• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PISAH HARTA SESUDAH PERKAWINAN A. Pengertian perjanjian perkawinan

E. Akibat Hukum Perjanjian Pisah Harta Sesudah Perkawinan

Pemisahan harta benda ini memiliki konsekuensi adalah masing-masing pihak berhak untuk mengurus sendiri harta bendanya baik yang diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan maupun pada saat dan selama perkawinan berlangsung.

Pemisahan harta benda perkawinan juga dapat dilakukan setelah perkawinan berlangsung dimana harus didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak suami dan istri. Biasanya pemisahan harta benda ini dituangkan dalam suatu perjanjian perkawinan secara khusus dibuat untuk itu.98

Terhadap perjanjian perkawinan para pihak dapat menyatakan bahwa diantara mereka tidak ada pencampuran harta dan disamping itu secara tegas juga dapat dinyatakan bahwa mereka tidak menghendaki adanya persatuan untung-rugi. Adanya pemisahan harta sama sekali, maka masing-masing pihak (suami-istri) tetap menjadi

97 Wawancara dengan Dominggus Silaban, Hakim Pengadilan Negeri Medan, tanggal 13 April 2017

98 Andy Hartanto, Op.Cit., Hal 91

pemilik dari barang-barang yang mereka bawa masuk ke dalam perkawinan.

Disamping itu oleh karena setiap bentuk persatuan telah mereka kecualikan, maka hasil yang mereka peroleh sepanjang perkawinan, baik berupa hasil usaha maupun hasil yang berasal dari harta pribadi tetap menjadi milik masing-masing suami-istri.99 Antara suami istri hanya ada dua macam harta kekayaan saja, yaitu: 1. Harta kekayaan suami pribadi, dan 2. Harta kekayaan istri pribadi. Pengurusan kedua macam harta kekayaan tersebut ada di tangan masing-masing suami-istri. Tidak ada kewajiban meminta izin salah satu pihak kepada pihak lain dalam melakukan perbuatan hukum atas harta kekayaan pribadi masing-masing.100

Calon suami istri yang menghendaki agar harta mereka sepanjang perkawinan terpisah sama sekali, maka para pihak di dalam perjanjian perkawinan harus menyatakan bahwa antara mereka (calon suami istri) tidak ada pencampuran harta dan di samping itu secara tegas menyatakan bahwa mereka juga tidak menghendaki adanya persatuan untung rugi.101

Terhadap harta pribadi istri dengan perjanjian perkawinan tersebut, istri tetap menjadi pemilik dari harta yang dibawa dan diperolehnya sepanjang perkawinan, tetapi mengenai pengurusan atas harta tersebut tetap berlaku asas umum, sebagai yang disebut dalam Pasal 105 ayat (3) KUHPerdata, yaitu bahwa suamilah yang mengurus harta pribadi istri, kecuali istri secara sah memperjanjikan yang sebaliknya.

Mengenai apa saja yang boleh dilakukan suami atas pengurusan harta pribadi istri

99 Ibid., Hal 92

100 Ibid.

101 J. Satrio, Op.Cit., hal 164

terdapat pada Pasal 105 ayat (5) yaitu : “ia dilarang menjual atau membebani harta tak bergerak milik istri tanpa persetujuannya”. Tindakan-tindakan mengoperkan dan membebani adalah tindakan-tindakan penguasaan, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa terhadap harta tak bergerak milik istri, suami tidak mempunyai wewenang penguasaan, dengan kata lain pengurusan suami atas barang-barang tak bergerak milik istri tidak meluas sampai tindakan penguasaan. Sedangkan pengurusan dan penguasaan barang tidak bergerak yang dimiliki istri undang-undang tidak tegas mengaturnya. Hak pengurusan suami atas harta pribadi istri berakhir pada saat perkawinan bubar. Di samping itu pengurusan suami juga berakhir karena pemecahan harta, pisah meja dan tempat tidur, suami pailit atau ditaruh di bawah curatels.102

Umumnya perjanjian perkawinaan ini dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing. Suami atau istri yang melakukan perjanjian perkawinan pada umumnya bertujuan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan. Dalam perjanjian perkawinan dengan harta terpisah, adanya perjanjian perkawinan tersebut sebagai perlindungan bagi istri terhadap dipertanggung-jawabkannya harta tersebut terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh suami ataupun sebaliknya. Jadi ketika terjadi resiko tertentu, seperti aset ketika gagal bayar, seluruh aset atau harta pasangannya tidak terganggu. Selain itu faktor perjanjian perkawinan dengan pisah harta adalah untuk mengurus hartanya sendiri selama perkawinan, untuk melindungi hartanya dari sifat buruk suami ataupun istri, dan keinginan keluarga

102 Ibid., 105

salah satu calon suami/istri.103 Hal-hal tersebut memberikan perlindungan hukum antara suami atau istri selama perkawinan apabila melakukan perjanjian pisah harta.

Perjanjian Perkawinan pisah harta meskipun hanya ada dua kelompok harta saja yaitu harta pribadi suami dan istri, tetapi hal itu tidak berarti bahwa tidak ada pengeluaran-pengeluaran yang harus ditanggung oleh suami istri bersama-sama.

Biaya rumah tangga adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk suami dan istri bersama-sama. Sekalipun harta mereka terpisah, mereka adalah suami istri yang hidup dalam satu rumah. Biaya hidup mereka demikian pula biaya pendidikan anak-anak merupakan pengeluaran bersama, sekalipun mungkin dikeluarkan oleh dan semula dengan harta pribadi suami/istri, tetapi pengeluaran-pengeluaran tersebut dikemudian hari diperhitungkan kepada pihak yang lain (suami/istri) yang wajib turut memikul pengeluaran-pengeluaran tersebut.104

Sebagai kepala keluarga suami wajib melindungi istrinya. Suami juga wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Kemudian kebutuhan hidup keluarga merupakan tanggung jawab suami. Sesuai Pasal 34 ayat (1) UUP menyatakan : “Suami wajib melindungi istrinya dan memberi segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Ditekankan pemenuhan kebutuhan itu menurut kemampuan suami, dimaksudkan agar pihak istri tidak menuntut yang melebihi kewajiban istri adalah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jadi, pada pokoknya dalam rumah

103 Wawancara dengan Ihdina Marbun, Notaris di Medan, tanggal 2 Mei 2017

104 J. Satrio, Op. Cit., hal 169

tangga suami bertugas mencari nafkah, sedang istri bertugas mengurus kepentingan di dalam rumah. Terdapat pada Pasal 34 ayat (2) menyatakan : “Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.

Mengenai biaya rumah tangga pada prinsipnya tetap berlaku asas bahwa suami istri bersama-sama memikul hidup dan pendidikan anak-anak. Pasal 145 KUHPerdata memberikan kemungkinan untuk menyimpang atas asas asas tersebut, yaitu dalam perjanjian perkawinan para calon suami istri dapat menetapkan bahwa pihak istri hanya akan menanggung sejumlah uang tertentu tiap tahun atas pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak. Undang-undang hanya disebutkan bahwa pihak istri saja yang dapat memperjanjikan seperti tersebut di atas, maka hal itu berarti bahwa semua sisa uang biaya rumah tangga dan pendidikan yang melebihi tanggungan pihak istri menjadi tanggungan si suami.

Adanya janji seperti yang disebut dalam Pasal 145 KUHPerdata pernah ditafsirkan lain oleh Pengadilan, yaitu bahwa pada asasnya biaya rumah tangga dipikul bersama suami istri menurut perimbangan penghasilan mereka dan bahwa jumlah yang disebutkan dalam perjanjian perkawinan merupakan jumlah maksimum yang menjadi tanggungan istri. Bahwa dengan adanya perjanjian perkawinan seperti tersebut, maka pihak istri tak pernah memiliki kewajiban lebih dari jumlah yang telah disebutkan dalam perjanjian perkawinan, sehingga sisa kekurangan selalu menjadi tanggungan pihak suami.105

105 J. Satrio, Op.Cit., hal 170

Memperjanjikan bahwa calon istri tidak akan menanggung biaya keluarga dan pendidikan sama sekali tidak diperkenankan, karena dianggap bahwa kewajiban memikul biaya hidup suami istri dan anak adalah bersifat ketertiban umum. Dalam hal pihak calon istri secara tidak tegas memperjanjikan sebagai tersebut, maka biaya rumah tangga dan pendidikan adalah tanggungan suami istri. Pasal 146 KUHPerdata ditetapkan bahwa semua hasil dan pendapatan yang ke luar dan barang-barang milik istri tersedia bagi suami. Dengan demikian tanggung jawab suami terbatas hanya sampai pada modal (barang-barang) istri, tidak meliputi hasil dari barang/modal istri.106

Perjanjian tersebut harus dengan tegas diperjanjikan, jika hanya disebut tidak ada persatuan harta kekayaan saja, maka masih bisa berarti ada persatuan untung dan rugi (Pasal 144 KUHPerdata). Arti dari perjanjian ini ialah sebagai disebut dalam Pasal 140 ayat (2) : “Istri akan mengatur sendiri harta kekayaan pribadi dan akan menikmatinya sendiri pula dengan bebas segala pendapatan pribadi”. Jadi di dalam hal ini tiada ada barang suatupun yang menjadi harta kekayaan persatuan. Untuk keperluan rumah tangga istri dapat menyumbang sejumlah uang dari harta kekayaaan pribadi tiap tahun (Pasal 145 KUHPerdata).107

Pemisahan harta benda tidak mengakibatkan perkawinan bubar, ikatan perkawinan tersebut tetap berlangsung terus, akan tetapi terhadap harta kekayaan perkawinan dan kepengurusanya sajalah yang terjadi perubahan dan pemisahan.

106 Ibid.

107 Ibid., hal 178

Akibat dari pemisahan harta benda adalah pencampuran harta menjadi pecah, dan kekayaan dari pencampuran harta benda dibagi dua antara suami dan istri (Pasal 128 KUHPerdata). Kemungkinan jika terdapat persekongkolan antara suami dan istri, agar setelah bubarnya kebersamaan harta dibagi dua, sehingga tidak dapat seluruhnya disita untuk membayar hutang suami. Untuk maksud yang demikian sudah barang tertentu tidak dapat dibenarkan sehingga kepentingan pihak ketiga tetap harus diperhatikan jika terjadi pembagian harta perkawinan akibat pecahnya persatuan harta.108

Pencegahan terhadap perbuatan seperti itu ditentukan oleh undang-undang dengan mengadakan ketentuan-ketentuan, bahwa gugatan untuk diadakan pemisahan harta benda harus diumumkan secara terang-terangan (Pasal 187 KUHPerdata) dengan memberikan hak kepada kreditur-kreditur untuk mecampuri pemeriksaan perkara gugatan pemisahan harta benda (Pasal 188 KUHPerdata). Ketentuan tersebut jelas memberikan perlindungan yang memadai kepada pihak ketiga yang berkepentingan dengan pemisahan harta perkawinan yang sengaja dilakukan oleh suami-istri untuk tujuan merugikan pihak ketiga. Undang-undang menentukan adanya syarat yang ketat bagi permohonan untuk pemecahan harta persatuan. Memang dalam pasal 186 KUHPerdata ditentukan bahwa sepanjang perkawinan istri berhak mengajukan tuntutan kepada hakim agar dilakukan pemisahan harta kekayaan perkawinan. Hanya saja permohonan atau tuntutan pemisahan harta persatuan dapat diajukan dalam hal seperti:

108 Andy Hartanto, Op.Cit., hal 93

1. Jika suami berkelakuan tidak baik (wangedrag) yaitu telah memboroskan harta kekayaan persatuan dan membawa suatu kehancuran.

2. Apabila tidak ada ketertiban dalam pegurusan harta perkawinan dan tidak becusnya suami dalam mengurus harta sendiri maupun harta persatuan. Maka untuk memberikan jaminan keselamatan atas harta perkawinan dan harta si istri dapat mengajukan tuntutan pemecahan persatuan harta kekayaan dalam perkawinan.109

Syarat-syarat yang menurut undang-undang dapat dilakukan tuntutan pemecahan persatuan harta, maka istri dapat mengajukan tuntutan kepada hakim untuk dilakukan pemisahan harta perkawinan agar harta persatuan antara suami istri dipecah. Dalam proses pengajuan permohonan pemecahan harta tersebut, pihak pengadilan wajib memperhatikan kepentingan pihak ketiga (kreditur) dengan membuat suatu syarat bahwa permohonan tersebut harus diumumkan (Pasal 187 KUHPerdata). Hal itu dimaksudkan agar pihak ketiga (kreditur) yang berkepentingan dapat melakukan intervensi sebagai pihak yang ikut berperkara antara suami dan istri, dengan maksud untuk mengajukan keberatan-keberatan terkait adanya permohonan pemecahan harta persatuan. Sehingga dengan demikian maka para pihak ketiga (kreditur) dapat meminta kepada pengadilan (hakim) agar kepentingannya tidak dirugikan dengan adanya pemecahan harta persatuan tersebut.110

109 Ibid., Hal 94

110 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), hal 127

Putusan pengadilan harus dilaksanakan dengan mengadakan pembagian yang nyata, yang dimuat dalam akta autentik didalam satu bulan setelah putusan mendapat kekuatan atau putusan itu harus diikuti dengan tuntutan lagi untuk melaksanakan putusan itu. Sebab kalau tidak putusan pegadilan menjadi persatuan itu dapat dipulihkan lagi. Hal ini harus dengan akta autentik (Pasal 196 KUHPerdata) dan harus diumumkan dengan terang-terangan (Pasal 198 KUHPerdata).111 Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat didalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. (Pasal 1868 KUHPerdata)

Sebagai akibat dari pemisahan itu timbul hal-hal sebagai berikut :

1. Istri memperoleh kebebasan untuk mengurus sendiri harta kekayaannya dan bolehlah ia memurba segala barang bergerak atas izin umum dari Pengadilan (Pasal 194 KUHPerdata)

2. Istri dapat melepaskan haknya atas persatuan (Pasal 829 Acara Perdata) 3. Istri wajib memberi sumbangan buat rumah tangga (Pasal 193 KUHPerdata) 4. Kekuatan Putusan Pengadilan perihal pemisahan harta kekayaan berlaku surut

sampai hari tuntutan diajukan (Pasal 189 KUHPerdata)

Pasal-pasal yang terdapat dalam UUP maupun KUHPerdata telah memberikan kepastian hukum karena telah menjelaskan tentang akibat hukum yang terdapat dalam perjanjian pisah harta sesudah perkawinan berlangsung.

111 Ali Affandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal 183

Beban-beban dan hutang-hutang yang termasuk dalam pencampuran harta benda adalah semua beban-beban dan hutang-hutang yang dibuat oleh suami atau istri masing-masing, baik yang dibuat sebelum perkawinan maupun setelah perkawinan dilangsungkan (Pasal 121 KUHPerdata). Oleh karenanya dalam melaksanakan pemindahtanganan barang atau harta perkawinan yang terdaftar atas nama istri adalah lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan apabila suami dan istri senantiasa diikutsertakan bersama-sama untuk melakukan pemindahtanganan barang tersebut.112

Suami yang dinyatakan pailit baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih dari para kreditur, maka oleh pasal 60 ayat (1) UU Kepailitan ditentukan bahwa dalam hal demikian istri berhak mengambil kembali barang-barang bergerak dan tidak bergerak menjadi milik istri tersebut. Apabila istri jatuh pailit atau beradi dibawah kuratele, maka pengurusan barang-barang oleh suami akan berhenti dan pengurusan itu berpindah kepada kurator. Juga apabila suami berada dibawah kuratele, maka pengurusannya juga berakhir dan istri dapat mengurus sendiri barang-barangnya.

112 Ibid., Hal 88

BAB III

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP AHLI WARIS ATAS

Dokumen terkait