• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUBUNGAN

A. Akibat Hukum Terhadap Hubungan Anak Angkat Dengan

Akibat hukum dari pengangkatan anak, khususnya terhadap kekuasaan orang tua kandung dan hak mewaris dari anak angkat yang terjadi di Semarang, tidak terdapat perbedaan sebab pengangkatan anak yang menimbulkan akibat hukum tersebut ditentukan sesuai dengan hukum kemasyarakatan yang dianut oleh masing- masing daerah, juga ditentukan oleh kebiasaan daerah setempat. Terhadap akibat hukum dari pengangkatan anak ini, adalah sebagai berikut :

1. Orang Tua Kandung

Berkenaan dengan akibat hukum pengangkatan anak, khususnya di dalam masyarakat Tionghoa, menurut Soepomo, adalah : “Kedudukan anak angkat adalah berbeda daripada kedudukan di daerah-daerah dimana sistem masyarakat berdasarkan keturunan dari pihak lelaki, seperti di Bali misalnya, dimana perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian masyarakatnya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak itu ke dalam masyarakat bapak angkat. Sedangkan di masyarakat Tionghoa, pengangkatan anak antara anak angkat dengan orang tuanya sendiri tidak memutuskan pertalian masyarakat.113Anak

angkat masuk ke dalam kehidupan rumah tangga orang tua yang mengambil anak itu, sebagai anggota rumah tangganya, akan tetapi ia berkedudukan sebagai anak kandung dengan fungsi untuk meneruskan keturunannya bapak angkat.114

Mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak terutama yang menyangkut mengenai kekuasaan orang tua kandung, khususnya yang ada di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru disebutkan bahwa umumnya pengangkatan anak tidak menyebabkan hubungan antara anak dengan orangtua kandungnya terputus, hal ini disebabkan karena pada umumnya anak yang diangkat berasal dari kalangan keluarga masyarakat Tionghoa itu sendiri, yang mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup erat disebabkan anak yang diangkat tersebut adalah anak saudara maupun anak famili satu marga. Namun demikian kedudukan anak angkat terhadap orang tua angkatnya khususnya dibidang hukum harta kekayaan mengakibatkan kedudukan anak angkat tersebut sama dengan kedudukan anak kandung. Apabila terjadi pembagian warisan maka bagian dari anak angkat tersebut adalah sama dengan bagian dari anak kandung terhadap harta warisan orangtua angkatnya.

Sedangkan anak yang diangkat dari orang lain atau masyarakat lain mengakibatkan terputusnya hubungan antara anak angkat dengan keluarga orangtua angkatnya. Hal ini disebabkan karena anak yang diangkat tersebut tidak memiliki hubungan kekeluargaan atau hubungan persaudaraan dengan keluarga orangtua angkatnya, sehingga tidak memiliki hubungan persaudaraan maupun kekeluargaan

114 Muderis Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,

antara orangtua angkat dengan anak yang diangkatnya. Pengangkatan anak dari keluarga yang tidak memiliki hubungan persaudaraan atau hubungan kekeluargaan dengan keluarga orangtua angkatnya mengakibatkan putusnya hubungan antara orangtua kandung dan anak angkatnya tersebut setelah terjadinya pengangkatan anak secara hukum adat Tionghoa dengan suatu kesepakatan bersama yang dilakukan secara lisan. Kedudukan anak angkat yang tidak memiliki hubungan persaudaran maupun hubungan kekeluargaan dengan orangtua angkatnya terhadap harta kekayaan orangtua angkatnya tetap memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung. Apabila terjadi pembagian warisan maka bagian dari anak angkat tersebut adalah sama dengan bagian dari anak kandung.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedudukan anak angkat baik yang memiliki hubungan persaudaran kekeluargaan dengan orangtua angkatnya maupun yang tidak terhadap harta kekayaan orangtua angkatnya memiliki kedudukan yang sama dengan anak kandung. Perbedaanya terletak pada hubungan persaudaraan/ kekeluargaan dari anak angkat tersebut. Apabila anak angkat tersebut memiliki hubungan persaudaraan maupun hubungan kekeluargaan dengan orangtua angkatnya maka menurut adat masyarakat Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru hubungan tersebut tetap berlangsung dan tidak terputus meskipun telah terjadi pengangkatan anak. Sebaliknya bila anak angkat tersebut tidak memiliki hubungan persaudaraan dengan orangtua angkatnya maka hubungan antara orangtua kandung dengan orangtua kandungnya terputus sejak terjadinya pengangkatan anak tersebut.

Ada suatu kepercayaan bahwa dengan mengangkat anak itu kemudian akan mendapat keturunan sendiri. Namun ada juga bagi yang sudah mempunyai anak tapi belum lengkap, maka mengangkat anak dilakukan dengan alasan untuk menolong anak terebut agar masa depannya terjamin atau juga untuk mempererat tali persaudaraan, tetapi anak angkat tersebut tidak dapat berkedudukan seperti anak kandung, artinya dia masih mempunyai hubungan dengan masyarakat asalnya.

Dengan adanya kepercayaan dari pasangan suami isteri bahwa dengan mengangkat anak, maka mereka nantinya juga akan mempunyai anak kandung sendiri, di sini memperlihatkan bahwa pasangan suami isteri tersebut masih mempunyai harapan untuk dapat memiliki anak kandung sendiri, dan anak angkat tersebut sebagai pancingannya. Dan anak angkat tersebut dianggap seperti anak kandungnya sendiri, walaupun anak angkat tersebut juga masih mempunyai hubungan kemasyarakatan dengan masyarakat asalnya.

Berdasarkan Staatbald 1817 Nomor 129 tentang Adopsi disebutkan bahwa pengangkatan anak hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan akta notaris. Namun dalam perkembangannya di masyarakat golongan Tionghoa di Kota Pekanbaru pengangkatan anak dengan jenis kelamin perempuan juga banyak dilakukan. Hal ini dimungkinkan dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta tanggal 29 Mei 2003 yang memperbolehkan pengangkatan anak dengan jenis kelamin perempuan. Namun dalam praktek pengangkatan anak di kalangan masyarakat Tionghoa Kota Pekanbaru orangtua yang melakukan pengangkatan anak

jarang melakukannya dengan akta notaris. Kebanyakan orangtua yang melakukan pengangkatan anak dikalangan masyarakat Tionghoa Kota Pekanbaru melaksanakannya dengan lisan berdasarkan hukum adat Tionghoa. Sehingga apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari maka akan sulit untuk membuktikan telah terjadi pengangkatan anak tersebut meskipun terdapat banyak saksi yang menyaksikan pengangkatan anak tersebut.

Akta notaris dalam pengangkatan anak akan memberikan suatu bukti yang otentik dan memiliki kekuatan yang cukup sempurna dalam kejelasan dan status hukum para pihak. Meskipun legalitas pengangkatan anak harus melalui pengangkatan pengadilan namun peranan notaris dalam lembaga pengangkatan anak dimungkinkan berdasarkan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (didalam proses pengangkatan anak). Apabila perbuatan hukum penyerahan calon anak angkat tersebut dituangkan dalam suatu akta notaris (akta pengangkatan anak) yang mana merupakan suatu bukti yang sempurna, maka akan sangat membantu meyakinkan hakim dalam proses persidangan. Kekuatan bukti yang sempurna dari akta otentik yang bersifat akta partai berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak daripadanya.115 Apabila dalam proses pengangkatan anak itu didahulu dengan pembuatan akta notaris maka memiliki arti penting sebagai berikut :116

115 Muhammad Saleh, Penerapan Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan pada

Eksekusi Putusan Perkara Perdata,Graha Cendekia, Yogyakarta, 2011, hal. 73.

116Wawancara dengan Yultita Rahim, Notaris PPAT, pada tanggal 10 Juni 2014 di kantornya

a. Para pihak secara hukum adalah benar yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum pengangkatan anak, karena sebelum penandatanganan akta dilakukan pengecekan terhadap dokumen-dokumen identitas resmi perhal identitas orangtua kandung, wali yang sah atau lembaga sosial, serta identitas calon anak angkat mengenal asal usul anak angkat, kejelasan usia, kemudian identitas dari calon orang tua angkat; b. Secara kronologis, syarat-syarat yang ditentukan kepada calon anak angkat

dan calon orang tua angkat secara maksimal dapat dipenuhi, karena dalam pembuatan aktanya, notaris wajib merujuk pada peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan perbuatan hukum tersebut, dalam hal ini apa yang disyaratkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 jo. Peraturan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009.

c. Pernyataan motivasi dari pihak orangtua kandung, wali yang sah, lembaga sosial dalam menyerahkan calon anak angkat, dan motivasi calon orang tua angkat dalam mengangkat anak. Motivasi para pihak harus berasaskan untuk kepentingan terbaik bagi anak angkat dan kesejahteraan lahir dan bathinnya secara berkesinambungan.

d. Perbuatan hukum pengangkatan anak adalah mengalihkan seorang anak untuk diangkat anak ke dalam masyarakat orang tua angkat. Tersirat bahwa dalam proses ini pihak orang tua kandung harus menyatakan kehendaknya tersebut untuk menyerahkan dan pernyataan menerima atas penyerahan seorang anak dimaksud, yang akan diangkat sebagai anak angkat oleh calon

orang tua angkat, saat penyerahan ini dilakukan dihadapan notaris sebagai pejabat umum, dengan dihadiri juga saksi-saksi baik dari para pihak maupun dari notaris.

e. Hal-hal yang perlu diperjanjikan diantara para pihak, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya mengenai pengangkatan anak.

2. Hak Mewaris

Kedudukan anak angkat dalam hal kewarisan adalah seperti yang dikemukakan oleh Soepomo, yang mengatakan bahwa: “pengangkatan anak di Tionghoa tidak memutuskan hubungan masyarakat antara anak angkat dengan orang tua kandung, apabila yang diangkat adalah kemenakan sendiri”.117

Pembagian harta warisan menurut hukum adat yang berlaku di masyarakat Tionghoa dan juga atas dasar Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 16 Maret 1959 Register No.37/K/Sip/1959 dimana dikatakan bahwa anak angkat tidak berhak mewaris barang pusaka (asal) dan barang-barang asal itu kembali kepada pewaris keturunan darah, yaitu saudara-saudara si peninggal harta.

Anak angkat memperoleh warisan sebagai akibat hukum dari pengangkatan anak, khususnya yang menyangkut tentang kekuasaan orang tua kandung dan terhadap hak mewaris dari anak angkat, sebagai akibat hukum yang ditimbulkan tersebut tergantung pada kesepakatan antara orang tua kandung dan calon orang tua angkat serta kebiasaan yang ada di daerah setempat.

Dengan melihat akibat hukum pengangkatan anak terhadap warisan yang diperoleh oleh anak angkat yaitu mendapat bagian dari orang tua kandungnya dan juga dari orang tua angkatnya, maka akan sangat membahagiakan anak angkat tersebut, karena anak angkat tersebut masih keponakan orang tua angkatnya.

B. Akibat Hukum Terhadap Hubungan Anak Angkat Dengan Orang Tua Angkat

Sebagaimana diatur dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut. Oleh karena itu, anak yang diadopsi secara sah melalui putusan pengadilan, kedudukannya adalah sama dengan anak kandung. Sehingga yang bersangkutan berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya.118

Adapun hak-hak dan kewajiban anak tersebut adalah hak anak tersebut dalam tata pergaulan adat, hak dalam kewenangan bertindak, hak mendapatkan warisan, juga kewajiban terhadap orang tua angkatnya beserta kewajiban lainnya layaknya anak kandung seperti; patuh dan menyayangi orang tua angkatnya, menjaga nama baik orang tua dan masyarakat, berbakti kepada orang tua dan masyarakat angkatnya,

118 http://www.hukumonline. com/ klinik/ detail/lt 50877107ba949/hak-waris-anak-adopsi-

bahkan dalam hal pembagian warisan pun kelak dikemudian hari si anak tersebut mendapatkan bagian warisan selayaknya anak kandung karena dengan dilakukannya upacara adat maka si anak angkat telah sah menjadi anak kandung dari orang tua angkatnya.119

Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya, kedua orang tua yang mengambil anak itu yaitu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, sebaliknya ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.120

Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seseorang baru dapat dianggap anak apabila orang yang mengangkatnya itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.121

Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut:

119 Hendra Kasman Tokoh Adat Theonghoa Kecamatan Senapelan Pekanbaru, (wawancara),

tanggal 17 Desember 2013

120 B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terj K. ng. Soebakti Poesponot,

Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 247

a. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orang tua kandung.

b. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orang tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orang tua angkat.

c. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orang tua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan

mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat.122

Staatblad 1917 No. 129 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

b. Pasal 11 : “anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”.

c. Pasal 12 ayat 1 : “anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi”.

122 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo,

Konsekwensinya anak angkat menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam masyarakat orang tua yang mengangkat, anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah dengan segala konsekwensi lebih lanjut.123 1. Apabila adopsi dilakukan sebelum keluarnya Undang-undang Nomor 1 tahun

1974, maka akibat hukumnya tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang meliputi;

a. Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak, yaitu orang tua wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orang tua sepanjang kekuasaan orang tua itu belum dicabut (Pasal 299 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

b. Kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang belum dewasa, maka orangtua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal 307 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

c. Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, yaitu tiap-tiap anak, dalam umur berapapun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan.

123 J. Satrio, Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra

Secara garis besar dalam pembagian warisan, semua orang Tionghoa, akan membagi warisannya secara kemasyarakatan sesuai dengan hukum adat masing- masing. Formalitas dan aspek hukum hanya diperlukan kalau ada pihak-pihak yang keberatan dengan cara pembagian seperti itu.

Jadi yang diutamakan adalah asas kekelurgaan, bukan aspek hukumnya, kalau semua anggota menerima, semua selesai tanpa perlu formalitas dan aturan hukum, kecuali untuk pengalihan hak atas tanah yang memerlukan akta notaris. Dalam hal anak angkat, yang pengangkatannya dilakukan secara adat baik laki-laki ataupun perempuan, hak warisnya akan disamakan dengan hak anak kandung.

Anak angkat adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang pada dirinya melekat hak-hak sebagai anak dan harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, melekat hak-hak yang perlu dihormati dan dijunjung tinggi orang tua angkatnya dan masyarakat pada umumnya, hak-hak anak angkat dimaksud antara lain:

1. Berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

2. Berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan; 3. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai

dengan tingkat kecerdasaannya dan usianya dalam bimbingan orang tua;

4. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

5. Dalam hal karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

6. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial;

7. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasaannya sesuai dengan minat dan bakatnya; 8. Khusus bagi anak yang menyandang cacat berhak memperoleh pendidikan luar

biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus;

9. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasaan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan; 10. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul

dengan anak yang sebaya, bermain dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasaannya demi perkembangan diri;

11. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;

12. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

1) diskriminasi,

2) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual 3) penelantaran

4) kekejaman, kekerasan dan penganiyaan; 5) ketidakadilan; dan

6) perlakuan salah lainnya

13. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir; 14. Setiap anak untuk memperoleh perlindungan dari:

1) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; 2) pelibatan dalam sengketa bersenjata; 3) pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan 5) pelibatan dalam peperangan

15. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kekebasan sesuai dengan hukum yang dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;

16. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

1) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

2) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

3) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang obyektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

17. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

18. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Disamping hak-hak anak diatas, anak juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai seorang anak, yaitu bahwa setiap anak berkewajiban untuk: 1) Menghormati orang tua, wali dan guru;

2) Mencintai masyarakat, masyarakat, dan menyayangi teman; 3) Mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Setiap anak mempunyai hak untuk hidup seperti yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu, “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 7 menyebutkan bahwa:

1. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

2. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagai orang tua mereka juga mempunyai kewajiban terhadap anak, begitu pula sebagai orang tua angkat maka mereka juga mempunyai kewajiban seperti yang tertuang dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu:

1. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.

2. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Adapun yang dimaksud dengan kesiapan dalam ketentuan ini diartikan apabila secara psikologis dan psikososial diperkirakan anak telah siap. Menurut penjelasan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kesiapan

tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat eksistensi institusi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin

Dokumen terkait