• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati

nurani.1 Hak asasi manusia bersifat universal yang berarti melampaui

batas-batas negeri, kebangsaan, dan ditujukan pada setiap orang baik miskin maupun kaya, laki-laki atau perempuan, normal maupun penyandang cacat dan sebaliknya. Dikatakan universal karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan agama atau

kepercayaan spiritualitasnya.2 Sebagai norma yang ditujukan bagi pengakuan

hak semua orang, maka setiap orang baik sendiri-sendiri maupun kelompok perlu mengenali dasar-dasar hak asasi manusia dan selanjutnya menuntut peningkatan pelaksanaannya.

Peletakkan rumusan tentang dasar-dasar hak asasi manusia merupakan

bagian dari tujuan sosialisasi.3 Adapun norma-norma yang mengatur

hubungan antara negara dengan individu (warga) adalah seperti yang

1

Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, 2002, hlm. 7.

2

Soetandyo Wignjosoebroto, hak asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya dari Masa ke Masa, ELSAM, Jakarta, 2007, hlm. 1.

3

(2)

dijelaskan di dalam pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948.4

Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia membawa konsekuensi negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka mengakui hak-hak setiap orang sebagai hak asasi yang harus dihormati, guna mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi berbagai tindakan dan kebijakan negara yang sewenang-wenang terhadap individu-individu warganya. Berdasarkan deklarasi ini semua negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil)

hak-hak asasi setiap warganya.5

Hak dalam hak asasi mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama dalam hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki, disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat kelahirannya. Seketika itu pula muncul kewajiban dari manusia lain untuk

menghormatinya.6

Konsep HAM yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai apabila diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah, antara lain berisi tekad dan kemauan

4 Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia berbunyi, “Semua orang dilahirkan merdeka dan

mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.”

5 Hendriati Trianita dalam Suryadi Radjab, op. Cit. Hlm. 7. 6

A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manuisa (HAKHAM), Ghalia Utama, Bogor, 2005, hlm. 8.

(3)

untuk menegakkan hak asasi manusia dapat menjadi awal masalah.7 Salah satunya adalah masalah pemenuhan hak-hak bagi penyandang cacat.

Penyandang cacat terdapat di semua bagian dunia dan pada semua tingkatan dalam setiap masyarakat. Jumlah penyandang cacat di dunia ini besar dan senantiasa bertambah, baik penyebab maupun akibat kecacatan di dunia ini bervariasi.

Dunia internasional pada dasarnya telah sepakat bahwa permasalahan penyandang cacat ataupun pemenuhan hak-hak penyandang cacat merupakan suatu permasalahan yang sangat penting untuk dikaji, karena orang-orang penyandang cacat juga merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya, oleh karena itu pada tahun 2006 anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan suatu pertemuan dan merundingkan yang kemudian menghasilkan suatu konvensi tentang hak-hak penyandang cacat yaitu Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) 2006 atau sering disebut juga dengan Konvensi Hak Penyandang Cacat.

Terdapat hak-hak penyandang cacat yang tercantum dalam konvensi penyandang cacat tersebut, yaitu hak hidup, situasi beresiko dan darurat kemanusiaan, pengaturan yang setara di hadapan hukum, akses atas peradilan, kebebasan dan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, kebebasan dan keamanan seseorang, kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan,

7

(4)

perlindungan terhadap integritas seseorang, habilitasi dan rehabilitasi, pekerjaan, standar kehidupan yang layak dan jaminan sosial, partisipasi dalam kehidupan politik dan publik, partisipasi dalam budaya, rekreasi, waktu luang dan olah raga.

Namun demikian realisasi terhadap pemenuhan, pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak penyandang cacat sebagai hak asasi manusia masih banyak mendapat hambatan. Hambatan-hambatan tersebut adalah kurangnya pengertian dan pemahaman hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari hak asasi manusia baik dalam pengertian subtansi maupun pengertian secara hukum.

Selama ini, para penyandang cacat masih menghadapi berbagai hambatan dalam beraktivitas dan masih mengalami keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota yang setara dalam masyarakat, serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di segala aspek dalam lintas bidang kehidupan. Hambatan, keterbatasan dan diskriminasi yang umumnya dihadapi para penyandang cacat adalah dalam mengakses informasi, pendidikan, pekerjaan, transportasi serta sarana dan layanan publik lainnya. Kondisi inilah yang membuat penyandang cacat termasuk dalam kelompok miskin dan terpinggirkan.

Hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) memperoleh pengaturan secara internasional dalam instrumen internasional. Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional pada hakikatnya akan

(5)

mengikat negara, apabila negara tersebut telah menyatakan diri untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.

Konvensi Hak Penyandang Cacat menandai akhir dari sebuah perjuangan panjang oleh orang-orang penyandang cacat dan organisasi-organisasi perwakilan mereka untuk diakuinya secara penuh sebagai isu hak asasi manusia, yang dimulai kembali pada tahun 1981, dengan Tahun Internasional Penyandang Cacat dan Program Aksi Dunia Cacat, diadopsi sebagai hasil tahun itu. Pada tahun 1993, oleh Majelis Umum Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, laporan Pelapor Khusus tentang Kecacatan dan Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan serangkaian resolusi oleh Komisi Hak Asasi Manusia pada tahun 1998, 2000, dan 2002 memberikan kontribusi signifikan untuk membuka jalan bagi pendekatan hak

asasi manusia.8

Konvensi Hak-Hak Penyandang cacat atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities merupakan sebuah pengakuan masyarakat internasional terhadap hak Penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat lainya. Konvensi ini disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam sidang ke 61, 13 Desember 2006 lalu di Markas Besar PBB di New York.. Selanjutnya ditandangani oleh sekitar 82 negara termasuk Indonesia yang diwakili oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamzah

8 Navanethem Pillay, “Monitoring the Convention on the Rights of Persons with Disabilities”,

Guidance for human rights monitors, Halaman 12, www.ohchr.org, diakses tanggal 24 Oktober 2011.

(6)

pada 30 Maret 2007 yang lalu.9 Pada saat upacara penandatanganan pada 30 Maret 2007, Indonesia merupakan negara urutan ke-9 dari 82 negara pertama yang menandatangani Konvensi tersebut. Hingga saat ini sudah ada 152 negara yang sudah menandatangani dan 104 diantaranya telah meratifikasinya termasuk Indonesia. Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas juga memperkenalkan suatu paradigma baru yang sangat penting dalam pemajuan hak penyandang disabilitas. Melalui Konvensi ini, penyandang disabilitas tidak lagi dilihat sebagai obyek tetapi subyek penuh. Upaya pengembangan penyandang disabilitas tidak lagi secara pemberian charity atau penyembuhan, sarana medis, sedekah dan lainnya. Namun, penyandang disabilitas dilihat dan dinilai sebagai pribadi penuh yang bisa mengklaim haknya dan mandiri (autonomous individual) yang bisa memutuskan sendiri, serta dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada tanggal 18 Oktober 2011. Proses persiapan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat ini telah berjalan selama 4 tahun di tingkat antar kementerian sejak 2007 hingga 2011, yang juga melibatkan perwakilan dari organisasi kemasyarakatan penyandang disabilitas. Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) dengan UU Nomor 19 Tahun 2011, konvensi ini

9

Agung Kuncahya B., Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi , www.jurnas.com, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.

(7)

mengganti istilah “penyandang cacat” dengan “penyandang disabilitas” yang

dinilai lebih tepat dan manusiawi.10

Setelah meratifikasi konvensi negara harus melakukan tindakan-tindakan seperti menghilangkan hambatan-hambatan fisik para penyandang cacat, termasuk dalam hal ini adalah menetapkan kebijakan dan hukum yang mengatur dan menjamin akses penyandang cacat terhadap perumahan, gedung, transportasi publik, jalan dan semua lingkungan fisik lainnya. Negara juga harus menjamin bahwa dalam perencanaan suatu bangunan, konstruksi, dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah mempertimbangkan akses para penyandang cacat dan para perencana pembangunan haruslah memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap penyandang cacat (disability policy).

Atas dasar hal-hal yang telah diuraikan maka perlu untuk melakukan penelitian mengenai kesiapan pemerintah Indonesia dalam menerapkankan konvensi tersebut dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan hukum internasional khususnya hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, penulis menetapkan judul untuk penulisan ilmiah (skripsi) ini yaitu PENGATURAN TENTANG PEMENUHAN HAK-HAK PENYANDANG CACAT BERDASARKAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES TAHUN 2006 DI INDONESIA.

10

----,” DPR RI Setujui RUU Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, www.kemlu.go.id, diakses pada tanggal 24 Oktober 2011.

(8)

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun 2006?

2. Bagaimanakah penerapan Convention on the Rights of Person with disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan pemenuhan hak-hak penyandang cacat berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities tahun 2006.

2. Untuk mengetahui implementasi Convention on the Rights of Person with Disabilities 2006 dalam pemenuhan hak-hak penyandang cacat di Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis

a. Menambah pengetahuan dan wawasan di bidang Hukum Perjanjian Internasional khususnya dalam penerapan perjanjian internasional dan hak asasi manusia dalam hukum nasional, sehingga hukum Internasional dapat diterapkan dengan baik di Indonesia.

(9)

b. Memperluas cakrawala berpikir penulis dan memberikan sumbangan

pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

2. Kegunaan praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi kepustakaan Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman , Purwokerto.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman atau acuan bagi mereka yang melakukan penelitian serupa.

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Asasi Manusia dan Penyandang Cacat

1. Pengertian Hak Asasi Manusia dan Instrumen Hak Asasi Manusia Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah droits de l’homme dalam bahasa Perancis atau Human Rights dalam bahasa Inggris, yang artinya “hak manusia”. Pengertian secara teoritis dari hak asasi manusia adalah :

“hak yang melekat pada martabat manusia yang melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip sebagai anugerah Illahi. Berarti hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya, karena itu Hak Asasi Manusia bersifat luhur

dan suci.”11

Pengertian Hak Asasi Manusia yang diatur dalam hukum positif Negara Indonesia yaitu diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut :

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

11

Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1983, hlm. 7-8

(11)

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut sudah dijelaskan bahwa Hak Azasi Manusia merupakan hak yang paling hakiki yang dimiliki oleh manusia dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, oleh karena itu terhadap hak azasi manusia negara sebagai pelingdung warganya diharapkan dapat mengakomodir kepentingan dan hak dari warga negaranya tersebut.

Konsep hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan konsep tertib dunia, karenanya tanpa memperhatikan konsep HAM tersebut, apa yang dinamakan atau diusahakan manusia untuk mewujudkan tertib dunia akan sulit dicapai. Demikian pula tujuan hukum dan tujuan ilmu-ilmu lainnya yang bersama-sama berusaha mengangkat derajat manusia agar lebih adil, makmur, sejahtera, aman, tertib, dan tenteram tidak akan mudah

diraih.12 Pengembangan dan perlindungan HAM untuk semua orang dan di

seluruh dunia bukanlah merupakan suatu hal yang mudah, mengingat keanekaragaman latar belakang bangsa-bangsa baik dari segi sejarah, kebudayaan, sosial, latar belakang politik, agama dan tingkat pertumbuhan ekonomi. Perbedaan-perbedaan latar belakang ini menyebabkan timbulnya perbedaan konsepsional dalam perumusan HAM.

Globalisasi yang bergulir pada tahun 80-an bukan saja melanda masalah kehidupan ekonomi, tetapi telah melanda dalam kehidupan politik, hankam, iptek, sosial, budaya dan hukum. Globalisasi di bidang

12

A. Masyhur Effendy. Perkembangan dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM). 2005. Hlm 127.

(12)

politik tidak terlepas dari pergerakan tentang HAM, transparansi dan demokratisasi. Adanya globalisasi dalam pergerakan HAM, maka Indonesia harus menggabungkan instrumen-instrumen HAM internasional yang diakui oleh negara-negara PBB ke dalam hukum positif nasional sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia dengan memperkuat lembaga masyarakat, lembaga studi, dan masyarakat luas untuk memainkan peran dalam mempromosikan dan melindungi HAM terhadap kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Penerapan instrumen HAM internasional dalam hukum positif nasional, maka akan membatasi kekuasaan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konsep HAM yang sebelumnya cenderung bersifat teologis, filsafati, ideologis, atau moralistik, dengan kemajuan berbangsa dan bernegara dalam konsep modern akan cenderung ke sifat yuridik dan politik, karena instrumen HAM dikembangkan sebagai bagian yang menyeluruh dan hukum internasional baik tertulis maupun tidak tertulis. Instrumen-instrumen tersebut akan membebankan kewajiban negara-negara anggota PBB sebagian mengikat secara yuridis sebagian lagi kewajiban secara moral walaupun para negara anggota belum melakukan

ratifikasi secara formal.13

Hak Asasi Manusia (HAM) dipercayai memiliki nilai yang universal. Nilai universal berarti tidak mengenal batas ruang dan waktu, nilai universal ini yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai produk

13

H. Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 6

(13)

hukum nasional di berbagai negara untuk dapat melindungi dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Bahkan nilai universal ini

dikukuhkan dalam instrumen internasional, termasuk perjanjian

internasional di bidang HAM, Namun kenyataan menunjukkan bahwa nilai-nilai HAM yang universal ternyata dalam penerapannya tidak memiliki kesamaan dan keseragaman.

Penerapan instrumen HAM internasional akan terkait dengan karakteristik ataupun sifat khusus yang melekat dari setiap negara. Adalah merupakan suatu fakta bahwa negara di dunia tidak memiliki kesamaan dari berbagai aspek, termasuk ekonomi, sosial, politik dan terpenting sistem budaya hukum sebagai akibatnya terjadi ketidakseragaman dalam pelaksanaan HAM di tingkat paling nyata di masyarakat. Ada empat penyebab utama alasan perjanjian internasional di bidang HAM tidak dapat ditegakkan oleh negara setelah diikuti, yaitu : Pertama, perancangan dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang sangat terdeviasi (bias) oleh kerangka berfikir (framework of thinking) dari perancangnya. Kedua, kendala pada saat perjanjian internasional diperdebatkan. Ketiga, menyangkut tujuan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia menghormati HAM melainkan untuk tujuan politis. Keempat, perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya mendapatkan

perhatian secara setengah hati oleh negara berkembang.14

14

(14)

2. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Dalam perkembangan hak asasi manusia, pemikiran mengenai hak asasi manusia mengalami pasang surut sejalan dengan sejarah peradaban manusia, terutama dalam ikatan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pasang surut hak asasi manusia ini, sebenarnya mulai muncul setelah manusia memikirkan dirinya dalam lingkungan semesta. Pemikiran mengenai hak asasi manusia ini mulai mencapai titik paling rendah setelah dikemukakannya konsep kedaulatan Tuhan yang dilakukan didunia ini dilakukan oleh seorang Raja atau Paus (Pemimpin Gereja sedunia). Kedaulatan Tuhan yang dilaksanakan oleh raja ataupun Paus tersebut, menjadikan raja atau Paus mempunyai kekuasaan yang maha dasyat, sehingga mengakibatkan hak-hak raja termasuk para keturunannya dan Paus dapat terpenuhi secara optimal, sementara bagi manusia kebanyakan sama sekali tidak memiliki hak apapun. Raja ataupun Paus mampu melakukan itu semua, karena menganggap bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata adalah perintah Tuhan, dan memperolah kuasa dari Tuhan. Kondisi yang demikian ini, maka hak asasi manusia dapat diibaratkan merupakan suatu impian dan barang impian dan barang komoditi yang sangat mahal harganya, sekaligus langka keberadaannya.

(15)

Perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia dapat

dijelaskan sebagai berikut:15

a. Abad XVII dan XVIII

Berdasarkan sejarah perkembangannya, dijumpai adanya beberapa naskah yang dapat dikategorikan sebagai dokumentasi perkembangan hak asasi manusia, yaitu:

a) Magna Charta (Piagam Agung 1215): Suatu dokumen yang mencatat hak yang diberikan oleh Raja John Lackland dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tutntutan mereka. Dengan adanya naskah ini, sekaligus menimbulkan konsekuensi terhadap pembatasan kekuasaan Raja John Lackland. Hak yang diberikan kepada para bangsawan ini merupakan kompensasi dari jasa-jasa kaum bangsawan dalam mendukung Raja John di bidang keuangan.

b) Bill of Rights (UU Hak 1689): Suatu Undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II, dalam suatu revolusi gemilang. Dalam analisis Marxis, Revolusi Gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakan adalah kaum borjuis yang hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang diatas monarki. Sementara rakyat dan kaum pekerja tetap hidup tertindas.

15

Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, & Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia), Yogyakarta, 2003, hlm 266-267.

(16)

c) Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Peryataan hak-hak manusia dan warga negara 1789), yakni suatu naskah yang

dicetuskan pada permulaan Revolusi Perancis, sebagai

perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dari rezim lama. d) Bill of Rights (UU Hak): suatu naskah yang disusun oleh rakyat

Amerika dalam tahun 1789 (sama dengan Deklarasi Perancis) dan menjadi bagian dari UUD Amerika pada tahun 1791.

Berdasarkan naskah-naskah dokumentasi tersebut diatas, maka dapat ditarik pemahaman bahwa perkembangan mengenai Hak Asasi Manusia abad XVII dan XVIII muncul sebagai akibat adanya kesewenang-wenangan penguasa. Naskah-naskah itu merupakan ekspresi perlawanan terhadap penguasa yang dzalim. Hak-hak yang dirumuskan pada abad ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai Hukum Alam (Natural Law) oleh John Locke (1632-1714) dan JJ. Rousseau (1712-1778) yang hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis saja seperti kesamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih dan lainnya.

b. Abad XX

Dalam abad ini ditandai dengan terjadinya Perang Dunia II yang memporak-porandakan kehidupan kemanusiaan. Perang dunia ini disebabkan oleh ulah pemimpin-pemimpin negara yang tidak demokratis, seperti Jerman oleh Hitler, Italia oleh Benito Mussolini, dan Jepang oleh Hirohito. Berkaitan dengan hal ini, maka hak-hak politik yang tertuang dalam naskah-naskah abad XVII dan XVIII

(17)

dianggap kurang sempurna dan perlu diperluas ruang lingkupnya. Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II merumuskan adanya 4 (empat) hak, yaitu:

a) Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech).

b) Kebebasan beragama. c) Kebebasan dari ketakutan. d) Kebebasan dari kemelaratan.

Kemudian pada tahun 1946, Commision on Human Rights (PBB) menetapkan secara terperinci beberapa hak ekonomi dan sosial, disamping hak-hak politik. Penetapan ini dilanjutkan pada tahun 1948 dengan disusun pernyataan sedunia tentang Hak-hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948.

Dari penjelasan sejarah perkembangan tersebut diatas, maka nampak bahwa pengertian hak asasi manusia mengalami peralihan yang cukup signifikan, yakni dari semata-mata kepedulian akan perlindungan individu-individu dalam menghadapi absolutisme kekuasaan negara, beralih kepada penciptaan kondisi sosial ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu-individu mengembangkan potensinya sampai maksimal.

(18)

3. Macam-macam Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi manusia itu dapat dibeda-bedakan menjadi:16

a) Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya.

b) Hak-hak asasi ekonomi atau property rights yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual serta memanfaatkannya.

c) Hak-hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya.

d) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legalequality

e) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights yaitu hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.

f) Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights yaitu peraturan dalam penahanan, penangkapan, penggeledahan, peradilan dan sebagainya.

Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas dari adanya suatu kewajiban yang timbul baik oleh suatu negara atau masyarakat dalam negara tersebut sehingga muncul suatu keharmonisan

16

(19)

yang berjalan secara selaras dan seimbang antara hak dan kewajiban manusia.

B. Perjanjian Internasional

1. Pengertian dan Istilah-istilah Perjanjian Internasional

Berdasarkan bunyi Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional disebutkan bahwa yang termasuk sumber hukum

internasional, yaitu:17

a. Perjanjian Internasional atau Traktat (International convention, whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states).

Traktat dalam pengertian luas adalah perjanjian antara

pihak-pihak peserta atau negara-negara di tingkat internasional.18

Traktat memberikan pengaruh terhadap arah pembentukan suatu kaidah hukum internasional. Pada dasarnya traktat memiliki dua sifat, yaitu traktat yang membuat hukum (law making treaty) dan traktat kontrak (treaty of contract).

b. Kebiasaan Internasional sebagai bukti dari praktik-praktik umum yang dilakukan oleh negara dan diterima sebagai hukum (International custom as evidence of a general practices accepted as law).

17

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm. 33.

18

I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 12.

(20)

Kebiasaan merupakan hukum yang mengikat yang berasal

dari praktik-praktik yang telah dilakukan oleh negara-negara.19

Tidak setiap kebiasaan internasional merupakan kaidah hukum. Agar suatu kebiasaan dapat diterima sebagai hukum kebiasaan

internasional, maka harus memenuhi unsur-unsur berikut: 20

a).Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum, sehingga diperlukan suatu tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula. Tindakan tersebut harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional;

b). Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum, apabila negara-negara tidak menyatakan keberatan terhadapnya.

c. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab (The general principles of law recognized by civilized nations). Asas-asas umum hukum adalah sekumpulan peraturan hukum dari berbagai bangsa dan negara, yang secara universal

mengandung kesamaan.21

d. Keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum (Judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law).

Berbeda dengan sumber hukum lainnya, keputusan hakim dan ajaran ahli hukum hanya merupakan sumber tambahan, yang artinya keputusan hakim dan ajaran ahli hukum

19

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Intenasional Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 51.

20

Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 144-145.

21

(21)

dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai suatu persoalan yang didasarkan atas sumber primer yakni perjanjian internasional, kebiasaan

internasional, dan asas-asas umum hukum.22

Pengertian perjanjian internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :23

Dalam arti sempit pengertian Perjanjian Internasional disebutkan dalam Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties) :

“Treaty means an internastional agreement concluded between States in written form and governed by international law, wether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular”

Artinya : Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan dengan apapun nama yang diberikan.

Dalam arti sempit ini dimaksudkan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara saja.

Terdapat dua unsur pokok yang ada dalam definisi perjanjian internasional

diatas, yaitu :24

a. Adanya subjek hukum internasional

Negara adalah subjek hukum internasional, (par excellence) yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional seperti yang tercantum dalam pasal 6 Konvensi Wina tahun

22

Mochtar Kusumaatmadja dan Ety R Agoes, Op.Cit, hlm. 150-151.

23 I Wayan Parthiana,Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, Penerbit Mandar Maju Bandung,

2002, hlm. 15.

24

(22)

1969, namun pada saat ini organisasi-organisasi internasional juga memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional, sebagai contoh perjanjian antara UNESCO dengan Perancis tanggal 2 Juli 1954 tentang pendirian gedung dan status UNESCO di Perancis, selain itu antara PPB dengan pemerintah Amerika Serikat tanggal 26 Juni 1947 tentang pendirian dan status hukum gedung PBB di kota New York. b. Adanya rejim hukum internasional

Suatu perjanjian internasional apabila perjanjian tersebut diatur oleh rejim hukum internasional. Perjanjian yang tunduk dan diatur oleh rejim hukum nasional suatu negara tidak termasuk dalam definisi perjanjian internasional (treaty).

Dalam arti luas pengertian perjanjian internasional adalah :

“Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai obyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.”

Berdasarkan pengertian secara luas tersebut terdapat unsur-unsur perjanjian

internasional, yaitu :25

a) Kata sepakat.

Kata sepakat merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari perjanjian, tanpa adanya kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan ada perjanjian.

25

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian I, CV Mandar Maju, Bandung, 2002, hlm. 16-18

(23)

b) Subjek – subjek hukum internasional.

Subjek-subjek hukum dalam hal ini adalah subjek-subjek hukum internasional yang terikat pada perjanjian. Dalam perjanjian internasional yang tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, misalnya dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas, pihak-pihak yang melakukan perundingan (negotiating state) merupakan pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Sedangkan pada perjanjian internasional yang terbuka dan isinya mengenai masalah-masalah yang bersifat umum, antara para pihak yang melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang

terikat pada perjanjian belum tentu sama. Subjek-subjek hukum

internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional adalah:

1) Negara;

Negara merupakan subjek hukum internasional yang memiliki kapasitas penuh (full capacity) untuk mengadakan atau berkedudukan sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Kemampuan yang dimiliki negara untuk membuat suatu perjanjian adalah sebagai implementasi dari kedaulatan negara tersebut. Tidak ada batasan terhadap hak dari negara untuk membuat suatu perjanjian, jika ada batasan hak bagi sebuah negara untuk membuat suatu perjanjian biasanya lebih bersifat

politis bukan yuridis26.

26

(24)

2) Negara bagian;

Dalam suatu negara federal, yang menjadi pengemban hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah pemerintah federal. Akan tetapi, ada kalanya konstitusi federal memungkinkan negara bagian mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau

melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal27.

3) Tahta Suci atau Vatican;

Tahta Suci (Vatican) merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan sejajar kedudukannya dengan negara. Hal ini terjadi terutama setelah diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci pada tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan

perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui28. Oleh karena itu

Vatikan mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara dan dapat melakukan hubungan dengan luar negeri sebagai salah satu masyarakat internasional juga membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara dan organisasi internasional.

4) Wilayah perwalian (Trusteeship Territory);

Wilayah perwalian adalah wilayah bekas jajahan dimana dulu disebut dengan wilayah mandat dalam kerangka Liga

27

Oppenheim-Lauterpacht, Internasional Law, 8th, ed, London, Vol.I (peace), p.p. 489-490, pp. 252-254, dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 98

28

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm. 100

(25)

Bangsa (LBB). Wilayah perwalian merupakan wilayah yang belum merdeka yang sedang diarahkan untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat penuh.

5) Organisasi internasional;

Organisasi internasional sebagai subjek dalam arti yang luas dimaksudkan tidak saja menyangkut semua organisasi yang dibentuk oleh negara-negara (public international organization), tetapi juga yang dibentuk oleh badan-badan non-pemerintah (private international organization) personalitas dari suatu subjek hukum organisasi internasional, untuk melakukan tidakan-tindakan sesuai dengan ketentuan yang termuat di dalam instrument dasar yang dimilki oleh organisasi internasional tersebut29.

6) Kaum Beligerensi;

Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent)

dalam beberapa keadaan tertentu30. Kaum beligerensi atau

kelompok yang sedang berperang memiliki kedudukan yang sama dengan pemerintah yang berkuasa maupun dengan negara-negara pada umumnya. Kaum beligerensi merupakan kelompok yang memberontak kepada pemerintahan yang tengah berkuasa. Namun, pemberontakan yang dilakukan bukan lagi dalam lingkup

29

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 1990, hlm. 12

30

(26)

nasional negara tersebut melainkan sudah menjadi masalah internasional31.

7) Bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.

Misalnya perjuangan bangsa Palestina dalam

memperjuangkan hak-haknya tanpa dibelenggu oleh bangsa Yahudi Israel. Karena apa yang menjadi hak milik bangsa Palestina hampir seluruhnya raib.

c) Berbentuk tertulis.

Bentuk tertulis ini adalah sebagai perwujudan dari kata sepakat yang otentik dan mengikat para pihak. Kata sepakat itu dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang bersangkutan. Biasanya bahasa yang umum dipergunakan adalah bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional.

d) Objek tertentu

Objek dari perjanjian internasional itu adalah objek atau hal yang diatur didalamnya. Setiap perjanjian internasional perjanjian pasti mengandung objek tertentu, tidak ada perjanjian yang tanpa objek yang pasti. Objek itu sendiri secara langsung menjadi nama dari perjanjian tersebut.

e) Tunduk dan diatur oleh hukum internasional.

Hukum internasional dalam unsur ini adalah baik hukum internasional pada umumnya, maupun hukum internasional pada khususnya, seperti

31

(27)

yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian tersebut.

Sejak perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian,

pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya tunduk pada hukum internasional. hal ini menunjukkan bahwa perjanjian itu memiliki sifat internasional dan oleh karena itu termasuk dalam ruang lingkup hukum internasional.

Boer Mauna memberikan pengertian bahwa melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama, mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya,

dan bersifat mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut.32

Dalam suatu praktik pembuatan perjanjian diantara negara-negara dikenal dengan berbagai macam nama dan istilah. Suatu terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur

32

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global Edisi ke-2 2005, PT. Alumni, Bandung, 2010. hlm. 82

(28)

dengan memperhatikan keinginan para pihak dalam perjanjian internasional tersebut.

Dari uraian tersebut maka dapat ditarik ciri-ciri dari perjanjian internasional, yaitu:

a) Dibuat oleh subjek hukum internasional.

Subjek hukum internasional yang mempunyai kemampuan untuk mengadakan perjannjian internasional terdiri dari negara, negara bagian, wilayah perwalian, tahta suci atau vatikan, kaum belligerensi, dan organisasi internasional yang merupakan subjek buatan, serta bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.

b) Perbuatannya diatur oleh hukum internasional.

Dalam bukunya Boer Mauna menyebutkan, pada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan

masyarakat internasional.33

c) Akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak (pacta sunt servanda).

Sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.” Negara yang

33

(29)

menjadi pihak kemudian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangen nasional negaranya.

Perjanjian internasional mempunyai istilah-istilah yang sudah biasa digunakan secara umum antara lain, traktat, konvensi, deklarasi, statuta, piagam, kovenan, persetujuan, perjanjian, pakta, protokol, final act, agreed minutes dan sumary record, memorandum of understanding, arrangement, exchange of notes, process verbal, dan modus vivendi. Masing-masing dari istilah tersebut mempunyai kriteria sendiri-sendiri.

1) Treaties (Traktat)

Traktat atau treaties merupakan perjanjian internasional yang mencakup seluruh instrument yang dibuat oleh subjek hukum internasional dan memiliki kekuatan mengikat menurut hukum internasional. Traktat biasanya berisi materi perjanjian yang menyangkut masalah penting, besar, dan sangat prinsipil.

2) Convention (Konvensi)

Convention atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan konvensi dalam praktek internasional merupakan istilah dari perjanjian yang mempunyai kedudukan paling tinggi salain treaties atau traktat. Konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur masalah yang sangat penting dan besar. Perjanjian yang dibuat dengan menggunakan istilah konvensi biasanya dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum dan luas.

(30)

3) Agreement (Persetujuan)

Persetujuan atau agreement merupakan perangkat perjanjian internasional yang tingkatannya lebih rendah dari traktat atau konvensi. Agreement mengatur masalah yang ruang lingkupnya lebih sempit dari traktat atau konvensi. Biasanya agreement digunakan untuk perjanjian bilateral atau multilateral terbatas.

4) Charter (Piagam)

Istilah charter biasanya digunakan untuk perjanjian yang merupakan dasar pendirian sebuah organisasi internasional. Contohnya Piagam PBB 1945

5) Protocol (Protokol)

Istilah lain dari perjanjian internasional adalah protokol (protocol). Protokol biasanya memuat perjanjian yang materinya lebih sempit dibandingkan dengan traktat atau konvensi. Penggunaan protokol memiliki berbagai macam keragaman, yaitu :

1. Protocol of Signature (Protokol Penandatanganan),

Protokol penandatanganan merupakan perangkat tambahan suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh pihak-pihak yang sama pada perjanjian. Protokol tersebut umumnya berisikan hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran pasal-pasal tertentu pada perjanjian dan hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan teknik pelaksanaan perjanjian.

2. Optional protocol (Protokol tambahan),

Protokol tambahan memberikan tambahan hak dan kewajiban selain yang diatur dalam perjanjian internasional. Protokol tambahan memiliki karakter khusus dan memerlukan proses pengesahan yang terpisah dari perjanjian induknya.

3. Protocol Based of Framework Treaty (Protokol Kerangka Perjanjian),

(31)

Protokol ini merupakan perangkat yang mengatur kewajiban-kewajiban khusus dalam melaksanakan perjanjian induknya.

4. Protokol untuk mengubah beberapa perjanjian Internasional, 5. Protokol yang merupakan pelengkap perjanjian sebelumnya. 6) Declaration (Deklarasi)

Merupakan suatu perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihak pada deklarasi berjanji untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu dimasa yang akan datang. Perbedaan dengan konvensi ialah deklarasi isinya lebih ringkas dan padat serta mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang hanya bersifat formal

seperti surat kuasa (full powers), ratifikasi dan lain-lainnya.34 Deklarasi

dibagi menjadi empat macam, yaitu35;

1. Deklarasi sebagai suatu perjanjian dalam arti yang sejati atau sebenarnya.

2. Deklarasi sebagai suatu instrument yang tidak formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penafsiran atau penjelasan tentang ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut. 3. Deklarasi sebagai persetujuan informal yang berhubungan

dengan masalah-masalah yang tidak begitu penting.

4. Deklarasi sebagai sebuah resolusi yang dikeluarkan dalam suatu konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan tentang beberapa prinsip yang harus dihormati oleh semua negara. 7) Statute (Statuta)

Istilah statuta biasa digunakan untuk perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional, organisasi internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah

Mahkamah Internasional (Statute of International Court of Justice).36

34

Boer Mauna, Op.cit, hlm. 93-94

35

I Wayan Parthiana, Op., Cit,. hlm. 29

36

(32)

8) Agreement (Persetujuan)

Istilah agreement memiliki pengertian umum dan khusus, sama halnya dengan convention, dalam pengertian umum Konvensi Wina 1969 menggunakan istilah agreement dalam artian luas. selain memasukkan definisi treaty sebagai international convention, konvensi tersebut juga

menggunakan istilah international agreement bagi perangkat

internasional yang tidak memenuhi definisi treaty, dengan demikian pengertian umum dari agreement mencakup seluruh perangkat internasional yang biasanya mempunyai kedudukan lebih rendah dari traktat atau konvensi.

Pengertian agreement secara khusus dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama persetujuan. Menurut pengertian ini, persetujuan umumnya mengatur materi yang lebih kecil dibanding materi yang diatur pada traktat. Isitilah persetujuan saat ini cenderung digunakan bagi perjanjian

bilateral dan terbatas pada perjanjian multilateral.37

9) Arrangement (Penetapan)

Digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau dari isinya lebih bersifat teknis dan administratif. Dalam hal ini arrangement juga digunakan untuk melaksanakan proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul bersifat teknis. Istilah arrangement digunakan untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam persetujuan-persetujuan kerjasama teknis, persetujuan-persetujuan-persetujuan-persetujuan kerjasama teknik

37

(33)

tersebut hanya menyebutkan bidang-bidang kerjasama saja sedangkan pelaksanaan tiap-tiap bidang serta hak-hak dan kewajiban-kewajiban para

pihak akan diatur dalam special arrangement.38

10) Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman).

Nota kesepahaman merupakan perjanjian yang mengatur

pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, nota kesepahaman dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya perjanjian ini. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatangan tanpa memerlukan

pengesahan.39

11) Pact (Pakta).

Istilah pakta dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang, militer, pertahanan dan keamanan, misalnya perjanjian tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantik Utara

(North Atlantic Treaty Organization/NATO) disebut Pakta Atlantik.40

12) Exchange of Notes

Pertukaran nota atau exchange of notes merupakan perjanjian internasional yang bersifat umum yang memiliki banyak persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan menukarkan dua dokumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak

pada masing-masing dokumen41.

38 ibid, hlm. 95 39 Ibid, hlm 95 40

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 33

41

(34)

13) Modus Vivendi

Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci. Modus Vivendi tidak memerlukan

pengesahan42.

2. Macam-macam Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional selain mempunyai berbagai istilah juga terdapat pengklasifikasian yang merupakan macam-macam perjanjian internasional yang membedakan antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain. Macam-macam perjanjian ini diltinjau dari sudut pendekatan yang ditempuh.

Macam-macam perjanjian, yaitu43;

1) Perjanjian internasional ditinjau dari jumlah peserta;

a. Perjanjian internasional bilateral

Perjanjian internasional bilateral merupakan perjanjian yang disepakati oleh dua negara saja. Perjanjian tersebut hanya mengikat kedua negara tersebut.

b. Perjanjian internasional multilateral.

Perjanjian multilateral adalah perjanjian yang pihaknya terdiri dari lebih dari dua negara.

42

Ibid., hlm 95

43

(35)

2) Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak

a. Perjanjian internasional khusus

Perjanjian internasional khusus disebut juga perjanjian tertutup yaitu hanya mengikat bagi para pihak saja , sifatnya tertutup hanya bagi yang ikut dalam perjanjian.

b. Perjanjian internasional terbuka

Perjanjian internasional terbuka merupakan perjanjian yang bersifat terbuka bagi negara-negara yang tidak ikut dalam perundingan untuk bergabung di dalam perjanjian tersebut. 3) Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya;

a. Perjanjian internasional yang berlaku khusus (Treaty

contract)

Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah hukum bagi negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian saja. Perjanjian ini bersifat tertutup.

b. Perjanjian internasional regional

Perjanjian internasional yang hanya melahirkan kaidah hukum bagi negara-negara yang ada dalam satu kawasan saja atau dalam satu regional. Mempunyai akibat hukum hanya bagi negara-negara yang berada dalam satu kawasan tersebut.

c. Perjanjian internasional yang berlaku umum (Law making

(36)

Perjanjian internasional ini melahirkan kaidah hukum yang diharapkan menjadi sebuah kaidah yamg berlaku umum bagi seluruh masyarakat internasional. Biasanya perjanjian ini berkaitan dengan hal-hal atau masalah yang penting dan besar. 4) Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasanya;

a. Perjanjian yang dirumuskan dalam satu bahasa, biasanya bahasa yang digunakan dalam perjanjian ini adalah bahasa Inggris sebagai bahasa universal.

b. Perjanjian yang dirumuskan dengan dua bahasa, perjanjian ini biasanya dituangkan dalam bahasa Inggris dan bahasa yang sesuai dengan kesepakatan para pihak, tetapi hanya yang dirumuskan dalam satu bahasa saja yang merupakan perjanjian yang sah.

c. Perjanjian yang dirumuskan dengan tiga bahasa, semua perjanjian tersebut sah dan otentik.

5) Perjanjian internasional ditinjau dari substansinya.

a. Perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan.

Perjanjian semacam ini tampaknya tidak ada lagi mengingat perkembangan hukum internasional yang semakin pesat yang mengakibatkan selalu ada unsur-unsur yang sama sekali baru

(37)

disamping kaidah-kaidah hukum yang sudah merupakan hukum kebiasaan internasional.

b. Perjanjian internasional yang merupakan perumusan dan

melahirkan kaidah-kaidah hukum internasional yang baru.

Perjanjian internasional semacam ini biasanya berkenaan dengan masalah-masalah yang sama sekali baru dan kaidah hukumnya sama sekali belum ada. Pada umumnya masalah-masalah tersebut terjadi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Perjanjian internasional yang merupakan perpaduan antara hukum kebiasaan internasional dengan kaidah hukum internasional yang baru.

Perjanjian semacam ini yang semakin banyak muncul, karena masyarakat dan hukum internasional yang terus berkembang dengan pesatnya, sehingga perumusannya dalam bentuk perjanjian internasional, disamping harus menampung kaidah-kaidah hukum yang sudah ada sebelumnya, juga harus dipadukan dengan kaidah-kaidah hukum yang merupakan unsur-unsur baru sama sekali. 6) Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya.

a. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh negara atau negara-negara;

Perjanjian internasional ini diprakarsai oleh negara dengan negara atau negara-negara dimana objek dalam perjanjian ini

(38)

merupakan kepentingan dari negara-negara saja. Untuk itu perjanjian tersebut mengikat negara-negara yang mempunyai kepentingan. Namun, perjanjian ini juga terbuka bagi negara-negara yang mempunyai kepentingan yang sama untuk ikut terikat dengan perjanjian tersebut meskipun tidak ikut dalam perundingan.

b. Perjanjian internasional yang diprakarsai oleh organisasi

internasional.

Organisasi internasional terutama organisasi internasional antar negara atau antar pemerintah dapat memprakarsai dibentuknya suatu perjanjian. Namun, perjanjian disini haruslah sesuai dengan objek yang merupakan kegiatan, tujuan, dan maksud dari dibentuknya organisasi internasional yang bersangkutan.

7) Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya.

Pada dasarnya macam-macam perjanjian internasional ini sama dengan perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak atau peserta, karena negara-negara yang telah menjadi pihak atau peserta perjanjian internasional tersebut maka secara otomatis berlaku dalam ruang lingkup negara-negara pesertanya, yang membedakan terletak wilayah dan pemerintahnya, dalam hal ini berlaku asas teritorial dan personalitas dari negara-negara yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.

(39)

3. Tahap-Tahap Pembuatan Perjanjian Internasional

Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional diatur dalam Pasal 6-10

Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.44 Pembuatan perjanjian

internasional dapat melalui dua tahap atau lebih dari dua tahap, pembuatan perjanjian internasional yang melalui dua tahap hanya terdiri dari proses perundingan dan penandatangan.

Pembuatan perjanjian internasional yang terdiri dari lebih dua tahap jika ditinjau dari isi atau materi dalam perjanjian yang dibuat pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai yang penting atau prinsip bagi para pihak terikat, hanya saja penentuan atau kriteria mengenai penting atau tidaknya

masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.45

Berikut ini tahap-tahap dalam pembuatan perjanjian internasional : 1. Pendekatan Informal.

Pada zaman modern sekarang ini, pihak-pihak yang bermaksud untuk membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional mengenai suatu masalah tertentu, terlebih dahulu melakukan pendekatan-pendekatan, yang bersifat informal dalam rangka mencapai kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian internasional yang mengatur suatu masalah tertentu.

Dalam perjanjian bilateral atau multilateral terbatas biasanya dengan pendekatan antara dua pejabat negara yang berwenang dalam masalah yang sama, sedangkan dalam perjanjian multilateral umum atau terbuka, pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan melalui pertemuan-pertemuan

44

I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar..., Op.cit, hlm. 172

45

(40)

informal antara para diplomat atau pejabat negara, baik secara bilateral-bilateral untuk selanjutnya ditingkatkan dalam forum yang lebih resmi. Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal itulah nantinya akan dilanjutkan dengan langkah-langkah formal untuk merumuskan suatu

perjanjian yang disebut perundingan (Negotiation).46

2. Perundingan (Negotiation).

Perundingan dalam suatu konferensi internasional baik yang bersifat bilateral maupun multilateral umumnya dilakukan oleh utusan-utusan yang ditunjuk oleh Presiden atau Menteri Luar Negeri, pada perundingan-perundingan untuk soal-soal tertentu terkadang Presiden atau Menteri Luar Negeri atau Menteri lainnya sesuai dengan bidangnya masing-masing yang memimpin delegasi.

Dalam praktek internasional utusan-utusan suatu negara dalam suatu konferensi internasional biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full powers), menurut Pasal 7 ayat (1) Konvensi Wina 1969,47 full powers adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima naskah atau membuktikan keaslian

46

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional 1, Op.cit, hlm. 93

47

Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969 tercantum dalam Pasal 7, yang berbunyi : 1. A person is considering as representing a State for the purpose of adopting or authenticating

the text of a treaty or for the purpose of expressing the consent to be bound by treaty if : (a) he produce appropriate full powers or;

(b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that their intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to dispense with full powers.

(41)

naskah atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan

perjanjian.48

Full powers tidak selalu merupakan satu-satunya dokumen yang dimiliki oleh suatu delegasi dalam suatu konferensi bilateral maupun multilateral, suatu delegasi yang menghadiri konferensi internasional dalam kerangka suatu organisasi internasional biasanya dilengkapi dengan credentials atau surat kepercayaan, Indonesia dalam prakteknya memisahkan full powers dan credentials untuk menghadiri konferensi. Delegasi RI yang dilengkapi dengan credentials hanya diberikan wewenang untuk menghadiri konferensi dan bukan untuk menandatangani suatu perjanjian, sedangkan full powers baru dikeluarkan bila suatu perjanjian akan ditandatangani. Pengertian full powers dalam Konvensi Wina 1969

sudah termasuk pengertian credentials.49

3. Penerimaan Naskah (Adoption of the Text).

Setelah melalui proses perundingan antara wakil-wakil para pihak ataupun perundingan melalui konferensi internasional sampai dengan tercapainya kesepakatan antara para wakil yang melakukan perundingan atas naskah perjanjian, maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian. Menurut Pasal 9 ayat (1)

Konvensi Wina 196950 penerimaan naskah suatu perjanjian internasional

48

Boer Mauna, Op.cit, hlm. 100

49

Ibid, hlm. 101-102

50

Ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1969 berbunyi :

1. The adoption of the text of a treaty takes place by the consent of all the States participating in its drawing except as provided in paragraph 2.

(42)

dilakukan berdasarkan persetujuan dari semua negara yang berpartisipasi dalam perumusan naskah perjanjian itu, kecuali penerimaan naskah perjanjian yang lahir melalui suatu konferensi internasional seperti ditentukan dalam Pasal 9 ayat (2) konvensi ini. Pasal 9 ayat (2) tersebut menegaskan bahwa penerimaan atau pengadopsian naskah suatu perjanjian internasional yang dirumuskan melalui suatu konferensi internasional dilakukan dengan persetujuan dua per tiga dari negara-negara yang hadir dan memberikan suaranya, kecuali dengan suatu suara mayoritas yang sama

negara-negara itu menerapkan peraturan yang berbeda.51

4. Pengesahan Naskah (Authentication of the Text).

Pengesahan naskah suatu perjanjian internasional merupakan tahap lanjutan dari penerimaan naskah perjanjian. Pengesahan naskah ini akan meningkatkan status dari naskah yang sudah melewati tahap penerimaan menjadi naskah yang final dan definitif, dengan status final dan definitif ini, maka perjanjian itu tidak dapat diubah lagi, kecuali setelah perjanjian tersebut sudah mulai berlaku, dapat diubah melalui proses amandemen ataupun modifikasi sesuai dengan pengaturannya dalam perjanjian itu sendiri atau jika perjanjian itu tidak mengaturnya, menurut prosedur seperti

yang dicantumkan dalam Bagian IV Pasal 39-41.52

2. The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply a different rule.

51

I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian 1, Op.cit, hlm. 106-107

52

(43)

Menurut Pasal 10 Konvensi Wina 196953, pengesahan naskah suatu perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian-perjanjian itu sendiri, atau sesuai dengan apa yang diputuskan bersama wakil-wakil yang ikut dalam konferensi, jika tidak ditentukan

sebelumnya maka pengesahan tersebut dapat dilakukan dengan

membubuhkan tanda tangan atau paraf dibawah naskah perjanjian atau

tanda tangan dalam suatu final act.54

5. Penandatanganan / Persetujuan untuk Terikat pada Perjanjian (Consent to be Bound by Treaty)

Setelah naskah perjanjian resmi diterima sebagai naskah yang otentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak, dengan demikian belum memiliki kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif, kecuali pada saat pengesahan sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian. Agar perjanjian tersebut mengikat sebagai sumber hukum internasional positif, maka negara-negara tersebut perlu menyatakan persetujuan untuk terikat secara tegas pada perjanjian, jika negara tersebut tidak menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian atau secara tegas menolak untuk terikat, maka perjanjian tersebut tidak akan mengikatnya. Persetujuan atau penolakan untuk terikat merupakan

53

Ketentuan Pasal 10 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut : “The text of a treaty is established as authentic and definitive :

(a) by such procedur as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or

(b) by failing such procedure by the signature, signature ad referendum or initialling by the representatives of those States of the text of the treaty or of the Final Act of a conference incorporating the text”

54

(44)

kedaulatan dari negara, setipa negara berdaulat tidak dapat dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada perjanjian.

Menurut Pasal 11 Konvensi Wina 1969,55 ditegaskan beberapa cara

untuk menyatakan terikat persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, yaitu dengan penandatangan (signature), pertukaran istrumen yang membentuk perjanjian (exchange of instruments constituting a treaty), ratifikasi (ratification), akseptasi (acceptance), persetujuan atau aksesi (approval or accession), atau dengan cara lain yang disepakati (or by any other means if so agreed). Semua cara tersebut masing-masing diatur lebih rinci dalam Pasal 12-17 Konvensi Wina 1969.

4. Akibat Hukum Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional mengikat para pihak (prinsip pacta sunt servanda). Selanjutnya negara-negara pihak pada perjanjian harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan nasional. Sehubungan dengan itu, maka akibat dari perjanjian dibagi menjadi tiga, yaitu;56

1. Akibat perjanjian terhadap negara-negara pihak;

Selain asas pacta sunt servanda yang digunakan, sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Perjanjian Internasional

55

Ketentuan Pasal 11 Konvensi Wina 1969 berbunyi sebagai berikut :

“The consent of a States to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instrument constitutinga treaty , acceptance, apporval or accession, or by any other means if so agreed”

56

(45)

bahwa “Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith,” yang berarti bahwa negara-negara yang terikat pada suatu perjanjian harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam perjanjian internasional yang telah disetujuinya dengan itikad baik. Negara yang terikat pada perjanjian harus menaati dan menghormati pelaksanaan perjanjian. 2. Akibat perjanjian terhadap negara lain;

Perjanjian internasional selain berakibat pda negara-negara dalam pihak perjanjian juga mempunyai akibat terhadap negara lain Disini berlaku prinsip terkenal pacta tertiis nex nocent nec prosunt yang berarti bahwa perjanjian-perjanjian tidak dapat menimbulkan

kewajiban-kewajiban dan memberikan hak pada negara ketiga.57

Namun ada pengecualian terhadap prinsip tersebut, yaitu58;

a) Perjanjian yang mempunyai akibat kepada negara ketiga atas persetujuan mereka.

Perjanjian ini memberikan hak kepada negara ketiga atas persetujuan negara ketiga tersebut, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang hukum Perjanjian yang berbunyi;

Suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut dalam bentuk tertulis.

57

Ibid., hlm. 143

(46)

b) Perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara ketiga.

Klausula Most-Favoured Nation adalah suatu mekanisme yang sering dipakai dalam hubungan ekonomi internasional. Klausula ini berarti bahwa setiap keuntungan yang diperoleh suatu negara (negara A), dalam kaintannya dengan suatu perjanjian di bidang tertentu dengan negara lain (negara B), akan dinikmati pula oleh negara ketiga (negara C).

c) Perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan mereka.

Pengecualian mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 (6) Piagam PBB yang antara lain menyatakan bahwa PBB harus memastikan negara-negara bukan anggota PBB bertindak sesuai dengan asas PBB sejauh mungkin bila dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional. Jadi, negara bukan anggota PBB sepanjang mengenai perdamaian dan keamanan internasional

harus bertindak sesuai dengan asas dari piagam. 59

3. Implementasi perjanjian pada peraturan perundang-undangan nasional Negara yang menjadi pihak dalam suatu perjanjian berarti negara tersebut sudah terikat dengan perjanjian untuk itu harus menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut dalam peraturan perundang-undangan nasional negaranya. Perjanjian internasional kemudian harus dituangkan dalam perundang-undangan negara yang terikat

59

(47)

sebagai wujud pelaksanaan perjanjian secara nasional oleh negara tersebut.

Jika, suatu negara menolak pelaksanaan perjanjian internasional karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum nasional negaranya padahal sudah terikat maka, tidak dapat dijadikan alasan bagi negara tersebut untuk megalahkan perjanjian internasional dari hukum nasionalnya karena terdapat asas pacta sunt servanda, sehingga tetap perjanjian internasional yang dimenangkan. Sebab, sebelum terikatnya negara dalam perjanjian internasional sudah melewati tahapan-tahapan dalam penyesuaiannya dengan perjanjian internasional tersebut. Kecuali, jika alasan yang digunakan adalah mengenai masalah yang sangat mendasar dan fundamental bagi suatu negara.

Persetujuan suatu negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional mengandung dua aspek, yaitu aspek eksternal dan aspek

internal. Aspek eksternalnya adalah keterikatan negara yang

bersangkutan terhadap perjanjian dalam hubungannya dengan negara yang lain yang juga sama-sama terikat pada perjanjian itu. Sedangkan aspek internalnya berkenaan dengan masalah di dalam negeri dari negara yang bersangkutan, misalnya organ yang manakah dari pemerintah negara itu yang berwenang menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional, bagaimanakah mekanismenya sampai dengan dikeluarkannya persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada

Referensi

Dokumen terkait

Ragam hias fauna biasanya berupa ayam jantan, kepala kerbau dan bentuk ular naga.Ayam jantan dalam bahasa Bugis disebut manuk/mnu yang berarti baik- baik.Selain itu juga

“(1) Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan individu,

Kerangka Kerja Konseptual PKSA merupakan upaya peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak berbasis keluarga, yang dilaksanakan berdasarkan proses sosial

(3) Dalam hal anggota Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri tidak terbukti

a) Rukhshah yang harus dilakukan (wajibah), seperti memakan barang haram bagi orang yang terpaksa berdasarkan QS. Juga seperti berbuka puasa bagi yang dikhawatirkan

Komponen biaya yang dikaji berupa biaya medis langsung ( direct medical cost) yaitu biaya-biaya yang terkait dengan pelayanan yang diterima pasien selama menjalani rawat

Abstrak - Implementasi Infak, dan Shadaqah (zakat) melalui program Gerakan Infaq Beras (Gifara) DKMB Masjid Besar Asy-Syuhada untuk mengentaskan kemiskinan, memberantas

Kriteria laporan keuangan yang lengkap menurut PSAK 1 (revisi 1998) dengan PSAK 1 (revisi 2009) adalah dalam butir (f) yang mengharuskan entitas untuk menyajikan