• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan pencarian atas sesuatu (inqury) secara sistematis dengan menekankan bahwa pencarian tersebut dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.52 Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum.53 Dengan kata lain, penelitian yuridis normatif yaitu dengan menggunakan metode pendekatan undangan (statue approach) yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, khususnya hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.

Selanjutnya menganalisis hukum tersebut, baik yang tertulis didalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia.54

Menurut Soekanto, penelitian yuridis normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier.55 Bahan hukum primer diperoleh dari hukum Islam, termasuk Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan. Sementara bahan hukum sekunder diperoleh melalui sumber-sumber yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Adapun bahan hukum tertier, berasal dari bahan

52Mohd. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 10.

53BambangWaluyo, MetodePenelitianHukum, (Semarang: PT. Grafika Indonesia, 1996),hlm. 13.

54Mohd. Nazir, Op.Cit., hlm. 15.

55 Soerjono Seokanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Kajian Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 13-14.

hukum yang berisikan penjelasan terhadap data primer dan data sekunder, yaitu kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal, serta laporan-laporan ilmiah yang akan mendukung analisis penelitian ini.

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menguraikan dan menganalisis tentang persoalan hukum menikahi wanita hamil karena zina menurut hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.56

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkanberasal dari data sekunder. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin, data sekunder terbagi dalam tiga katagori, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Dalam penelitian, maka bahan hukum primer dalah hukum Islam, termasuk Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Data primer juga berasal dari sumber wawancara dari informan penelitian ini.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti; buku-buku, artikel, pendapat pakar hukum maupun makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini.

56Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang membantu dalam memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, dan kamus bahasa.57

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research), yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuranliteratur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.58 Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca,mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari bukuliteratur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yangberhubungan dengan masalah yang diteliti.

Di samping itu, pengambilan data juga berasal dari penelitian lapangan (field research) dengan melakukan wawancara terhadap informan penelitian. Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.59 Dalam penelitian ini, informan yang diwawancarai berasal Majelis Ulama Indonesia dan Kantor Urusan Agama atau P3N.

57Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 31.

58 Sumandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 19.

59 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 135

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif. Kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur, baik yang berupa buku, peraturan perundangan, tesis, disertasi, dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa.

Analisis data ini dilakukan setelah setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi, sehingga diketahui reliabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.60 Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan tinjauan teori maqashid syariah yang dijadikan sebagai alat analisis dari permasalahan yang dikaji.

Dalam arti yang lain, analisis data penelitian berisikan uraian tentang cara-cara analisis dengan menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk selanjutnya digunakan untuk memecahkan masalah yang dijadikan objek penelitian.61

60Lexy Moleong, MetodePenelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 7.

61Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jambi: Mandar Maju, 2008), hlm. 174.

A. Zina Dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam perspektif hukum Islam, zina adalah hubungan kelamin di antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya sebuah ikatan perkawinan yang sah, dilakukan dengansadar dan tanpa adanya unsur syubhat.62 Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi tanpa didasari oleh pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah (syubhat) dan bukan pula karena pemilikan (terhadap hamba).63 Adapun Sayyid Sabiq, menggambarkan zina sebagai hubungan kelamin sesaat yang tidak bertanggung jawab.64

Para ulama memiliki berbagai definisi tenang zina, di antaranya:

1. Mazhab Malikiyah, zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.

2. Mazhab Hanafiyah, zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kelamin) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku Hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.

62Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Al-Maarif, 1996), hlm. 86-87.

63 Ibnu Rusyd, Bidayah Mujtahid, terjermahan Abu Usamah Fakhtur Rokhmin,(Jakarta:

Pustaka Azzam, 2007), hlm. 875.

64Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9 , (Kuwait: Dar al-Bayan, 1968), hlm. 90.

3. Mazhab Syafi’iyyah, zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa adanya syubhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.

4. Mazhab Habilah, zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.65

Menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua unsur, yaitu adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya dan tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks.66 Begitu pula pendapat Abdullah Muhammad Qudamah, sebagaimana ditulis Muslich, unsur-unsur perbuatan zina juga terdiri dari dua. Pertama, persetubuhan yang diharamkan (alwath’ul muharram), yaitu persetubuhan zina yang ditandai adanya kesengajaan.

Kedua, niat yang melawan (ta’ammudul wath’i atau alqahsrul jinaai).67

Zina merupakan perbuatan yang dilarang dalam Hukum Islam, termasuk juga segala hal yang menghantarkan pada tindakan zina. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran, surat Al-Isra, ayat 32, yaitu: “Dan janganlah kamu mendekati zina;

Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Hukum Islam mengelompokkan pelaku zina menjadi dua macam untuk menetapkan jenis hukuman yang akan dilaksanakan, yaitu:

1. Zina Muhshan, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah baliq, berakal, merdeka dan telah menikah, baik masih terikat perkawinan maupun yang telah

65Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 6-7.

66Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 340.

67Ahmad Wardi Muslich, Op.Cit., hlm. 8.

bercerai. Bagi pelaku zina muhshan, para ulama telah bersepakat bahwa hukuman yang dikenakan baginya adalah dirajam. Pendapat ini didasarkan atas hadits Rasulullah SAW berikut ini:

Artinya: “Abu Hurairah dan Jabir ra., Abu Hurairah berkata: “Ada seorang pria datang kepada Rasulullah SAW., ketika beliau sedang beradadi masjid, hinggabeliau memanggilnya. Maka ia berkata: “Ya Rasulullah, saya telah berzina”. (Mendengar ucapan itu) Rasulullah berpaling darinya, tetapi orang itu mengulang-ulang perkataannya sebanyak empat kali. Tatkala ia mengakui akan dirinya (yang berzina itu), maka Nabi SAW memanggilnya seraya berkata:

“Apakah engkau ini gila?” ia menjawab: “Tidak”. Nabi bertanya lagi: “Apakah engkau sudah beristri?” ia menjawab: “Ya (benar)”.

Kemudian Nabi SAW bersabda: “Bawalah orang ini,kemudian kenakanlah hukuman rajam!”(HR. Bukhari dan Muslim).

Di samping itu, dasar hukuman tersebut juga berdasarkan pada kata-kata Umar bin Khattab dalam sebuah khutbahnya yang berbunyi:

Artinya : Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, Umar bin Khaththab pernah duduk di mimbar Rasulullah SAW seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad SAW dengan kebenaran dan Allah menurunkan Alquran kepadanya, maka diantara ayat yang Allah turunkan yaitu ayat rajam.Maka, kami membacakan, memahami dan memperhatikannya.Rasulullah SAW menerapkan hukuman rajam dan kami menerapkannya sesudah masa beliau. Namun, saya takut jika suatu zaman yang panjang ditengah umat manusia ada seseorang berkata: “Demi Allah! Kami tidak mendapatkan ayat rajam dalam kitab Allah,” lalu mereka sesat sebab meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Sedangkan hukuman rajam dalam kitab Allah adalah suatu kepastian atas orang yang berzina, apabila dia itu terjaga (sudah berkeluarga) baik laki-laki maupun perempuan, apabila ada saksi yang bisa membuktikan atau ada kehamilan atau pengakuan.”(HR. Bukhari dan Muslim).

68Abdul Aziz Dahlan et.al.(Ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), hal. 2028.

2. Zina Ghairu Muhshan, yaitu perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita yang tidak ada ikatan perkawinan antara keduanya. Hukuman bagi pelakunya adalah hukuman jilid atau cambuk sebanyak 100 kali.

Ketentuan ini berdasarkan dalil Alquran berikut ini:

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah masing-masing mereka seratus kali dera atau cambuk.

Janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya menghalangi kamu untuk menjalankan agama Allah, jika memang kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka itu disaksikan oleh sekumpulan orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 2)

Di samping mendapatkan hukuman jilid atau cambuk, pelaku zina ghairu muhshan juga diancam dengan hukuman pengasingan. Ketentuan ini berdasarkan dalil hadits Nabi SAW berikut ini:

Artinya: “Dari Ubadah bin Shamit ra. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah dariku! Ambillah dariku! Sungguh Allah telah memberikan jalan penghukuman bagi mereka.Orang muda dengan orang muda adalah dihukum jilid seratus kali dan pengasingan satu tahun. Orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin adalah dihukum jilid seratus kali dan dirajam dengan batu.” (HR. Muslim)69

Dalam Hukum Islam, para fuqaha memandang bahwa status marietal yang membedakan antara muhshan atau muhshanah dengan ghairu muhshan atau ghairu muhshanah didasarkan atas pertimbangan pernah atau belum pernah mengadakan hubungan kelamin dengan lawan jenis. Seorang gadis atau pria lajang, jika ia pernah melakukan hubungan seksual dengan seorang pria atau wanita, maka pria atau gadis tersebut termasuk muhshan. Sebaliknya, seorang pria atau wanita yang belum pernah

69Ibid, hlm. 1316.

melakukan hubungan seksual, walaupun pernah beristri (duda) atau pernah bersuami (janda) secara sah, namun antara keduanya bercerai sebelum mengadakan hubungan seksual, maka ia termasuk muhshan atau muhshanah.70

Dalam pelaksanaan hukuman, bentuk hukuman cambuk sebanyak seratus kali merupakan sanksi hukum bagi pezina yang berstatus pemudi atau pemuda, tidak boleh ada belas kasihan kepada pelaku zina dan eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. Begitu pula sanksi hukum bagi pezina berstatus janda atau duda dalam bentuk rajam, yaitu ditanam sampai leher dan dilempari batu sampai meninggal, juga tidak boleh ada belas kasihan pada saat hukuman tersebut dilakukan dan disaksikan oleh banyak orang secara terbuka.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan tentang perbuatan zina tidak diatur secara spesifik, baik dari aspek definisinya maupun hukuman bagi pelaku yang melakukan perbuatan zina, karena hakekat dari Kompilasi Hukum Islam adalah pengaturan tentang keperdataan Islam. Sementara perbuatan zina merupakan bagian dari hukum pidana atau jinayat. Sejak disahkan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, belum ada perubahan subtansi dari isi atau ketentuan yang ada tersebut. Kompilasi Hukum Islam memuat peraturan keperdataan Islam bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan tentang hukum Perwakafan. Aturan-aturan keperdataan Islam tersebut selaras dengan wewenang utama Peradilan Agama, yang telah diterima oleh para ulama dan sarjana hukum Islam seluruh Indonesia dan telah

70Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 49.

dijadikan pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di ketiga bidang hukum tersebut.71

B. Zina Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak menyebutkan pasal atau ayat yang berkaitan dengan definisi zina secara khusus.

Pengaturan dalam undang-undang ini hanyalah tentang anak yang dilahirkan dari hasil hubungan di luar perkawinan yang mana mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (pasal 43 ayat 1). Anak yang dilahirkan di luar perkawinan inilah sebutan lain dari anak zina dalam hukum Islam. Perbuatan zina merupakan bagian dari perbuatan yang berhubungan dengan hukum pidana (jinayat), sehingga definisinya hanya terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Dalam Pasal 284 KUHP disebutkan bahwa zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Persetubuhan ini juga harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.72

Jika dilihat dari isi dari pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa zina merupakan hubungan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang telah berkeluarga atau dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya dengan dasar suka sama suka dan tidak ada rasa paksaan di antara keduanya.

71 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 294.

72R. Soesila, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Bogor: Politeia, t.th., hlm. 181.

Dengan demikian, pelaku zina yang diartikan dalam KUHP sangat jelas berbeda dengan pelaku zina dalam Hukum Islam. Pelaku zina dalam KUHP ditujukan bagi mereka yang telah berkeluarga atau kawin dari salah satu pelakunya.Sementara dalam Hukum Islam, selain pelaku zina yang telah berkeluarga atau salah satu di antara pelaku tersebut, pelaku zina yang masih lajang atau belum bekeluarga juga tergolong sebagai pezina.

Selain KUHP, ada ketentuan dalam bentuk Qanun di Indonesia yang mengatur tentang pengaturan zina dan hukuman bagi pelaku zina, yaitu Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.Menurut Qanun73tersebut, zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak.74

Sedangkan hukuman bagi pelaku zina menurut Qanun Hukum Jinayat tersebut adalah:

Pasal 33

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali.

(2) Setiap orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 100 (seratus) kali dan dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 120 (seratus dua puluh) gram emas murni atau ‘Uqubat Ta’zir penjara paling lama 12 (dua belas) bulan.

(3) Setiap Orang dan/atau Badan Usaha yang dengan sengaja menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah Zina, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 100 (seratus) kali dan/atau denda paling

73Qanun adalah istilah lain dari Peraturan Daerah (PERDA) yang digunakan dalam legislasi hukum di Provinsi Aceh.

74Pasal 2, ayat 26, Qanun Aceh, Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, (Banda Aceh:

Dinas Syariat Islam Aceh, 2014), hal. 4.

banyak 1000 (seribu) gram emas murni dan/atau penjara paling banyak 100 (seratus) bulan.75

Dari pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga pengelompokkan hukuman zina. Pertama, pelaku zina yang pertama kali melakukan zina dikenakan cambuk 100 kali. Kedua, pelaku zina yang telah berulang kali melakukan zina, selain dikenakan cambuk 100 kali, juga dikenakan denda paling banyak 100 gram emas atau penjara paling lama 12 bulan. Ketiga, setiap orang atau badan hukum yang menyedikan fasilitas untuk perzinahan, dihukum paling banyak 100 kali cambuk atau denda paling banyak 100 gram emas murni, atau juga penjara paling banyak 100 bulan.

Indonesia belum memiliki hukuman zina dalam bentuk cambuk, baik itu dalam KUHP maupun dalam aturan-aturan lainnya. Pengaturan secara lengkap tentang zina dan hukuman dalam bentuk cambuk, hanya berlaku lokal di Provinsi Aceh dan secara khusus berlaku bagi umat Islam yang berada di Aceh.

75Ibid.,hlm.35.

A. Pernikahan Dalam Perspektif Hukum Islam

Secara bahasa, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya mendekap atau berkumpul. Nikah juga bermakna “aqad dan setubuh”. Nikah secara istilah adalah akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang laki-laki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara keduanya.76

Dalam pengertian syara’, nikah adalah akad antara calon suami isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.77Akad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki. 78 Perkawinan juga dimaknai sebagai akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.79

Sedangkan pengertian fukaha, perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum tentang kebolehan hubungan kelamin dengan kata nikah atau ziwaj yang semakna keduanya.80Dalam Alquran, pernikahan yaitu menciptakan kehidupan

76Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), hlm. 5.

77Asmin, Status Perkawinan antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hlm. 28.

78Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), hlm. 63.

79Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 14.

80Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), hlm. 37.

keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua, agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).81 Sebagaimana disebutkan dalam Alquran:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S.

Ar-Ruum: 21)

Para ulama mazhab dalam Hukum Islam, mempunyai beberapa definisi tentang nikah. Pertama, ulama Hanafiyah mengartikan nikah sebagai akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki dapat memiliki semua anggota tubuh istrinya untuk memperoleh kesenangan dalam pemenuhan batinnya. Kedua, ulama Syafi’i memaknai nikah sebagai akad yang menggunakan lafal nikah (ziwaj) yang mengandung arti wathi’ atau hubungan intim.

Dengan adanya pernikahan, seseorang dapat memiliki kesenangan dari pasangannya.

Ketiga, ulama Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai akad yang memiliki makna mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga. Keempat, ulama Hanabila menyebutkan nikah adalah akad untuk memperoleh kepuasan yang didapatkan seorang laki-laki dari seorang perempuan dan juga sebaliknya.82

Suatu perkawinan akan sah hukumnya apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, terutama bagi kedua belah pihak yang akan melaksanakan perkawinan

81Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: BumiAksara, 2004), hlm. 3.

82Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.

10-11.

maupun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

Adapun yang termasuk dari rukun perkawinan menurut jumhur ulama, yaitu:

1. Calon suami, syarat-syaratnya:

a) Beragama Islam b) Laki-laki c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan e) Tidak terdapat halangan perkawinan 2. Calon istri, syarat-syaratnya:

a) Beragama Islam b) Perempuan c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan e) Tidak terdapat halangan perkawinan.

3. Wali nikah, syarat-syaratnya:

a) Laki-laki b) Dewasa

c) Mempunyai hak perwalian

d) Tidak terdapat halangan perwalian 4. Saksi nikah:

a) Minimal dua orang laki-laki b) Hadir dalam ijab qabul

c) Dapat mengerti maksud akad d) Islam

e) Dewasa

5. Ijab qabul, syarat-syaratnya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.

d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji/umrah.

g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.83 Sedangkan syarat sahnya perkawinan adalah:

1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.

2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki.

3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad.84

Syarat yang ketiga di atas dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.85

83Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 63.

84Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 31.

Pernikahan atau perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

Pernikahan atau perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah

Dokumen terkait