• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGANGKATAN ANAK PADA MASYARAKAT

A. Gambaran Umum Masyarakat Adat Tionghoa di Kecamatan

2. Masyarakat Adat Tionghoa

Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan di dalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud maupun yang tidak berwujud.48

Masyarakat hukum adat merupakan komunitas yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari para penguasa adat. Pada dasarnya masyarakat adat terbagi menjadi empat;49

1. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan atau patrilinial adalah kekerabatan yang mengutamakan keturunan menurut garis keturunan laki-laki.

2. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan atau matrilinial adalah kekerabatan yang lebih mengutamakan keturunan menurut garis perempuan. 3. Masyarakat adat yang bersendi pada kebapakan dan keibuan atau

parental/bilateral adalah kekerabatan yang menarik garis keturunan dari bapak dan ibu.

4. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih atau alteneren adalah kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena adanya pengaruh dari faktor lingkungan, waktu dan tempat.50

47 Muderis Zaini, Adopsi, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,

2002, hal. 42

48 Soerjono Soekantao dan Soleman B Toneko, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta,

1982, hal.106

49Supomo,Hukum Adat, Mandar Maju, Bandung, 1997, hal. 15

Di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia para ahli waris atau waris tidak terlepas dari susunan kekerabatan atau sistem kemasyarakatan/keturunan. Sistem kemasyarakatan ini sudah berlaku sejak sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Kristen, dan Islam. Hampir di kota-kota besar di dunia, ada perkampungan Tionghoa atau yang sering disebut China Town. Di Pekanbaru, pencanangan untuk membangun China Town belum terealisasi. China Town di Kecamatan Senapelan, Pekanbaru merupakan kawasan ruko tua yang berjejer sepanjang sekitar 100 meter. Lokasi jalan ini sangat dekat dengan Pasar Bawah atau Pasar Wisata sebagai salah satu kebanggaan pusat perbelanjaan barang-barang luar negeri. Kawasan ini yang banyak dihuni masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa lebih senang jika kawasan itu disebut sebagai Kampung Melayu Tionghoa.51

Pemko Pekanbaru sendiri menyetujui kawasan tersebut dijadikan kawasan masyarakat Tionghoa. Masyarakat Tionghoa Pekanbaru, setapak-demi setapak terus berbenah untuk menjadikan kawasan tradisional masyarakat Tionghoa.

3. Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa a. Syarat Pernikahan

Adat-istiadat Tionghoa sebenarnya tidak ada mengatur secara tertulis mengenai syarat-syarat perkawinan, melainkan syarat-syarat perkawinan tersebut hanya dilaksanakan secara terus menerus dan turun temurun dari generasi ke generasi. Peran orang tua sangat besar dalam pelaksanaan maupun pelestarian adat istiadat dalam

51Rusli Pandika,Tata Cara Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Adat Tionghoa, Media

perkawinan, terutama mengenai syarat-syarat perkawinan, antara lain dengan memberitahukan kepada anak dan keturunannya serta menerapkannya dalam perkawinan anak-anaknya.

Syarat perkawinan yang paling utama dilaksanakan dan dianut sampai sekarang adalah calon mempelai yang satu marga dilarang untuk menikah. Hal ini disebabkan karena mereka dianggap masih mempunyai hubungan darah satu dengan lainnya dan adanya anggapan bahwa perkawinan antara marga yang sama dapat memberikan keturunan yang kurang baik.

Pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari masyarakat dan kedua calon mempelai. Secara garis besar, syarat- syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan-kebiasaan serta adat istiadat dari suku dan/atau masyarakat. Tidak ada akibat dan sanksi hukum yang timbul apabila syarat-syarat perkawinan tersebut tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan, akan tetapi hanya berupa sanksi sosial, seperti cemoohan dari pihak masyarakat maupun masyarakat.52

52 Wawancara dengan Ham Fu Hung Pemuka Adat Masyarakat Tionghoa Kecamatan

Masyarakat keturunan Tionghoa dalam suatu perkawinan yang akan dilaksanakan harus melalui tiga tahap upacara, yaitu:

a. Upacara adat Tionghoa

b. Upacara tata cara agama yang diyakini

c. Upacara pesta perkawinan (Resepsi Pernikahan).53

Ketiga upacara itu tidak diharuskan dilaksanakan seluruhnya, karena di dalam melakukan tiap-tiap upacara tersebut diperlukan biaya-biaya yang tidak sedikit, kecuali memang tingkat ekonominya mendukung. Sekalipun hanya melakukan upacara perkawinan secara adat saja maupun tata cara agama, tanpa melaksanakan upacara pesta perkawinan, perkawinan tersebut telah dianggap sah dalam masyarakat adat Tionghoa.

Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan bersumber kepada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi melindungi masyarakat. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi yang disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya pada masa lampau.

Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan manusia yang sifatnya universal. Perkawinan penting untuk mengekalkan institusi masyarakat. Melalui perkawinan, keturunan nenek moyang dapat diteruskan daripada satu generasi kepada generasi yang lain. Walaupun perkawinan pada masa kini perlu didaftarkan, tetapi upacara dan kenduri perkawinan penting dalam mengumumkan

pada pihak ketiga tentang telah dilangsungkannya perkawinan tersebut.54Oleh karena itu, upacara perkawinan selalu ada pada hampir setiap kebudayaan. Demikian pula halnya dengan adat pernikahan orang Tionghoa yang mempunyai upacara-upacara. b. Prosedur Pelaksanaannya

Prosedur pelaksanaan perkawinan ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu:55 1. Melamar

Untuk menghindari kesia-siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan setelah pihak masyarakat pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima. Ketika proses lamaran berlangsung pun, pihak pelamar belum akan menyentuh makanan dan minuman yang disajikan sebelum masyarakat calon mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat akan pulang, ayah atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang di bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih kepada calon menantu. Sebagai balasan, jika lamaran diterima, masyarakat pengantin wanita akan memberi perhiasan sebagai tanda ikatan.

2. Penentuan Hari Baik, Bulan Baik

Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila jam, hari dan bulan pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan

54Ibid,hal. 45

55Aan Wan Seng, Kebudayaan dan Adat Masyarakat Tionghoa Dalam Upacara Pernikahan,

pernikahan mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari dan bulan yang baik. Biasanya semuanya serba muda yaitu jam sebelum matahari tegak lurus, hari tergantung perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik / menjelang purnama.

3. Prosesi Seserahan Adat Tionghoa atauSangjit

Sangjit merupakan tradisi hantaran rantang bambu yang disusun bulat atau persegi empat, berisi aneka buah dan kue yang jumlahnya harus genap. Namun, semua tergantung kemampuan calon mempelai pria. Hantaran ini akan dibawa oleh para pria lajang. Tradisi ini diyakini akan membuat para pembawa hantaran ini menjadi ”enteng jodoh”. Diantara sekian banyak barang hantaran terdapat beberapa barang bermakna simbolis.

Pada budaya Tionghoa suku tertentu, hantaran yang diterima tidak diambil seluruhnya, melainkan hanya separuh. Bahkan, uang susu sebagai ungkapan terima kasih kepada ibu pengantin wanita yang telah membesarkan anak gadisnya sama sekali tidak diambil. Ini sebagai isyarat si ibu tidak mempunyai pamrih atas jasa itu. Hantaran yang telah diterima akan dibalas dengan hantaran pula.

Dalam rangkaian adat Tionghoa, Sangjit dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran tersebut. Dalam prakteknya, Sangjit sering ditiadakan atau digabung dengan lamaran. Namun sayang rasanya meniadakan prosesi

yang satu ini, karena makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya sangat indah.

4. Menata Kamar Pengantin

Seusai melaksanakan prosesi sangjit, masyarakat calon pengantin pria akan mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Ada tradisi unik, anak-anak akan diminta meloncat-loncat di atas ranjang pengantin

sebelum ranjang ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini bisa membuat pengantin cepat mendapat momongan. 5. Menyalakan Lilin

Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin perkawinan beberapa hari menjelang pernikahan digelar. Nyala lili perkawinan dipercaya bisa mengusir pengaruh buruk yang dapat mengacaukan jalannya prosesi pernikahan. Biasanya lilin dinyalakan mulai pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga hari setelah pernikahan.

6. Siraman

Siraman dalam tradisi masyarakat Tionghoa diawali dengan sembahyang dan penghormatan kepada leluhur. Setelah itu, barulah mempelai wanita dimandikan dengan air yang telah dibubuhi wewangian alami. Selain untuk membersihkan mempelai dan membuatnya wangi, ritual ini juga bermaksud mengusir pengaruh jahat yang bisa mengganggu mempelai.

7. Menyisir rambut atauchio thao

Chio thaobiasanya dilakukan oleh orang yang telah menikah dan memiliki keturunan. Mempelai akan disisir sebanyak tiga kali. Mempelai yang akan menjalani prosesi ini didudukkan di atas kursi yang telah dialasi tampah besar bergambar yin-yang. Dihadapan mereka terdapat meja kecil yang diatasnya telah diletakkan penakar beras yang terisi penuh oleh beras dan sembilan benda simbolis, yaitu timbangan obat khas China, alat pengukur panjang, cermin, sisir, gunting, pedang, pelita. Selain itu, terdapat juga benang sutra yang terdiri dari lima warna. Semua benda-benda ini mengandung makna ajaran moral bagi calon pengantin untuk membereskan segala keruwetan rumah tangga yang akan dihadapi serta mampu menimbang baik-buruknya suatu tindakan.

8. Makan 12 Sayur

Memasuki detik-detik penyambutan pengantin pria, mempelai wanita yang telah dipakaikan busana pengantin oleh orang tuanya, dibimbing menuju meja makan. Diatas meja telah tersaji 12 mangkuk yang masing-masing berisi satu jenis masakan yang memiliki rasa yang berbeda-beda. Manis, asin, asem, pedas, pahit, gurih, dan sebagainya. Semua rasa ini menjadi pelambang suka-duka hidup berumah tangga yang harus dijalani dan dinikmati. Pengantin pria juga menjalani prosesi yang sama di rumahnya, sebelum berangkat menuju rumah pengantin wanita.

9. Penjemputan Mempelai Wanita

Mempelai pria yang datang untuk menjemput mempelai wanita akan disambut dengan taburan beras kuning, biji buncis merah dan hijau, uang logam, serta bunga. Aneka taburan ini bermakna kesejahteraan yang melimpah bagi mempelai. Masih dalam keadaan wajah ditutupi kerudung, mempelai wanita dipertemukan dengan pengantin pria yang telah datang menjemput. Dalam prosesi ini, kerudung pelambang kesucian belum boleh dibuka.

10. Penyambutan Pengantin Wanita

Di rumah segala keperluan untuk menyambut kedatangan pengantin telah dipersiapkan. Begitu rombongan pengantin datang, di muka pintu, ibu dan nenek pengantin pria yang telah menunggu akan menyambut dengan taburan beras kuning, biji kacang buncis hijau dan merah sebagai simbol kesuburan, serta uang logam sebagai lambang rezeki dan kemakmuran. Setelah pasangan pengantin masuk rumah, keduanya akan dibimbing menuju kamar, barulah kerudung pengantin wanita boleh dibuka.

c. Upacara Agama

1. Upacara Sembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa dan/atau Leluhur. Di pagi hari pada upacara hari pernikahan, diadakan Cio Tao. Namun, adakalanya upacara sembahyang Tuhan ini diadakan pada tengah malam menjelang pernikahan. Selain menyembahyangi Tuhan Yang Maha Esa, calon pengantin pria dan wanita juga memberi hormat kepada para leluhur

dari calon pengantin pria dan juga para leluhur dari calon mempelai wanita dengan disaksikan orangtua dan sanak masyarakat sebagai persyaratan sahnya perkawinan mereka secara adat dan kepercayaan.

Meja sembahyang yang digunakan berwarna merah 3 tingkat. Di bawahnya diberi 7 macam buah. Di bawah meja harus ada jambangan berisi air, rumput berwarna hijau yang melambangkan alam nan makmur. Di belakang meja ada tampah dengan garis tengah 2 meter dan di atasnya ada tong kayu berisi sisir, timbangan, sumpit. Yang semuanya itu melambangkan kebaikan, kejujuran, panjang umur dan setia.56

Kemudian selain melakukan acara sembahyang di rumah masing-masing, acara tata cara agama juga dapat dan hendaknya dilaksanakan di lembaga keagamaan, seperti Vihara misalnya, karena dari Vihara tersebut akan dikeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang akan diperlukan untuk melakukan pencatatan perkawinan.

Persyaratan administrasi yang diperlukan untuk pelaksanaan pernikahan secara agama Budha, yakni dengan melampirkan dokumen-dokumen berikut:57

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk masing-masing calon mempelai pria dan wanita yang masih berlaku sebanyak 2 lembar ;

56 Wawancara dengan Youngki Darna Putra Tokoh Masyarakat Tionghoa di Kecamatan

Senapelan Kota Pekanbaru, tanggal 15 Januari 2014, pukul 15.00 WIB dikediamannya.

b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk orang tua dan/atau wali dari calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ;

c. Fotokopi Akta Kelahiran masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ;

d. Fotokopi Kartu Masyarakat masing-masing calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar ;

e. Fotokopi Kartu Tisarana masing-masing calon mempelai pria dan wanita (bila belum ada dapat mengambil Tisarana sebelum upacara tata cara agama dilakukan) ;

f. Pas Foto warna berukuran 2 x 3 masing-masing 3 lembar ; g. Fotokopi Undangan Pernikahan sebanyak 2 lembar ; h. Fotokopi Surat Ganti Nama sebanyak 2 lembar (jika ada).

Selain itu, guna melakukan pencatatan sipil diperluka dokumen-dokumen tambahan, yakni:

a. Fotokopi Surat Keterangan Bukti Kewarganegaraan Indonesia dari kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar; b. Fotokopi Akta Kelahiran kedua orang tua calon mempelai pria dan

wanita sebanyak 2 lembar ;

c. Pas Foto warna berukuran 6 x 4 kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 3 lembar ;

d. Fotokopi Surat Ganti Nama kedua orang tua calon mempelai pria dan wanita sebanyak 2 lembar (jika ada) ;

e. Fotokopi paspor (jika merupakan Warga Negara Asing) ;

f. Surat asli dan fotokopi Surat Keterangan Lurah sebanyak 2 lembar, yang antara lain menerangkan bahwa status calon mempelai belum pernah menikah (hanya berlaku 3 bulan).

2. Penghormatan kepada Orang tua dan Masyarakat

Setelah selesai ritual sembahyang, dilanjutkan dengan penghormatan kepada kedua orang tua, masyarakat dan kerabat dekat yang lebih tua dari kedua calon mempelai. Penghormatan dilakukan dengan menuangkan secangkir teh hangat (Phang Teh) untuk diminum oleh kedua orang tua, masyarakat dan kerabat dekat yang lebih tua sebagai wujud restu atas pernikahan yang mereka lakukan sambil mengelilingi tampah dan berlutut serta bersujud. Upacara ini sangat sakral dan merupakan salah

satu acara yang paling penting dalam perkawinan adat Tionghoa. Setiap penghormatan akan dibalas dengan ”ang pauw”, baik berupa uang maupun emas.

d. Resepsi Pernikahan

Selesai upacara penghormatan, pada malam hari dilanjutkan dengan resepsi pernikahan yang biasanya diselenggarakan di restoran maupun di rumah dengan mengundang sanak masyarakat dan teman-teman dari calon pengantin maupun kedua orang tuanya. Dalam acara resepsi pernikahan ini dilakukan pemotongan kue pernikahan (Wedding Cake), acara makan dan hiburan, serta kedua mempelai wanita dan pria beserta kedua orang tua dan masyarakat dekat duduk bersama dalam satu

meja yang diberikan kain merah sebagai taplak meja sebagai lambang kebersamaan dalam kebahagian.58

e. Membawa Pulang Calon Mempelai Wanita (Tul Sam Ciao)

Setelah segala upacara-upacara tersebut diatas selesai dilakukan, maka tiba saat perpisahan calon mempelai wanita kepada kedua orang tuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri serta menantu masyarakat mempelai pria. Mulai saat itulah, mempelai wanita tinggal bersama dan serumah dengan masyarakat mempelai laki-laki.

f. Akibat Hukum Pernikahan

Akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa berbeda dengan akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perbedaan paling mendasar terletak pada kepastian hukumnya. Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan jelas mengatur mengenai akibat-akibat hukum suatu perkawinan, mulai dari hak dan kewajiban suami isteri dan anak serta mengenai harta benda perkawinan sedangkan akibat hukum perkawinan menurut hukum adat Tionghoa lebih cenderung kepada pertanggungjawaban moral karena tidak adanya hukum tertulis yang mengatur masalah ini secara tegas. Jadi mengenai hak dan kewajiban suami, isteri dan anak-anak serta harta benda

58 Wawancara dengan Youngki Darna Putra Tokoh Masyarakat Tionghoa di Kecamatan

perkawinan dilaksanakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan dalam adat-istiadat Tionghoa.59

Perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum adat Tionghoa menimbulkan akibat-akibat hukum sebagai berikut:

1. Terhadap suami dan isteri 2. Terhadap anak

3. Terhadap harta benda perkawinan.

B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”.

Dalam hukum adat dikenal 2 macam pengangkatan anak, yaitu:

1. Pertama, pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap masyarakat, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus, hubungan hukum antara anak tersebut dengan orang tua aslinya.

2. Kedua, pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang masyarakat seluruhnya atau hanya dihadiri oleh masyarakat tertentu dan

59 Sri Rizky Widyanti, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Sebagai Unifikasi Hukum

tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat.60

Akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya, maka disebut mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dengan orang tua asli dan orang tua angkat. Palaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.

Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, anak tersebut putus hubungan hukum dengan orang tua aslinya, masuk menjadi masyarakat orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkat nya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya.

Sebelum dikeluarkan Staatblaad Tahun 1917 No. 129 (S.1917:129) khususnya Pasal 4 sampai dengan Pasal 15 yang mengatur tentang adopsi bagi golongan Tionghoa di Indonesia, pada dasarnya masyarakat Tionghoa di Indonesia, telah mengikuti hukum adat mengenai tata cara pengangkatan anak (adopsi).

Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi pertama diadopsi adalah masyarakat sedarah dari generasi yang tepat dibawah

generasi adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh, anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman. Karena nantinya anak adopsi dan anak adoptan sendiri, akan berada dalam generasi yang sama. Dengan demikian, tampak bahwa adopsi tidak bisa dilangsungkan terhadap sembarang orang, seperti misalnya mengadopsi anak laki-lakinya sendiri, atau pamannya, sebab akan terjadi kekacauan dalam hubungan kemasyarakatan.

Kebiasaan lain dari adopsi menurut hukum adat Tionghoa adalah adanya larangan untuk mengangkat anak dari masyarakat lain, yang tampak dari dipakainya nama masyarakat yang lain. Namun demikian, dalam prakteknya ternyata banyak muncul adopsi atas anak-anak yang memakai nama masyarakat lain.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Bugerlijk Weetboek (BW) yang berlaku di Indonesia tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah adopsiatau pengangkatan anak diluar kawin yaitu yang terdapat dalam Bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai dengan Pasal 290 KUHPerdata. Namun ketentuan ini bisa dikatakan tidak ada hubungannya dengan adopsi, karena pada asasnya KUHPerdata tidak mengenal adopsi.61 Tidak diaturnya lembaga adopsi karena KUHPerdata merupakan produk pemerintahan Hindia Belanda dimana dalam hukum (masyarakat) Belanda sendiri tidak mengenal lembaga adopsi.

Diberlakukannya KUHPerdata bagi golongan Tionghoa, khususnya bagi hukum masyarakat sudah tentu menimbulkan dilema bagi masyarakat Tionghoa. Hal tersebut berkenaan dengan tidak diaturnya lembaga adopsi berdasarkan hukum masyarakat

Tionghoa sebelum berlakunya KUHPerdata sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi masyarakat yang tidak mempunyai anak atau keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marag masyarakat dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur. Berkenaan dengan permasalahan tersebut, pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan StaatblaadNo.129 yang didalam Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7 Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 15.

Pasal 4 Staatblaad 1917 No. 129 menyebutkan bahwa, “suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan

Dokumen terkait