• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PISAH HARTA SESUDAH PERKAWINAN A. Pengertian perjanjian perkawinan

C. Bentuk dan isi perjanjian perkawinan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan atau biasa disebut Undang-Undang Perkawinan juga mengatur tentang perjanjian perkawinan yang dapat dibuat oleh calon suami-istri yang berisi pengaturan tentang harta kekayaan perkawinan mereka setelah dan selama berlangsungnya perkawinan. Ketentuan mengenai perjanjian perkawinan diatur dalam Bab V Pasal 29-34 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Bunyi Pasal 29 yang terdiri dari empat ayat, sebagai berikut:

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pergawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

72 Ibid., hal 48

Atas dasar Pasal tersebut, para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka, baik dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta autentik. Jika suatu perjanjian dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan, maka hal itu berarti bahwa para pihak dapat membuatnya sendiri, asal perjanjian tersebut kemudian disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.73 Perjanjian perkawinan akan lebih terjamin jika dituangkan dalam akta autentik (akta yang dibuat oleh Notaris) maupun dengan perjanjian tertulis yang disertai oleh saksi dari kedua belah pihak kemudian dicatat oleh Notaris yang disahkan oleh pengawas perkawinan, sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan juga harus dilaporkan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun dan mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.74

Perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan di depan pegawai pencataat perkawinan. Perjanjian perkawinan tidak boleh ditarik kembali atau diubah selama berlangsungnya perkawinan, kecuali atas kesepakatan kedua belah pihak dan ada persetujuan untuk mengubahnya. Perubahan perjanjian tersebut juga melibatkan Notaris, serta perubahan tersebut tidak merugikan pihak ketiga.75

Perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan dan berakibat setelah perkawinan. Perjanjian perkawinan setelah perkawinan tidak dapat diubah dengan

73 J Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal 223

74 Aditya dan Intan Aditya, Op.Cit., hal. 34

75 Ibid., hal 35

cara apapun. Anak yang belum dewasa tetapi memenuhi syarat untuk kawin dapat pula membuat perjanjian perkawinan jika perkawinan dilakukan dengan izin kawin, permintaan izin haruslah dilengkapi dengan rencana perjanjian perkawinan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 dan anak kalimat ayat 2 pasal 35. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pencatat perkawinan. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bila melanggar hukum agama dan kesusilaan. Selama perkawinan, perjanjian tidak dapat dirubah kecuali kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubahnya dan perubahan itu tidak boleh merugikan pihak ketiga.76

Sebelum melangsungkan perkawinan, calon suami-istri dapat menentukan sendiri bagaimana kelak harta benda mereka dalam perkawinan diatur. Pengaturan ini dilakukan oleh kedua belah pihak melalui suatu perjanjian perkawinan. Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, berarti kedua belah pihak terjadi pencampuran harta secara bulat. Untuk menghindari terjadinya pencampuran harta secara bulat, maka kedua belah pihak (suami-istri) dapat menyimpangi dengan membuat perjanjian perkawinan. Kebalikan dari persatuan harta secara bulat adalah pemisahan harta sama sekali, yang berarti pemisahan harta antara suami istri selama dalam perkawinan.

Disamping itu pemisahan harta sama sekali, melalui perjanjian perkawinan suami istri

76 Ibid., hal. 76

juga dapat membuat perjanjian perkawinan dalam bentuk persatuan untung dan rugi atau persatuan hasil dan pendapatan.77

Seorang yang hendak kawin mempunyai benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan. Perjanjian yang demikian ini menurut undang-undang harus diadakan sebelumnya pernikahan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta Notaris.78

Isi perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata dengan adanya dari anak kalimat pasal 119 KUHPerdata : “...sekedar mengenai itu dengan perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain”. Mengingat asal adanya perjanjian perkawinan dalam ketentuan harta kekayaan suami isteri, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa isi dari perjanjian perkawinan itu hanya mengenai aturan harta kekayaan suami isteri secara menyimpang dengan ketentuan undang-undang. Apabila ada perjanjian perkawinan yang isinya sama dengan harta kekayaan suami isteri menurut undang-undang, perjanjian perkawinan yang demikian tanpa manfaat.

Karena apa yang mereka janjikan itu juga sesungguhnya adalah undang-undang bagi mereka (Pasal 1338 KUHPerdata)

Isi perjanjian perkawinan tidak dibatasi, karena itu para pihak yang mengadakan perjanjian dapat dengan bebas menentukan apa saja yang diperjanjikan.

Prof R. Subekti, SH mengatakan:

77 Andy Hartanto, Op.Cit., hal 51

78 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermassa, 1985), hal 37

“Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka, artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi dan bermacam apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan”79

Pasal 1339 KUHPerdata menetapkan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Dalam pasal 29 ayat (2) Undang-undang Perkawinan juga membatasi, bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Jadi walaupun isi perjanjian perkawinan sifatnya bebas, tetapi kebebasan itu tidak mutlak, dalam arti isinya dibatasi oleh norma-norma tersebut di atas.80

Larangan dalam perjanjian perkawinan adalah :

1. Menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala dalam perkawinan dan kekuasaannya sebagai ayah.

2. Si suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam aktiva daripada bagiannya dalam pasiva. Maksud larangan ini adalah jangan sampai isteri itu menguntungkan diri untuk kerugian pihak ketiga.

79 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1978), hal 13

80 Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Karya Unipress, 1998), hal 40

3. Hubungan suami isteri akan dikuasai oleh hukum negara asing.81

Isi perjanjian perkawinan tidak boleh melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang, yaitu antara lain:82

a. Tidak boleh mengurangi kekuasaan suami, baik sebagai kepala rumah tangga maupun sebagai orang tua dari anak-anaknya. Termasuk dalam kategori ini adalah pernyataan bahwa istri berwenang mengadakan perjanjian atau menghadap ke pengadilan tanpa bantuan suami, ataupun berisi pembebasan istri dari kewajiban untuk bertempat tinggal di tempat yang disediakan oleh suami.

b. Tidak boleh mengurangi hak-hak yang oleh undang-undang diberikan kepada duda atau janda yang hidup terlama (Pasal 140 KUHPerdata)

c. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala atau pengurus (beheer) harta persatuan

d. Tidak boleh menyatakan bahwa para pihak melepaskan hak-hak mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas ataupun mengatur harta peninggalan tersebut (Pasal 141 KUHPerdata)

e. Tidak boleh menyatakan bahwa suami atau istri akan memikul suatu tanggungan yang lebih besar dalam hutang dari pada bagiannya dalam laba persatuan (Pasal 142 KUHPerdata). Tujuan larangan tersebut adalah agar

81 Ketut Oka setiawan dan Arrisman, Hukum Perdata tentang Orang dan Benda, (Jakarta: FH Utama Jakarta, 2010), hal. 75

82 Andy Hartanto, Op.Cit., hal 48-50

jangan sampai suami atau istri saling menguntungkan diri sendiri sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga

f. Tidak boleh menyatakan bahwa akibat perkawinan mereka dalam lapangan harta kekayaan perkawinan akan diatur oleh undang-undang yang berlaku di luar negeri, atau hukum adat, atau undang-undang atau peraturan daerah yang dulu pernah berlaku di Indonesia. Larangan tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak suami-istri, terutama menyangkut kepentingan pihak ketiga.

Materi yang diatur didalam perjanjian perkawinan tergantung pihak-pihak calon suami dan calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan dapat pengatur mengenai harta bawaan kedua belah pihak, biaya hidup dalam berumah tangga, dan biaya hidup anak hasil pernikahan. 83 Macam-macam perjanjian perkawinan meliputi:

1. Pemisahan harta perkawinan

Calon suami istri yang menginginkan adanya pemisahan harta sama sekali atas kekayaan mereka sepanjang perkawinan, maka dalam perjanjian perkawinan yang dibuat harus menyatakan bahwa antara calon suami istri tersebut tidak akan ada pencampuran harta dan secara tegas dinyatakan tidak adanya persatuan untung rugi.

Hal ini ditentukan dalam Pasal 144 KUHPerdata yang menyatakan bahwa ketiadaan

83 Aditya dan Intan Aditya, Op.Cit., hal 35

persatuan harta kekayaan tidak berarti bahwa tak ada persatuan untung rugi, kecuali jika inipun kiranya dengan tegas ditiadakan.84

Banyak pasangan yang sebelum melangsungkan perkawinan telah memiliki harta kekayaan, baik berupa harta warisan maupun aset pribadinya. Perjanjian pemisahan harta dilakukan untuk memastikan agar harta sebelum dan sesudah perkawinan tidak bercampur, sehingga harta bawaan tidak masuk ke dalam hitungan harta bersama (gono-gini) jika terjadi perceraian dan juga bisa memperjanjikan mengenai harta yang dibeli atau diperoleh setelah menikah, harta ini bisa berupa pendapatan bersama setelah menikah.85

Terjadinya pemisahan harta maka dalam perkawinan tersebut terdapat dua macam harta perkawinan, yaitu harta pribadi suami dan harta pribadi istri. Kendati demikian dalam hal terjadinya pemisahan harta perkawinan, maka untuk keperluan biaya rumah tangga yang meliputi biaya hidup dan biaya pendidikan anak-anak, pada prinsipnya ditanggung bersama-sama oleh suami-istri, namun demikian dalam suatu perjanjian perkawinan juga dapat ditentukan bahwa pihak istri hanya akan menanggung sejumlah tertentu setiap tahun atas pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anak. Dengan dibuatnya perjanjian perkawinan seperti itu, yakni berisi pemisahan harta kekayaan perkawinan, maka pihak istri tidak akan pernah mempunyai kewajiban lebih dari jumlah yang telah disebutkan dalam perjanjian perkawinan tersebut. Dengan demikian apabila terdapat kekurangan untuk

84 H.M. Ridhan Indra, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1994), hal 101

85 Ibid.

membayar biaya rumah tangga dan biaya pendidikan anak, maka hal itu menjadi tanggungan suami. Ketentuan seperti ini adalah wajar karena suami sebagai kepala rumah tangga, tanpa diperbolehkan memberi beban yang lebih berat kepada istri.86 2. Persatuan untung rugi

Ketentuan mengenai persatuan untung dan rugi ada di dalam Pasal 155 KUHPerdata dan selanjutnya. Dalam Pasal 155 KUHPerdata dikatakan bahwa apabila calon suami dan istri memperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bahwa antara mereka akan ada persatuan untung dan rugi, maka ketentuan seperti ini dianggap mengandung maksud antara para pihak tak akan ada persatuan harta secara bulat, sedang keuntungan yang diperoleh dan kerugian yang diderita sepanjang perkawinan serta pada saat bubarnya dan pembagian persatuan tersebut akan dibagi antara suami istri.87

Perjanjian seperti ini berarti antara suami-istri tidak ada persatuan bulat, namun mereka memperjanjikan persatuan secara terbatas, yaitu persatuan untung rugi saja. Dengan persatuan demikian maka keuntungan dan kerugian menjadi hak dan tanggungan suami-istri secara bersama-sama. Dengan demikian maka dalam rumah tangga tersebut terjadi tiga macam harta kekayaan, yaitu: (1) harta persatuan yang terbatas, yaitu persatuan untung dan rugi, (2) harta pribadi suami dam (3) harta pribadi istri. Maksud keuntungan menurut Pasal 157 KUHPerdata adalah semua pertambahan nilai harta suami-istri sepanjang perkawinan yang muncul sebagai hasil

86 Andy Hartanto, Op.Cit., hal 53-54

87 J. Satrio, Op.Cit., hal 174

pendapatan dari barang-barang milik suami dan istri, dari kerja dan usaha suami dan istri dan dari sisa pendapatan yang tak dibelanjakan. Sedangkan yang dimaksud dengan kerugian adalah tiap-tiap berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan oleh karena pengeluaran yang melampaui pendapatan.88

Suatu perjanjian perkawinan yang ditentukan adanya persatuan untung-rugi, maka terhadap harta yang berupa barang bergerak harus dicatat dalam akta perjanjian perkawinan tersebut. Menurut Pasal 166 KUHPerdata, akta atau surat-surat tersebut adalah untuk membuktikan tentang didapatnya barang-barang bergerak yang dipunyai oleh masing-masing, yaitu berupa akta pembagian harta warisan, akta testament dalam mana diberikan legaat-legaat, akta penyerahan legaat-legaat atau akta hibah dan pada umumnya semua surat-surat yang dapat memberikan bukti secara wajar tentang benar-benar adanya harta warisan, legaat atau hibah tersebut. Pembagian dari pencampuran untung dan rugi biasanya dilaksanakan dalam dua bagian yang sama besarnya, kecuali mengenai pembagian ini dalam perjanjian perkawinan ditentukan lain (Pasal 156 KUHPerdata). Misalnya dapat ditentukan, bahwa suami akan mempunyai hak untuk dua per tiga bagian dan istri sepertiga bagian, baik dalam aktiva maupun pasiva dari pencampuran untung dan rugi (Pasal 142 KUHPerdata).89 3. Persatuan hasil dan pendapatan

Ketentuan mengenai persatuan hasil dan pendapatan hanya diatur dalam satu pasal dalam KUHPerdata, yaitu Pasal 164 yang menyatakan “Perjanjian, bahwa

88 Ibid., 55

89 Ibid., 56-57

antara suami-istri hanya akan berlaku persatuan hasil dan pendapatan, berarti secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, dan ketiadaan persatuan untung dan rugi”. Maksud pasal tersebut adalah persatuan hasil dan pendapatan adalah bentuk lain dari macam harta kekayaan perkawinan yang tidak berupa pemisahan harta secara keseluruhan dan bukan pula persatuan untung dan rugi. Di samping persatuan untung dan rugi, para pihak (suami-istri) juga dapat memperjanjikan dalam perjanjian perkawinan berupa persatuan hasil dan pendapatan. Persatuan hasil dan pendapatan ini pada prinsipnya hampir sama dengan persatuan untung dan rugi, hanya saja bentuk persatuan ini dilakukan dengan pembatasan bahwa hutang-hutang yang melebihi aktiva persatuan hasil dan pendapatan akan menjadi tanggungan si pembuat hutang tersebut. Dengan demikian semua hutang-hutang ada di luar persatuan atau dengan perkataan lain hutang-hutang tersebut akan menjadi kewajiban/tanggungan pribadi dari pihak yang berhutang tersebut kepada pihak ketiga (kreditur).90

Sementara Ketut Oka Setiawan mengatakan terdapat dua macam perjanjian perkawinan yaitu:91

1. Perjanjian pencampuran untung rugi (Gemeensehap van winst en verlies).

Dalam perjanjian ini dimuat masing-masing pihak tetap akan memiliki benda bawaannnya beserta benda-benda yang jatuh padanya dengan percuma selama perkawinan (pemberian/warisan), sedangkan semua hasil tenaga modal

90 Ibid., 57-58

91 Ketut Oka setiawan dan Arrisman, Hukum Perdata tentang Orang dan Benda, (Jakarta: FH Utama Jakarta, 2010), hal. 75

selama perkawinan akan menjadi kekayaan bersama, begitu juga semua kerugian atau biaya-biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan akan dipikul bersama-sama.

2. Perkawinan pencampuran penghasilan (Gemeensehap van vruchten en inkomten). Perkawinan jenis ini pada dasarnya sama dengan perjanjian pencampuran untung eugi, hanya saja dalam hal ini jika ada rugi, isteri tidak ikut memikulnya.

Suami istri tidak membuat perjanjian perkawinan, menurut UUP maka terjadi persatuan harta perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UUP yang menyatakan: “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah dan warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UUP). Terhadap harta bawaan masing-masing tersebut, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) UUP). Apabila suami istri dapat bertindak atas dasar perjanjian dari kedua belah pihak. (Pasal 36 ayat (1) UUP). Jadi, dengan dibuatnya perjanjian perkawinan maka suami-istri menyimpangi ketentuan mengenai harta bersama perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 35 dan 36 UUP.

Hanya saja UUP tidak mengatur jenis dan macam-macam perjanjian perkawinan yang dapat dibuat oleh suami istri. Hal ini berbeda dengan KUHPerdata yang membagi perjanjian perkawinan menjadi tiga macam, yaitu : pemisahan harta

perkawinan, persatuan untung rugi dan persatuan hasil dan pendapatan. Oleh karena itu pilihan perjanjian perkawinan jenis apa yang akan dibuat oleh calon suami-istri mengacu pada macam-macam perjanjian perkawinan yang terdapat dalam KUHPerdata, dengan mendasarkan pada Pasal 66 UUP. Hanya saja pilihan jenis perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata tersebut hanya bisa dilakukan oleh suami-istri yang akan melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil, yang berarti dari pasangan suami-istri yang melangsungkan perkawinan secara non-Islam.92

D. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015 Perkembangan terbaru terkait perjanjian perkawinan terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam sidang terbuka pada tanggal 27 Oktober 2016. Putusan tersebut menguji dua undang-undang sekaligus, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau disebut Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Kasus posisi dalam Putusan tersebut adalah seorang yang berinisial IF (Warga Negara Indonesia)/Pemohon telah melangsungkan perkawinan dengan seorang Warga Negara Jepang di Kantor Urusan Agama kecamatan di Jakarta Timur. Perkawinan tersebut merupakan perkawinan campuran beda kewarganegaraan dan telah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta. Dalam perkawinan tersebut IF tidak membuat perjanjian perkawinan yang berisi pemisahan harta kekayaan perkawinan sehingga

92 Ibid., 68

antara keduanya berlaku ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUP yaitu terjadi persatuan bulat atau harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama93.

Selama perkawinan IF tetap memilih kewarganegaraan Indonesia dan tinggal di Jakarta (Indonesia). Permasalahan hukum dialami oleh IF ketika hendak membeli sebuah properti berupa apartemen/rumah susun dengan status Hak Guna Bangunan.

Setelah pembayaran harga beli apartemen dilunasi, ternyata transaksi tidak dapat dilangsungkan karena suami IF adalah Warga Negara Asing. Sebagai akibat tiadanya perjanjian perkawinan dalam perkawinan campuran tersebut, maka harta yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik bersama. Sedangkan menurut ketentuan dalam UUPA terdapat larangan bagi WNA untuk memiliki tanah dengan Hak Milik, HGB dan HGU, baik yang diperoleh sendiri maupun sebagai akibat dari perolehan harta dalam suatu perkawinan campuran. Sementara pembuatan perjanjian perkawinan tidak dapat dilakukan oleh Farida dan suaminya karena perkawinannya sudah berlangsung lama. Menurut Pasal 29 ayat (1) UUP suatu perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan.94

Atas permasalahan tersbut kemudian IF mengajukan gugatan uji materiil terhadap Pasal 29 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUP. Ketentuan tersebut dinilai melanggar hak konsitusional dari pemohon untuk memiliki tanah dan bangunan yang telah dijamin oleh Undang-undang Dasar. Di samping itu ketentuan dalam Pasal 29 UUP tersebut dinilai melanggar hak asasi pemohon karena membatasi waktu pembuatan

93 Ibid., hal 69

94 Ibid., hal 70

perjanjian perkawinan yang hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Atas permohonan tersebut, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum yang intinya menyatakan bahwa pembuatan suatu perjanjian perkawinan merupakan suatu kebutuhan pasangan suami istri baik sebelum atau pada saat melangsungkan perkawinan dan bahkan selama dalam perkawinan kadangkala pasangan suami istri memandang perlu dibuat perjanjian perkawinan.95

Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan mengenai perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 UU Perkawinan pada kenyataannya tidak diketahui oleh semua pasangan suami istri, sehingga mereka alpa/lalai karena tidak membuat perjanjian pada waktu perkawinan berlangsung atau sebelumnya. Di samping itu dalam perjalanan suatu perkawinan oleh suami-istri, namun tertutup oleh pembatasan waktu pembuatannya. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perjanjian perkawinan merupakan suatu kebutuhan bagi setiap pasangan suami istri, sehingga tidak perlu dibatasi masa pembuatannya hanya pada saat sebelum atau pada waktu perkawinan dilangsungkan akan tetapi dapat dilakukan selama perkawinan berlangsung. Pembatasan tersebut dinilai melanggar kebebasan dan hak konstitusional pasangan suami istri. Terdapat beberapa ketentuan normatif dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait perjanjian perkawinan :96

1. Perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja, tidak hanya pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini untuk memenuhi tuntutan kebutuhan

95 Ibid., hal 71

96 Ibid., hal 80-81

pembuatan perjanjian perkawinan, jika hal itu dirasa dan dipandang perlu untuk dibuat oleh pasangan suami istri. Dengan demikian pasangan suami istri setiap saat dapat membuat perjanjian perkawinan jika kebutuhan mereka memerlukan.

Terhadap suatu perjanjian perkawinan yang sudah dibuat pun dapat diubah kapan saja dengan catatan hal itu dikehendaki oleh kedua belah pihak dan tidak menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga. Suatu perjanjian perkawinan juga dapat dicabut atas persetujuan kedua belah pihak (suami-istri) asal pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

2. Pembuatan perjanjian perkawinan wajib disahkan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan atau Notaris. Hal ini berarti perjanjian perkawinan tidak hanya disahkan atau dibuat di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan, akan tetapi juga dapat dibuat di hadapan Notaris selaku pejabat umum. Ketentuan tersebut mengakomodasi norma dalam KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris. Namun dalam Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan perjanjian perkawinan dalam register umum di Kantor Kepaniteraan Pengadilan (Negeri/Agama).

Pendaftaran perjanjian perkawinan pada buku register umum adalah untuk

Pendaftaran perjanjian perkawinan pada buku register umum adalah untuk

Dokumen terkait