• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Terhadap Notaris yang Melakukan Penyalahgunaan Lambang Negara Dalam Produk yang Diterbitkan Lambang Negara Dalam Produk yang Diterbitkan

AKIBAT HUKUM TERHADAP NOTARIS YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN LAMBANG NEGARA DALAM PRODUK YANG

B. Akibat Hukum Terhadap Notaris yang Melakukan Penyalahgunaan Lambang Negara Dalam Produk yang Diterbitkan Lambang Negara Dalam Produk yang Diterbitkan

Menurut analisa penulis, bahwa dalam Undang-undang Jabatan Notaris tidak memuat secara tegas tentang ketentuan penggunaan lambang negara. Dengan demikian perlu dijelaskan bahwa penggunaan lambang negara dimana jika terjadi penyimpangan terhadap penggunaan lambang negara, mempunyai aturan dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi seperi yang telah disebutkan dalam pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara

82 Hasil wawancara dengan Cipto Soenaryo, selaku anggota Majelis Pengawas Daerah di Medan, pada tanggal 23 Juni 2010

dan pasal 69 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Setelah melakukan penelitian ke Majelis Pengawas Derah, yaitu bapak Pendastaren Tarigan bahwa penggunaan lambang negara di luar yang ditentukan dalam UUJN tidak dianggap sebagai penyimpangan karena dianggap masih bertindak dalam bidang pekerjaannya sebagi notaris 83 bahwa Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan sanksi terhadap notaris yang berbuat demikian.

Sehingga penyimpangan yang dilakukan notaris atas penggunaan lambang negara di kota medan tidak pernah diperiksa, dan belum pernah ada notaris yang diberi sanksi atas penyimpangan penggunaan lambang negara tersebut.

Menurut Notaris Anita Gloria Simanjuntak dan Notaris Gongga Marpaung84 bahwa penggunaan lambang negara di luar dari yang ditetapkan dalm UUJN merupakan hal yang sudah biasa dan sudah menjadi kebiasaan mengikuti notaris- notaris terdahulu.

Menurut Muhammad Yamin,85 akibat penyalahgunaan Lambang Negara yang dianggap sepele tapi mengakibatkan dampak yang buruk bagi para pihak dan juga terhadap Notaris itu sendiri seperti hal dalam kasus LS tahun 2005 dimana Notaris yang bersangkutan menngeluarkan surat yang tidak dijelaskan dikeluarkan sebagai apa, dan surat tersebut diberi cap stempel berlambang negara dimana sepihak

83 Hasil wawancara dengan Pendastaren Tarigan, selaku anggota Majelis Pengawas Daerah di Medan, pada tanggal 28 Juni 2010.

84 Hasil wawancara dengan Notaris Anita Gloria Simanjuntak, Notaris di Medan,7 Juli 2010 dan Gongga Marpaung , Notaris di Medan, 8 juli 2010

85

menganggap mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan sepihak menganggap sebagai surat biasa. Surat tersebut dikeluarkan diluar dari wewenangnya sebagai notaris. Sehingga akibatnya kepada para pihak surat tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila Akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa dan dibatalkan oleh suatu putusan Pengadilan, maka hal ini perlu dipertanyakan apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan notaris mengandung cacat hukum seperti halnya akta yang dibuatnya tidak diberi stempel berlambang negara karena kesalahan notaris baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris itu harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum, dan tentunya hal ini harus terlebih dulu dapat dibuktikan.

Kerugian salah satu pihak merupakan penyebab utama terjadinya gugatan yang dapat menyebabkan pembatalan akta notaris tanpa adanya kerugian salah satu pihak maka tidak mungkin timbul suatu gugatan yang menyebabkan pembatalan akta tersebut.

Jabatan Notaris merupakan jabatan yang terhormat yaitu jabatan yang dalam pelaksanaannya mempertaruhkan jabatannya dengan mematuhi dan tunduk pada Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik Notaris dan peraturan perundang-undangan ang berlaku, dengan demikian diharapkan agar Notaris dalam menjalankan

jabatannya memiliki integritas moral dengan memperhatikan nilai agama, sosial dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.

Oleh karena itu seorang Notaris tidak mungkin menerbitkan suatu akta yang mengandung cacat hukum atau tidak diberi stempel dengan cara sengaja, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa di luar sepengetahuan Notaris para pihak/penghadap yang meminta untuk dibuatkan Akta memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar sehingga setelah semuanya dituangkan ke dalam Akta lahirlah sebuah akta yang cacat hukum.

Selain adanya keterangan-keterangan yang tidak benar, Akta yang dibuat Notaris juga menjadi batal karena adanya perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan dari para penghadap/para pihak yang tidak sesuai atau melanggar kesepakatan yang telah dituangkan dalam Akta Notaris tersebut. Perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan para penghadap/para pihak tersebut telah dikualifisir sebelumnya yaitu perbuatan wanprestasi (ingkar Janji) maupun perbuatan-perbuatan melawan hukum. Seperti yang dapat dilihat dalam Keputusan Mahkamah Agung RI, tanggal 21 Mei 1973 No.70HK/Sip/1972, yang menyatakan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena tidak melakukan atau melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan.

Dengan terjadinya kasus-kasus wanprestasi dan perbuatan melawan hukum itu menyebabkan Notaris dapat digugat dan harus keluar masuk gedung Pengadilan untuk mempertanggungjawabkan akta yang telah dibuatnya, mengingat Notaris

merupakan pejabat umum yang berwenang membuat Akta otentik dan Akta otentik yang dibuatnya setelah ditandatangani oleh para pihak menjadi dokumen negara. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak. Jika Akta yang diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaannya, Notaris itu sendiri harus memberikan pertanggungjawaban.

Dalam hal ini pertanggungjawaban Notaris bukan saja secara moral tetapi secara hukum, di mana Notaris dapat dituntut, digugat, maupun diberi sanksi. Semua kegiatan yang dilakukan oleh Notaris khususnya dalam membuat akta akan senantiasa dimintakan pertanggungjawabannya. Jika akibat kelalaian atau kesalahannya dalam membuat akta dapat dibuktikan maka dapat dimintakan pertanggungjawabannya baik secara perdata maupun Pidana. Pengenaan sanksi86 terhadap Notaris bergantung dari besarnya kesalahan yang dibuat Notaris. Oleh karena itu sikap kewaspadaan juga dituntut dari Notaris.

Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara tidak terlepas dari tanggung jawab secara perdata di mana Notaris selalu berpedoman dan/atau mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum perdata, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004, tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan

86 Sanksi yang dikenakan, contohnya dalam pelanggaran pada Pasal 50 dan 51 UUJN berakibat akta yang dibuat notaris tersebut hanya memiliki keuatan pembuktian di bawah tangan.

lainnya. Pertanggungjawaban yang diminta kepada Notaris bukan hanya dalam pengertian sempit yakni membuat Akta Notaris, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam arti luas, yakni tanggungjawab pada saat sebelum akta dibuat dan ditandatangani, tanggung jawab pada saat fase akta, dan tanggung jawab pada saat pasca penandatanganan Akta.

Pada dasarnya Notaris dalam membuat akta selalu dengan penuh kehati-hatian dan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Jabatan Notaris dan peraturan perundangan lainnya. Sebagaimana diketahui tugas Notaris adalah membuat akta otentik yang fungsinya untuk membuktikan kebenaran tentang telah dilakukannya suatu perbuatan hukum oleh penghadap/para pihak dengan mencantumkan identitas masing-masing dari para pihak/penghadap tersebut. Notaris hanya mengkonstantir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya serta menuangkannya di dalam akta. Notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para pihak/penghadap lalu dituangkannya ke dalam akta, disini dapat dikatakan bahwa Notaris berwenang untuk menyesuaikan keterangan-keterangan yang diberikan para pihak/penghadap berikut surat-surat/dokumen-dokumen yang diberikan dengan surat-surat/dokumen-dokumen yang asli atau yang sebenarnya sehingga notaris dapat menuangkan yang formil ke materiil akta.

Disini juga notaris memberikan penyuluhan hukum untuk memberi arah dalam menemukan solusi yang benar dan tepat kepada para pihak/penghadap sehubungan dengan akta yang akan dibuatnya.

Berdasarkan uraian tersebut, apabila akta otentik yang mengandung cacat hukum tersebut dapat menjadi sengketa dan diperkarakan di depan sidang Pengadilan maka dalam proses persidangan tersebut hakim akan melakukan pembuktian dengan menilai dapat tidaknya diterima suatu alat bukti dan menilai kekuatan pembuktiannya. Sehubungan dengan hal ini maka akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut akan menjadi bukti bahwa adanya suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan oleh para pihak/penghadap yang oleh Notaris perbuatan hukum dari para pihak/penghadap tersebut dituangkan sebagai materiil dalam suatu akta. Hal ini berarti akta otentik itu sendirilah yang membuktikan bahwa telah terjadi suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap, bukan oleh Notaris. Oleh karenanya maka Notaris dalam hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Akan tetapi dengan adanya sengketa dan menjadi perkara di Pengadilan sehubungan dengan Akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut maka Notaris dalam hal ini akan diperiksa atau dipanggil sebagai saksi guna proses pembuktian. Pemanggilan terhadap Notaris sebagai saksi untuk memberikan keterangan di depan persidangan ada kalanya membuat seorang Notaris enggan hadir dalam persidangan tersebut. Sebagian orang berpendapat bahwa notaris tidak perlu hadir dalam sidang di Pengadilan untuk menjadi saksi mengingat akta yang dibuatnya adalah akta otentik yang merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna. Artinya adalah apa yang ditulis di dalam akta itu harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai

benar selama ketidakbenarannya itu tidak dapat dibuktikan, dan akta itu sudah tidak memerlukan penambahan pembuktian.

Menurut undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR bahwa memberikan kesaksian adalah merupakan suatu kewajiban, seseorang yang tidak memenuhi panggilan untuk menjadi saksi di depan persidangan akan berakibat sebagai berikut:87

1. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi.

2. Secara paksa akan dibawa ke muka pengadilan. 3. Dimasukkan ke dalam penyanderaan (gijzeling).

Sebenarnya kehadiran seorang notaris sebagai saksi di depan sidang pengadilan sangat berguna untuk menerangkan duduk perkara yang sebenarnya atas akta otentik yang dibuat oleh Notaris tersebut. Sebab notaris adalah orang yang mengetahui secara pasti kebenaran dari akta yang dibuatnya maka, sebagai saksi, notaris akan menerangkan tentang apa yang dilihatnya atau dialaminya. Selain daripada itu seorang Notaris apa bila dipanggil sebagai seorang saksi harus datang dan hadir di persidangan, sebab pada waktu kehadirannya itulah Notaris akan menentukan apakah dia akan mempergunakan hak ingkarnya (hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi) yang diatur dalam pasal 1909 ayat (3e) KUHPerdata, yang menyatakan:

87 Hari Sasongko, Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata , Mandar Maju, Bandung, 2005, hal. 80.

“Segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun adalah semata-mata

mengenai hal yang sepengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian”.

Karena untuk mempergunakan hak ingkar harus dinyatakan dengan tegas dan hal ini hanya bisa dilakukan dengan hadirnya Notaris. Dapat dikatakan bahwa Hak Ingkar adalah merupakan perwujudan dari perlindungan hukum/immunitas hukum bagi Notaris untuk kepentingan masyarakat dan kewajiban untuk merahasiakan isi aktanya maupun hal-hal yang diketahuinya karena jabatannya.

Apabila Notaris mengemukakan hak ingkar dalam pemeriksaan di persidangan notaris harus mengemukakannya secara tegas dengan mengajukan bukti-bukti yaitu minimal dua orang saksi yang benar-benar mengetahui mengenai pembuatan akta otentik tersebut yang sebenarnya. Saksi-saksi yang dimaksudkan oleh Notaris tersebut adalah benar, dan saksi-saksi ini membantah keterangan-keterangan yang tidak benar sehubungan dengan pembuatan akta tersebut. Namun ada kalanya hak ingkar yang dimiliki Notaris ditolak oleh Hakim Pengadilan dengan alasan sebagai berikut:

a. Menurut penilaian hakim bahwa dalam hal pembuktian, keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh Notaris tidak dapat dibuktikan sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang sebenarnya sehubungan dengan pembuktian akta tersebut.

b. Keterangan-keterangan Notaris masih dibutuhkan yaitu perlu dikonfrontir dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap keterangan-keterangan dari saksi-saksi yang lain.

c. Kepentingan pro Justicia atau kepentingan umum yang lebih tinggi nilainya dari kepentingan pribadi.

Notaris selaku pejabat umum yang melaksanakan pelayanan terhadap publik selain mendapatkan pengawasan dari Majelis Pengawas juga memerlukan perlindungan hukum, yaitu:

1. Dalam hal menjadi saksi di pengadilan sehubungan dengan akta yang dibuatnya.

2. Dalam hal menjadi tergugat di pengadilan menyangkut akta yang dibuatnya.

3. Dalam hal sebagai terdakwa dalam perkara pidana sehubungan dengan kata yang dibuatnya.

4. Dalam hal penyitaan terhadap budel minuta yang dibuatnya.88

Hak immunitas/kekebalan hukum bagi Notaris dapat diberikan dalam hal kewajiban untuk menolak memberikan keterangan yang menyangkut rahasia jabatannya, dan terhadap kesalahan yang diperbuat oleh seorang notaris haruslah dibedakan antara kesalahan yang bersifat pribadi dengan kesalahan di dalam menjalankan tugasnya. Secara pribadi, Notaris dapat dituntut dan dihukum sama seperti masyarakat biasa lainnya, namun sebagai seorang pejabat umum yang melaksanakan kepentingan publik, maka terhadap kesalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya atau hasil pekerjaannya, otentisitas akta-aktanya tetap dapat

88 Paulus Effendi Lotulong, Makalah tentang Perlindungan Hukum terhadap Notaris, Disampaikan pada Kongres INI XVII di Jakarta, 2000.

dijamin, dan terhadap notaris perlu diberikan perlindungan hukum yang berbeda mekanismenya dengan anggota masyarakat biasa. Hal ini tentunya akan membuat Notaris menjadi lebih kondusif dan terlindungi di dalam menjalankan tugasnya.

Seorang Notaris yang melakukan kesalahan di luar jabatannya atau secara pribadi, misalnya melakukan perbuatan seperti berjudi, mabuk-mabukan, menyalahgunakan Narkoba, dan melakukan perbuatan zinah. Dengan demikian maka Notaris tersebut dapat dikatakan telah melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Profesi Notaris. Sedangkan Notaris yang melakukan kesalahan dalam jabatannya selaku pejabat umum adalah apabila notaris dengan sengaja melakukan suatu kesalahan atau kelalaian dalam pembuatan akta maka ia dapat dituntut atau bertanggungjawab secara perdata maupun pidana. Akan tetapi seorang Notaris dapat juga dikatakan melanggar kode etik notaris pada saat melakukan tugas dan jabatannya, misalnya melakukan kesalahan etika terhadap sesama rekan Notaris.

Selain itu apabila Notaris melakukan suatu perbuatan pembuatan akta atas perintah dari para pihak, dan syarat-syarat formil yang ditentukan oleh undang-undang dalam pembuatan akta telah dipenuhi Notaris, maka Notaris tidak dapat bertanggung jawab. Pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang biasanya praktis baru ada arti apabila ia melakukan perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh hukum. Sebagian besar di dalam KUHPerdata dinamakan perbuatan melawan hukum.

Menurut Notaris Gongga Marpaung89, pertanggungjawaban Notaris akibat pembatalan akta notaris harus dilihat dari perbuatan yang mengakibatkan pembatalan akta tersebut apakah diakibatkan adanya kesalahan atau kelalaian Notaris atau karena adanya perbuatan melawan hukum dari para pihak, Notaris tidak dapat diminta pertanggungjawaban apabila batalnya akta akibat adanya kesalahan para pihak bukan kesalahan Notaris.

Menurut Notaris Anita Gloria Simanjuntak,90 pertanggungjawaban Notaris timbul bukan hanya akibat perbuatan notaris semata tetapi lebih sering diakibatkan oleh adanya kesalahan dari para pihak yang mengikatkan diri dalam akta Notaris. Notaris harus tetap dilindungi hak-haknya dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam pembuatan akta.

Untuk pertanggungjawaban notaris ini ada baiknya mengutip pernyataan yang sangat menarik dari Habib Adjie yang menyatakan pada Komunitas Hukum Indonesia, bahwa telah terjadi kesalahan persepsi dalam memahami Akta Notaris. Bahwa inti dari adanya Akta Notaris, yaitu adanya keinginan atau kehendak para pihak, agar segala bentuk tindakannya dituangkan ke dalam bentuk Akta Notaris, tanpa keinginan para pihak sudah tentu Notaris tidak akan membuatkannya untuk para pihak dan agar menjadi akta otentik kemudian Notaris memberi bingkai formalitas agar dapat menjadi alat bukti yang sempurna sesuai aturan hukum yang

89 Hasil Wawancara dengan Notaris Gongga Marpaung, Notaris di Medan, 8 juli 2010. 90

berlaku. Sehingga suatu akta Notaris bukan perbuatan Notaris, dan Notaris bukan pihak dalam Akta tersebut.

Dengan pengertian semacam ini, jika ada Akta Notaris ingin dibatalkan atau agar tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi para pihak yang tersebut dalam akta, maka yang harus dilakukan para pihak, yaitu datang kembali kepada Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta yang telah dibuat sebelumnya. Jika ini tidak dapat dilakukan, maka salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya ke Pengadilan Negeri (bukan menggugat Notaris), dengan pokok gugatan agar akta Notaris yang dimaksud didegradasikan kedudukannya dari akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, diputuskan menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Setelah diputuskan seperti itu, hakim dapat melakukan penafsiran atau penilaian, apakah akta tersebut dibatalkan atau tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum bagi para pihak.

Perbuatan hukum yang dapat dibatalkan atau adanya cacat yang tidak berakibat batal demi hukum masih dapat disahkan sebagaimana diatur dalam pasal 1892 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut pengesahan dapat dilakukan dengan penguatan (Bekrachtiging) atau penetapan (Bevestigiving) yang mengakibatkan hilangnya atau dilepaskannya hak untuk membatalkan perbuatan hukum yang sedianya dapat dimajukan dengan tidak mengurangi hak Pihak Ketiga. Di dalam Akta penguatan atau Akta penetapan tersebut harus dicantumkan isi pokok perbuatan dan alasan yang menyebabkan dapat dituntut pembatalannya beserta maksudnya untuk memperbaiki cacat yang sedianya menjadi dasar tuntutan tersebut.

Perlu diperhatikan akibat dari pengesahan atau penguatan tersebut menyebabkan perbuatan hukum yang bersangkutan menjadi sah sejak perbuatan hukum tersebut dilakukan.91

Dalam Pasal 84 UUJN diatur secara khusus akibat pelanggaran yang dilakukan Notaris terhadap ketentuan-ketentuan tertentu di dalam UUJN tersebut. Akibat pelanggaran tersebut dapat menyebabkan akta notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan, namun dapat pula suatu akta menjadi batal demi hukum. Adalah sangat penting untuk mengetahui pelanggaran-pelanggaran yang ada pada pasal-pasal UUJN. Salah satunya pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal 16 ayat 1 huruf k termasuk di dalamnya.

Pasal 84 UUJN apabila berkaitan dengan perbuatan hukum yang digolongkan pada perjanjian formil atau perbuatan hukum yang mengharuskan bentuk akta notaris atau tidak dipenuhinya unsur essentialia mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi batal karena akta notaris hanya berfungsi sebagai alat bukti maka dengan adanya pelanggaran atas pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 84 UUJN menyebabkan akta notaris menjadi akta di bawah tangan.

Tanpa adanya pendegradasian seperti itu telah mencederai posisi akta Notaris. Perlu dipahami secara integral bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga siapapun (termasuk Hakim), terikat dan tidak boleh menafsirkan apapun selain yang tertulis dalam akta. Ini merupakan makna akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Tapi ternyata hal

91

seperti ini tidak dapat dipahami secara benar oleh para komunitas hukum (seperti hakim, dan Pengacara), hal ini dapat kita baca dari berbagai putusan hakim, secara langsung membatalkan akta notaris, tanpa didahului adanya putusan pendegradasian akta Notaris menjadi akta di bawah tangan.92

C. Ketentuan Sanksi Terhadap Notaris yang Melakukan Penyimpangan Dalam