• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perjanjian internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada perjanjian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan nasional. Sehubungan dengan itu, maka akibat dari perjanjian dibagi menjadi tiga, yaitu;56

1. Akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak;

Selain asas pacta sunt servanda yang digunakan, sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional

55

Ketentuan Pasal 11 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut :

“The consent of a States to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instrument constitutinga treaty , acceptance, apporval or accession, or by any other means if so agreed”

56

bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith,” yang berarti bahwa negara-negara yang terikat pada suatu perjanjian harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam perjanjian internasional yang telah disetujuinya dengan itikad baik. Negara yang terikat pada perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian. 2. Akibat perjanjian terhadap negara lain;

Perjanjian internasional selain berakibat pda negara-negara dalam pihak perjanjian juga mempunyai akibat terhadap negara lain Disini berlaku prinsip terkenal pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan

kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga.57

Namun ada pengecualian terhadap prinsip tersebut, yaitu58;

a) Perjanjian yang mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan mereka.

Perjanjian ini memberikan hak kepada negara ketiga atas persetujuan negara ketiga tersebut, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang hukum Perjanjian yang berbunyi;

Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam bentuk tertulis.

57

Ibid., hlm. 143

b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga.

Klausula Most-Favoured Nation adalah suatu mekanisme yang sering dipakai dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini berarti bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara (negara A), dalam kaintannya dengan suatu perjanjian di bidang tertentu dengan negara lain (negara B), akan dinikmati pula oleh negara ketiga (negara C).

c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka.

Pengecualian mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa PBB harus memastikan negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional. Jadi, negara bukan anggota PBB sepanjang mengenai perdamaian dan keamanan internasional

harus bertindak sesuai dengan asas dari piagam. 59

3. Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional Negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian berarti negara tersebut sudah terikat dengan perjanjian untuk itu harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Perjanjian internasional kemudian harus dituangkan dalam perundang-undangan negara yang terikat

59

sebagai wujud pelaksanaan perjanjian secara nasional oleh negara tersebut.

Jika, suatu negara menolak pelaksanaan perjanjian internasional karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum nasional negaranya padahal sudah terikat maka, tidak dapat dijadikan alasan bagi negara tersebut untuk megalahkan perjanjian internasional dari hukum nasionalnya karena terdapat asas pacta sunt servanda, sehingga tetap perjanjian internasional yang dimenangkan. Sebab, sebelum terikatnya negara dalam perjanjian internasional sudah melewati tahapan-tahapan dalam penyesuaiannya dengan perjanjian internasional tersebut. Kecuali, jika alasan yang digunakan adalah mengenai masalah yang sangat mendasar dan fundamental bagi suatu negara.

Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek

internal. Aspek eksternalnya adalah keterikatan negara yang

bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara yang lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Sedangkan aspek internalnya berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan, misalnya organ yang manakah dari pemerintah negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, bagaimanakah mekanismenya sampai dengan dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada

perjanjian, serta konsekuensinya terhadap hukum nasional dari

keterikatan pada perjanjian60.

Suatu negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian

internasional dan juga telah mengundangkan ke dalam hukum nasionalnya, serta beberapa hal juga telah menjabarkan atau mentransformasikan ke dalam hukum nasionalnya sendiri, dalam pelaksanaannya di dalam wilayahnya, juga akan berhadapan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain.

Dalam hal ini terdapat beberapa kemungkinan yang akan dihadapi, yakni :

1. Substansi maupun isi dan jiwa dari perjanjian itu sendiri selaras dengan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lain. Dalam hal ini tentulah tidak ada atau amat sedikit masalah yang muncul berkenaan dengan penerapan perjanjian internasional itu, baik secara internal maupun eksternal.

2. Setelah diratifikasi dan diterapkan oleh negara yang bersangkutan baru diketahui bahwa perjanjian tersebut terdapat beberapa isi atau ketentuannya ternyata bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya.

Dalam hal kemungkinan kedua yang mungkin akan terjadi maka demi memelihara dan mempertahankan tertib masyarakat internasional, dan demi mempertahankan nilai-nilai dan tujuan luhur dari

60

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 144-145

perjanjian internasional serta juga supaya negara-negara tidak mudah menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk mengesampingkan suatu perjanjian internasional, hal ini ditegaskan dalam Pasal 27 Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1986) yang berbunyi :

“A party may not invoke the provisions of its internal law as justification of its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46.” (Salah satu pihak tidak boleh menjadikan ketentuan dalam hukum nasionalnya sebagai pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan suatu perjanjian internasional. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mengabaikan Pasal 46).

Maksud dari ketentuan ini adalah untuk membatasi penyalahgunaan perjanjian atas alasan berdasarkan hukum nasional, yang kemudian akan menimbulkan akibat / dampak buruk terhadap perjanjian internasional itu

sendiri maupun terhadap negara peserta lainnya.61