• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities2006 dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

2. Penerapan Convention on the Rights of Persons with Disabilities2006 dalam Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat di Indonesia

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya. Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu:

a) Penyandang cacat fisik, meliputi:

a. Penyandang cacat tubuh (tuna daksa); b. Penyandang cacat netra (tuna netra); c. Penyandang cacat tuna wicara/rungu;

d. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis);

b) Penyandang cacat mental, meliputi :

a. Penyandang cacat mental (tuna grahita); b. Penyandang cacat eks prikotis (tuna laras); c) Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda;

Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap

kedudukan, hak, kewajiban dan peran para penyandang cacat, disamping dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain peraturan yang mengatur masalah ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan dan lainnya yang telah disebutkan sebelumnya. Peraturan tersebut memberikan jaminan kesamaan kesempatan terhadap ppenyandang cacat pada bidang-bidang yang menjadi cakupannya, dan dalam rangka memberikan jaminan tersebut

kepada penyandang cacat diberikan kemudahan-kemudahan

(aksesibilitas).80

Pemberian aksesibilitas terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana diungkapkan dalam penjelasan UU No 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan

jumlah penyandang cacat di masa depan.81

80

Uning Pratimaratri, 2005, Jaminan Aksesibilas bagi Penyandang Cacat, dalam Hak Asasi Manusia - hakekat, konsep dan implikasinya, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm 255.

81

“... upaya perlindungan saja belumlah memadai; dengan pertimbangan bahwa jumlah penyandang cacat akan meningkat pada masa yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan

Pada kenyataannya betapa sulit seorang penyandang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas-fasilitas publik, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah diakses oleh penyandang cacat dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya (wanita hamil dan lansia). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan menggunakan fasilitas penyeberangan jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan

untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum.82

Setiap perundang-undangan tertulis didalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundang-undangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan sosial penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk

mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.83

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memajukan hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak penyandang cacat. Kewajiban pemerintah tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif (pembuatan peraturan perundang-undangan) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan

upaya lain terutama dengan penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya.”

82

Ibid., Hlm 260.

83

eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitas bagi penyandang cacat dari segi jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup di memadai. Namun perumusannya lebih banyak yang bersifat negatif, yaitu memberikan hak bagi penyandang cacat. Perumusan negatif ini antara lain jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan sosial, perkeretapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan dan pendidikan. Perumusan positif yaitu memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi.

Dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya peraturan perundang-undangan yang telah ada menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan belum dapat dilaksanakan. Maka peraturan yang telah ada pun untuk pengaturan hak-hak penyandang cacat sebelum ratifikasi masih belum sesuai dengan konsep HAM yang telah ada.

Indonesia ikut menandatangani konvensi pada tanggal 30 Maret 2007 pada waktu dibuka pertama kali penandatanganan dengan urutan ke-9. Pada waktu itu Negara Indonesia diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dengan didampingi oleh Direktur Jenderal Pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial Makmur Sunusi dan ketua Umum Persatuan

Penyandang Cacat indonesia, Siswadi.84

Dalam upaya ratifikasi Konvensi Hak-hak penyandang cacat ini sesuai dengan pasal 43 Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat, Indonesia sebagai penandatangan Konvensi wajib meratifikasi (mengikat diri) dengan Konvensi. Keinginan meratifikasi juga didorong oleh alasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Tujuan pengesahan Konvensi tersebut adalah untuk memperkuat penghormatan, perlindungan, pemenuhan dan

pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di segala bidang.85

Sesuai dengan ketentuan pembuatan peraturan perundang-undangan, Rancangan Undang-undang Pengesahan Konvensi dibuat dengan disertai Naskah Akademis dan terjemahan resmi Konvensi ke dalam Bahasa Indonesia. Upaya penterjemahan dimulai dengan meninjau ulang istilah “penyandang cacat” yang selama ini berlaku di Indonesia pada pertemuan yang dihadiri oleh berbagai instansi, organisasi penyandang cacat, Komnas HAM dan ahli bahasa pada bulan Janauari 2009 di Cibinong Bogor. Pertemuan ini digagas oleh Kementerian Sosial bekerjasama dengan Komisi Hak Asasi Nasional. Pertemuan belum menyepakati secara penuh istilah terjemahan persons with disabilities dalam bahasa Indonesia, tetapi

merekomendasi 6 usulan istilah untuk dibahas lebih lanjut.86

84 Kronologis Upaya Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas), Diakses pada tanggal 3 Januari 2012.

85

Ibid., Hlm 2.

86

Sementara itu, atas usulan berbagai instansi / lembaga / kementerian dan organisasi sosial penyandang cacat, Kementerian Sosial didesak untuk segera memulai proses ratifikasi. Menteri Sosial mengajukan proses ratifikasi kepada Menteri Luar Negeri untuk selanjutnya meminta ijin prakarsa kepada Presiden. Menteri Sosial memperoleh Persetujuan Izin Prakarsa proses ratifikasi Konvensi ini melalui Surat menteri Sekretaris Negara No. B-72/M.Sesneg/D-4/02/2009 tanggal 17 februari 2009. Proses terjemahan terus berlangsung bersamaan dengan pembuatan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Convention on the rights of Persons with Disabilities dengan konsultasi antar kementerian, lembaga dan organisasi penyandang cacat disertai pula dengan sosialisasi isi Konvensi di tingkat pusat dan daerah baik itu dilakukan oleh Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, berbagai Organisasi penyandang cacat maupun Komisi Nasional HAM serta instansi dan lembaga lainnya.

Upaya finalisasi terjemahan resmi naskah CRPD ke dalam bahasa Indonesia kembali dilanjutkan dengan difasilitasi oleh Komisi Nasional HAM dan Kementerian Sosial. Komisi Nasional HAM mengundang para pakar di bidang filsafat, komunikasi, psikologi, hukum hak asasi manusia, linguistik, bidang kecacatan, dan praktisi bidang kecacatan (disabilitas) untuk mendapatkan satu terminologi terjemahan resmi person with disability ke dalam bahasa Indonesia. Dalam proses ratifikasi konvensi ini,

Indonesia mengajukan reservasi (persyaratan)87 dalam konvensi tersebut, disability yang diterjemahkan menjadi istilah “penyandang cacat” yang

dipergunakan selama ini tidak lagi dikendaki dengan alasan :88

1. Dari aspek bahasa, kata cacat secara denotatif mempunyai arti yang bernuansa negatif, seperti penderita, kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik, cela, aib, dan rusak. Kata cacat juga mempunyai makna konotatif yang berupa rasa merendahkan atau negatif. 2. Kata cacat muncul karena adanya suatu kekuasaan (kelompok atau negara) yang memberikan kata tersebut sebagai identitas kepada sekelompok manusia yang dianggap cacat. Cacat sesungguhnya merupakan konstruksi sosial bukan realitas keberadaan seseorang.

3. Secara filosofis, tidak ada orang yang cacat. Manusia diciptakan Tuhan dalam keadaan yang paling sempurna dan dengan derajat yang setinggi-tingginya.

4. Dampak psikososial dari adanya istilah “penyandang cacat” antara lain: menciptakan jarak sosial, membuat subyek dan orang-orang terdekat

merasa bersalah, orang yang disebut “penyandang cacat”

mengkonstruksikan diri sebagai tidak lengkap, tidak mampu, tidak diharapkan, dan memposisikan sebagai korban.

5. Secara empirik, istilah “penyandang cacat” yang digunakan selama ini telah menimbulkan sikap dan perlakuan yang tidak baik kepada orang yang disebut sebagai penyandang cacat. Istilah “penyandang cacat” telah menimbulkan kekeliruan dalam memahami keberadaan (eksistensi) orang yang disebut “penyandang cacat”. Kecacatan dianggap sebagai identitas dari sesorang, yang lebih rendah daripada orang yang disebut tidak cacat. Padahal ke-‘cacat’-an bukanlah suatu keadaan yang menentukan kualitas terhadap yang tidak ‘cacat’. Ke-‘cacat’-an bukanlah ukuran suatu keterbatasan eksistensi manusia. Ke-‘cacat’-an hanyalah kondisi tertentu dari manusia yang mengantarkan dirinya kepada permasalahan ‘perbedaan cara’ di tingkatan realitas ketika menghadapi kehidupan itu sendiri, dibandingkan manusia lainnya.

Pada waktu itu ditetapkan kriteria yang termuat dalam terminologi baru

yang diinginkan sebagai berikut :89

87 Dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, ketentuan mengenai pensyaratan ini secara terperinci diatur dalam pasal 19 sarnpai dengan pasal 23.

Reservasi (reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral.

88

a. Mendeskripsikan secara jelas subyek yang dimaksud dengan istilah tersebut (deskriptif maksimalis).

b. Mendeskripsikan fakta nyata.

c. Tidak mereinkarnasikan atau melembagakan unsur negatif (tidak melecehkan).

d. Menumbuhkan semangat pemberdayaan.

e. Memberikan inspirasi hal-hal positif (menonjolkan hal-hal positif). f. Istilah belum digunakan pihak lain untuk mencegah kerancuan istilah g. Memperhatikan ragam pemakai dan ragam pemakaian

h. Dapat diserap dan dimengerti oleh pelbagai kalangan secara cepat

i. Bersifat representatif-akomodatif-baku untuk kepentingan ratifikasi Konvensi

j. Bukan istilah yang mengandung kekerasan bahasa atau mengandung unsur pemanis

k. Mempertimbangkan keselarasan istilah dengan istilah internasional l. Memperhatikan perspektif linguistik.

m. Mengandung penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia n. Menggambarkan kesamaan atau kesetaraan.

o. Enak bagi yang disebut dan enak bagi yang menyebutkan. p. Memperhatikan dinamika perkembangan masyarakat.

Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti “penyandang cacat” yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu, kemudian dibahas kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di Bandung menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia dari person with disability. Istilah “penyandang disabilitas” yang disetujui dalam pertemuan para pakar dalam perumusan terminologi istilah pengganti “penyandang cacat” yang digagas Komisi Nasional HAM pada bulan Maret 2010 di Jakarta itu, kemudian dibahas 89

kembali dalam pembahasan Naskah Akademis dan RUU pengesahan CRPD dari lintas kementerian negara, instansi, lembaga, serta organisasi penyandang cacat, akademisi dan Komisi Nasional HAM di Bandung, April 2010 yang difasilitasi Kementerian Sosial. Pertemuan di Bandung menyepakati istilah “penyandang disabilitas” sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia dari person with disability.

Setelah terjemahan resmi naskah Konvensi disepakati dan Naskah Akademis serta RUU Pengesahan dibuat, pada tanggal 31 Desember 2010 dilakukan proses harmonisasi perundang-undangan dengan menghadirkan wakil dari berbagai kementerian di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan HAM. Pada waktu itu juga tersirat keinginan untuk meratifikasi semua pasal CRPD kecuali Optional Protokol. Optional Protokol tidak dipilih karena Indonesia tidak menganut sistem pengaduan individual pada Komisi HAM Internasional. Pada tanggal 18 Oktober 2011, Sidang Paripurna DPR RI menyetujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Ini berarti Indonesia menjadi negara ke 107 yang meratifikasi

Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.90

Indonesia melakukan tindakan yang tepat dengan melakukan penandatanganan dan ratifikasi terhadap konvensi hak penyandang cacat jika dilihat dari beberapa peraturan sebelum adanya konvensi ini yang kurang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan pengesahan konvensi ini merupakan titik awal dari perjuangan panjang seluruh elemen bangsa,

90

untuk memajukan hak-hak penyandang cacat. Pelaksanaan Konvensi ini akan mendorong seluruh pihak untuk melakukan langkah penyesuaian yang mendasar dalam penanganan kelompok masyarakat penyandang cacat. Sebuah perubahan yang memungkinkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif bagi penyandang cacat. Sebuah perubahan yang menjadikan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat yang senantiasa memiliki kepedulian terhadap hak-hak penyandang cacat.

Dengan dilakukannya pengesahan konvensi ini maka terdapat dasar hukum di Indonesia yang saat ini masih bersifat rancangan undang-undang, yaitu RUU tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Cacat.

Dilihat dari definisi yang dicantumkan oleh RUU mengenai penyandang cacat lebih lengkap dan jelas apabila dibandingkan dengan CRPD atau UU tentang Hak Asasi manusia yang tidak memberikan definisi mengenai penyandang cacat secara khusus serta UU tentang penyandang cacat yang memberikan definisi yang dirasa kurang tepat.

Definisi yang dicantumkan dalam UU tentang Penyandang Cacat bermasalah karena beberapa alasan. Pertama, orang yang mengaku dirinya adalah penyandang disabilitas harus membuktikan bahwa mereka tidak dapat ‘melakukan secara selayaknya’. Seseorang tidak perlu diharuskan membuktikan hal ini, dan hubungan antara kedua konsep tersebut membatasi penerapan peraturan nondiskriminasi. Dengan mengaitkan kedua

konsep tersebut, seseorang yang telah menerima pengobatan/perawatan atas kelainan yang dimilikinya dan kemudian dapat ‘melakukan secara selayaknya’, namun masih menghadapi diskriminasi, tidak tercakup dalam definisi ini. Demikian pula halnya dengan orang yang memiliki kelainan namun tidak ‘mengganggu’ atau ‘merupakan rintangan dan hambatan’ karena kondisi tertentu (misalnya karena memiliki kekayaan).

Bila ‘penyandang cacat/disabilitas’ didefinisikan dalam suatu peraturan, maka definisi ini harus mengadopsi pendekatan berbasis HAM dan bahwa kelainan (fisik ataupun mental) orang tersebut harus memicu mekanisme perlindungan seperti misalnya peraturan antidiskriminasi. Definisi apapun yang didasarkan pada gagasan tentang kehidupan sehari-hari, yang mengaitkan ketidakmampuan untuk melakukan kegiatan dengan kelainan yang dimiliki, harus dicabut.

Kedua, pada praktiknya, definisi ‘penyandang cacat/disabilitas’ tidak memasukkan orang dengan disabilitas psikiatris atau psikologis, dan oleh

karenanya orang tersebut tidak dianggap memiliki disabilitas.91

Selain itu, masih banyak ditemui ketidakefektifitas berlakunya Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, terutama untuk memenuhi hak penyandang cacat itu sendiri dalam mendapatkan kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas berlakunya UU tersebut secara langsung dapat memberikan pandangan negatif kepada pemerintah, bahwasanya pemerintah telah gagal dalam penanganan masalah

91

kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah pemenuhan hak bagi penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang merupakan tanggung jawab dari Kementerian sosial untuk mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam

melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dimana prioritas dari

Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial, salah satunya adalah penyandang cacat.

Pada RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas mengenai hak-hak penyandang disabilitas dijabarkan secara lebih mendetail bila dibandingkan dengan UU Hak Penyandang Cacat. Meskipun UU No.4 Tahun 1997 memberikan beberapa perlindungan bagi penyandang disabilitas, sulit untuk mendapatkan pemulihan hak, dan sanksi-sanksi yang diberikan masih amat lemah. Hak-hak yang terdapat dalam UU ini juga tidak mencakup semua hak yang harus dimiliki oleh penyandang disabilitas, karena diatur dengan sangat sedikit dan tidak terperinci, sehingga pelaksanaannya pun kurang memadai. Masih banyak ditemui ketidakefektifitas berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, terutama untuk memenuhi hak penyandang disabilitas itu sendiri dalam mendapatkan kesejahteraan sosial. Dengan ketidakefektivitas berlakunya UU tersebut secara langsung dapat memberikan pandangan negatif kepada pemerintah, bahwasanya pemerintah telah gagal dalam penanganan masalah kesejahteraan sosial yang ada. Terutama masalah

pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang merupakan tanggung jawab dari Kementrian Sosial untuk mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Dimana prioritas dari Penyelenggaraan kesejahteraan ditujukan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial, salah satunya adalah penyandang disabilitas.

Apabila dikaitkan dengan konsep HAM maka RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas telah memenuhi konsep HAM tersebut dan telah bisa menutup kekurangan yang ada pada UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. Konsep hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, RUU ini telah sesuai dengan konsep tersebut karena hak-hak yang diatur didalamnya telah sesuai dengan apa yang harus dimiliki oleh penyandang disabilitas. Bahwa tujuan terbentuknya RUU tersebut adalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia dan kebebasan dasar secara penuh dan setara oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk menegakkan dan memajukan

penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka.92

92

Sebenarnya dengan adanya RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas adalah tindakan untuk menyatukan beberapa aturan mengenai hak-hak penyandang cacat yang tercecer di beberapa peraturan yang ada, sehingga terlihat bahwa UU penyandang cacat jauh dari sempurna untuk bisa diimplementasikan di Indonesia. RUU ini adalah kesatuan dari hak-hak penyandang cacat yang tercecer tersebut.

Implementasi Konvensi Hak-hak Penyandang Cacat ini membawa dampak yang cukup signifikant di Indonesia, berbagai produk hukum maupun kebijakan di negeri ini memberikan pemahaman kecacatan sebagai persoalan individu. Pada RUU telah sesuai dengan yang diharapkan, diberikan suatu pernyataan mengenai kesetaraan dan non diskriminasi, yaitu semua orang adalah setara sebagai manusia. Dengan demikian, tidak seorangpun, harus menderita karena diskriminasi. Konsep dari RUU ini juga mengacu pada perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia khususnya bagi penyandang disabilitas di Indonesia.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari bahasan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat diatur didalam suatu

perjanjian internasional yaitu The Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau disingkat dengan CRPD tahun 2006. CRPD mempunyai tujuan untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar secara penuh dan setara oleh semua orang penyandang cacat dan untuk memajukan penghormatan atas martabat yang melekat pada diri mereka. CRPD terdiri dari 26 pasal yang mengatur mengenai hak-hak penyandang cacat yang wajib dilaksanakan oleh semua negara pihak.

2. Pada implementasinya, konstitusi Indonesia telah memberikan jaminan, perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi bagi setiap manusia, terdapat dalam pasal 28 UUD 1945. Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2011 telah mengesahkan CRPD dan meratifikasinya dengan

membuat RUU Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, sebagai bentuk komitmen dan kepedulian seluruh elemen bangsa bagi kemajuan hak asasi manusia khususnya terhadap kemajuan penyandang cacat yang wajib mendapatkan perhatian dari seluruh masyarakat Indonesia serta merupakan tanggung jawab Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam melindungi dan memajukan hak asasi manusia khususnya penyandang cacat.

B. Saran

Bagi pemerintah Indonesia, peraturan yang berkaitan dengan kepentingan penyandang cacat seharusnya segera dilaksanakan serta membentuk komite pengawas, berdasarkan CRPD dalam rangka pelaksanaan konvensi yang telah diratifikasi.