• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV AKIBAT HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA

A. Akibat Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam

Ada sejumlah akibat hukum yang ditimbulkan dalam menikahi wanita hamil karena zina menurut Hukum Islam, yaitu:

1. Hubungan Nasab

Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yang sah.118Dalam istilah fikih, nasab berarti keturunan, ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena pertalian darah atau keturunan, yaitu anak laki/perempuan), ayah, ibu, kakek, nenek, cucu (laki-laki/perempuan), saudara (laki-laki/perempuan) dan lain sebagainya. 119 Dalam Alquran, kata nasab juga diartikan dengan keturunan dan hubungan kekeluargaan.120Sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al Furqan: 54)

Menikahi wanita hamil karena zina memiliki dampak pada status hubungan nasab anak yang dilahirkan tersebut. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, hubungan

118 Memed Humaedillah, Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya, cet. I, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2002), hlm. 44.

119M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah (eds), Kamus Istilah Fiqih, cet. I, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 243.

120M. Shodiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1991), hlm. 242

nasab dari anak yang lahir dari pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan pria yang menzinainya, terlebih dahulu harus dilihat dari jarak usia anak yang lahir tersebut dengan dengan waktu akad pernikahan. Seandainya anak yang lahir setelah masa 6 (enam) bulan dari waktu pelaksanaan akad perkawinan, maka ditetapkan nasab anak tersebut kepada suami. Namun demikian, jika anak yang lahir setelah kurang dari 6 (enam) bulan dari masa akad perkawinan, maka tidak ditetapkan nasab kepada suami, kecuali jika dia mengatakan bahwa sesungguhnya anak ini adalah anaknya. Selanjutnya, dia tidak mengatakan dengan jelas bahwa anak tersebut lahir akibat hubungan zina. Atas dasar tersebut, pengakuan ini ditetapkan nasab anak kepadanya, karena ada kemungkinan terjadinya akad pernikahan yang telah dilakukan terlebih dahulu atau terjadinya hubungan badan secara syubhat, untuk menjaga kebaikan orang Islam dan menutup keburukan.121

Menurut Hukum Islam, mayoritas para ulama berpendapat bahwa anak hasil zina tidak bisa dinasabkan kepada ayah zinanya. Anak zina hanya dinasabkan kepada keluarga dari pihak ibunya saja.122Anak zina dalam hal ini adalah anak yang lahir di luar perkawinan atau pernikahan yang sah. Dengan demikian, jika anak di luar nikah adalah anak perempuan dan ketika beranjak dewasa akan melangsungkan perkawinan, maka anak perempuan tersebut tidak berhak untuk dinikahkan atau diwakilkan oleh bapaknya sendiri yang telah mencampuri ibunya secara tidak sah, karena hubungan nasab dengan bapak tersebut telah terputus.123Dalam mengatasi hal ini, maka mempelai perempuan dapat menggunakan wali hakim sebagai wali nikahnya (tahkim).

121Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 9 , terjemahan, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 144-146.

122Ahmad Rofiq, Fikih Mawaris, cet. ke-1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 129.

123A. Zuhdi Muhdhar, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, dan Perkawinan, (Bandung: Al-Bayan, 1994), hlm. 48.

Hal tersebut telah dijelaskan ketentuannya di dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 100-102 sebagai berikut :

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an. Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

Walaupun dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 53 ayat 3, telah disebutkan bahwa “Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan lagi perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.”

Di samping itu, Hukum Islam juga menetapkan anak di luar perkawinan adalah :

1. Anak mula’anah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-li’an oleh suaminya. Kedudukan anak mula’anah ini hukumnya sama saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-li’an, tetapi mengikuti nasab ibunya yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap kewarisan, perkawinan dan lain-lain.

2. Anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya.124

Hubungan nasab antara anak zina (luar nikah) dengan ayahnya tidak ditentukan oleh sebab alamiah seperti pada ibu anak tersebut, tetapi hubungan tersebut disebabkan oleh hukum. Artinya, telah berlangsung hubungan akad nikah yang sah atau tidak, sehingga sah tidaknya suatu hubungan akan menentuan apakah

124 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 83.

anak mempuyai hak-haknya selaku anak kepada ayahnya ataupun tidak.125Menurut Fathur Raman, anak zina atau anak luar nikah tidak mempunyai hubungan nasab dan secara sempit tidak mempunyai hubungan saling mewarisi dengan bapak dan keluarga bapaknya.126

Tidak adanya hubungan nasab dari anak zina dengan ayah biologisnya memberikan makna bahwa nasab merupakan hal penting dalam menopang berdirinya sebuah keluarga, karena kejelaan nasab akan mengikatkan hubungan antar anggota keluarga dengan pertalian darah. Begitu pentingnya sebuah nasab, sehingga nasab menjadi salah satu dari lima prinsip dari tujuan pensyariatan hukum Islam (maqashid syari’ah).127

Dalam pandangan Wahbah Zuhaili, nasab seorang anak terhadap ibunya tetap dapat diakui dari setiap sisi kelahiran, baik yang syar’i maupun tidak. Sementara nasab seorang anak dengan ayahnya, hanya dapat diakui melalui adanya ikatan nikah yang shahih atau fasid, atau wathi’ syubhat (persetubuhan yang samar status hukumnya), atau pengakuan nasab itu sendiri. Dalam Islam diistilahkan dengan istilhaq, pengakuan terhadap seorang anak. Wahbah Zuhaili juga menyebutkan bahwa Islam telah menghapus hukum adat yang berlaku pada zaman jahiliah terhadap nasab anak zina. Pandangan hukum ini berasal dari nash Hadits berikut ini:

125 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, cet. 3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 148-149.

126Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. 10, (Yogyakarta: PT Al-Ma’arif Bandung, 1971), hlm.

594.

127Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Waadillatuhu; Hak-hak Anak, Wasiat, Wakaf dan Warisan, (terj: Abdul Hayyie Al-Kattani), jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 37.

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin Hujr dan Hannad mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Ayyasy; telah menceritakan kepada kami Syurahbil bin Muslim Al Khaulani dari Abu Umamah Al Bahili dia berkata; aku mendengar Rasulullah SAW bersabda di dalam khutbahnya pada saat haji wada': "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak apa yang menjadi haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris. Nasab seorang anak adalah untuk bapaknya. Untuk seorang pezina, maka baginya adalah batu (dirajam) dan adapun hisabnya diserahkan kepada Allah. Dan barangsiapa yang menasabkan dirinya kepada selain bapaknya, atau berwali kepada selain walinya, maka laknat Allah akan tertimpa atasnya hingga datangnya hari kiamat.” (HR. Jama’ah)128

Berdasarkan hadits ini, Zuhaili menyatakan bahwa anak zina tidak layak mempunyai nasab dengan ayahnya. Dampak dari nasab tersebut sangatlah besar, karena nasab merupakan bagian dari hukum dan sekaligus sebagai sebab adanya keterkaitan kekerabatan. Adanya hubungan kekerabatan ini akan berdampak pada pemenuhan hak-hak atau kewajiban, mulai dari pemenuhan hak nafkah, hak perwalian, sampai pada hak kewarisan.

Secara lebih rinci, hubungan nasab seorang anak, menurut Wahbah Zuhaili, dapat ditentukan dari tiga cara. Pertama, pernikahan yang sah, yaitu hubungan nasab seorang anak ditentukan dari keabsahan pernikahan orang tuanya. Hubungan perkawinan merupakan awal dari adanya hubungan nasab bagi anak keturunan dan semua imam mazhab sepakat tentang hal ini. Menurut Abdul Azim bin Badawi Al-Khalafi, hubungan darah pada dasarnya harus diawali dari suatu hubungan atau akad yang sah menurut Hukum Islam.129

128Ibid.

129 Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz, (terj: Ma’ruf Abdul Jalil), (Jakarta:

Pustaka As-Sunnah, 2006), hlm. 799-800.

Kedua, pengakuan garis nasab atau keturunan (itsbat nasab bil iqrar).

Pengakuan ini dalam istilah fikih disebut istilhaq. Menurut Abdul Manan, anak zina yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah akibat hubungan ghairu syari’, tetap dapat diakui dengan jalan istilhaq, apabila tidak terpenuhinya secara zahir bahwa hubungan mereka tidak sah (berzina), seperti tidak terpenuhinya empat orang saksi yang adil. Namun, menurut Zuhaili, istilhaq tidak sah atau tidak dibenarkan kepada seorang ayah terhadap anak hasil zina, karena sebab pengakuan nasab itu bukan dari hasil zina. Pendapat Zuhaili berdasarkan dari pemahaman Hadits Rasul:130

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakkar bin Bilal Ad Dimasyqi; telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Rasyid dari Sulaiman bin Musa dari 'Amru bin Syu'aib dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Setiap orang yang dikaitkan kepada orang lain setelah bapaknya, maka ahli warispun hendaklah mengakuinya setelahnya. "Rasulullah SAW menetapkan bahwa wanita yang telah menjadi hamba sahaya pada saat melakukan hubungan intim dengannya, maka nasabnya dikaitkan dengan orang yang mengaitkan sebelumnya, dan ia tidak mendapatkan harta warisan sama sekali dari yang telah dibagi sebelumnya. Adapun harta warisan yang belum dibagikan, maka ia mendapatkan bagiannya. Nasabnya tidak dapat dikaitkan kepada seorang bapak, apabila ia mengingkarinya. Namun, jika dari budak wanita yang tidak dimiliki, atau perempuan merdeka yang telah berzina, maka nasabnya tidak dapat dikaitkan (kepadanya) dan ia tidak diwarisi. Apabila nasab dikaitkan kepada seorang bapak dan ia mengakuinya, maka ia adalah anak hasil zina, ia (nasabnya) dikaitkan kepada ibunya, baik ia seorang wanita merdeka atau seorang budak. " Muhammad bin Rasyid berkata; 'Yang dimaksud di sini adalah apa yang telah dibagi pada masa Jahiliyah sebelum Islam." (HR. Ibn Majah)

130Wahbah Zuhaili, Op.Cit, hlm. 37.

Ketiga, pembuktian, yaitu menentukan hubungan nasab seorang anak dengan cara pembuktian. Dalam Hukum Islam terdapat aturan hukum tentang nasab seorang anak dengan ayahnya dengan cara pembuktian. Cara ini disebut dengan mubaiyyinah (perbandingan), yaitu cara pembuktian berdasarkan bukti yang sah bahwa seorang anak benar-benar senasab dengan orang tuanya.131 Misalnya, dengan melihat kemiripan dari orang tua dengan anaknya yang didukung dengan adanya pengakuan dari masyarakat bahwa mereka mempunyai hubungan nasab.

Dalam bahasa Hukum Islam, menurut Abdul Manan, asal usul seorang anak (nasab) dapat diketahui dari salah satu di antara tiga sebab, yaitu (1) dengan cara al-firasy, yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah; (2) dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknya; (3) dengan cara bayyinah, yaitu dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan bukti-bukti yang sah seorang anak betul si polan.132

Apabila terjadi perkawinan antara suami dan isteri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari keabsahan anak tersebut apabila: a. Istri melahirkan sebelum masa kehamilan; b. Melahirkan anak setelah melewati batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.133

Di samping itu, nasab anak kepada bapaknya juga dapat terjadi karena tiga hal, yaitu: (1) Melalui perkawinan yang sah, bahwasanya anak yang lahir dari seorang

131Ibid.

132Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 76.

133Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 104.

wanita dalam suatu perkawinan yang sah dinasabkan kepada suami ibunya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW, “Anak itu bagi siapa yang menggauli ibunya dalam nikah yang sah”. (2) Melalui perkawinan yang fasid, yaitu perkawinan yang dilakukan dalam keadaan kurang syarat, seperti tidak adanya saksi, dan (3) Melalui hubungan senggama karena adanya syubhat an-nikah (nikah syubhat). Hubungan senggama syubhat terjadi bukan dalam perkawinan yang sah dan bukan pula dari perbuatan zina. Misalnya, seorang suami yang menggauli seseorang yang dikirai isterinya dan ternyata yang digauli tersebut bukanlah istrinya.

Dengan demikian, seorang anak baru dapat dihubungkan nasabnya kepada ayahnya, apabila ia dilahirkan dari pernikahan yang sah. Sedangkan anak hasil zina atau anak di luar nikah atau dia biasa disebut anak haram tidak bisa dihubungkan nasabnya dengan ayahnya. Dia hanya bernasab kepada ibunya (Ilhaq al-walad li ummihi).

Menurut Ibnu Rusyd :

“Jumhur (sahabat) berpendapat bahwa anak-anak hasil zina tidak dihubungkan nasabnya kepada bapak-bapak mereka, kecuali pada masa jahiliyah…ada pendapat yang ganjil yang menyalai ketentuan ini. Mereka berkata anak hasil zina dapat dihubungkan (kepada bapaknya) pada masa Islam, yaitu anak yang dilahirkan dati perzinahan pada masa Islam.”134

Jika dilihat dari sisi kehamilan seorang wanita, fikih Islam telah memuat ketentuan-ketentuan terhadap ketetapan nasab dengan batas kehamilan tersebut secara akurat. Dalam hal ini, ada tiga syarat nasab anak menjadi sah kepada kedua orang tuanya, yaitu:

134Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hal. 315.

1. Kehamilan bagi wanita bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Imam Hanafi sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan, bahwa tidak mensyaratkan seperti ini. Menurutnya, meskipun suami istri tidak melakukan hubungan seksual, kemudian anak lahir dari seorang istri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah.

2. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan minimal enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang hal ini, terjadi ijma’ di kalangan fuqaha sebagai masa terpendek dari masa kehamilan.

3. Anak yang lahir tersebut terjadi dalam waktu kurang dari masa maksimal kehamilan, adapun dalam hal ini ulama berselisih paham.135

Dari ketiga syarat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sahnya hubungan nasab, berawal dari suatu perkawinan yang sah, karena telah terjadi akad perkawinan.

Selain adanya hubungan perkawinan yang sah, harus pula terjadi hubungan biologis antara suami-istri. Meskipun begitu, yang berlaku secara umum adalah bahwa hubungan nasab tetap sah tanpa terjadi hubungan biologis antara suami dan istri, selanjutnya akan tidak sah apabila hanya ada hubungan biologis tanpa adanya akad nikah yang sah.136

Hukum Islam menetapkan bahwa pada dasarnya keturunan atau anak adalah sah apabila pada permulaan kehamilan seseorang terjadi dalam hubungan perkawinan yang sah. Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungan berasal

135Ali Parman, Kewarisan Dalam Al-Quran; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta: PT Raja Grafido Persada, 1995), hal. 65.

136Ibid.

dari suami ibu atau bukan tersebut ditentukan dengan masa kehamilan. Adapun masa terpendek suatu kehamilan yang menjadi ijma’ para ulama adalah enam bulan dari awal pernikahan.137 Asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab dengan ayahnya. Para ulama sepakat bahwa anak hasil zina dan li’an hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Mengenai ketentuan batas maksimal dan minimal suatu kehamilan terdapat keterangan yang diperoleh dari dua ayat Alquran berikut ini:

Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,...” (QS. Al-Ahqaf:

15)

Kemudian, terdapat juga dalam surat Luqman, ayat 14, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.”

Menurut Ibn Abbas dalam tulisan Ahmad Rafiq138, ayat pertama (Al-Ahqaf) di atas menunjukkan tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan ayat kedua (Luqman) menerangkan mengenai masa menyapih bayi setelah bayi disusukan secara sempurna dengan perolehan waktu 2 (dua) tahun atau 24 (dua puluh empat) bulan. Dengan demikian, batas mengandung

137A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 3, (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2010), hlm. 174.

138 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. 2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 224.

dan menyapih dikurangi dengan batas waktu menyapih, sehingga perolehan waktu tersebut selama 6 (enam) bulan.

Seorang perempuan yang diketahui telah hamil akibat hubungan zina, kemudian dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya dan akhirnya melahirkan kandungan lebih dari enam bulan dari waktu pernikahan, maka karena anak tersebut telah ada dalam kandungan sebelum terjadi pernikahan, walaupun ia lahir dalam perkawinan yang sah, maka kedudukannya hanya menjadi anak sah dari ibunya saja, bukan anak sah dari bapaknya. Antara anak tersebut dengan dengan anak-anak yang lahir kemudian mempunyai hubungan saudara seibu.139

Dalam kaitannya dengan zina dan akibat hukumnya terhadap anak, aturan perundangan di Indonesia belum mengatur secara jelas tentang hal tersebut, sehingga prilaku perzinaan dan pelaku perzinaan merajalela. Padahal, Majelis Ulama Indonesia telah merekomendasikan dalam fatwanya, yaitu:

1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:

a. hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);

b. memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.

2. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.

3. Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

4. Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

139A. Hamid Sarong, Op.Cit, hlm. 175.

5. Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain.

Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.140

Dari beberapa pendapat serta argumen hukum di atas, dapat dipahami bahwa nasab menjadi unsur terpenting dalam sebuah keluarga. Dalam kasus menikahi wanita hamil karena zina, anak yang lahir di luar perkawinan atau anak luar nikah tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah dan keluarga ayahnya dan statusnya disamakan dengan anak li’an.141

Kesimpulan hukum seperti ini bisa dijadikan pijakan dengan melihat pendapat yang mu’tabar atau terpercaya selain adanya ijma’ atau kesepakatan di kalangan ulama yang menentukan bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya. Jika diruntut tentang hubungan antara perkawinan dengan nasab, bahwa perkawinan merupakan awal dari adanya hubungan nasab atau keturunan yang sah.

Kaitannya dengan hubungan perkawinan yang sah, maka selanjutnya akan berimplikasi pada sahnya hubungan nasab. Ini berarti pula bahwa keabsahan pernikahan atau perkawinan dalam Hukum Islam memiliki akibat terhadap keabsahan hubungan nasab yang selanjutnya berdampak pada hak dan kewajiban dari pasangan tersebut dalam hal-hal yang berkaitan dengan nafkah dan waris.

140Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan Terhadapnya.

141Anak li’an adalah anak yang dilahirkan dari hubungan suami isteri yang sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim syariat) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suami isteri itu diambil sumpahnya (li’an).

2. Wali Nikah

Dalam sebuah perkawinan, keberadaan wali merupakan hal penting dalam keabsahan perkawinan tersebut. Wali nikah adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki- laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.142

Menurut Hukum Islam, wali nikah menurut Jumhur Ulama' merupakan salah satu rukun nikah, sehingga wali nikah harus ada dalam akad nikah. Tanpa adanya wali, maka pernikahan dianggap tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.,

“…Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf….” (QS. Albaqarah: 232)

Demikian pula berdasarkan hadist Nabi SAW:

Artinya: “Dari Ibnu ’Abbas r.a., bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:

“Orang yang tidak mempunyai jodoh itu berhak atas (perkawinan) dirinya dari pada walinya, dan gadis dimintakan perintahnya (untuk mengawinkannya) kepadanya, dan (tanda) izinnya ialah diamnya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)143

Hadist lainnya yang berkaitan dengan hal di atas adalah:

Artinya: “Aisyah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara perempuan yang menikah dengan tidak mendapat izin dari walinya, maka perkawinannya batal, (diucapkan tiga kali)”. Jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila mereka

142Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta, Kencana, 2007), hlm. 77.

143 Abu Bakar Muhammad As-San’ani, Terjemah Subul as-Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 43.

bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Tirmidzi)144

Hal senada juga dinyatakan dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 19, yang berbunyi: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.”

Secara etimologis, wali juga mempunyai arti pelindung, penolong atau

Secara etimologis, wali juga mempunyai arti pelindung, penolong atau

Dokumen terkait