• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN AHLI WARIS TERHADAP HARTA PENINGGALAN DALAM PERKAWINAN DENGAN PERJANJIAN PISAH HARTA (PUTUSAN MA NO. 804/PK/PDT/2009) TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEDUDUKAN AHLI WARIS TERHADAP HARTA PENINGGALAN DALAM PERKAWINAN DENGAN PERJANJIAN PISAH HARTA (PUTUSAN MA NO. 804/PK/PDT/2009) TESIS."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

RIZKA YUSTIARIDINIA 157011103/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIZKA YUSTIARIDINIA 157011103/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

pribadi suami dan harta pribadi istri. Adanya perjanjian pisah harta akan berpengaruh terhadap bagian yang dimiliki ahli waris apabila salah satu pihak meninggal dunia. Pada putusan MA No. 804/Pk/Pdt/2009 terdapat suatu kasus dimana suami kehilangan hak menjadi ahli waris istrinya dikarenakan membuat perjanjian pisah harta. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi akibat hukum pejanjian pisah harta sesudah perkawinan, perlindungan hukum terhadap ahli waris atas harta peninggalan salah satu pihak akibat perjanjian pisah harta dan pertimbangan hukum putusan hakim MA No. 804/Pk/Pdt/2009.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis, penelitian hukum normatif menggunakan data sekunder sebagai data utama dengan menggunakan tekhnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara sebagai data pendukung, serta menggunakan metode analisis data kualitatif, analisis data ini dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk menjawab permasalahan.

Akibat hukum dari perjanjian perkawinan dengan pisah harta sesudah perkawinan adalah masing-masing pihak berhak untuk mengurus sendiri harta bendanya baik yang diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan maupun pada saat dan selama perkawinan berlangsung. Untuk membiayai keperluan rumah tangga sebagai kepala keluarga dan suami wajib menafkahi istrinya. Perlindungan hukum perjanjian pisah harta terhadap harta peninggalan salah satu pihak akibat perjanjian pisah harta terdapat dalam Pasal 140 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian kawin tidak boleh mengurangi hak-hak yang diberikan undang- undang kepada si yang hidup terlama di antara suami isteri. Berdasarkan putusan MA No. 804/Pk/Pdt/2009, suami tidak mendapatkan harta peninggalan akibat perjanjian pisah harta sesuai dengan Pasal 1338 KUHPerdata adalah suatu kekeliruan hakim dalam memberikan putusan, walaupun Tergugat I telah membuat perjanjian pisah harta dengan pewaris, akan tetapi tidak menghapus haknya sebagai ahli waris.

Kata Kunci :Perjanjian Pisah Harta, Ahli Waris, Harta Peninggalan

(4)

will influence the distribution of inheritance to heir(s) when one of the married couple dies. The Supreme Court’s Ruling No. 804/Pk/Pdt/2009, there is a case when the husband loses his right to be the heir of his wife because they have made property separation agreement. The research problems are how about the legal consequence of property separation agreement in a marriage, how about the legal protection for an heir on the inheritance of one of them as the result of property separation agreement, and the judge’s legal consideration in the Supreme Court’s Ruling No. 804/Pk/Pdt/2009.

The research used juridical normative and descriptive analytic method with secondary data as the main data. The data were gathered by conducting library research and interviews as supporting data and analyzed qualitatively, based on description, the facts would be analyzed in order to answer the problems.

Legal consequence of a marriage contract with property separation agreement in a marriage is that each of the marriage couple organizes his or her own property which is obtained before and during the marriage. The husband has to support financially his wife. The legal protection in a property separation agreement on the inheritance of of them is stipulated in Article 140 of the Civil Code which states that a marriage contract must not reduce the rights given by law to the person who is still alive in the married life. The Supreme Court’s Ruling No. 804/Pk/Pdt/2009 which states that the husband does not get the inheritance as the result of property separation agreement which is in accordance with Article 1338 of the Civil Code is actually the judge’s wrong judgment in handing down the verdict. Even though the defendant I has made property separation agreement, it does make it eliminated.

Keywords: Property Separation Agreement, Heir, Inheritance

(5)

sholawat dan salam disampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah mengantarkan umat manusia dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih judul “Kedudukan Ahli Waris Terhadap Harta Peninggalan dalam Perkawinan dengan Perjanjian Pisah Harta (Putusan Ma Nomor 804/PK/PDT/2009)”. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan di dalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan datang.

Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan pengarahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan ini. Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis tidak lupa berterima kasih kepada komisi pembimbing, Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum, Dr.

Yefrizawati, SH, MHum dan Dr. Rosnidar, SH, MHum.

Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Dr. Dedy, SH, MHum dan Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Penguji, yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh Staf/Pegawai di MKn Fakultas Hukum USU.

7. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2015.

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang tercinta Ayahanda Hery Jusharyadi, SH dan Ibunda Supeni, kedua orang tua saya yang telah memberikan perhatian, semangat dan doa kepada saya dalam menyelesaikan tesis ini.

Terimakasih juga kepada Muhammad Rachardi, SH, MKn dan Riescha Nabiela, saudara kandung saya yang telah memberikan semangat kepada penulis selama ini.

Besar harapan Penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan masyarakat yang membutuhkan, serta memberikan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

Medan, Agustus 2017

(Rizka Yustiaridinia)

(7)

Nama : Rizka Yustiaridinia

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/ 24 Desember 1992

Jenis Kelamin : Perempuan

Warga Negara : Indonesia

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

II. IDENTITAS KELUARGA

Ayah : Hery Jusharyadi, SH

Ibu : Supeni

III. PENDIDIKAN FORMAL

TK Taman Harapan : Tamat Tahun 1998

SD Negeri 060925 : Tamat Tahun 2004 SMP Negeri 3 Medan : Tamat Tahun 2007 SMA Negeri 5 Medan : Tamat Tahun 2010 S-1 Fakultas Hukum UMSU : Tamat Tahun 2014 S-2 Magister Kenotariatan USU : Tamat Tahun 2017

(8)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR ISTILAH ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka teori ... 16

2. Kerangka konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian... 24

1. Jenis penelitian ... 24

2. Sifat penelitian ... 26

3. Sumber dan jenis data ... 27

4. Teknik pengumpulan data ... 28

5. Analisis data ... 29

BAB II. AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PISAH HARTA SESUDAH PERKAWINAN ... 31

A. Pengertian Perjanjian Perkawinan ... 31

B. Syarat Sah Perjanjian Perkawinan ... 38

C. Bentuk Dan Isi Perjanjian Perkawinan ... 46

D. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK ... 58

(9)

A. Harta Benda Dalam Perkawinan ... 72

B. Harta Peninggalan ... 75

1. Pengertian ... 75

2. Kedudukan ahli waris terhadap harta peninggalan ... 79

C. Perlindungan Hukum Terhadap Ahli Waris Atas Harta Peninggalan Salah Satu Pihak Akibat Perjanjian Pisah Harta ... 85

1. Akibat hukum perjanjian pisah harta terhadap ahli waris atas harta peninggalan salah satu pihak ... 88

2. Perlindungan hukum terhadap ahli waris ... 88

BAB IV. PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN HAKIM MA NOMOR 804/PK/PDT/ 2009 ... 91

A. Kasus Posisi ... 91

B. Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Putusan MA Nomor 804/PK/Pdt/2009 ... 97

C. Analisis Putusan Majelis Hakim Dalam Putusan MA Nomor 804/PK/Pdt/2009 ... 100

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(10)

DAFTAR ISTILAH

Ab-Instaat : Ahli waris berdasarkan undang-undang Ab-Intestato : Mewariskan berdasarkan undang-undang Annvullendrecht : Mengatur

Beheer : Pengelolaan harta

Beschikkin : Penguasaan harta

Dwingendrecht : Memaksa

Equality before law : Sederajat di hadapan hukum

Gemeenschap van winst en verlies : Perjanjian pencampuran untung rugi Gemeenschap van vruchten en inkomten : Perjanjian pencampuran penghasilan Huwelijke voorwaardeb : Perjanjian perkawinan

Justitia distributiva : Suatu keadilan yang memberikan kepada orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan ini diperlakukan secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya

Justitia commutativa : Suatu keadilan yang diterima oleh masing- masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing.

Keadilan ini diperlakukan tanpa memandang kedudukan dan sebagainya

(11)

Justice is the supreme virture which harmonize all other virtues : Keadilan merupakan nilai kebijakan yang tertinggi

Legaat-legaat : Wasiat yang berisikan pemberian suatu

barang/prestasi kepada seseorang

Legitieme portie : Hak mutlak

Pacta Sunt Servanda : Setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi pihak yang melakukan perjanjian

Prenuptrial agreement : Perjanjian perkawinan Wangedrag : Berkelakuan tidak baik

Wettelijke gemeenschap van goerderen : Harta kekayaaan menurut undang-undang

(12)

DAFTAR SINGKATAN

HGB : Hak Guna Bangunan

HGU : Hak Guna Usaha

K : Kasasi

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

MA : Mahkamah Agung

MK : Mahkamah Konstitusi

PN : Pengadilan Negeri

PK : Peninjauan Kembali

PT : Pengadilan Tinggi

UUP : Undang-Undang Perkawinan

UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

WNA : Warga Negara Asing

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa (akil baligh), siap lahir batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar melangsungkan ke jenjang pernikahan.

Pernikahan menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Dibandingkan dengan hidup sendirian, kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung sejumlah harapan positif. Tidak dipungkiri dalam pernikahan terdapat banyak manfaatnya jika dapat mengelolanya dengan baik.1

Rumah tangga adalah tempat berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapatkan keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut

“keluarga” yang merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita- citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia selalu mendapat ridho dari Allah SWT.2

Sebagai makluk sosial manusia mempunyai naluri untuk selalu ingin hidup bersama dan saling berinteraksi dengan sesamanya. Perkawinan terjadi karena adanya

1 Happy Santoso, Nikah Siri Apa Untungnya, (Jakarta: Visimedia, 2007), hal. 1

2 Abdul Manan, Aneka Masalah hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: kencana, 2006), hal. 1

(14)

dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Sudah menjadi kodrat alam dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ada daya saling tarik- menarik satu sama lainnya untuk hidup bersama.3

Menjalani kehidupan sehari-hari, harta mempunyai arti penting bagi seorang karena dengan memiliki harta seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat. Arti penting tersebut tidak hanya dari segi kegunaannya melainkan juga dari segi keteraturannya.

Secara ekonomi orang sudah biasa berdampingan dengan harta yang dimilikinya, tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat suami-isteri selama perkawinan.4

Berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yaitu Pasal 29 jis Pasal 66 Undang-undang Peralihan, Pasal 12 huruf “h” dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak berlaku lagi sepanjang materi ketentuan-ketentuan itu telah diatur dalam Undang- undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Dengan kata lain tidak semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya akan disebut KUHPerdata) tidak berlaku lagi, akan tetapi

3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Keenam, (Bandung : Sumur, 1981), hal 7

4 M. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986) , hal 27

(15)

ketentuan-ketentuan ini hanya sebagai pelengkap bagi mereka yang dahulu tunduk pada hukum perkawinan KUHPerdata5

Harta selama perkawinan tersebut akan menjadi harta bersama jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum dilangsungkan pernikahan, kecuali harta yang didapat itu diperoleh dari harta warisan atau harta bawaan masing-masing suami istri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinan6 sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 35 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (yang selanjutnya disebut UUP) tentang harta benda halam Perkawinan berbunyi sebagai berikut:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Bagi calon suami istri yang ingin menghindarkan terjadinya pencampuran harta benda secara bulat dalam perkawinan yang akan dilaksanakan olehnya, maka undang-undang menyediakan sarananya, yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan. Dengan mengadakan perjanjian perkawinan tersebut maka pasangan calon suami-istri melakukan penyimpangan dari undang-undang yang mengatur persatuan harta kekayaan, asal perjanjian tersebut tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum, dan pembuatan perjanjian itu mengindahkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.7

5 Henry, Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan, (Medan: Rimbow, 1990) hal.

1

6 Ibid., hal 29

7 Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2017), hal 29-30

(16)

Perjanjian perkawinan diadakan untuk menyimpang dari ketentuan hukum perundang-undangan, yang mengatur bahwa kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada dasarnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat dan sebab lain juga jika di antara pasangan calon suami istri terdapat perbedaan status sosial yang menyolok, atau memiliki harta kekayaan pribadi yang seimbang, atau si pemberi hadiah tidak ingin sesuatu yang dihadiahkan kepada salah seorang suami istri berpidahtangan kepada pihak lain, atau masing-masing suami istri tunduk kepada hukum yang berbeda seperti terjadi pada perkawinan campuran.8

Perjanjian perkawinan berisi perolehan harta benda selama perkawinan dan pada umumnya berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Juga dapat berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini tersangkut. Dalam perubahan perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung tidaklah dapat diubah. Kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga, Perjanjian perkawinan tidak boleh membatasi hak dan kewajiban suami-istri.9

R. Soetojo dan Asis Soefidin mengatakan :

“Pada umumnya perjanjian perkawinan di Indonesia ini dibuat manakala terdapat harta kekayaan yang lebih besar pada satu pihak dari pada pihak lain.

Maksud pembuatan perjanjian perkawinan ini adalah untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang persatuan harta kekayaan. Para pihak bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi objeknya. Mereka dapat saja menentukan

8 Ibid., hal 14

9 Ibid.

(17)

bahwa didalam perkawinan mereka tidak akan terdapat persatuan harta kekayaan atau persatuan harta kekayaan yang terbatas”10

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur mengenai perjanjian perkawinan dalam Bab V Pasal 29 yang terdiri dari empat ayat, sebagai berikut :

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pergawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Atas dasar Pasal tersebut, para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka, baik dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta autentik. Jika suatu perjanjian dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan, maka hal itu berarti bahwa para pihak dapat membuatnya sendiri, asal perjanjian tersebut kemudian disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.11 Perjanjian perkawinan akan lebih terjamin jika dituangkan dalam akta autentik (akta yang dibuat oleh Notaris) maupun dengan perjanjian tertulis yang disertai oleh saksi dari kedua belah pihak kemudian dicatat oleh Notaris yang disahkan oleh pengawas perkawinan, sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan juga harus dilaporkan kepada Dinas

10 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung:

1986), hal 76

11 J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal 223

(18)

Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun dan mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.12

Bentuk-bentuk perjanjian perkawinan :13

1. Perjanjian perkawinan dengan persetujuan keuntungan dan kerugian 2. Perjanjian perkawinan dengan persatuan penghasilan dan pendapatan 3. Segala pencampuran harta benda di kesampingkan

Isi perjanjian perkawinan tidak dibatasi, karena itu para pihak yang mengadakan perjanjian dapat dengan bebas menentukan apa saja yang diperjanjikan.

R. Subekti mengatakan:

“Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan”14

Harta kekayaan di dalam perkawinan itu tidak boleh diadakan perubahan apapun juga sebelum maupun selama perkawinan, hal demikian dimaksudkan untuk melindungi pihak ketiga. Pasal 124 KUHPerdata menyatakan bahwa pengurusan atas persatuan harta kekayaan itu ada di tangan suami. Pengurusan ini meliputi hak untuk menjual, memindahtangankan dan membebani tanpa campur tangan istrinya. Dengan kekuasaan suami yang demikian ini maka kedudukan istri sangatlah lemah. Oleh

12 Aditya dan Intan Aditya, Op.Cit., hal. 34

13 Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), hal 53

14 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 13

(19)

karena itu KUHPerdata memberikan upaya untuk memperkuat kedudukan istri, yakni:15

1. Wewenang untuk meminta pemisahan harta dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

2. Wewenang untuk minta agar suaminya diletakkan dibawah pengampuan dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

3. Wewenang untuk minta pelepasan atas persatuan harta kekayaan

Pasal 126 KUHPerdata mengatur tentang pembubaran persatuan harta kekayaan dengan mengemukakan 5 buah alasan yaitu:

1. Karena kematian

2. Karena berlangsungnya perkawinan atas izin hakim 3. Karena perceraian

4. Karena perpisahan meja dan tempat tidur

5. Karena perpisahan harta benda, meskipun perkawinan masih utuh

Adanya perjanjian perkawinan terhadap pemisahan harta kekayaan selama perkawinan, memungkinkan adanya pergeseran antara hak-hak yang dimiliki keluarga si pewaris yang ditinggalkannya. Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan di mana hubungan darah merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris. Mewaris adalah

15 Ibid., hal.55

(20)

menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di dalam bidang hukum kekayaan saja.16

Ahli waris menurut undang-undang yaitu :

1. Pasal 832 KUHPerdata : Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama.

2. Pasal 852 KUHPerdata : Anak- anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekali pun, mewaris dari kedua orangtua, kakek, nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, dengan tiada perbedaan laki atau perempuan berdasarkan kelahiran terlebih dahulu.

3. Pasal 852a KUHPerdata : dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal.

Berdasarkan pasal-pasal di atas jelas bahwa seseorang merupakan ahli waris dan tidak kehilangan hak waris apabila bertalian darah dan hubungan perkawinan dengan Pewaris.

Seiring dengan berkembangnya waktu, banyak terjadi kasus-kasus dalam lingkup perjanjian perkawinan, salah satu contoh kasus sengketa perjanjian

16 H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Wali, 1989) Edisi 1, Cetakan 2, hal 375

(21)

perkawinan dalam Putusan Nomor Mahkamah Agung Nomor : 804/PK/Pdt/2009, dalam kasus ini bermula dari timbulnya gugatan Penggugat terhadap tergugat di Pengadilan Negeri Semarang. Para pihaknya adalah Alfi Indrastuti sebagai Penggugat yang merupakan anak laki-laki Pewaris, Sugiharto Winoto sebagai Tergugat I yang merupakan suami Pewaris, Anita Kusumawati sebagai Tergugat II yang merupakan istri Tergugat I (setelah pewaris meninggal, suami menikah lagi), Fransiskus Hapsak sebagai Tergugat III yang merupakan anak dari hasil perkawinan dengan istri Tergugat I, Korina Widiasari sebagai tergugat IV yang merupakan anak perempuan Pewaris, Elly Ninaningsih sebagai Tergugat V merupakan Notaris para Tergugat.

Bahwa semasa hidupnya, Ibu Penggugat yaitu Oetama Komala telah menikah dengan Tergugat I pada tanggal 21 Juli 1964 dan sebelum dilangsungkannya perkawinan tersebut, Ibu Penggugat dan Tergugat I telah membuat akta perjanjian perkawinan Nomor 31/20 Juli 1964 yang menyatakan “antara para calon suami istri tidak ada persekutuan harta kekayaan, persekutuan untung rugi, maupun persekutuan hasil dan pendapatan, serta barang-barang yang dibawa penghadap terstamen perempuan waktu dilakukan perkawinan dan yang akan didapat selama perkawinannya dengan pihak kedua akan diminta kembali olehnya atau ahli warisnya pada waktu pembubaran perkawinan itu”.

Perkawinan tersebut lahirlah dua orang anak yaitu Penggugat dan Tergugat IV. Tanggal 8 April 1975 Ibu Penggugat meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan berupa barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak seperti rumah

(22)

yang menjadi objek sengketa. Setelah Oetami Komala meninggal dunia Tergugat I menikah lagi dengan Tergugat II dan memperoleh anak yaitu Tergugat III.

Tanggal 24 Agustus keluarlah Akta Keterangan Hak Waris No. 46/VIII/1999 yang dibuat Tergugat V bahwa yang berhak menjadi ahli waris atas meninggalnya Oetama Komala adalah Penggugat, Tergugat IV dan Tergugat I dengan memperoleh masing-masing 1/3 bagian. Akta tersebut keluar atas keinginan Tergugat I tanpa ada kesepakatan atau diberitahukan dengan Penggugat sebelumnya.

Sementara itu Penggugat menginginkan bahwa yang menjadi ahli waris dari Pewaris adalah hanya Penggugat dan Kakaknya/Tergugat IV dan harta peninggalan Pewaris/Ibu Penggugat dibagi ½ bagian saja, yaitu untuk Penggugat dan Kakaknya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim untuk menetapkan bahwa Penggugat dan Tergugat IV yang merupakan ahli waris dari Oetami Komala yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris dan Tergugat I/Ayah Penggugat tidak merupakan ahli waris karena telah melakukan perjanjian pisah harta sebelum perkawinan.

Hasil Putusan Pengadilan Negeri Semarang No. 184/Pdt.G/2004/PN.Smg Majelis Hakim memutuskan Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 189/Pdt/2005/PT.Smg Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian dan menyatakan menurut hukum bahwa para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan Penggugat, menyatakan bahwa Penggugat dan Tergugat IV adalah ahli waris yang sah dan berhak mewaris harta peninggalan Oetami Komala berupa barang bergerak maupun tidak bergerak,

(23)

serta Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III tidak memiliki hak atas objek sengketa tersebut. Putusan Mahkamah Agung RI dalam tingkat kasasi No. 2374K/Pdt/2006 yaitu menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi/(Para Tergugat/Para Terbanding pada tingkat PN dan PT). Putusan Mahkamah Agung RI tingkat Peninjauan Kembali No. 804/PK/Pdt/2009 yaitu menolak permohonan peninjauan kembali Para Pemohon PK/(Para Tergugat/Para Terbanding/Para Pemohon Kasasi pada tingkat PN, PT dan MA)

Berdasarkan uraian tersebut, maka tesis ini berjudul “KEDUDUKAN AHLI WARIS TERHADAP HARTA PENINGGALAN DALAM PERKAWINAN DENGAN PERJANJIAN PISAH HARTA (Putusan MA No. 804/PK/Pdt/2009)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana akibat hukum perjanjian pisah harta sesudah perkawinan ?

2. Bagaimana perlindungan hukum ahli waris terhadap harta peninggalan salah satu pihak akibat perjanjian pisah harta ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum Hakim dalam putusan MA No.

804/PK/Pdt/2009 tentang kedudukan ahli waris terhadap harta peninggalan dalam perkawinan dengan perjanjian pisah harta?

(24)

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perjanjian pisah harta sesudah perkawinan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis ahli waris terhadap harta peninggalan salah satu pihak akibat perjanjian pisah harta.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum Hakim dalam putusan MA No. 804/PK/Pdt/2009 tentang kedudukan ahli waris terhadap harta peninggalan dalam perkawinan dengan perjanjian pisah harta.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan serta menambah referensi pada Program Studi Magister Kenotariatan, perpustakaan dan juga memberikan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian pada umumnya.

(25)

2. Secara Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para mahasiswa dan masyarakat sebagai bahan pegangan dan rujukan khususnya yang akan melaksanakan pernikahan, sehingga lebih mengetahui apa dan bagaimana perjanjian perkawinan itu serta manfaatnya. Selain itu juga dapat memberi masukan bagi para notaris, akademisi, advokat, mahasiswa.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan, baik di Magister Ilmu Hukum maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang menyangkut masalah “Kedudukan hukum harta peninggalan terhadap ahli waris dalam perkawinan dengan perjanjian pisah harta (Putusan MA No. 804/PK/Pdt/2009)”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama. Tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut perjanjian perkawinan yang diteliti oleh:

1. Irma Febriani Nasution, 2005, dengan judul “Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam”, yang membahas tentang :

a. Bagaimana perbedaan ketentuan perjanjian perkawinan dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam?

(26)

b. Bagaimana bentuk perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam?

c. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan tersebut baik di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam?

2. Fitrianty Chuzaimah, 2009, dengan judul penelitian “Analisis Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya”, yang membahas tentang :

a. Bagaimana kedudukan perjanjian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?

b. Bagaimana Peran Notaris dalam pembuatan akta perjanjian perkawinan?

c. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari pelaksanaan perjanjian perkawinan dan penyelesaiannya?

3. Dhira M. W. S. Nasution, 2010, dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Terhadap Akta Perjanjian perkawinan Pasangan Suami/Istri Yang Akan Menikah” yang membahas tentang :

a. Apa yang menjadi latar belakang dibuatnya perjanjian perkawinan sebelum menikah?

b. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian perkawinan terhadap masing- masing pihak sesudah menikah?

c. Bagaimana akibat hukum dengan adanya perjanjian perkawinan atas harta dalam perkawinan apabila terjadi perceraian?

(27)

4. Nora Sari Dewi Nasution, 2011, dengan judul penelitian “Perlindungan Terhadap Hak-Hak Isteri Pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974”, yang membahas tentang :

a. Bagaimana perlindungan hak-hak isteri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan?

b. Hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi isteri yang dipoligami?

c. Apa akibat hukum jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan?

Berkaitan dengan judul-judul dan rumusan-rumusan permasalahan disebutkan di atas, maka bila dihubungkan dengan judul dan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah tidak sama atau berbeda, karena topik penelitian-penelitian tersebut di atas adalah tentang perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan sedangkan penelitian ini tentang kedudukan ahli waris terhadap harta peninggalan dalam perkawinan dengan perjanjian pisah harta, sehingga penelitian ini adalah asli dan bukan hasil ciplakan dari penelitian atau penulisan lain. Oleh karena itu keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya baik secara ilmiah maupun akademis.

(28)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.17 Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran.

Menurut M. Solly Lubis bahwa :

Teori yang dimaksud di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.18

Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah sarana yang ringkas untuk berbifikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.19 Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan,

17Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 6

18M. Solly Lubis, Filasafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994) hal. 27

19 HR. Otje Salman S dan Anton F Sutanto, Teori Hukum, (Bandung: RefikaAditama, 2005), Hal. 22.

(29)

pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.20 Kerangka teori adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.21

Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan eksternal bagi penelitian ini.22 Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.23

Keberadaan teori dalam dunia ilmu pengetahuan sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah. Teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberi rangkuman bagaimana memahami satu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.24

Sugiono berpendapat bahwa fungsi dari kerangka teori selaras dengan apa yang digunakan yaitu bahwa teori-teori yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti, setara sebagai dasar untuk

20 M. Solly Lubis, Op.Cit., Hal.80.

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), Hal.129.

22 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga,(Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 1997), Hal. 10.

23 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum.Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hal.134.

24 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), Hal. 113.

(30)

memberikan masukan terhadap masalah yang diajukan.25 Karena itu, teori dan kerangka teori memiliki kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:26

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta.

b. Teori sangat berguna didalam klasifikasi fakta.

c. Teori merupakan ihktiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.

Penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum dan teori keadilan.

Teori utama yang digunakan teori perlindungan hukum dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon.

Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa:

“Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang- wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya”.27 Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum dibedakan menjadi dua macam perlindungan:28

a. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya permasalahan dan sengketa.

b. Perlindungan hukum yang reresif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.

25Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung: Alfa Beta, 1983), Hal. 200.

26 Ibid ,Hal. 121.

27 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Bina Ilmu, Surabaya, 1987), Hal. 205.

28Ibid

(31)

Perlindungan hukum memperoleh landasan idiil (filosofis) pada sila kelima Pancasila, yaitu: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalamnya terkandung suatu “hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlukan sama di depan hukum. Hak yakni hukum dalam pengertian subyektif, merupakan kedaulatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Hak dalam pengertian ini ada jika kondisi dari sanksi yang merupakan kewajiban hukum mencakup usulan, yang biasanya bersifat individual yang memiliki kewajiban; usulan itu ditunjuk pada pelaksanaan sanksi dan memiliki bentuk berupa gugatan hukum yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.29

Soetjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.30 Teori perlindungan hukum digunakan untuk mengkaji perlindungan yang dimiliki suami atau istri yang melakukan perjanjian pisah harta sebelum perkawinan terhadap harta benda yang dimiliki suami atau istri selama perkawinan tersebut dan teori perlindungan hukum ini guna memberi perlindungan

29 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, (Nusamedia, Bandung, 2006), Hal. 152.

30 Ray Pratama Siadari, Teori Perlindungan Hukum, http://raypratama.blogspot.co.id/

2015/04/teori-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 29 Agustus 2016.

(32)

terhadap kedudukan suami atau istri apabila melakukan perjanjian pisah harta tanpa menghilangkan haknya sebagai ahli waris.

Teori pendukungnya yaitu teori keadilan. Aristoteles membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu di kesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip- prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.

Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasnya. Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa.

Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, yang adil di sini ialah apabila setiap orang mendapat hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama

(33)

banyaknya, yang adil ilah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.31

Terdapat dalam ilmu hukum, ada empat unsur yang merupakan fondasi penting, yaitu : moral, hukum, kebenaran, keadilan. Akan tetapi menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi.

Menurut Plato, “Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues.”32 Teori keadilan ini digunakan untuk mengkaji nilai keadilan yang diberikan Hakim dalam Putusan PN hingga MA terhadap kedudukan ahli waris terhadap harta peninggalan dengan melakukan perjanjian perkawinan pisah harta.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsi merupakan gambaran hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti. Salah satu cara menjelaskan konsep-konsep tersebut adalah dengan membuat defenisi. Defenisi merupakan suatu pengertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah dan defenisi bertitik tolak kepada referensi.

Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian tentang konsep-konsep guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah- istilah tersebut dalam suatu kerangka konsep :

31Ibid., hlm. 78-79.

32 Roscoe Pound, Justice According To Law, (Yale University Press, New Haven USA, 1952), hlm. 3.

(34)

a. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.33

b. Harta benda perkawinan adalah :34

(1) Harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan (2) Harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh suami dan istri ke dalam

perkawinan mereka dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan

c. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.35

d. Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang perkawinan serta disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.36

e. Perjanjian pisah harta adalah perjanjian yang dilakukan sebelum perkawinan dan memiliki konsekuensi adalah masing-masing pihak berhak untuk mengurus sendiri harta bendanya baik yang diperoleh sebelum perkawinan dilangsungkan maupun pada saat dan selama perkawinan berlangsung.37

33 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

34 Wibowo Tunardi, Pengertian Harta benda dalam Perkawinan, jurnalhukum.com, diakses tanggal 24 Juli 2017

35 Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

36 H. A. Damunhari, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung:

Mandar Maju), 2012, hal 7

37 Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2017, hal 91

(35)

f. Harta peninggalan/warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada para ahli waris.38 g. Ahli waris adalah sekumpulan orang atau seorang atau individu atau kerabat-

kerabat atau keluarga yang ada hubungan keluarga keluarga dengan si meninggal dunia dan berhak mewarisi atau menerima harta peninggalan yang ditinggal mati oleh seorang pewaris.39

h. Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan Badan Kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara.40

38 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-undang, (Depok: FH UI, 2009), Hal 11

39 Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata, (Bandung: Sinar Grafika), Hal 103

40 Wikipedia, Pengertian Mahkamah Agung,

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia, diakses tanggal 12 Mei 2017.

(36)

G. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.41 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).42

Jenis penelitian dalam penulisan ini mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.

Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka. Menurut Sunaryati Hartono terdapat beberapa manfaat seperti:43

41 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke – 11. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13–14.

42 Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, (Jakarta: Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006), hal. 50.

43 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, (Bandung:

Alumni, 1994), hal. 105.

(37)

1. Mengetahui atau mengenal apa dan bagaimana hukum positif dari suatu masalah tertentu

2. Dapat menyusun dokumen-dokumen hukum (pekerjaan penegak dan praktisi hukum)

3. Menulis makalah atau buku hukum

4. Dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apa dan bagaimana hukum mengenai peristiwa atau masalah tertentu

5. Melakukan penelitian dasar (basic research) di bidang hukum 6. Menyusun rancangan peraturan perundang-undangan

7. Menyusun rencana pembangunan hukum

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah:44 1. Pendekatan perundang- undangan (statute Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan Perundang- undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-undang Dasar dengan undang- undang, atau antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain.

2. Pendekatan konseptual (Conseptual Approach)

Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab

44 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 93.

(38)

pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan.

3. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus-kasus yang ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.

b. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan ini merupakan deskriptif analisis. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.

(39)

Menurut Whintney :

“Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.

Penelitian deskriptif mempelajarai masalah-masalah dalam masyarakat serta tatacara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena”.45

Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja membandingkan fenomena- fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti mengadakan klasifikasi, serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu sehingga banyak ahli menamakan metode deskriptif ini dengan nama survei normatif (normative survey).

Dengan metode deskriptif ini juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan melihat hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain.

Dilakukan studi pustaka yang segala sesuatumya berkaitan dengan peraturan hukum mengenai kedudukan hukum harta peninggalan terhadap ahli waris dalam perkawinan dengan perjanjian pisah harta (Putusan MA 804/PK/Pdt/2009)

2. Sumber Data

Sumber data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder, yakni data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dan dikumpulkan melalui studi dokumen (literature) terhadap bahan kepustakaan yang dilakukan dengan cara studi pustaka atau literatur. Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :

45 Alfa Rizki, Metode Penelitian Deskriptif, http: //alfaruq2010.blogspot. com, diakses tanggal 22-11-2016, pukul. 10.00WIB.

(40)

a) Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturaan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum perkawinan dan perlindungan hukum. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang- undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Putusan MA 804/PK/Pdt/2009 serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan.

b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer yang harus berupa buku, hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah hukum tentang hukum perkawinan dan perjanjian perkawinan.

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan studi pustaka. Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen/ pustaka atau penelitian pustaka (library research) dengan cara mengumpulkan semua peraturan perundangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-

(41)

buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.46 Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data pendukung dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara yang dilakukan dilakukan kepada Hakim Pengadilan Negeri dan Notaris.

4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang sebelumnya telah disusun secara sistematis kemudian akan dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatif.

Kualitatif berarti akan dilakukan analisa data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur dalam bahan hukum primer dan kemudian akan dibahas lebih lanjut menggunakan sarana pada bahan hukum sekunder, yang tentunya akan diupayakan pengayaan sejauh mungkin dengan didukung oleh bahan hukum tersier. Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.47

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan dalam bentuk wawancara kemudian dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis. Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan metode berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus.

46 Muklis Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hal. 156-159.

47 Zainunddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 105.

(42)

Adapun tahapan untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah ada tersebut, secara sederhana dapat diuraikan dalam beberapa tahapan :

1. Tahapan pengumpulan data, yakni mengumpulkan dan memeriksa bahan-bahan pustaka misalnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang akan diteliti.

2. Tahapan pemilihan data, dalam tahapan ini seluruh data yang telah dikumpulkan sebelumnya akan dipilah-pilah secara sistematis dengan mempedomani konteks yang sedang diteliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam melakukan kajian lebih lanjut terhadap permasalahan di dalam penelitian tesis ini.

3. Tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian, sebagai tahapan klimaks di mana seluruh data yang telah diperoleh dan dipindah tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan melakukan interprestasi/ tafsiran yang diperlukan dengan berpedoman terhadap konsep, asas kaidah hukum yang dianggap relevan dan sesuai dengan tujuan utama dari penelitian.

(43)

BAB II

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PISAH HARTA SESUDAH PERKAWINAN A. Pengertian perjanjian perkawinan

Pembentuk undang-undang baik dalam KUHPerdata maupun undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak memberikan pengertian perjanjian perkawinan, ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 1/1974 menyebutkan:

“Pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Isi dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan adalah suatu kesepakatan tertulis yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung dengan tujuan untuk mengatur akibat perkawinan yang berhubungan dengan harta kekayaan.48 Serta dapat dibuat batasan tentang perjanjian perkawinan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian dibuat oleh calon suami dengan calon istri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.49

48 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Orang & Keluarga, (Medan: USU, 2001), hal. 59

49 Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Karya Unipress, 1998), hal 39

(44)

Perjanjian perkawinan bukan merupakan keharusan dalam melangsungkan perkawinan, tetapi hanya bagi mereka yang menghendaki saja. Jadi jika calon mempelai tidak membuat perjanjian, perkawinan tetap dapat dilangsungkan.50

Berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 jo Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yaitu Pasal 29 jis Pasal 66 Undang-undang Peralihan, Pasal 12 huruf “h” dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak berlaku lagi sepanjang materi ketentuan-ketentuan itu telah diatur dalam Undang- undang Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Dengan kata lain tidak semua ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya akan disebut KUHPerdata) tidak berlaku lagi, akan tetapi ketentuan-ketentuan ini hanya sebagai pelengkap bagi mereka yang dahulu tunduk pada hukum perkawinan KUHPerdata51

Tidak adanya defenisi yang jelas tentang perjanjian perkawinan ini namun dapat diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang kekayaan harta antara kedua belah pihak, yang mana dalam satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.52

50 Ibid.

51 Henry, Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan, (Medan: Rimbow, 1990) hal.1

52 Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Legal Centre Publishing, 2002), hal 29

(45)

Perjanjian perkawinan jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dua akar kata, perjanjian dan pernikahan.53 Dalam bahasa Arab, janji atau perjanjian biasa diartikan dengan persetujuan yang dibuat oleh dua orang atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masig sepakat untuk menaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.54

Menurut pendapat R. Sarjono bahwa perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 UUP adalah perumusan yang luas, serta hanya menunjuk pada kemungkinan untuk memperjanjikan harta perkawinan.55

Menurut Liliana Tedjosaputro bahwa perjanjian pra nikah (prenuptrial agreement) adalah perjanjian yang dibuat sebelum dilangsungkannya pernikahan dan mengikat kedua calon mempelai. Isi perjanjian tersebut mengenai pembagian harta kekayaan di antara suami istri, meliputi apa yang menjadi milik suami atau istri dan apa saja yang menjadi tanggung jawab suami istri. Isi perjanjian tersebut bisa juga berkaitan dengan harta bawaan masing-masing agar dibedakan mana harta calon istri dan mana harta calon suami, jika terjadi perceraian atau kematian di antara salah satu pasangan.56

Menurut Agus Yudha Hernoko, perjanjian perkawinan (huwelijkse voorwaarden) adalah persetujuan atau perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan suami istri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, untuk mengatur segala

53 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal 138

54 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal 335

55 R. Sarjono, Kedudukan Wanita menurut Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Fakultas Hukum Indonesia, 1977), hal 227.

56 Liliana Tedjosaputro, Perjanjian perkawinan Ditinjau dari Hukum Positif di Indonesia, (Semarang: INI, 2016), hal 3

(46)

sesuatu serta akibat hukumya terhadap harta kekayaan atau harta benda dalam perkawinan tersebut.57

Pengertian Perjanjian perkawinan dapat ditemukan dalam Buku Diktat Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, dimana pengertian “Perjanjian perkawinan”, yaitu perjanjian yang dibuat bakal suami-isteri untuk mengatur akibat- akibat harta kekayaan mereka Perjanjian perkawinan dapat dibuat yaitu :58

1. Untuk membatasi atau meniadakan sama sekali persatuan (percampuran) harta kekayaan menurut undang-undang (wettelijke gemeenschap van goederen). Biasanya Perjanjian perkawinan dibuat untuk maksud ini.

2. Untuk pemberian Hibah si suami kepada si isteri atau sebaliknya, atau pemberian hibah timbal-balik antara suami dan isteri (Pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

3. Untuk membatasi kekuasaan si suami terhadap barang-barang persatuan harta kekayaan yang ditentukan dalam Pasal 124 ayat (2) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, sehingga si suami tanpa kekuasan si isteri tidak dapat memutus terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak dari persatuan barang si isteri dalam perkawinan atau yang diperoleh si isteri sepanjang perkawinan.

4. Sebagai testamen dari si suami atau isteri atau sebaliknya, atas sebagai testamen timbal-balik.

5. Untuk memberikan hibah oleh orang ketiga kepada suami atau isteri.

6. Sebagai testamen dari orang ketiga kepada suami atau isteri.

Perjanjian perkawinan di Indonesia, terutama pada masyarakat yang tidak tunduk pada Hukum Barat, belum menjadi pilihan bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan. Salah satu penyebab utamanya karena di Indonesia masih berasumsi jika perkawinan dilangsungkan dengan perjanjian perkawinan

57 Agus Yudha Hernoko, Quo Vadis Perlindungan Hukum bagi Pihak Ketiga dalam Perjanjian Perkawinan, (Surabaya: Ikatan Mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2016), hal 6

58 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap),(Semarang: Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro), 1981), hal. 217-218

Referensi

Dokumen terkait

3.2 Akibat Hukum Adanya Perjanjian Kawin Terhadap Pembagian Harta Gono Gini Apabila Terjadi

Balai Harta peninggalan merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bertugas memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang belum dewasa. Perlindungan hukum ini bertujuan

Secara hukum, perjanjian yang dibuat menimbulkan akibat hukum dan para pihak yang terkait berhak mengajukan pembatalan perjanjian atau menjadikannya sebagai alasan

Hasil penelitian diketahui Kewenangan atau pengurusan harta akibat adanya Perjanjian Perkawinan, adalah ada pada pihak masing- masing dan bertanggung jawab masing-masing atas

Ketentuan terhadap pihak ketiga (ekstern) berlaku ketentuan Pasal 152 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “ Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang

Pengalihan harta warisan sesudah pewaris meninggal dunia merupkan suatu proses dalam setiap hukum waris, tetapi pengalihan harta sebelum pewaris meninggal dunia dan

TESIS AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN OLEH PEGAWAI PENCATAT PERKWINAN TERHADAP HARTA BERSAMA Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598

Perlindungan Hukum Ahli Waris Penyandang Cacat Mental Dalam Memperoleh Harta Warisan Dalam rangka memastikan bahwa ahli waris yang memiliki disabilitas tidak mengalami diskriminasi