• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Bagi Warga Negara Indonesia Dalam Perkawinan Campuran Atas

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL

4.2. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan Bagi Warga Negara Indonesia Dalam Perkawinan Campuran Atas

Kepemilikan Hak Atas Tanah

Pada bagian di atas telah diuraikan bahwa seorang Warga Negara Indonesia memiliki hak-hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang. Hak-hak tersebut tidak akan dinikmati apabila seseorang tidak lagi menjadi Warga Negara Indonesia karena telah kehilangan atau melepaskan kewarganegaraannya. Salah satu hak yang dapat dinikmati oleh seorang Warga Negara Indonesia adalah hak milik.

Hak milik yang diperoleh seorang Warga Negara Indonesia adalah hak untuk memiliki suatu benda. Benda dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

pertama, benda bergerak. Pengaturan mengenai benda bergerak dapat dilihat pada

Pasal 506 sampai dengan Pasal 508 KUHPerdata. Suatu benda dapat digolongkan sebagai benda bergerak karena dilihat dari sifatnya atau karena ditentukan demikian oleh undang-undang. Benda bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, misalnya perabot rumah tangga. Benda bergerak karena ditentukan oleh undang-undang misalnya penghasilan dari suatu benda bergerak, surat-surat perseroan perdagangan, surat-surat obligasi Negara dan sebagainya.90

Kedua, adalah benda tidak bergerak yang diatur dalam Pasal 509 sampai

dengan Pasal 518 KUHPerdata. Suatu benda dapat dikatakan sebagai benda tidak bergerak karena sifatnya, karena tujuan pemakaiannya dan karena ditentukan oleh

90

undang-undang. Benda tidak bergerak karena sifatnya adalah tanah, termasuk segala sesuatu yang secara langsung atau tidak langsung, karena perbuatan alam atau perbuatan manusia, digabungkan secara erat menjadi satu bagian dengan tanah itu. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah segala sesuatu yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan itu untuk waktu yang agak lama, misalnya mesin-mesin pabrik. Benda tidak bergerak karena ditentukan oleh undang-undang ialah segala hak atau penagihan yang mengenai suatu benda yang tak bergerak.91

Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus mengenai tanah. Pengaturan khusus tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terbentuk untuk mewujudkan isi dari Sila Kelima Pancasila yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Konsep dikuasai Negara yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Negara bukan sebagai pemilik namun Negara sebagai regulator yang bertugas untuk mengatur, Negara mempunyai kewenangan mengelola dan mengatur tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atau dengan kata lain pada suatu tingkatan tertinggi

91

Negara yang berhak mengatur peruntukan dan pemanfaatannya.92 Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pedoman bagi pemerintah dalam melaksanakan politik perekonomian berdasarkan kooperasi, karena kooperasi mendidik “self help” dan bertujuan membela kepentingan masyarakat, sesuai dengan asas kekeluargaan.93

Implementasi dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut dituangkan ke dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut:

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Pengaturan tersebut dimaksudkan agar segala sumber daya alam yang ada tidak dipergunakan untuk kepentingan komersil semata oleh individu guna

92

Yudhi Setiawan, 2009, Instrumen Hukum Campuran (Gemeenschapelijkrecht) Dalam Konsolidasi Tanah, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 43.

93

A. Teluki, 1966, Perbandingan Hak Milik Atas Tanah Dan Recht Van Eigendom, PT. Eresco, Bandung, hal. 19.

mencari keuntungan sebesar-besarnya sehingga membawa kerugian bagi rakyat. Kekuasaan yang dimaksudkan dalam pasal tersebut adalah kekuasaan atas bumi, air dan ruang angkasa baik yang sudah dihaki oleh seseorang atau badan hukum maupun yang tidak. Negara berperan penting untuk mewujudkan tujuan yang tercantum dalam pasal tersebut, yakni mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-sebesarnya.

Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan Negara tersebut.94 Pengertian tanah dapat dilihat pada Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut: “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.

Pengertian tersebut menitikberatkan tanah sebagai permukaan bumi. Makna permukaan bumi sebagai bagian dari tanah yang dapat dihaki oleh setiap orang atau badan hukum. Oleh karena itu, hak-hak yang timbul di atas hak atas

94

Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Cetakan Kesembilan, Djambatan, Jakarta, hal. 578.

permukaan bumi (hak atas tanah) termasuk di dalamnya bangunan atau benda-benda yang terdapat di atasnya merupakan suatu persoalan hukum.95

Negara sebagai pihak yang menguasai tanah guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, berwenang untuk menentukan hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada perseorangan atau badan hukum yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diatur mengenai jenis-jenis hak atas tanah, antara lain:

a. Hak Milik (HM)

Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 {Pasal 20 ayat (1)}. Makna kata terkuat dan terpenuh dalam pengertian tersebut dijelaskan lebih lanjut pada bagian Penjelasan yakni kata-kata tersebut digunakan untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk menunjukkan, bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang Hak Miliklah yang paling kuat dan paling penuh.

b. Hak Guna Usaha (HGU)

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Hak Guna Usaha dapat dimiliki oleh

95

Supriadi, 2009, Hukum Agraria, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3.

Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Jangka waktu yang dimiliki bagi pemegang Hak Guna Usaha ini adalah selama 35 tahun dengan perpanjangan selama 25 tahun. Pengaturan mengenai Hak Guna Usaha dapat ditemukan pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

c. Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Jangka waktu Hak Guna Bangunan adalah selama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Pihak-pihak yang dapat memiliki Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pengaturan mengenai Hak Guna Bangunan terdapat pada Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

d. Hak Pakai (HP)

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan tanah dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maupun tanah milik orang lain. Pemberian Hak Pakai harus didasarkan atas persetujuan atau ijin dari pejabat yang berwenang atau dengan menggunakan suatu perjanjian dengan pemilik tanah namun bukan berupa perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Pemberian

hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pihak-pihak yang dapat menguasai Hak Pakai adalah Warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Pengaturan mengenai Hak Pakai terdapat pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

e. Hak Sewa

Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain dengan membayar sejumlah kepada pemiliknya sebagai uang sewa. Hak Sewa muncul melalui suatu perjanjian sewa-menyewa yang dibuat antara penyewa dengan pemilik tanah dengan jangka waktu yang ditentukan bersama namun tidak dapat melebihi jangka waktu dari hak-hak yang lebih tinggi derajatnya daripada Hak Sewa. Pihak yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa adalah Warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, serta badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Pengaturan mengenai Hak Sewa dapat ditemukan pada Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

f. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil

Pengaturan mengenai kedua hak ini dapat dilihat pada Pasal 46 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa hak-hak ini hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan pengaturannya akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Penggunaan hak-hak tersebut tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah tersebut.

Hak-hak atas tanah yang telah disebutkan di atas merupakan hak yang diakui secara sah oleh Negara dan para pihak yang hendak mempunyai hak tersebut harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak-hak atas tanah tersebut memiliki kelebihan masing-masing namun dari keseluruhan hak tersebut hak yang paling tinggi derajatnya adalah Hak Milik. Hak Milik dikatakan sebagai hak yang paling tinggi derajatnya karena Hak Milik merupakan hak turun temurun dengan jangka waktu yang tidak terbatas dan sebagai hak yang paling kuat, Hak Milik memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali hak lain yang melekat di atas tanah hak milik tersebut.96

Hak Milik diatur pada Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak Milik adalah hak untuk menggunakan, atau mengambil keuntungan dari suatu benda yang berada dalam kekuasaan tanpa merugikan pihak lain dan dipertahankan

96

Yudhi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan Teori Dan Praktik, Banyumedia Publishing, Malang, hal. 41.

terhadap pihak manapun.97 Hak Milik sudah ada sejak berlakunya hukum adat, yaitu sebagai hasil perkembangan penguasaan dan pengusahaan atau penggunaan sebagian tanah ulayat secara intensif dan terus-menerus oleh perseorangan warga masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat. Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bahwa Hak Milik memiliki jangka waktu berlaku yang tidak terbatas. Hak Milik dapat beralih karena pewarisan dan dapat juga beralih karena dipindahkan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada pada peraturan perundang-undangan. Apabila pemegang Hak Milik memerlukan pinjaman dana, Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Pasal 27 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa Hak Milik hapus apabila:

a. Tanahnya jatuh kepada Negara:

1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;

2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; 3. Karena ditelantarkan;

4. Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2). b. Tanahnya musnah.

Selain daripada ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Hak Milik tidak dapat hapus dan akan tetap menjadi milik pemiliknya secara turun temurun.

Pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan secara tegas bahwa Hak Milik

97

hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Sebelumnya, Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga menegaskan bahwa hanya Warga Negera Indonesia yang dapat mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, sehingga dengan kata lain hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai Hak Milik. Apabila seseorang yang berstatus kewarganegaraan Indonesia tetapi mempunyai pula kewarganegaraan lain, maka ia tidak diperkenankan untuk mempunyai Hak Milik. Secara umum penguasaan tanah oleh orang asing atau Warga Negara Asing dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Sebagaimana diuraikan di atas, hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik, maka apabila Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia ingin mempunyai hak atas tanah di Indonesia dapat mempunyai Hak Pakai.98

Warga Negara Asing yang memperoleh Hak Milik atas tanah karena warisan wajib melepaskan hak atas tanah tersebut dalam jangka waktu satu tahun. Ketentuan tersebut juga berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik atas tanah kemudian kehilangan kewarganegaraannya dan beralih

98Maria S.W. Sumardjono, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing Dan Badan Hukum Asing, Cetakan Kedua, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal. 6.

status menjadi Warga Negara Asing. Apabila dalam jangka waktu satu tahun namun Hak Milik atas tanah tersebut tidak dilepaskan oleh pemegang haknya, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi milik Negara.99

Ketentuan tersebut di atas dapat ditemukan pada Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut:

Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Keadaan tersebut di atas juga berlaku bagi pasangan suami-istri yang terlibat dalam Perkawinan Campuran. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam perkawinan akan terjadi percampuran harta kekayaan antara suami dan istri ke dalam harta perkawinan bersama. Semua harta benda yang diperoleh baik oleh suami maupun istri akan masuk ke dalam harta bersama. Dalam Perkawinan Campuran, Hak Milik atas tanah dari seorang Warga Negara Indonesia akan turut menjadi milik dari suami atau istrinya yang berstatus Warga Negara Asing karena masuk ke dalam harta bersama. Turut dimilikinya Hak Milik atas tanah tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu satu tahun.100

99

K. Wantjik Saleh, 1985, Hak Anda Atas Tanah, Cetakan Kelima, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25.

100Anonim, 6 Januari 2014, Menghindari Lepasnya Tanah WNA Ke Tangan Negara, www.legalakses.com, hal. 1.

Apabila seorang Warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing dalam suatu Perkawinan Campuran tidak ingin kehilangan Hak Milik atas tanahnya, pasangan suami-istri tersebut harus memisahkan Hak Milik atas tanahnya dari harta bersama perkawinan. Jalan yang dapat ditempuh oleh pasangan suami-istri tersebut adalah dengan membuat Perjanjian Perkawinan. Melalui Perjanjian Perkawinan maka dapat dihindari terjadinya percampuran harta bersama dalam perkawinan, sehingga baik suami maupun istri akan menjadi pemilik dari harta yang diperolehnya masing-masing.

Perjanjian Perkawinan tersebut dibuat dalam bentuk Akta Notaris yang kemudian disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil atau di Kantor Urusan Agama. Permasalahan kemudian muncul apabila Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Apabila Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan tersebut dibuat antara pasangan sesama Warga Negara Indonesia, maka tidak akan berdampak pada Hak Milik atas tanah yang dimiliki oleh pasangan suami-istri tersebut, karena memang hanya Warga Negara Indonesia yang diperkenankan sebagai pemegang Hak Milik atas tanah di Indonesia. Namun apabila Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil tersebut dibuat oleh pasangan yang berbeda kewarganegaraan dalam Perkawinan Campuran, maka sudah tentu akan membawa dampak hukum bagi kepemilikan Hak Milik atas tanah tersebut, karena sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Warga Negara Asing tidak boleh mempunyai Hak Milik atas tanah di Indonesia.

Hal tersebut dikarenakan secara hukum Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil mengakibatkan perkawinan yang telah dilangsungkan oleh pasangan suami-istri dianggap sebagai perkawinan dengan percampuran harta. Bagi pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran yang memiliki Perjanjian Perkawinan namun tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil, maka terjadi percampuran harta dalam perkawinannya. Pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran dianggap melangsungkan perkawinannya tanpa adanya Perjanjian Perkawinan. Dengan kata lain, harta suami-istri baik yang didapat sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung tidak berada dalam penguasaan masing-masing suami atau istri. Harta perkawinan tersebut termasuk pula Hak Milik atas tanah yang dipunyai oleh suami atau istri yang berkewarganegaraan Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Jadi dengan demikian terjadi percampuran harta antara pasangan suami-istri dalam Perkawinan Campuran tersebut. Apabila seorang suami atau istri membeli tanah Hak Milik selama perkawinan mereka berlangsung, maka Hak Milik atas tanah yang dimiliki oleh pasangan yang berkewarganegaraan Indonesia akan dengan sendirinya demi hukum juga menjadi milik atau kepunyaan dari pasangan yang berkewarganegaraan asing.

Perbuatan hukum tersebut di atas, yakni pembelian tanah yang dilakukan oleh suami atau istri berstatus Warga Negara Indonesia yang mengakibatkan suami atau istri yang berkewarganegaraan asing turut serta memiliki Hak Milik

atas tanah tersebut berlaku pula ketentuan yang diatur pada Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria beserta segala akibat hukumnya bagi Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil. Bunyi Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria sebagai berikut:

Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga Negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Pasal 26 ayat (2) tersebut di atas dapat pula diberlakukan bagi penguasaan Hak Milik atas tanah akibat Perkawinan Campuran dengan Perjanjian Perkawinan yang tidak disahkan di Kantor Catatan Sipil karena penguasaan Hak Milik atas tanah oleh Warga Negara Asing dalam Perkawinan Campuran tersebut secara tidak langsung bermaksud untuk memindahkan Hak Milik atas tanah dari Warga Negara Indonesia kepada Warga Negara Asing. Pemindahan secara tidak langsung ini terjadi disebabkan oleh terjadinya percampuran harta antara pasangan