• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III STATUS HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA

A. Pernikahan Dalam Perspektif Hukum Islam

Secara bahasa, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya mendekap atau berkumpul. Nikah juga bermakna “aqad dan setubuh”. Nikah secara istilah adalah akad yang ditetapkan Allah SWT bagi seorang laki-laki atas diri seorang perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis antara keduanya.76

Dalam pengertian syara’, nikah adalah akad antara calon suami isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.77Akad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki. 78 Perkawinan juga dimaknai sebagai akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.79

Sedangkan pengertian fukaha, perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan hukum tentang kebolehan hubungan kelamin dengan kata nikah atau ziwaj yang semakna keduanya.80Dalam Alquran, pernikahan yaitu menciptakan kehidupan

76Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, (Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006), hlm. 5.

77Asmin, Status Perkawinan antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hlm. 28.

78Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), hlm. 63.

79Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 14.

80Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), hlm. 37.

keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua, agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).81 Sebagaimana disebutkan dalam Alquran:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S.

Ar-Ruum: 21)

Para ulama mazhab dalam Hukum Islam, mempunyai beberapa definisi tentang nikah. Pertama, ulama Hanafiyah mengartikan nikah sebagai akad yang berguna untuk memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya, seorang laki-laki dapat memiliki semua anggota tubuh istrinya untuk memperoleh kesenangan dalam pemenuhan batinnya. Kedua, ulama Syafi’i memaknai nikah sebagai akad yang menggunakan lafal nikah (ziwaj) yang mengandung arti wathi’ atau hubungan intim.

Dengan adanya pernikahan, seseorang dapat memiliki kesenangan dari pasangannya.

Ketiga, ulama Malikiyah mendefinisikan nikah sebagai akad yang memiliki makna mut’ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya harga. Keempat, ulama Hanabila menyebutkan nikah adalah akad untuk memperoleh kepuasan yang didapatkan seorang laki-laki dari seorang perempuan dan juga sebaliknya.82

Suatu perkawinan akan sah hukumnya apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, terutama bagi kedua belah pihak yang akan melaksanakan perkawinan

81Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: BumiAksara, 2004), hlm. 3.

82Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm.

10-11.

maupun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

Adapun yang termasuk dari rukun perkawinan menurut jumhur ulama, yaitu:

1. Calon suami, syarat-syaratnya:

a) Beragama Islam b) Laki-laki c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan e) Tidak terdapat halangan perkawinan 2. Calon istri, syarat-syaratnya:

a) Beragama Islam b) Perempuan c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan e) Tidak terdapat halangan perkawinan.

3. Wali nikah, syarat-syaratnya:

a) Laki-laki b) Dewasa

c) Mempunyai hak perwalian

d) Tidak terdapat halangan perwalian 4. Saksi nikah:

a) Minimal dua orang laki-laki b) Hadir dalam ijab qabul

c) Dapat mengerti maksud akad d) Islam

e) Dewasa

5. Ijab qabul, syarat-syaratnya:

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut.

d. Antara ijab dan qabul bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji/umrah.

g. Majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang, yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.83 Sedangkan syarat sahnya perkawinan adalah:

1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya.

2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki.

3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad.84

Syarat yang ketiga di atas dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basri, Ibnu Abi Laila, dan Ibnu Syubrumah.85

83Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 63.

84Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), hlm. 31.

Pernikahan atau perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.86Sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi, "Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau Mitsaqan Ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakan ibadah."

Ungkapan akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) adalah penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan undang-undang.

Ungkapan ini bermakna bahwa akad perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan, tetapi lebih dari makna tersebut. Ungkapan “untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” adalah penjelasan dari kalimat “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam undang-undang Perkawinan. Semua ungkapan ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam adalah peristiwa agama, sehingga orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.87

Dalam Kompilasi Hukum Islam, dijelaskan pula bahwa rukun dan syarat perkawinan, antara lain:

a. Calon suami, b. Calon istri, c. Wali nikah, d. Dua orang saksi,

85Ibid.

86Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

87Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 40.

e. Ijab dan Qabul.88

Di samping itu, Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Adapun bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat, tetapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.89

Sahnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, telah secara jelas diatur dalam pasal 4 yang berbunyi, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.” Rukun perkawinan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam mengikuti sistematika sistem yang mengaitkan rukun dan syarat.

Pada pasal-pasal berikutnya juga dijelaskan tentang persoalan wali, saksi, dan akad nikah. Namun demikian, sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari pembahasan rukun. Dalam hal wali nikah, Kompilasi Hukum Islam menjelaskannya pada pasal 19 yaitu “Wali nikah perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.”

Sedangkan persoalan saksi nikah terdapat dalam pasal 24 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

88Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam

89Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam

Dari pasal di atas dapat dijelaskan bahwa saksi merupakan bagian dari ruku dalam pelaksanaan akad nikah dan jumlah saksi dalam sebuah perkawinan harus berjumlah 2 (dua) orang.

B. Pernikahan dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata “kawin” yang secara bahasa berarti “membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.” Perkawinan dinamakan juga dengan pernikahan yang berasal dari kata “nikah”, yang menurut bahasa berarti “mengumpulkan,” “saling memasukkan,” dan digunakan untuk makna bersetubuh (watha’).90

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak terdapat istilah “nikah”, tetapi yang tertulis adalah istilah “kawin”. Istilah nikah dan kawin dalam bahasa Indonesia sudah umum dipakai oleh masyarakat dengan pengertiannya yang sama.91

Perkawinan dalam Undang-undang No. Tahun 1974 tentang perkawinan diartikan sebagai “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suatu ikatan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa".92

90Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Ciputat Press, 1999), hlm. 17.

91Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 104.

92Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adanya kalimat berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan sebagai nilai-nilai keagamaan harus menjadi dasar dalam menggapai keluarga yang bahagia. Ini bermakna pula bahwa perkawinan bertalian erat dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.

Berdasarkan pasal tersebut, dapat dijelaskan bahwa perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan, memiliki lima unsur pokok, yaitu:

1. Sebuah ikatan lahir bathin

2. Terjadi antara seorang pria dan seorang wanita 3. Menjadi ikatan suami istri

4. Terbentuknya keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal 5. Atas dasar Ke-Tuhanan yang maha esa

Dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan juga secara bersamaan menjelaskan bukan hanya arti sebuah perkawinan, tetapi juga tujuan dari perkawinan tersebut. Menurut K. Wantjik Saleh, arti perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Sedangkan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.93

Membentuk keluarga bermakna membentuk kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami, isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan sebagai tujuan dari perkawinan, pemeliharaan dan

93Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm.

14.

pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang tua.94Dalam Undang-undang Perkawinan, tidak berbicara secara jelas tentang rukun perkawinan, tetapi hanya membicarakan tentang syarat-syarat perkawinan. Syarat-syarat tersebut lebih banyak berhubungan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. Sebagaimana disebutkan dalam pasal-pasal di bawah ini:

Pasal 2:

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3:

1. Pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

2. Pengadilan dapat memberikan ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4:

1. Dalam hal seorang suami, akan beristri, lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

2. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, apabila:

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri.

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pada sisi lain, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 juga menentukan bahwa untuk dapat melangsungkan sebuah perkawinan, harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 6, yaitu:

94Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Bengkulu: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1993), hlm.

3.

1. Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua mempelai

2. Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun haruslah mendapat ijin kedua orang tuanya.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin yang dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam Daerah hukumnya tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberri ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat 2, 3 dan 4 pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat 1 sampai dengan ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan yang lainnya.

Dari pasal 6 (enam) di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat perkawinan berdasarkan undang-undang adalah harus dilandasi kesepakatan antara dua pihak mempelai dan perizinan dari kedua orang tua mempelai saat usia keduanya belum mencapai 21 tahun. Jika kedua orang tua mempelai tersebut telah meninggal atau tidak mampu, maka dapat diwakilkan oleh wali atau orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas dengan mempelai tersebut.

Undang-undang perkawinan juga mengatur secara jelas batas usia dari kedua mempelai yang saat menikah. Bagi mempelai pria telah mencapai usia 19 tahun dan bagi wanita telah berusia 16 tahun saat mereka melangsungkan akad pekawinan.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal di bawah ini:

Pasal 7:

1. Perkawinan hanya diijinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini dapat memberikan dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat 3 dan 4 undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat 2 pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat 6.

Perkawinan secara mendasar bertujuan agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, bahagia, dan sesuai dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu, perkawinan harus disetujui kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan dan tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut beberapa prinsip, yaitu:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu, suami-istri perlu saling membantu, melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan material dan spiritual.

2. Bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan perkawinan itu harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 menganut asas monogami hanya apabila dikehendaki oleh orang yang bersangkutan, karena hukum dan agama dan yang bersangkutan yang mengijinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang, meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila memenuhi syarat-syarat tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4. Bahwa calon suami-istri harus betul-betul siap jiwa dan raganya untuk dapat melakukan dan melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara tanpa berakhir dengan perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.

5. Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal serta sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersatukan terjadinya perceraian untuk dapat memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan rumah masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu diputuskan bersama.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan menganut asas monogami relatif, yaitu boleh sepanjang hukum dan agamanya mengizinkan. Di samping itu, perkawinan juga harus sesuai dengan agamanya masing-masing, tercatat, siap jiwa dan raga serta adanya keseimbangan terhadap hak dan kedudukan di antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga.

C. Status Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam Perspektif Hukum Islam

Islam sangat melarang perbuatan zina, karena pada dasarnya hubungan seks di luar ikatan pernikahan menunjukan tidak adanya rasa tanggung jawab dan dianggap sebagai suatu kejahatan besar dalam Islam.95 Perbuatan zina mengandung bahaya besar, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat luas. Bahaya yang lebih besar yaitu pencemaran kelamin dan pencampuran nasab. Sesungguhnya Islam sangat menjaga kesucian atau kehormatan kelamin dan kemuliaan nasab.96

Perbuatan zina telah menimbulkan berbagai persoalan, baik yang berhubungan dengan perbuatan zina itu sendiri, maupun perkawinan atau pernikahan yang terjadi antara wanita yang hamil akibat zina tersebut dengan pasangannya. Menikahi wanita

95Abu al-Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, Isu-Isu Biomedis Dalam Perspektif Islam, alih bahasa Sari Meutia, cet. ke-2, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.

51.

96Masjfuk Zuhdi, Masail Fikhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, edisi II, cet. ke-8, (Jakarta:

CV. Haji Masagung, 1994), hlm. 42-43.

hamil dalam istilah lain disebut juga dengan istilah kawin hamil, yaitu kawin dengan seorang yang hamil di luar nikah, baik dinikahi laki-laki yang menghamilinya atau yang bukan laki-laki yang menghamilinya.97 Menurut Kompilasi Hukum Islam, kawin hamil merupakan perkawinan seorang yang hamil di luar nikah dengan lelaki yang menghamilinya.98

Dalam Hukum Islam, status hukum menikahi wanita hamil karena zina terlebih dahulu harus dilihat dari aspek kedudukan pria yang menikahi wanita tersebut. Ada dua kedudukan pria yang menikahi wanita hamil karena zina, yaitu:

1. Pria yang menikahi wanita hamil merupakan orang yang menghamilinya Status pernikahan di antara wanita hamil karena zina dengan pria yang menghamilinya adalah sah menurut jumhur (mayoritas) ulama. Ulama madzhab yang empat yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali berpendapat bahwa status perkawinan keduanya sah. Ini berarti pula bahwa keduanya boleh bercampur sebagai suami istri. Adapun Ibnu Hazm berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur, tetapi dengan catatan jika mereka telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena mereka telah berzina.99Keabsahan pernikahan ini berdasarkan pada hukum yang pernah ditetapkan oleh sahabat Nabi SAW, yaitu:

(1) Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina. Maka, beliau berkata: “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.”

97Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 124.

98Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hlm. 33.

99Abd. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 124.

(2) Seorang laki-laki tua menyatakan keberadaannya kepada Khalifah Abu Bakar dan berkata: “Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan”. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan hukuman dera (cambuk) kepada keduanya. Kemudian dikawinkannya.100

Di samping itu, sahnya pernikahan juga didasari dari dalil-dali berikut:

(1) Firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 3:

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.”

(2) Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Abu Daud dari sahabat Abu Hurairah, “Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda: Seorang laki-laki pelaku zina yang dihukum jilid tidak akan menikah kecuali dengan yang serupa (wanita pelaku zina).”101

(3) Sabda Rasululullah SAW yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah dari sahabat Abdullah ibn Umar RA berkata, “Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal (menikah)”.102 (4) Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa’, ayat 24: “Dan dihalalkan bagi

kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.”

100Mahyuddin, Masailul Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 1992), hlm. 86.

101Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, juz ke-2, (Beirut: Dar al-Fiqr, tth), hlm. 221, no.

2052.

102Al-Hafiz Abi Abdillah, Sunan Ibn Majah, juz ke-1, (Mekkah: Dar at-Turas al-‘Arabi, tth.), hlm. 639, no. 2015.

2. Pria yang menikahi wanita hamil merupakan orang yang bukan menghamilinya

Sedangkan pernikahan yang dilakukan antara wanita hamil karena zina dengan pria yang bukan menghamilinya, maka status hukum pernikahan tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama Hukum Islam. Di antaranya:

(1)Imam Abu Yusuf mengatakan, status perkawinan tersebut batal (fasid) dan keduanya tidak boleh dikawinkan.103Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-Nur ayat 3:

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman.”

Pendapat tersebut juga diperkuat oleh hadits Nabi SAW, yaitu:

Artinya: “Sesungguhnya seorang laki-laki mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinya, ia mendapatkannya dalam keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan wanita itu diberi maskawin dan kemudian wanita itu didera (dicambuk) sebanyak 100 kali.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Qudamah bahwa seorang pria tidak dapat menikahi wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan dua syarat. Pertama, wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Artinya, dalam keadaan hamil, ia tidak boleh kawin.

103Abd. Rahman Ghazali, Op.cit., hlm. 126.

Kedua, wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), baik ia dalam keadaan hamil atau tidak.104

Kedua, wanita tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), baik ia dalam keadaan hamil atau tidak.104

Dokumen terkait