• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TESIS. Oleh"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

ASMANIZAR 137011074/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ASMANIZAR 137011074/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2015

(3)

Nomor Pokok : 137011074 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr. Utary Maharany Barus, SH,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 30 Nopember 2015

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. HasballahThaib, MA, Ph.D Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. Utary Maharany Barus, SH, M.Hum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

(5)

Nim : 137011074

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG

PERKAWINAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : ASMANIZAR Nim : 137011074

(6)

undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Penelitian ini adakah yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan yang berasal dari bahan-bahan hukum dari Hukum Islam dan UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta penelitian lapangan dalam bentuk wawancara. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengaturan zina telah secara jelas diatur dalam Hukum Islam. Pelaku zina yang telah menikah dihukum rajam dan pelaku zina yang belum menikah dihukum cambuk, serta diasingkan selama satu tahun. Sedangkan dalam UU Perkawinan, hanya mengatur tentang status anak dari hasil hubungan zina yang memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Perbuatan zina hanya diatur dalam KUHP dan Qanun Aceh No. 6/2014 tentang Hukum Jinayat yang berlaku di Aceh.

Adapun status hukum menikahi wanita hamil karena zina dalam Hukum Islam adalah sah bagi pria yang menghamilinya. Sedangkan bagi pria yang bukan menghamilinya, terjadi perbedaan pendapat tentang keabsahannya status pernikahannya. Sedangkan menurut UU Perkawinan, menikahi wanita hamil karena zina secara tersirat menyatakan sah, jika dilakukan menurut hukum agama masing-masing pasangan.

Bagi umat Islam Indonesia, sah menikahi wanita hamil karena zina, jika yang menikahi tersebut merupakan orang yang menghamilinya.

Akibat hukum menikahi wanita hamil karena zina menurut Hukum Islam anak yang dilahirkan setelah enam bulan perkawinan memiliki hubungan nasab, perwalian, waris dan hak nafkah dari kedua orang tuanya. Namun, jika anak tersebut lahir sebelum enam bulan pernikahan, maka tidak memiliki hubungan nasab, perwalian, waris dan hak nafkah dari bapaknya, kecuali adanya pengakuan dan pembuktian terhadap hubungan biologis anak tersebut. Sedangkan menurut UU Perkawinan, akibat hukumnya adalah anak yang dilahirkan memiliki hubungan nasab, wali nikah, kewarisan dan hak nafkah dari bapak yang menikahi ibunya, selama wanita hamil tersebut dinikahi dalam perkawinan yang sah. Namun, bagi anak di luar pernikahan yang sah, selain memiliki hak perdata dari ibu kandungnya, juga memiliki hak nafkah dari ayah biologisnya, selama dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012. Disarankan kepada pemerintah untuk membuat aturan hukum pemberian sanksi kepada pelaku zina. KUA hendaknyadiperluas wewenang untuk meminta rekomendasi dokter bagi pengantin perempuan untuk memperjelas kehamilannya sebagai syarat untuk dikawinkan dan pasangan yang menikah hendaknya bertaubat dan memahami akibat hukum dari pernikahan tersebut.

Kata kunci: pernikahan; perzinahan; wanita hamil karena zina.

(7)

law and Law No 1/1974 on Marriage.

The research used judicial normative and descriptive analytic method. The data were gathered by conducting library research which came from legal materials from the Islamic law and Law No 1/1974 on Marriage and from field research in the form of interviews. The conclusion of the research was that the regulation on adultery is stipulated in the Islamic law. The perpetrator who has been married will be punished by rajam (stoned to death) and the perpetrator who is single will be punished by being whipped or segregated for one year. Meanwhile, Law on Marriage only regulates the status of a child from adultery in civil law with his mother and with his mother’s relatives. Adultery is only regulated in the Penal Code and Aceh Qanun No. 6/2014 on Jinayat law which is in effect in Aceh. Legal status in the Islamic law of a marriage with pregnant a woman because of adultery is valid for the man who has made her pregnant, while there is different opinion about the validity of marriage of a man who does not make her pregnant. According to the Marriage Law, a marriage with a pregnant woman is valid when it is done according to the couple’s religion. For the Indonesian Moslems, a marriage with a pregnant woman is valid when the man himself has made the woman pregnant.

The legal consequence of marrying a pregnant woman because of adultery is that the child who is born after the sixth month of marriage has relationship in kinship, guardianship, inheritance, and livelihood with his parents. However, if the child is born before the sixth month of marriage, he has not relationship in kinship, guardianship, inheritance, and livelihood with his father except there is evidence about their biological relationship. According to Marriage Law, the legal consequence of the child has the the relationship in kinship, guardianship, inheritance, and livelihood with the man who has married his mother since the pregnant woman is married legitimately. However, a child who is born from illegitimate marriage, will get the civil right from his mother and has the right for livelihood from his biological father when it can be proved scientifically based on the Ruling of the Constitutional Court in 2012. It is recommended that the government make a law on the sanction upon those who commit adultery. KUA (Religious Affairs Office0 should extend their authority by asking doctors’ recommendation about a woman’s pregnancy as the requirement for her marriage and the couple who want to get married should repent and understand the legal consequences of the marriage.

Keywords: Marriage, Adultery, Pregnant Woman Because of Adultery

(8)

melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada Peneliti, sehingga Peneliti dapat menyelesaikan tesis ini, serta Shalawat beriring salam untuk tuntunan dan suri tauladan Rasulullah Shallallahu‘alaihiwasallam beserta keluarga dan sahabat beliau yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Islam yang sampai saat ini dapat dinikmati oleh seluruh manusia di penjuru dunia.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul “MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN”.

Dalam penulisan tesis ini, Peneliti banyak sekali mendapat bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Oleh karena itu pada kesempatan ini Peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi- tingginya kepada :

1. Bapak Prof. Subhilhar, Ph.D, selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara serta selaku Dosen Pembimbing II, yang membimbing Peneliti selama penyusunan tesis ini.

4. Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D, selaku Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan sumbangsih tenaga dalam membimbing dan mengarahkan Peneliti dalam penyusunan tesis ini.

(9)

USU dan selaku Penguji tesis, beserta seluruh staf pengajar dan pegawai pada Prodi Magister Kenotariatan USU, yang telah banyak membantu Peneliti.

7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH., M.Hum., selaku Penguji tesis ini dari sejak awal seminar proposal, seminar Hasil dan Ujian Akhir Tesis.

8. Bapak Tgk. Faisal Ali,Ketua Majelis Pemusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Bapak M. Iqbal, S. Ag., M.H, Kepala KUA Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh, Bapak Syamsul Hadi, S. Ag, Kepala KUA Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh, Bapak Ikram, S. Ag., M.Pd, Staf KUA Kecamatan Lambaro Angan Aceh Besar, beserta para informan yang telah membantu Peneliti dalam memberikan data sehingga penyusunan tesis ini tercapai dengan baik.

9. Suamiku Tercinta Ruslan, S.Ag., M.Si., M.L.I.S., untuk besarnya curahan cinta dan kasih sayang, penuh kesabaran sertakeikhlasannya yang senantiasa menjadi inspirasi, memberi doa, dan dukungan kepada Peneliti dari awal mengarungi rumah tangga yang selalu disertai suka duka, membiayai pendidikan Peneliti dan membantu menyelesaikan penyusunan tesis ini.

10. Anak-anakku Tersayang Muhammad Azkal Azkiya dan Muhammad Fahir Mumtaz, yang telah dengan penuh kesabaran dan keikhlasan mereka merelakan hilangnya waktu mereka untuk selalu bersama PenelitikarenaPeneliti harus berada terpisah dari mereka saat mengikuti pendidikan di Medan, sementara mereka harus Peneliti tinggalkan di Banda Aceh bersama Ayah mereka dan keluarga besar Peneliti. Do’a dan air mata mereka telah menjadikan semangat bagi Peneliti dalam menyelesaikan pendidikan dan penyusunan tesis ini.

11. Kedua Orang Tua penulis, Bapak H. Mohd. Rasyid Azmy dan Ibunda Hj.

Fauziatun, yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik Peneliti serta yang tiada henti-hentinya berdoa untuk kesuksesan Peneliti agar diberikan

(10)

keponakan, penulis haturkan terima kasih atas kekompakan, doa dan dukungannya selama ini.

13. Rekan-rekan mahasiswa Mkn USU, spesial Grup C Reguler angkatan 2013, untuk kekompakan, kerjasama dan saling memberikan semangat dalam menuntut ilmu bersama-sama.

14. Sahabat spesial penulis Kak Wirda Nasution, S.H., Kak Suryani, S.H., dan Muhammad Eka Syahriel, S.H., serta teman-teman kost Siti Rahmah, S.H dan Dewi Eka Saputri,S.H., yang telah banyak membantu Peneliti, bersama-sama dalam suka duka sejak awal pendidikan, semoga persahabatan dan persaudaraan kita tetap berlanjut selamanya dimanapun kita berada.

15. Seluruh pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuannya semua. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua.

Medan, Nopember 2015 Peneliti,

ASMANIZAR NIM. 137011074

(11)

Nama : ASMANIZAR

Tempat / Tanggal Lahir : Jangka Buya-Pidie, Aceh, 09 Februari 1980 Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswi

Agama : Islam

Status : Menikah

Alamat Rumah : Jl. Cempaka No. 5 Kelurahan Ateuk Pahlawan, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh

Telepon/HP : 082360601196

II. PENDIDIKAN FORMAL

SDN. 23 Banda Aceh Lulus Tahun 1992

SMPN. 4 Banda Aceh Lulus Tahun 1995

SMA Sekolah Indonesia Jeddah Saudi Arabia Lulus Tahun 1998 S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Lulus Tahun 2008 S-2 Program Magister Kenotariatan FH USU Lulus Tahun 2015

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Masalah Penelitian ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian ... 27

BAB II PENGATURAN TENTANG ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ... 31

A. Zina Dalam Perspektif Hukum Islam ... 31

B. Zina Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ... 36

BAB III STATUS HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ... 39

A. Pernikahan Dalam Perspektif Hukum Islam ... 39

(13)

Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan ... 61

BAB IV AKIBAT HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN ... 64

A. Akibat Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam Perspektif Hukum Islam ... 64

B. Akibat Hukum Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 113

(14)

maupun hak-hak lain yang sah.

Al-firasy : Berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan yang sah

Al-maqashid al-ammah : Sesuatu yang dipelihara syara’ dan diusahakan untuk diusahakan dalam berbagai bidang syariat, seperti menegakkan dan mempertahankan agama dari ancaman pihak musuh.

Al-maqashid al-juziyyah : Tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam menetapkan hukum syara’, yaitu hukum wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah terhadap sesuatu, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, dan penghalang

Al-maqashid al-khassah : Tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam topik bab tertentu, seperti tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam masalah perkawinan dan keluarga.

Alwath’ul muharram : Persetubuhan zina yang ditandai adanya kesengajaan atau niat yang melawan.

Daruriyyat : Kemaslahatan mendasar (kebutuhan pokok) yang mencakup dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

Hadhanah : Memelihara anak dari setiap macam bahaya yang mungkin akan menimpanya, menjaga kesehatan jasmani dan rohaninya, menjaga makanan dan keberaniannya, mengusahakan pendidikannya sampai ia sanggup berdiri sendiri dalam menghadapi kehidupannya sebagai seorang muslim.

Hajiyyat : Kemaslahatan dalam rangka perwujudan dan

perlindungan yang diperlukan (kebutuhan sekunder) dalam melestarikan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.

(15)

menahan diri dari menikahi laki-laki lain.

Li’an : Anak yang dilahirkan dari hubungan suami isteri yang sah, namun sang suami tidak mengakui anak itu sebagai keturunannya, dan qadhi (hakim syariat) memutuskan bahwa anak itu bukanlah dari nasab sang suami, setelah suami isteri itu diambil sumpahnya (li’an).

Maqashid al-syariah : Kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum.

Mitsaqan ghalidzan : Akad yang sangat kuat.

Nasab : Garis keturunan yang mengikatkan dua orang atau beberapa orang yang berhubungan dengan pertalian kekeluargaanberdasarkan hubungan darah melalui akad perkawinan yangsah.

Ta’zir : Suatu hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.

Tahsiniyyat : Kebutuhan pelengkap dengan mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas kebutuhan mendasar (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta),serta menyangkut hal-hal yang terkait dengan akhlak mulia.

Tandhimun Nasal : Memelihara keturunan

Wasiat wajibah : Wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.

Wathi’ syubhat : Persetubuhan yang samar status hukumnya.

Zina : Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tanpa memiliki ikatan perkawinan yang sah.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan bagian terpentingyang mengikatkan dua insan manusia dalam menjalani kehidupan. Ikatan ini bukan hanya memperkuat hubungan individu dan kekerabatannya, tetapi sekaligus memperluas hubungan umat manusia dalam interaksi sosial dan budayanya. Perkawinan juga merupakan cerminan dari rasa tanggung jawab antara kedua individu untuk secara bersama-sama mengarungi bahtera kehidupan dengan berbagai konsekuensi yang dihadapi.Setiap pasangan dalam perkawinan juga menyadari akan tugas dan tanggung jawab masing-masing berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan undang-undang positif yang berlaku.

Dalam kehidupan sosial dan budaya kita saat ini, terjadinya sebuah perkawinan diawalidari berbagai proses yang sangat beragam. Ada proses perkawinan yang dilalui dengan cara yang sesuai dengan norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial dan bernegara. Pada sisi yang lain, adapula perkawinan yang diakibatkan dari proses yang tidak sah dan melanggar nilai-nilai agama sertaaturan hukum positifyang berlaku di Indonesia. Di samping itu, di antara masyarakatmasih juga ditemukan pandanganbahwa perkawinan hanya sekedar legalitas untuk menjalin hubungan biologis semata, sehingga lahirlah berbagai persoalan yang diakibatkan dari praktik perkawinan seperti ini.

(17)

Pemahaman yang sempit dan keliru tentang perkawinan juga diperparah dengan semakin menguatnya budaya yang mengarah pada pergaulan bebas di antara kehidupan-kehidupan kaum muda saat ini.Kebebasan ini memberikan dampak negatif lainnya pada prilaku hubungan antara lelaki dan perempuan yang berujung pada hal- hal yang bertentangan dengan norma-norma adat, agama dan hukum positif yang sah.

Dari sekian banyak kasus yang terjadi akibat kebebasan tersebut, salah satunya adalah hubungan tanpa nikah yang menimbulkan masalah lainnya berupa terjadinya kehamilan, status anak hasil hubungan tersebut dan tanggung jawab masing-masing mereka saat wanita melahirkan anak tersebut. Termasuk pula status menikahi wanita hamil karena perbuatan zina yang dilakukan.

Di Indonesia, banyakfakta yang telah mengungkapkan praktik kebebasan pergaulan yang mengakibatkan hamil di luar nikah.1Fenomena menyimpang tersebut telah mengurangi kesakralan pernikahan yang seharusnya menjadi sesuatu yang suci dan melalui berbagai tahapan yang butuh perhatian dan keseriusan. Perkawinan bukan hanya sekedar untuk kepentingan biologis semata, tetapi juga memperoleh keturunan dalam rangka membentuk keluarga adalah tujuan utama dan pertama dari sebuah perjanjian perkawinan.2 Keturunan diharapkan dapat melanjutkan misi dan impian orang tuanya yang belum terealisasi dalam hidupnya.

1 Berdasarkan penelitian dari Australian National University, bersama Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (UI), Tahun 2010/2011, menyimpulkan bahwa dari 3006 responden yang diteliti menunjukkan bahwa 20.9 % (persen) remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Sementara 38,7 % (persen) yang mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah. Di samping itu, data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKB) tahun 2002 juga mencatat bahwa 4,8 % (persen) kehamilan terjadi pada anak usia 10 sampai 11 tahun.

Sedangkan pada usia produktif usia 15 sampai 19 tahun sebanyak 48,1 % (persen) terutama pada usia 17 tahun. Jelia Karlina Rachmawati, Penerimaan Diri Remaja Hamil Pra Nikah, (Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia, 2014), hlm. 2. Diakses melalui repository.upi.edu.

2Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, edisi revisi-2, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 53.

(18)

Islam merupakan agama yang sangat menghormati kedudukan manusia yang dibuktikan dalam berbagai hukum yang diterapkan. Penghormatan ini adalah untuk merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka.3

Jika disadari secara lebih mendalam, selain memperoleh dan memelihara keturunan yang sah, perkawinan juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan, memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.Termasuk pula membentuk dan mengatur keluarga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang, serta menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rizki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung jawab.4

Perkawinan sesunguhnya mengandung tiga hal penting yang sangat mendasar.

Pertama, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.Kedua, ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, kekal dan sejahtera.Ketiga, dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal ituberdasarkan keimanan.5

Dalam memelihara keturunan, ajaran Islam melarang perzinahan dan segala bentuk perbuatan yang dapat menghantarkan pada perzinahan. Perbuatan zina yang dilarang dalam Islam, bukan hanya mencakup tindakan kriminal pemerkosaan, tetapi

3 Abdul WahhabKhallaf, Kaidah-KaidahHukum Islam,alihbahasaNoerIskandar al- Barsany, Moh. TolchahMansoer, cet. ke-6, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 19960, hlm. 331.

4Imam al Ghazali, Ihya' Ulumuddin, Juz I, (Semarang: Toha Putra, t.tp.), hlm. 25.

5M. YahyaHarahap, HukumperkawinanNasionalBerdasarkanUndang-undang No. 9Tahun 1974 PeraturanPemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV. Zahir Trading 1975),hlm. 11.

(19)

juga hubungan seksual di luar nikah, meskipun didasarkan atas suka sama suka.6Meskipun rasa cintadan hasrat berhubungan seks kepada lawan jenis adalah fitrah manusia, namun agama Islam mengharamkan hubungan tanpa nikah atau zina.

Sebagaimana disebutkan dalam Alquran yang berbunyi:

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.(QS. Al-Isra: 32)7 Pelarangan perzinahan merupakan bagian dari memelihara keturunan dan kehormatan seseorang.Perzinaan juga merupakan tindakan di luar nikah yang berdampak pada status pernikahan yang dilakukan akibat perzinahan tersebut. Ini bermakna pula bahwa menikahi wanita hamil karena zina, bukan hanya memiliki implikasi sosial dalam kehidupan para pelaku tersebut dalam interaksi sosialnya, tetapi juga implikasi hukum, baik Hukum Islam maupun undang-undang perkawinan.

Dalam system perundang-undangan di Indonesia, ketentuan perkawinan telah diatur dalam beberapa aturan yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.

Aturan perkawinan dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan dan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia

6 Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:

Citapustaka Media Perintis, 2013), hlm. 24.

7Departemen Agama R.I., Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2000).

(20)

yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.8

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan perkawinan yang bersifat operasional dan diikuti oleh penegak hukum dalam bidang perkawinan itu. Aturan ini telah merumuskan beberapa hal penting yang bertujuan untuk membangun sebuah perkawinan yang memiliki nilai-nilai humanis dan agamis yang digali berdasarkan ramuan dari fiqih munakahat menurut apa adanya dalam kitab-kitab fiqih klasik. Di samping itu, produk hukum ini disertai sedikit ulasan dari pemikiran kontemporer tentang perkawinan dengan hukum perundang-undangan negara yang berlaku di Indonesia tentang perkawinan.9

Nilai-nilai humanis dan agamis dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), salah satunya tercermin dari isi Pasal 2 yang menyebutkan definisi pernikahan menurut Hukum Islam, yaitu:

“Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Dalam Pasal 3 dan 4 dari Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan secara jelas tujuan dari pernikahan, yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang aman dan tenteram (sakinah),saling mencintai(mawaddah), dansaling menyantuni (rahmah). Status perkawinan dapat dikatakan sah, apabila dilakukan menurut Hukum

8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), hlm. 1-2.

9Ibid.

(21)

Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara jelas mendefenisikan tentang perkawinan yang bertujuan untuk membangun kehidupan keluarga yang memiliki nilai bahagia dan keagamaan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 yang berbunyi:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suatu ikatan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkanTuhan Yang Maha Esa.”10 Dari rumusan hukum tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan nilai-nilai keagamaan. Ini berarti pula suami istri harus saling membantu di antara keduanya, agar mereka dapat mengembangkan kepribadiannya dan mencapai kesejahteraan spritual maupun material.

Dalam penjelasan umum Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juga menyebutkan bahwa tujuan materil yang akan diperjuangkan oleh sebuah perkawinan mempunyai hubungan yang kuat dengan nilai-nilai agama, sehingga bukan hanya berhubungan dengan unsur lahiriah atau jasmani, tetapi juga terkait erat dengan unsur bathiniah atau rohani.

Terjalinnya sebuah perkawinan juga tidak terlepas dari syarat sahnya sebuah perkawinan. Berdasarkan Hukum Islam, keabsahan perkawinan tersebut ditentukan

10Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan

(22)

setelah terpenuhinya syarat dan rukun yang telah diatur dalam Islam.11Ketentuan Hukum Islam yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam, telah secara jelas mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan, sehingga umat Islam di Indonesia khususnya dapat memedomani syarat- syarat dan rukun-rukun ini dalam melakukan penetapan perkawinan, baik yang terjadi secara normal maupun akibat dari perbuatan zina yang mengharuskan pasangan tersebut melakukan pernikahan.12

Begitu pula syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No.

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ketentuan yang ada dalam undang-undang ini juga telah menitik beratkan bahwa sahnya sebuah perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat danproseduryang ditentukan oleh undang-undang atau hukum negara dan hukumagama.13Syarat dan prosedur tersebut juga harus menjadi landasan bagi persoalan hukum yang terkait dengan praktik pernikahan yang terjadi sebagai akibat dari perbuatan zina atau menikahi wanita yang dalam keadaan hamil.

Persoalan menikahi wanita hamil karena zina bukan hanya menyisakan aspek status dan keabsahan dari pernikahan yang terjadi oleh pelaku atau bukan pelakunya saja, tetapi implikasi lainnya yang terkait dengan anak yang dikandung oleh perempuan yang berzina tersebut manakala lahir dan menjalani kehidupan layaknya anak-anak lainnya. Ini bermakna pula bahwa menikahi wanita hamil karena zina,

11SayutiThalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), hlm. 125.

12Zahri Ahmad, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta, t.tp.), hlm. 24.

13Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaanya, (Jakarta: Gitama Jaya,2003), hlm. 101-102.

(23)

pada dasarnya telah terikat sebuah keluarga yang memiliki ikatan hukum yang sah.

Namun pernikahan ini membawa persoalan bawaan yang terkait dengan tanggung jawab terhadap anak zina tersebut dan aspek-aspek kewarisan yang secara biologis melekat pada anak tersebut.

Secara umum, menikahi wanita hamil setidaknya memiliki dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, pria yang menikahi wanita hamil merupakan orang yang menghamilinya. Hal ini sering terjadi dalam masyarakat kita akibat si pria tersebut dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan seks dengan seorang wanita sebelum adanya akad nikah. Kedua, pria yang menikahi wanita hamil tersebut bukanlah orang yang menghamilinya. Fenomena ini juga terjadi dalam masyarakat kita dan umumnya karena untuk menutupi rasa malu keluarga si wanita. Artinya, akibat pria yang menghamili wanita tersebut tidak bertanggung jawab, maka dicarikan pria lain untuk mengawini wanita tersebut.14

Kehamilan seorang wanita disebabkan zina adalah kehamilan yang tidak diinginkan oleh semua orang. Saat dihadapkan pada situasi ini, seringkali wanita menjadi pihak yang paling merasakan tekanan psikologis yang sangat kuat. Jika kondisi seperti itu dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dilangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya, maka dikhawatirkan situasi lebih buruk akan terjadi. Kasus bunuh diri dan aborsi adalah contoh yang biasanya didominasi oleh tekanan psikologis akibat kehamilan di luar nikah. Kedua kasus tersebut dapat terjadi

14M. Ali Hasan, MasailulFiqhiyah Al-Haditsah, Cet. II, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 1997), hlm. 85.

(24)

karena wanita merasa hidupnya tidak nyaman, selalu dihantui rasa malu, rendah diri, perasaan berdosa, depresi, dan pesimis.15

Banyak kasus penyelesaian wanita hamil yang berzina atau di luar nikah biasanya menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan perkawinan antara wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya, tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandung.16Cara ini dianggap dapat menutup aib keluarga agar tidak diketahui masyarakat luas. Masyarakat dalam menanggapipraktik perzinaan, biasanya juga dengan melakukan pengasingan atau pengisolasian terhadap pelaku zina, keturunan, dan bahkan kepada keluarganya sekalipun.Pemahaman dan tindakan masyarakat seperti ini menandakan bahwa persoalan zina dalam kehidupan masyarakat adalah suatu hal yang sensitif, tabu dan jauh dari nilai-nilai budaya masyarakat.

Secara faktual, ada beberapa gejala (symtom) terjadinya pernikahan atau perkawinan dengan wanita hamil karena zina yang timbul di tengah masyarakat.

Pertama, pergaulan bebas, yaitu para pasangan terpaksa dinikahkan di Kantor Urusan Agama (KUA) berdasarkan persyaratan yang ada, karena orang tua dari anak perempuan telah hamil akibat pergaulan bebas yang dilakukan bersama pasangannya.17 Kedua, ketidak setujuan orang tua, yaitu pernikahan akibat hamil terjadi agar orang tua terpaksa menyetujui untuk menikahkan anaknya dengan

15 Zein, Asmar Yetti dan Suryani, Eko. Psikologi Ibu dan anak, (Yogjakarta: Fitramaya, 2005), hlm. 114.

16Berita Kendal, 25 Januari 2014. “114 pasangan hamil di luar nikah selama 2014”. Diakses melalui http://www.beritakendal.com/2015/01/25/114-pasangan-hamil-di-luar-nikah/

17Wawancara dengan Muhadin, Riska, Nursyiah, Yunita, Novia, dan Andika di Banda Aceh, tanggal 20 April 2015.

(25)

kekasih pilihannya. Hal ini terjadi karena orang tua dianggap tidak menyetujui anaknya berpacaran dengan pilihannya, sehingga atas dasar cinta, mereka sampai melakukan perbuatan zina yang berakibat si perempuan tersebut hamil. Akibat kehamilan inilah, akhirnya orang tua si perempuan tersebut terpaksa menyetujui keduanya dinikahkan untuk menutupi aib dan tanggungjawab pada pria tersebut.18 Ketiga, ketakutan akan kehilangan kekasih, yaitu terjadinya hubungan yang mengakibatkan hamil di luar nikah karena takut akan kehilangan pasangannya, sehingga dengan kehamilan tersebut, seorang pria tidak akan berpaling ke orang lain dan akhirnya dipaksakan untuk menikahi perempuan yang telah dihamilinya.19Keempat, seringnya bertemu, yaitu terjadinya hubungan yang mengakibatkan hamil di luar nikah karena seringnya bertemu antara seorang laki-laki dengan mantan istrinya untuk keperluan pemberian nafkah untuk anak-anaknya yang berada di bawah pengasuhan mantan istrinya.20Kelima, menutupi aib, yaitu menikahi wanita hamil karena zina dengan sukarela sebagai upaya untuk menutupi aib si wanita tersebut, karena laki-laki yang telah menghamilinya telah meninggal dunia dalam suatu kecelakaan.21Keenam, sering berpergian bersama, yaitu terjadinya hubungan yang mengakibatkan hamil di luar nikah karena seringnya berpergian bersama dalam sebuah pekerjaan yang dilakukan bersama-sama.22

18Wawancara dengan Mardina di Banda Aceh, tanggal 11 April 2015.

19Wawancara dengan Nasriah di Banda Aceh, tanggal 5 April 2015.

20Wawancara dengan Muhtar di Banda Aceh, tanggal 22 April 2015.

21Wawancara dengan Heru di Banda Aceh, tanggal 6 April 2015.

22Wawancaradengan Putra di Banda Aceh, tanggal 15 April 2015.

(26)

Fakta-fakta yang dijelaskan di atas merupakan kenyataan yang banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam konteks Aceh, terjadinya perbuatan zina tersebut disebabkan oleh pergaulan kaum muda yang sangat bebas dan lemahnya pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Dalam memberikan pemahaman yang benar terhadap Islam, khususnya yang berkaitan dengan perzinahan, Majelis Permusyawaratan Aceh telah melakukan sosialisasi tentang pemahaman tentang hukum nikah dan status anak luar nikah kepada masyarakat.23Solusi lainnya juga merekomendasikan pemberlakukan Qanun Jinayat di Aceh pada tahun 2015 sebagai sumber hukum bagi hakim di Aceh dalam memutuskan perkara-perkara pidana Islam bagi warga muslim di Aceh, salah satunya perbuatan zina.

Gejala-gejala sosial dari pernikahan wanita hamil karena zina yang disebutkan di atas, juga tanpa disadari oleh pelaku perzinahan atau bukan pelaku perzinahan, telah berdampak pada akibat hukum yang ditimbulkan dari ikatan pernikahan yang dilakukan. Akibat hukum pernikahan ini terkait dengan orang yang menikahi, perempuan yang dinikahi dan anak yang dilahirkan. Di samping itu, akibat hukum bawaan lainnya sangat terkait keberlangsungan hidup anak tersebut, baik yang terkait dengan hubungan nasab dan kewarisannya, maupun persoalan keabsahan perwalian dan nafkah anak zina tersebut.

Dalam rangka menjawab semua persoalan hukum yang berhubungan dengan status pernikahan dan akibat hukum dari menikahi wanita hamil tersebut, maka

23 Wawancara dengan Tgk. Faisal Ali, Ketua Majelis Ulama Indonesia Aceh atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, tanggal 23 April 2015.

(27)

pemahaman dan kejelasan hukum sangatlah penting. Dengan pemahaman dan kejelasan hukum inilah, maka segala solusi-solusi hukum,terutama yang berasal dari Hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia, dapat menjawab persoalan ini. Di samping itu, melalui kajian-kajian hukum ini akan diperoleh beberapa alternatif hukum lainnya yang dapat dijadikan sandaran untuk menjawab persoalan menikahi wanita hamil karena zina, baik aspek status hukum pernikahan tersebut, maupun akibat hukum yang dihasilkan dari pernikahan ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengkaji tentang

“Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

B. Masalah Penelitian

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan zina dalam perspektif Hukum Islam dan Undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

2. Bagaimana status hukum menikahi wanita hamil karena zina dalam perspektif Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

3. Bagaimana akibat hukum dari menikahi wanita hamil karena zina dalam perspektif Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974tentang Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya:

(28)

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang zina dan aturan-aturan yang terkait dengan hukuman bagi pelaku zina dalam perspektif Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis status hukum menikahi wanita hamil karena zina berdasarkan aturan-aturan yang terdapat dalam Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum menikahi wanita hamil karena zina berdasarkan Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan praktis, di antaranya:

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat dalam mengembangkan kajian ilmu hukum dan memberikan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan hukum menikahi wanita hamil karena zina berdasarkan sistem Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini bermanfaat dalam beberapa hal, yaitu:

a. Mendapatkan penjelasan-penjelasan normatif tentang statushukum dan akibat hukum menikahi wanita hamil karena zina dari sumber Hukum Islamdan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

(29)

b. Memberikan masukan dan solusi terhadap kasus-kasus pra-perkawinan dan pasca-perkawinan yang berhubungan dengan status setiap pasangan dalam kehidupan kita saat ini.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang perkawinan atau pernikahan, merupakan penelitian yang banyak dilakukan oleh para sarjana, khususnya bidang hukum. Namun, aspek status hukum menikahi wanita hamil karena zina merupakan penelitian yang jarang dilakukan. Penelitian yang berkaitan pernikahan dan wanita hamil selama ini, lebih menekankan pada aspek anak yang dikandung wanita tersebut. Seperti penelitian tentang “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, yang dilakukan oleh Ayu Yulia Sari.24 Hasil penelitian ini menyimpulkan adanya perbedaan prinsip atau kriteria terhadap anak luar nikah, antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang- undang Hukum Perdata.Anak luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam meliputi; (a) Anak zina, (b) Anak mula’nah, dan (c) Anak syubhat. Anak luar kawin dalam KUHPerdata meliputi; (a) Anak zina, (b) Anak sumbang, dan (c) Anak luar kawin yang lain. Di samping itu, terdapat pula perbedaan kedudukan terhadap anak luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

24 Ayu Yulia Sari, “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Tesis, Universitas Sumatera Utara, Prodi Magister Kenotariatan, 2011.

(30)

Penelitian lain yang memfokuskan pada aspek status anak yang dan wanita yang hamil di luar nikah, juga pernah dilakukan oleh Farida Hanum, tentang “Status Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”. Dari hasil penelitian Farida disimpulkan bahwa pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang perkawinan. Sementara dalam KHI, pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina terdapat pada Pasal 53 dan mengenai anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan wanita hamil karena zina adalah anak sah apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh laki-laki yang menghamilinya.25

Begitu pula penelitian tentang “Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Hukum Perdata BW”, yang ditulis oleh Fitri Zakiyah.26Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya perbedan dan persamaan mengenai status hak waris anak luar kawin tersebut. Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun Hukum Perdata (BW) masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal pengaturan status hak waris terhadap anak luar kawin ini.

Kelebihan dan kekurangan tersebut berasal dari sumber hukum yang digali dari proses legislasi kedua aturan perundang-undangan tersebut.

25Farida Hanum, “Status Anak yang

DilahirkandariPerkawinanWanitaHamilKarenaZinaMenurutKompilasiHukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan.” Tesis,Universitas Sumatera Utara, Prodi Magister Kenotarian, 2014.

26 FitriZakiyah, “Perbandingan Status HakWarisAnakLuarKawinAntaraKompilasiHukum Islam (KHI) denganHukumPerdata BW”, Tesis, Universitas Sumatera Utara, Prodi Magister Kenotariatan, 2010.

(31)

Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya secara jelas adanya perbedaan dengan penelitian yang akan diteliti ini. Penelitian sebelumnya lebih menggali aspek-aspek status anak dari hubungan di luar nikah dengan menggunakan tinjauan hukum yang ada. Namun, penelitian ini akan meneliti aspek-aspek normatif status perkawinan yang terjadi jika perempuan yang dinikahi sedang mengandung anak dari hubungan perzinaan atau hubungan di luar nikah, berdasarkan tinjauan Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum merupakan sebuah produk yang berisikan teori-teori yang berasal dari pemikiran atau penalaran intelektual, sehingga ilmu hukum disebut pula sebagai disiplin hukum. Disiplin adalah sistem ajaran yang berhubungan dengan kenyataan yang mencakup disiplin preskriptif dan disiplin analitis. 27 Disiplin preskriptif menyorot sesuatu (objek) yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sementara disiplin analitis menyorot sesuatu (objek) sebagai kenyataan. Ini bermakna pula bahwa hukum yang dirumuskan dalam undang-undang adalah hukum dalam norma atau kaedah yang memuat sesuatu yang dicita-citakan. Sebaliknya, hukum adat merupakan bentuk kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, merupakan kenyataan atau realitas hukum.28

27Soerjono Soekanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, Jakarta, 1990), hlm. 2.

28Ibid, hlm. 3

(32)

Dalam sebuah penelitian, landasan teori merupakan kerangka pemikiran, termasuk pendapat, teori dan tesis tentang suatu kasus atau permasalahan yang dijadikan sebagai bahan perbandingan dan pegangan teoritis yang dapat disetujui atau tidak disetujui sebagai masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam sebuah penulisan.29 Ini berarti pula bahwa teori sangatlah penting untuk menjadi alat dalam melakukan analisis sebuah kasus atau peristiwa hukum.

Penelitian ini menggunakan teori Maqashid Al-syari'ah, salah satu teorihukum Islam dalam menjelaskan tujuan atau maksud dari penetapan hukum atau syariat. Inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah lainnya yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah, yaitu maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.IbnuQayyim al- Jauziyah, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam,30menyebutkan bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatan hamba di dunia dandi akhirat. Syari'at semuanya mengandung keadilan, rahmat, dan hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah, bukanlah ketentuan syari'at.

Secara bahasa, maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata maqashid adalah bentuk jama' dari maqshad, berarti maksud dan tujuan. Sementara syari'ah, berarti hukum-hukum Allah yang ditetapkan bagi manusia untuk dipedomani, agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di

29M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

30Khairul Umam, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 127.

(33)

akhirat. Dari makna kebahasaan tersebut, dapat simpulkan bahwa maqashid al- syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Artinya, maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.31

Dalam pandangan Satria Effendi,32maqashid al-syari'ah memiliki pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian yang bersifat umum ini, identikdengan pengertian istilah maqashid al-syari' (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkanhadits hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.

Secara umum, kajian tentang hukum Islam, menurut Muhammad Yusuf Musa,33terdapat enam karakteristik dasar, yaitu:

1) Dasar-dasarnya yang umum berasal dari wahyu Allah;

2) Aturan-aturan hukum Islam yang dibuat dengan dorongan agama dan moral;

3) Balasan hukum Islam didapatkan di dunia dan akhirat;

4) Kecenderungan hukum Islam komunal;

31Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 5.

32SatriaEffendi M. Zein, UshulFiqh, Pendidikan Kader UlamaAngkatan ke-8 MUI, (Jakarta:

tp.,1998), hlm. 14.

33Muhammad Yusuf Musa, Al-Islam wa al-Hajah al-InsaniyyahIlaih, Terj. oleh A. Malik MadanidanHamimIlyasdenganjudul “Islam SuatuKajianKomprehensif”, (Jakarta: RajawaliPers, 1988), hlm. 160-179.

(34)

5) Dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan tempat;

6) Tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan kemudahan bagi kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.

Di samping itu, hukum Islam juga memiliki lima sifat dan karakteristiknya, yaitu: 1) sempurna; 2) elastis; 3) universal dandinamis; 4) sistematis; dan 5) bersifatta’aqqulidanta’abbudi.34Dilihat dari sisi objeknya, Muhammad Thahir dalam tulisan Zamakhsyari35, memilah maqashid al-Syari’ah dalam tiga klasifikasi, yaitu:

1. Al-Maqashid al-Ammah (tujuan-tujuan umum), yaitu sesuatu yang dipelihara syara’ dan diusahakan untuk diusahakan dalam berbagai bidang syariat, seperti menegakkan dan mempertahankan agama dari ancaman pihak musuh.

2. Al-Maqashid al-Khassah (tujuan-tujuan khusus), yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam topik bab tertentu, seperti tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam masalah perkawinan dan keluarga.

3. Al-Maqahis al-Juz’iyyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam menetapkan hukum syara’, yaitu hukum wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah terhadap sesuatu, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, dan penghalang. Misalnya, nikah itu disyariatkan untuk memelihara keturunan dan menjaga kehormatan, dan jual-beli diperbolehkan untuk memudahkan manusia memenuhi kebutuhan mereka masing-masing.

34FathurrahmanDjamil, FilsafatHukum Islam, (Jakarta: Logos, 1997), hlm. 46-53.

35Zamakhsyari, Op.Cit., hlm.. 6.

(35)

Dalam hukum Islam juga terdapat lima prinsip-prinsip pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara manusia, sehingga didatangkan syariat yang mengandung perintah, larangan, dan keizinan yang harus dipatuhi. Kelima prinsip tersebut disebut dengan ‘al Kulliyat al-Khamsah, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.36

Dalam kaitannya dengan penetapan hukum, kelima unsur pokok tersebut dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitu daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. Kelima unsur pokok sangat penting dikaitkan dengan ketiga peringkat ini, sehingga penetapan hukum akan sesuai dengan porsi dan kepentingannya.37 Menurut As- Syatibi, seperti dikutip Zamakhsyari38, daruriyyat adalah kemaslahatan mendasar yang mencakup dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima pokok di atas, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seandainya kemaslahatan tersebut hilang, maka kehidupan manusia dapat hancur dan tidak selamat, baik di dunia dan di akhirat. Adapun hajiyyat adalah kemasalahatan dalam rangka perwujudan dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Hajiyyat merupakan aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang. Sementara tahsiniyyat dimaksudkan untuk mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas kelima pokok kebutuhan mendasar di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan akhlak mulia.

36Ibid, hlm. 13-26.

37FathurrahmanDjamil, Op. Cit., hlm.126.

38Zamakhsyari, Op.Cit, hlm. 8.

(36)

Dalam pemahaman Abdul Wahab Khalaf, tujuan syara’ dalam pembentukan hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin kebutuhan pokoknya (daruriyyat),memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan pelengkap (tahsiniyyat) mereka.39Adapun hal yang bersifat daruri merupakan sesuatu yang menjadi pokok kebutuhan dari kehidupan manusia dan wajib adanya untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia itu (primer).

Sedangkan hal yang bersifat haji (sekunder) adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan dan lapang. Termasuk juga untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul dan kepayahan- kepayahan dalam mengarungi kehidupan..40 Sementara tahsini merupakan sesuatu yang dituntut oleh norma dan tatanan hidup, serta berprilaku menurut jalan yang lurus. Hal-hal yang bersifat membuat elok manusia (tahsini) dalam pengertian ini adalah berpangkal kepada akhlak mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan perikehidupan manusia menurut jalan yang paling baik.

Hal-hal yang bersifat primer manusia, seperti yang telah diuraikan, adalah bertitik tolak kepada lima perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin pewujudan dan pemeliharaannya. Lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.

39 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, alih bahasa, Noer Iskandar al- Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, Ed. 1, Cet. 8, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 319.

40Ibid.,hlm. 323.

(37)

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (hubungan vertikal) dan hubungan antara sesama manusa (hubungan horisontal). Dalam hubungannya dengan jiwa, Islam mensyariatkan perkawinan untuk beranak-pinak dan melangsungkan keturunan serta melanggengkan jenis (manusia) pada keadaan yang paling sempurna.Untuk memelihara jiwa dan menjamin kelangsungan hidupnya, syariat Islam juga mewajibkan memperoleh sesuatu yang dapat menegakkan jiwa tersebut, berupa makanan pokok, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Di samping itu, Islam juga mengharamkan manusia menggunakan jiwa untuk kerusakan dan mewajibkan mempertahankan jiwa manusia dari bahaya.41

Dalam upaya memelihara akal, Islam mensyariatkan pengharamankhamar atauminuman keras dan setiap minuman yang memabukkan. Termasuk pula memidana orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apapun yang dapat merusak akal. Untuk memelihara kehormatan (al-‘irdh), Islam mensyariatkan had atau dera bagi lelaki atau perempuan yang berzina dan dera bagi penuduh berbuat zina (al-qodzif). Begitu pula dengan harta, Islam mensyariatkan kewajiban usaha mencari rezeki dan membolehkan hubungan usaha (muamalah), barter (mubadalah), perdagangan (tijarah) dan berniagara dengan harta orang lain (mudharabah).42

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam mensyariatkan beberapa hukum dalam berbagai dimensi, baik ibadah, muamalah dan pidana (uqubah), dengan tujuan

41Ibid.,hlm. 324.

42Ibid.,hlm. 325.

(38)

untuk menjamin keperluan pokok manusia dengan cara mewujudkan, memelihara dan menjaganya.Keberadaan lima prinsip-prinsip pokok yang harus dipelihara manusia sebagai bagian dari makna didatangkan syariat Islam, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, kemudian dihubungkan dengan kelompok peringkat daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat, akan dijadikan analisis dari keberlakukan hukum yang terdapat dalam penelitian ini, khususnya yang terkait dengan zina dan hubungan dengan status dan akibat hukum dari menikahi wanita hamil karena zina.

2. Konsepsi

Dalam penelitian ini, ada beberapa konsepsi penting yang harus didefinisikan secara jelas sebagai intisari dari objek penelitian, yaitu:

a. Pernikahan adalah kata lain dari perkawinan yang berarti ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri, yang bertujuan untuk membentuk sebuah keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keimanan.43

Menurut Ramulyo,44 pernikahan menurut kata asalnya berarti aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita. Asal hukum melakukan perkawinan menurut pandangan sebagian besar para ahli fikih atau fuqaha adalah mubah atau ibahah (halal atau kebolehan). Namun demikian, dasar hukum melakukan

43Zainuddin Ali, Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 7.

44Mohd Idris Ramulyo, HukumPerkawinan Islam, SuatuAnalisisdariUndang-undangNomor 1 Tahun 1974 danKompilasiHukum Islam, (Jakarta: BumiAksara, 2002), hlm. 1.

(39)

perkawinan yang mubah dapat berubah-rubah berdasarkan sebab-sebab kasusnya dapat beralih menjadi makruh, sunat, wajib dan haram.

b. Zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tanpa memiliki ikatan perkawinan yang sah. Menurut Ibnu Rusyd, dalam tulisan Abdul Azis Dahlan,45 menyebutkan bahwa zina terbagi dalam dua kategorisasi. Pertama, Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh seseorang yang telah atau pernah menikah. Kedua, Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah melakukan pernikahan atau masih berstatus perjaka atau perawan. Kedua bentuk zina tersebut, menurut hukum Islam, merupakan pelanggaran yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis Nabi dan memiliki hukuman masing-masing.

c. Wanita hamil karena zina adalah seorang wanita yang hamil akibat zina, sebelum melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.46 d. Anak zina adalah anak yang lahir dari sebuah hubungan yang tidak sah

berdasarkan hukum agama Islam. Hasanain Muhammad Makhluf, dalam tulisan Abd. Aziz Dahlan47 mengistilahkan anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan tidak sah tersebut merupakan hubungan badan atau senggama (wathi’) antara dua orang

45 Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), hlm. 23.

46Mohd Idris Ramulyo, Op.Cit., hlm. 45.

47Abd. AzizDahlan, Op.Cit., hlm. 40.

(40)

yang tidak terikat pernikahan yang memenuhi unsur-unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.

Menurut J. Satrio,48 anak zina merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dimana salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Di samping itu, adapula istilah anak luar kawin, yaitu anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan, yang kedua-duanya tidak memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan menikah.

Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat pula istilah anak sumbang, yaitu anak yang dilahirkan dari hubungan di antara laki-laki dan seorang perempuan, yang diantara kedua-duanya ada larangan menikah.

Istilah anak zina dalam literatur primer Hukum Islam memiliki istilah yang jelas dan dikenal di tengah kehidupan masyarakat. Namun, dalam rujukan perundang-undangan Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam, tidak menyebutkan istilah anak zina sebagai istilah yang baku atau tekstual. Istilah yang menunjukkan anak zina dalam Kompilasi Hukum Islam adalah “anak yang lahir di luar pernikahan yang sah”. Hal tersebut, sebagaimana tertulis pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 43 ayat (1), disebutkan pula bahwa anak

48J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.103 .

(41)

yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Dengan demikian, anak zina yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak yang janin, yang pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, atau anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah sebagai akibat dari perbuatan zina tersebut.

e. Hukum Islam adalahkaidah yang dijadikan sebagai patokan perbuatan manusia, baik beribadah dan bermuamalah. Dalam hukum Islam dibagi menjadi lima kaidah, yaituwajib, sunah, mubah, makruh dan haram.49 Menurut Amir Syarifuddin, dalam konteks hukum perkawinan Islam di Indonesia, maka Hukum Islam yang bersifat operasional dan diikuti oleh penegak hukum dalam bidang perkawinan adalah Instruksi Presiden No. InstruksiPresiden No. 1 Tahun 1991 tentangKompilasiHukum Islam(KHI). KHI ini merupakan ramuan dari fiqih munakahat menurut apa adanya dalam kitab-kitab fiqh klasik, disertai ulasan dari pemikiran kontemporer tentang perkawinan dengan hukum perundang-undangan perkawinan yang berlaku di Indonesia.50

f. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah peraturan perundangan Indonesiayang berhubungan dengan perkawinan menurut hukum perkawinan Islam dan berlaku secara khusus di negara Republik Indonesia.51

49Muchsin, Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: BP Iblam, 2004), hlm. 1.

50Amir Syarifuddin, Op.Cit., hlm. 1.

51Ibid.

(42)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan pencarian atas sesuatu (inqury) secara sistematis dengan menekankan bahwa pencarian tersebut dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan.52 Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum.53 Dengan kata lain, penelitian yuridis normatif yaitu dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statue approach) yang mengacu pada peraturan perundang- undangan, khususnya hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.

Selanjutnya menganalisis hukum tersebut, baik yang tertulis didalam buku, melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia.54

Menurut Soekanto, penelitian yuridis normatif merupakan penelitian hukum yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier.55 Bahan hukum primer diperoleh dari hukum Islam, termasuk Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan. Sementara bahan hukum sekunder diperoleh melalui sumber-sumber yang berasal dari penelitian kepustakaan (library research). Adapun bahan hukum tertier, berasal dari bahan

52Mohd. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 10.

53BambangWaluyo, MetodePenelitianHukum, (Semarang: PT. Grafika Indonesia, 1996),hlm. 13.

54Mohd. Nazir, Op.Cit., hlm. 15.

55 Soerjono Seokanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Kajian Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 13-14.

(43)

hukum yang berisikan penjelasan terhadap data primer dan data sekunder, yaitu kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal, serta laporan-laporan ilmiah yang akan mendukung analisis penelitian ini.

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menguraikan dan menganalisis tentang persoalan hukum menikahi wanita hamil karena zina menurut hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.56

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang dikumpulkanberasal dari data sekunder. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin, data sekunder terbagi dalam tiga katagori, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Dalam penelitian, maka bahan hukum primer dalah hukum Islam, termasuk Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Data primer juga berasal dari sumber wawancara dari informan penelitian ini.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti; buku-buku, artikel, pendapat pakar hukum maupun makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini.

56Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43.

(44)

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang membantu dalam memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, dan kamus bahasa.57

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research), yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuranliteratur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran, artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.58 Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca,mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari bukuliteratur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yangberhubungan dengan masalah yang diteliti.

Di samping itu, pengambilan data juga berasal dari penelitian lapangan (field research) dengan melakukan wawancara terhadap informan penelitian. Wawancara merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.59 Dalam penelitian ini, informan yang diwawancarai berasal Majelis Ulama Indonesia dan Kantor Urusan Agama atau P3N.

57Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 31.

58 Sumandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 19.

59 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 135

(45)

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif. Kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur, baik yang berupa buku, peraturan perundangan, tesis, disertasi, dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa.

Analisis data ini dilakukan setelah setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan, pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi, sehingga diketahui reliabilitas data tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.60 Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan tinjauan teori maqashid syariah yang dijadikan sebagai alat analisis dari permasalahan yang dikaji.

Dalam arti yang lain, analisis data penelitian berisikan uraian tentang cara- cara analisis dengan menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa manfaat data yang terkumpul untuk selanjutnya digunakan untuk memecahkan masalah yang dijadikan objek penelitian.61

60Lexy Moleong, MetodePenelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 7.

61Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Jambi: Mandar Maju, 2008), hlm. 174.

(46)

A. Zina Dalam Perspektif Hukum Islam

Dalam perspektif hukum Islam, zina adalah hubungan kelamin di antara laki- laki dan perempuan tanpa adanya sebuah ikatan perkawinan yang sah, dilakukan dengansadar dan tanpa adanya unsur syubhat.62 Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi tanpa didasari oleh pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah (syubhat) dan bukan pula karena pemilikan (terhadap hamba).63 Adapun Sayyid Sabiq, menggambarkan zina sebagai hubungan kelamin sesaat yang tidak bertanggung jawab.64

Para ulama memiliki berbagai definisi tenang zina, di antaranya:

1. Mazhab Malikiyah, zina diartikan sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.

2. Mazhab Hanafiyah, zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kelamin) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku Hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada syubhat dalam miliknya.

62Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: PT Al-Maarif, 1996), hlm. 86-87.

63 Ibnu Rusyd, Bidayah Mujtahid, terjermahan Abu Usamah Fakhtur Rokhmin,(Jakarta:

Pustaka Azzam, 2007), hlm. 875.

64Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 9 , (Kuwait: Dar al-Bayan, 1968), hlm. 90.

Referensi

Dokumen terkait

Sorotan utama dalam perkawinan wanita hamil karena zina (perkawinan di bawah umur) adalah masalah ekonomi. Karena kondisi ekonomi yang belum mapan bagi seorang laki-laki

1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim.. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan Undang-Undang

Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa boleh menikahi wanita hamil akibat zina, karena didalam al- Quran wanita hamil akibat

mengikuti ayahnya. Oleh karena sangat penting untuk tidak menikahi wanita budak yang sedang hamil, karena akan terkait dengan status anaknya nanti. Dan oleh

Perbedaan pendapat ulama tentang menikahi wanita hamil karena zina sedikit membawa rahmat bagi ummat, karena dengan adanya pendapat boleh dinikahi oleh bukan orang yang

Dalam hukum Islam, melakukan hubungan kelamin antara pria dan wanita tanpa diikat oleh tali perkawinan (akad nikah) yang sah disebut zina. Hubungan seks tersebut tanpa dibedakan

Perkawinan wanita hamil karena zina tidak boleh dilakukan, apabila tetap dilakukan perkawinannya tidak sah baik dengan laki-laki yang bukan menghamilinya,apa lagi dengan laki-laki

dari segi syarat-syarat perkawinan.13 Dalam Pasal 2 ayat 1 dikatakan, bahwa perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.14 Secara umum,