Abdullah Yatimin, Study Akhlak dalam Perspektif Al-Qur‟an, Jakarta: Amzah, 2007, hal. 202
37 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, juz 30, Beirut: al-Maktabah al-„Ashriyah, 2000, hal. 574
dan meninggalkan apa-apa yang dilarang-Nya.
Sebagaimana Allah tegaskan dalam surat Ali Imran/3: 102
آَُّح َ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, yaitu dengan taat kepada-Nya dan tidak maksiat terhadapnya, selalu mengingat-Nya dan tidak lupa kepada-Nya, selalu bersyukur kepada-Nya dan tidak ingkar terhadap nikmat-Nya.38
Ayat di atas menjelaskan agar selalu bertakwa kepada Allah dimanapun berada dan jangan sampai meninggal kecuali dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya.
c) Beribadah kepada Allah.
Allah berfirman dalam surat al-An‟am/6: 162
ۡ وُك
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa Allah Ta‟ala memerintahkan kepada Nabi Shallallahu‟alaihi wasallam untuk memberitakan kepada orang-orang musyrik penyembah selain Allah dan kalau menyembelih hewan bukan menyebut nama Allah, bahwa dia (Nabi Shallallahu‟alaihi wasallam) berbeda dengan mereka dalam hal tersebut. Karena sesungguhnya salatnya
38 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, jilid IV, hal. 102
hanyalah untuk Allah, dan ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah, tiada sekutu bagi-Nya.39
Ayat yang mulia di atas menjelaskan bahwa seluruh aktivitas ibadah ditujukan hanya kepada Allah saja. Ibadah salat, puasa, haji, kurban, hidup dan mati hanya untuk Allah semata.
d) Taubat.
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang tabiat manusia. Oleh karena itu, ketika kita sedang terjerumus dalam kelupaan sehingga berbuat kemaksiatan, hendaklah segera bertaubat kepada-Nya. Hal ini dijelaskan dalam surat Ali Imran/3: 135
َۡوٱ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, yakni apabila mereka melakukan suatu dosa, maka mereka mengiringinya dengan tobat dan istigfar (memohon ampun kepada Allah).40
Ayat di atas menjelaskan bahwa segara bertaubat adalah cara yang tepat untuk kembali kepada Allah. Karena manusia selalu jatuh dalam kesalahan, perbuatan dosa dan maksiat.
e) Membaca Al-Qur‟an.
39 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, jilid VIII, hal. 340
40 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, jilid IV, hal. 137
Sesorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan seorang mukmin yang mencintai Allah, tentulah ia akan selalu menyebut asma-Nya dan juga akan senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Allah berfirman dalam surat Fathir/35: 29-30 Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa Allah Ta‟ala telah menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu orang-orang yang membaca Kitab-Nya dan beriman kepadanya serta mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya, antara lain mendirikan salat dan menginfakkan sebagian dari apa yang diberikan oleh Allah kepada mereka di waktu-waktu yang telah ditetapkan, baik malam ataupun siang hari, baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.41
Ayat di atas menjelaskan keutamaan yang begitu banyak yang akan didapatkan bagi orang-orang yang selalu membaca Al-Qur‟an. Membaca Al-Qur‟an merupakan
41 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, juz 22, hal. 611
kewajiban seorang mukmin yang dengannya ia akan mendapatkan ganjaran, perniagaan serta ketenangan jiwa.
f) Ikhlas.
Ikhlas yaitu beramal semata-mata mengharapkan ridha Allah atau berbuat tanpa pamrih, hanya semata-mata karena Allah. Sebagaimana Allah sebutkan dalam surat al-Bayyinah/98: 5
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa Allah telah memerintahkan kepada mereka agar memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus yaitu melepaskan kemusyrikan menuju kepada tauhid.42
Ayat di atas menegaskan bahwa kertika seseorang beribadah hendaklah ia memurnikan atau mengikhlaskan ibadah tersebut semata-mata karena Allah bukan karena yang lainnya.
g) Tawakkal.
Tawakkal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan segala keputusannya kepada-Nya. Allah berfirman dalam surat Hud/11: 123 Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.
42 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-„Adhim, juz 30, hal. 517
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, Allah Ta‟ala menyebutkan bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang gaib yang terdapat di langit dan di bumi, dan hanya kepada-Nyalah semuanya akan dikembalikan. Lalu Dia akan memberikan kepada setiap orang apa yang diamalkannya selama di dunia kelak pada hari perhitungan amal perbuatan. Dan hanya milik Dialah semua makhluk serta semua urusan. Allah telah memerintahkan agar diri-Nya disembah dan sebagai sandaran untuk bertawakal, karena sesungguhnya Dia akan memberikan kecukupan kepada siapa yang bertawakal dan kembali kepada-Nya.43
Tawakkal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal. Tidaklah dinamai tawakkal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa.