• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 6-10

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.44 Pembuatan perjanjian

internasional dapat melalui dua tahap atau lebih dari dua tahap, pembuatan perjanjian internasional yang melalui dua tahap hanya terdiri dari proses perundingan dan penandatangan.

Pembuatan perjanjian internasional yang terdiri dari lebih dua tahap jika ditinjau dari isi atau materi dalam perjanjian yang dibuat pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai yang penting atau prinsip bagi para pihak terikat, hanya saja penentuan atau kriteria mengenai penting atau tidaknya

masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.45

Berikut ini tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian internasional : 1. Pendekatan Informal.

Pada zaman modern sekarang ini, pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu masalah tertentu, terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, yang bersifat informal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu.

Dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas biasanya dengan pendekatan antara dua pejabat negara yang berwenang dalam masalah yang sama, sedangkan dalam perjanjian multilateral umum atau terbuka, pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan melalui pertemuan-pertemuan

44

I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar..., Op.cit, hlm. 172

45

informal antara para diplomat atau pejabat negara, baik secara bilateral-bilateral untuk selanjutnya ditingkatkan dalam forum yang lebih resmi. Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal itulah nantinya akan dilanjutkan dengan langkah-langkah formal untuk merumuskan suatu

perjanjian yang disebut perundingan (Negotiation).46

2. Perundingan (Negotiation).

Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat bilateral maupun multilateral umumnya dilakukan oleh utusan-utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri, pada perundingan-perundingan untuk soal-soal tertentu terkadang Presiden atau Menteri Luar Negeri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang memimpin delegasi.

Dalam praktek internasional utusan-utusan suatu negara dalam suatu konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full powers), menurut Pasal 7 ayat (1) Konvensi Wina 1969,47 full powers adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima naskah atau membuktikan keaslian

46

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional 1, Op.cit, hlm. 93

47

Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969 tercantum dalam Pasal 7, yang berbunyi : 1. A person is considering as representing a State for the purpose of adopting or authenticating

the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent to be bound by treaty if : (a) he produce appropriate full powers or;

(b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that their intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to dispense with full powers.

naskah atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan

perjanjian.48

Full powers tidak selalu merupakan satu-satunya dokumen yang dimiliki oleh suatu delegasi dalam suatu konferensi bilateral maupun multilateral, suatu delegasi yang menghadiri konferensi internasional dalam kerangka suatu organisasi internasional biasanya dilengkapi dengan credentials atau surat kepercayaan, Indonesia dalam prakteknya memisahkan full powers dan credentials untuk menghadiri konferensi. Delegasi RI yang dilengkapi dengan credentials hanya diberikan wewenang untuk menghadiri konferensi dan bukan untuk menandatangani suatu perjanjian, sedangkan full powers baru dikeluarkan bila suatu perjanjian akan ditandatangani. Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969

sudah termasuk pengertian credentials.49

3. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text).

Setelah melalui proses perundingan antara wakil-wakil para pihak ataupun perundingan melalui konferensi internasional sampai dengan tercapainya kesepakatan antara para wakil yang melakukan perundingan atas naskah perjanjian, maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian. Menurut Pasal 9 ayat (1)

Konvensi Wina 196950 penerimaan naskah suatu perjanjian internasional

48

Boer Mauna, Op.cit, hlm. 100

49

Ibid, hlm. 101-102

50

Ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1969 berbunyi :

1. The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in its drawing except as provided in paragraph 2.

dilakukan berdasarkan persetujuan dari semua negara yang berpartisipasi dalam perumusan naskah perjanjian itu, kecuali penerimaan naskah perjanjian yang lahir melalui suatu konferensi internasional seperti ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) konvensi ini. Pasal 9 ayat (2) tersebut menegaskan bahwa penerimaan atau pengadopsian naskah suatu perjanjian internasional yang dirumuskan melalui suatu konferensi internasional dilakukan dengan persetujuan dua per tiga dari negara-negara yang hadir dan memberikan suaranya, kecuali dengan suatu suara mayoritas yang sama

negara-negara itu menerapkan peraturan yang berbeda.51

4. Pengesahan Naskah (Authentication of the Text).

Pengesahan naskah suatu perjanjian internasional merupakan tahap lanjutan dari penerimaan naskah perjanjian. Pengesahan naskah ini akan meningkatkan status dari naskah yang sudah melewati tahap penerimaan menjadi naskah yang final dan definitif, dengan status final dan definitif ini, maka perjanjian itu tidak dapat diubah lagi, kecuali setelah perjanjian tersebut sudah mulai berlaku, dapat diubah melalui proses amandemen ataupun modifikasi sesuai dengan pengaturannya dalam perjanjian itu sendiri atau jika perjanjian itu tidak mengaturnya, menurut prosedur seperti

yang dicantumkan dalam Bagian IV Pasal 39-41.52

2. The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply a different rule.

51

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 106-107

52

Menurut Pasal 10 Konvensi Wina 196953, pengesahan naskah suatu perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian-perjanjian itu sendiri, atau sesuai dengan apa yang diputuskan bersama wakil-wakil yang ikut dalam konferensi, jika tidak ditentukan

sebelumnya maka pengesahan tersebut dapat dilakukan dengan

membubuhkan tanda tangan atau paraf dibawah naskah perjanjian atau

tanda tangan dalam suatu final act.54

5. Penandatanganan / Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian (Consent to be Bound by Treaty)

Setelah naskah perjanjian resmi diterima sebagai naskah yang otentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak, dengan demikian belum memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali pada saat pengesahan sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Agar perjanjian tersebut mengikat sebagai sumber hukum internasional positif, maka negara-negara tersebut perlu menyatakan persetujuan untuk terikat secara tegas pada perjanjian, jika negara tersebut tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian atau secara tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian tersebut tidak akan mengikatnya. Persetujuan atau penolakan untuk terikat merupakan

53

Ketentuan Pasal 10 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut : “The text of a treaty is established as authentic and definitive :

(a) by such procedur as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or

(b) by failing such procedure by the signature, signature ad referendum or initialling by the representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference incorporating the text”

54

kedaulatan dari negara, setipa negara berdaulat tidak dapat dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada perjanjian.

Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969,55 ditegaskan beberapa cara

untuk menyatakan terikat persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, yaitu dengan penandatangan (signature), pertukaran istrumen yang membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi (approval or accession), atau dengan cara lain yang disepakati (or by any other means if so agreed). Semua cara tersebut masing-masing diatur lebih rinci dalam Pasal 12-17 Konvensi Wina 1969.