• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUBUNGAN

C. Hak Waris Anak Angkat pada Masyarakat Tionghoa

Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orang tua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal dari pada bapak atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan.127

Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.128

Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orang tua sebagai berikut:

127 B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terj. K. ng. Soebakti Poesponot,

Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal. 247

a. Hubungan darah, mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orang tua kandung.

b. Hubungan waris, dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orang tua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orang tua angkat.

c. Hubungan perwalian, dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orang tua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.

d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orang tua kandung, melainkan dari orang tua angkat.129

Staatblad 1917 No. 219 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai berikut:

a. Pasal 11: “anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”.

b. Pasal 12 ayat 1: “anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi”.

129 M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo,

Konsekwensinya anak angkat menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam masyarakat orang tua yang mengangkat, anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah dengan segala konsekwensi lebih lanjut.130

Dalam satu sesi dengan informan yang berbeda, dalam hal ini dia berkedudukan sebagai anak angkat dari sebuah masyarakat. Ibu angkatnya sudah meninggal dan sekarang yang tersisa hanyalah ayah angkatnya. Menurut penuturannya, dia adalah seorang anak angkat yang diambil oleh orang tua angkatnya segera setelah dia lahir. Keberadaannya sebagai anak angkatpun ia ketahui setelah ia berusia 18 tahun, “mama menceritakan semuanya pada saya”. Sesungguhnya, kecurigaan bahwa dia bukan anak mama dan papa sudah pernah ia rasakan saat usianya menginjak SD, saat teman-temannya menanyakan usia ibunya yang memang sudah sangat jauh diatas rata-rata usia ibu dari teman-temannya, belum lagi tipical wajah antara dia dengan ayahnya yang sangat jauh berbeda, saya menanyakan foto mama waktu hamil, kata mama “fotonya rusak kena air waktu rumah kami kena banjir dulu”. Jawaban-jawaban tersebut cukup memuaskan untuk anak SD seusia saya waktu itu. Perlakuan orang tua saya juga tidak menunjukkan bahwa saya bukan anak mereka makin membuat saya mengabaikan kenyataan bahwa saya memang bukanlah anak mereka. Setelah orang tua saya menceritakan keadaan yang sesungguhnya, saat usia saya 18

130J. Satrio,Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang,Citra Aditya,

tahun, perasaan saya tidak berubah terhadap mereka, tetapi keadaannya saya semakin merasa sayang dan ingin lebih berbakti kepada mereka, karena sebetulnya bukan kewajiban mereka merawat dan membesarkan saya, tetapi mereka melakukan itu dengan sempurna. Orang tuapun tidak menampakkan perubahan sikap, pada saya. Sampai mama saya meninggal, saat ini papa saya yang masih ada. Semua yang mereka punya mereka berikan pada saya tanpa diminta, 2 (dua) tahun sebelum mama meninggal, mama dan adik-adiknya menjual tanah peninggalan dari orang tua mereka, sebagian hasil dari bagian mama saya diberikan pada saya untuk melebarkan usaha saya yang saat ini sudah berkembang. Demikian juga penerimaan dari masyarakat besar, adik-adik darimama angkat saya tidak mempermasalahkan akan semua milik mama dan papa diberikan semuanya pada saya.131

Perlakuan antara kami para sepupu-sepupu tidak ada perbedaan . Meskipun sesungguhnya saya bukanlah anak yang memiliki darah Tionghoa, dengan menjadi anak dari orang tua angkat orang Tionghoa, saya merasa saya memang orang Tionghoa.

Hak pengasuhan pada masyarakat adat Tionghoa di Kecamatan Senapelan lebih ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak masyarakat pada saat pelaksanaan acara pengangkatan anak baik dilakukan atau tidak dilakukan dengan cara adat etnis Tionghoa. Hak pengasuhan tersebut meliputi hak dan kewajiban untuk

131 Putra, Anak Angkat, Tionghoa di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, (Wawancara),

membesarkan, merawat, mendidik, dan hak-hak serta kewajiban lainnya sebagaimana mengasuh anak kandung.

Dari beberapa fakta yang ada, menunjukkan bahwa beginilah pola yang dilakukan dalam masyarakat Tionghoa terhadap kedudukan anak angkat terhadap harta warisan orang tua angkat. Sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi pola tata krama yang tinggi, orang Tionghoa sangat menjauhi urusan perselisihan apabila menyangkut persoalan warisan. Karena ada sebentuk kepercayaan bahkan dapat dikatakan sebagai “mitos”, bahwa perselisihan yang terjadi yang memperebutkan warisan efeknya tidak baik bagi kehidupan di masa mendatang yang dapat menimpa anak cucu.

Hak mewaris dari anak angkat berdasarkan pelaksanaan pengangkatan anak yang dilakukan oleh para responden sangat ditentukan oleh kebijakan masyarakat angkat, apakah anak angkat akan dimasukan sebagai salah satu ahli waris orang tua angkat atau tidak. Dengan adanya pengangkatan anak hubungan masyarakat antara anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus melainkan tetap terhubung dan nama marga anak angkat terhadap marga masyarakat orang tua angkatnya tidak beralih atau berubah menjadi marga masyarakat angkatnya meskipun marga anak angkat berbeda dengan marga orang tua angkat, serta dalam hak pewarisan tidak ada larangan dari hukum adat Tionghoa di Kecamatan Senapelan bahwa anak angkat tidak berhak mewaris dari orang tua kandungnya. Hak tersebut tetap ada atau tidak hilang. Namun selama hal tersebut tidak ditentukan lain dalam kesepakatan kedua belah pihak masyarakat pada waktu pelaksanaan pengangkatan anak.

Dari penelusuran fakta dan data hukum dari lembaga pengadilan di Pekanbaru, jarang ditemukan kasus hukum yang mempersoalkan hak waris anak angkat yang dibawa sampai ke pengadilan. Hasil penelitan responden yang melakukan pengangkatan anak, enam responden melakukan pengangkatan anak dengan cara adat/kebiasaan masyarakat Tionghoa. Dimana dalam hal ini kedua belah pihak masyarakat (orang tua kandung dan orang tua angkat) bertatap muka dan mengutarakan maksud dan tujuannya dan 1 (satu) responden melakukan pengangkatan anak dengan cara upacara adat. Pengangkatan tidak ditindak lanjuti dengan akta notaris (Staatblaad1917 No.129).

Dokumen terkait