• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum dalam Bidang Politik untuk Hak Dipilih

AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 011-017/PUU-I/2003 TERHADAP WARGA NEGARA

4.1 Pertimbangan dan Analisis Hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003

4.2.2 Akibat Hukum dalam Bidang Politik untuk Hak Dipilih

Bahwa pada prinsipnya pendapat dari para Hakim Konstitusi yang kemudian dituangkan dalam putusan pada permohonan uji materiil (judicial review) tersebut sangat tepat. Bahwa secara tersurat dan tegas tanpa harus ada interpretasi gramatikal dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Dengan masih tetapnya ketentuan Pasal 60 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, akhirnya warga negara yang hak konstitusionalnya dibatasi mengajukan perrmohonan uji material (judicial review) terhadap ketentuan tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Meskipun secara praktis Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 sudah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51) yang telah disahkan pada tanggal 31 Maret 2008, namun sebagai dasar pembelajaran untuk menghadapi permasalahan yang sama kiranya diperlukan klarifakasi.

Ketegasan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly Ashiddiqie mengandung pengertian adanya pemahaman substansial sebagai berikut:

a. Pengakuan terhadap supremasi hukum dan konstitusi.

b. Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

c. Adanya jaminan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

d. Adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum.

e. Menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan

wewenang oleh pihak yang berkuasa.94

Dalam perspektif ini, dapat dipahami bahwa esensi negara hukum seperti diungkapkan oleh Frans Magnis Suseno adalah “…didasarkan pada suatu keinginan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang

94Jimly Asshiddiqie, 1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

baik dan adil. Hukum menjadi landasan dari segenap tindakan negara, dan hukum itu sendiri harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari hukum dan adil karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan. Ada empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum: 1) kepastian hukum; 2) tuntutan perlakuan yang sama; 3) legitimasi demokratis; dan 4)

tuntutan akal budi”.95

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam kerangka untuk memenuhi unsur-unsur agar disebut sebagai negara hukum, khususnya dalam pengertian Rechtsstaat, Freidrich Julius Stahl mensyaratkan beberapa prinsip yang meliputi:

a. Perlindungan hak asasi manusia (grondrechten). b. Pembagian kekuasaan (scheiding van machten).

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur). d. Adanya peradilan administrasi Tata Usaha Negara (administratieve

rechspraak).96

Dalam perspektif ini kiranya dapat dimaknai, bahwa dalam suatu negara

hukum, salah satu pilar terpentingnya adalah adanya penghormatan,

pemenuhan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Pada kalimat

95Frans Magnis Suseno, 1999, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Jakarta, Gramedia, Hlm. 295.

96Philipus M. Hadjon, 1988, Pengkajian Ilmu Hukum, Surabaya, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Hlm. 23.

sederhana hal tersebut dipandang sebagai roh dari negara hukum. Tanpa adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), maka negara hukum itu kehilangan roh yang berarti tidak ada maknanya. Dengan demikian ada keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan antara negara hukum, perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.

Perlindungan terhadap hak asasi manusia dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting bagi

suatu negara hukum yang demokratis.97 Makna substansialnya bahwa setiap

manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi.

Dalam kaitan ini, terbentuknya negara, termasuk penyelenggaraan kekuasaan suatu negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak asasi manusia. Penyelenggaraan pemerintahan negara yang mengurangi makna jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dipandang melanggar hak asasi manusia dan menjadi refleksi dari sistem pemerintahan yang otoriter dan keluar dari prinsip negara hukum.

Sebagaimana dikemukakan oleh A.V. Dicey tentang prinsip negara hukum ditekankan bahwa isi konstitusi suatu negara yang menganut negara hukum (rule of law) harus mengikuti perumusan hak-hak dasar (constitution based on

human rights), selain prinsip supremasi hukum (the supremacy of law), dan

persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before the law).98

Sehubungan dengan hal di atas, bahwa menjadi kewajiban negara di dalam mempromosikan penghormatan, pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal ini mengingat pada dasarnya negara dibentuk untuk menjamin pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Inilah yang menjadi tujuan pokok dan utama dibentuknya negara, yaitu menghormati, memenuhi, dan melindungi,hak asasi manusia.

Konsep tujuan negara ini diusung oleh John Locke yang menyatakan bahwa negara ada dan dibentuk oleh manusia semata-mata untuk menjamin perlindungan hak-hak milik manusia, yakni kehidupannya, kebebasannya, dan hak miliknya. Hak-hak milik yang melekat pada manusia inilah yang kemudian diartikan sebagai hak asasi manusia karena hak tersebut memang dimiliki oleh manusia sejak lahir.99

Pemikiran di atas menjadi dasar pemikiran Locke mengenai kaitan antara hak-hak manusia dengan negara. Inilah yang menjadi pokok utama pemikiran Locke mengenai kaitan antara hak-hak manusia dengan negara. Negara ada melalui perjanjian di antara manusia untuk menjaga hak-hak manusia itu. Selain menjadi tujuan, hal ini juga menjadi dasar dari adanya negara. Oleh sebab itu, the

98 Miriam Budiardjo, . 2013, Op.Cit., Hlm. 113-14.

99Kajian mengenai hal ini dilakukan oleh para pakar Hukum Tata Negara, yang selalu mengaitkan hak-hak dasar warga negara yang kemudian dikenal dengan hak asasi manusia sebagai pilar penting dalam kehidupan bernegara.

preservation of human’s property ini merupakan raison d’etre dari negara;100

Sebagai refleksi dari prinsip negara hukum dari A.V. Dicey juga ditegaskan

oleh Eric Barendt. Menurut Barendt bahwa karakteristik dari dokumen konstitusi, terutama adalah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Selain keharusan untuk memberikan batasan pada kekuasaan legislatif dan

eksekutif serta mendorong penguatan dan independensi institusi peradilan.101

Pada refleksi hubungan antara negara hukum dan hak asasi manusia ini menjadi substansi dari negara hukum juga dikatakan oleh Brian Z. Tamanaha. Tamanaha sebagai dikutip Herqutanto Sosronegooro menyatakan bahwa substansi dari the rule of law adalah pada pemenuhan hak asasi manusia. Hak individu, hak atas keadilan dan tindakan yang bermartabat serta pemenuhan kesejahteraan sosial menjadi inti dari the rule of law. Sedangkan penyelenggaraan pemerintahan dan demokrasi adalah instrumen atau prosedur untuk mencapai

kesejahteraan yang menjadi substansi.102

Bagi Negara Republik Indonesia yang didasarkan pada prinsip negara

konstitusionalisme,103 dengan tegas dinyatakan Indonesia adalah negara dengan

100Ibid., Hlm. 92.

101Herqutanto Sosronegoro, 1984, Beberapa Ideologi dan Implementasinya dalam

Kehidupan Kenegaraan, Yogyakarta, Liberty, Hlm. 89.

102Herqutanto, 1984, Ibid. Hlm. 92.

103Konstitusionalisme merujuk pada prinsip bahwa negara yang menggunakan Konstitusi sebagai hukum dasarnya disebut dengan negara konstitusionalisme. Namun pada Abad Pertengahan, konstitusionalisme merupakan satu aliran sebagai bentuk koreksi terhadap negara absolutisme. Lihat dalam Joseph Raz, 1980, The Concept of a Legal System: An Introduction to

dasar konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, pengertian negara hukum Indonesia yang berdasar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia T a h u n 1945 dan Pancasila, berbeda dengan pengertian negara hukum dalam kerangka rechtsstaat seperti yang berlaku di Belanda, namun lebih mendekati negara

hukum dalam pengertian rule of law.104

Secara konseptual sumber dari rechtsstaat pada satu sisi dan the rule of law pada sisi lain memang berbeda. Rechtsstaat bersumber pada tradisi hukum Eropa Kontinental, sedangkan the rule of law bersumber pada tradisi hukum Anglo Amerika.

Berkaitan dengan hal di atas, Moh. Mahfud MD memberikan pendapat yang senada dengan Simorangkir. S e l a n j u t n y a , M o h . Mahfud MD mengatakan bahwa penggunaan istilah rechtsstaat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sangat berorientasi pada konsepsi negara hukum Eropa Kontinental. Namun demikian, bilamana melihat materi muatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 justru yang terlihat kental adalah materi yang bernuansakan Anglo Saxon, khususnya ketentuan yang

mengatur tentang jaminan perlindungan terhadap hak asasi manausia.105

Dalam perspektif yang sama, menurut Kusumadi Pudjosewojo

104Rechtsstaat muncul pada tradisi hukum Eropa Kontinental. Sementara itu, The Rule of Law

muncul pada tradisi hukum Anglo Saxon atau Anglo Amerika.

105Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta, Gama Media, Hlm. 36.

sebagaimana dikutif Ni’matul Huda106

dikarenakan Indonesia adalah negara hukum, maka segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara harus pula berdasarkan dan diatur oleh hukum. Penguasa bukanlah pembentuk hukum, melainkan pembentuk aturan-aturan hukum. Oleh sebab itu hukum berlaku bukan karena ditetapkan oleh penguasa, akan tetapi karena hukum itu sendiri. Hal ini membawa konsekuensi, bahwa penguasa pun dapat dimintai pertanggungjawaban jika dalam menjalankan kekuasaannya melampaui

batas-batas yang telah diatur oleh hukum, atau melakukan perbuatan melawan hukum.107

Berdasarkan uraian tersebut, pada prinsipnya pembatasan untuk berperan serta sebagai calon dalam pencalonan jabatan publik dengan menggunakan hak dipilih, khususnya Presiden dan Wakil Presiden harusnya juga mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tersebut. Peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang membatasi pencalonan dimaksud merupakan pembatasan terhadap hak dipilih. Tindakan pembatasan tersebut merupakan tindakan diskriminasi.

Interprertasi demikian merupakan perwujudan negara hukum yang menekankan pada tidak adanya diskriminasi. Semua orang berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua). Secara khusus adalah hak

106Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta,. UII Press, Hlm. 79.

untuk dicalonkan dan terbebas dari perlakuan diskriminasi. Hal ini yang menjadi dasar dari pencabutan yang secara normatif terkandung dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 sebagaiman diuraikan pada bagian terdahulu.