• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

KEABSAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG TIDAK DISAHKAN DI KANTOR CATATAN SIPIL

3.1. Instrumen Pokok Keabsahan Perjanjian Perkawinan 1. Pengaturan Perjanjian Secara Umum

3.1.2. Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan

3.1.2.3. Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Perjanjian Perkawinan selain diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata, juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. KHI pada dasarnya tidak mengatur tentang percampuran harta dalam perkawinan, baik harta milik suami maupun harta milik istri akan tetap menjadi milik dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing pihak (Pasal 86 KHI). Meskipun dalam KHI tidak dikenal percampuran harta perkawinan, para pihak tetap dapat mengadakan suatu perjanjian yang mengatur tentang kedudukan harta dalam perkawinan, dan perjanjian yang dimaksud adalah Perjanjian Perkawinan. Perjanjian Perkawinan dalam KHI diatur pada Bab VII mulai dari Pasal 45 sampai dengan Pasal 52.

Pasal 45 KHI menyatakan bahwa “Kedua calon mempelai dapat mengadakan Perjanjian Perkawinan dalam bentuk:

1. Taklik-talak; dan

2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”

Ketentuan Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 45 KHI tersebut jauh berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata. Pada bagian Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa “Yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak”, dengan demikian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang taklik-talak dalam Perjanjian Perkawinan. Sementara itu, dalam KUHPerdata tidak

diatur mengenai talak bahkan KUHPerdata tidak mengenal istilah taklik-talak itu sendiri.

Pasal 47 KHI mengatur tentang percampuran harta bersama yang didapat pasangan suami-istri selama perkawinan, sebagai berikut:

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat. Uraian Pasal 47 KHI tersebut di atas berarti bahwa Perjanjian Perkawinan dalam KHI tidak hanya sebatas harta suami-istri yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, melainkan pula mencakup harta bawaan dari masing-masing pihak, baik suami maupun istri. Perjanjian Perkawinan tentang harta bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh calon mempelai dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dengan tujuan untuk mempersatukan dan atau memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing pihak selama berlangsungnya perkawinan.60

Pada uraian sebelumnya sudah disebutkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan KHI yaitu terkait dengan pengaturan taklik-talak. Namun, masih terdapat

60H. A. Damanhuri H. R., 2012, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cetakan Kedua, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 11.

beberapa perbedaan antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dengan KHI, antara lain:

a. Dilihat dari segi jenis atau macam Perjanjian Perkawinan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai jenis atau macam Perjanjian Perkawinan yang dapat dibuat oleh para pihak, sedangkan dalam KHI terdapat pengaturan mengenai jenis atau macam Perjanjian Perkawinan yang dapat dibuat oleh para pihak, yaitu Perjanjian Perkawinan percampuran harta pribadi dan Perjanjian Perkawinan pemisahan harta pencaharian masing-masing pihak;

b. Dilihat dari segi isi Perjanjian Perkawinan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai isi dari Perjanjian Perkawinan, sedangkan dalam KHI diatur mengenai isi Perjanjian Perkawinan, yakni selain berisi mengenai percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing, para pihak juga dapat memuat isi mengenai kewenangan masing-masing pihak untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat;

c. Dilihat dari segi akibat hukum Perjanjian Perkawinan

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, akibat hukum dilanggarnya Perjanjian Perkawinan oleh satu pihak tidak dapat menjadi alasan perceraian, sedangkan dalam KHI pelanggaran atas Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak dapat dijadikan dasar

oleh istri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alas an gugatan perceraian di Pengadilan Agama.

Berdasarkan uraian mengenai ketentuan Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam KHI, maka dapat disimpulkan bahwa syarat sahnya Perjanjian Perkawinan menurut KHI sebagai berikut:

a. Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan;

b. Perjanjian Perkawinan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam;

c. Perjanjian Perkawinan dibuat berdasarkan kehendak para pihak; d. Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis;

e. Perjanjian Perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. 3.2. Kualifikasi Perjanjian Perkawinan Yang Tidak Disahkan

Pada pembahasan di atas telah diuraikan mengenai pengaturan Perjanjian

Perkawinan dalam ketentuan-ketentuan hukum yang ada di Indonesia beserta dengan keabsahan Perjanjian Perkawinan yang diatur sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum tersebut. Apabila dilihat dalam masing-masing ketentuan-ketentuan tersebut, baik dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, terdapat persamaan maupun perbedaan mengenai pengaturan keabsahan Perjanjian Perkawinan. Persamaan dan perbedaan tersebut akan dituangkan dalam bentuk tabel di bawah ini:

Tabel 1: Perbedaan keabsahan Perjanjian Perkawinan

No. KUHPerdata Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 KHI 1. Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian Perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.

Perjanjian

Perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.

2. Perjanjian Perkawinan harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris.

Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis.

Perjanjian

Perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis.

3. Perjanjian Perkawinan tidak memerlukan pengesahan oleh Pegawai pencatat perkawinan. Perjanjian Perkawinan perlu disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan (Kantor Catatan Sipil). Perjanjian Perkawinan perlu disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Kantor Urusan Agama).

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pengaturan yang terdapat pada KUHPerdata memiliki perbedaan yang mendasar dengan pengaturan yang terdapat pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan KHI, Perjanjian Perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian Perkawinan pada KUHPerdata harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris, sedangkan pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Akta Notaris memang dibuat dalam bentuk tertulis, namun baik Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun KHI tidak menjelaskan lebih lanjut perjanjian tertulis yang dimaksud berupa Akta Notaris atau dapat berupa perjanjian dibawah tangan. Menurut KUHPerdata, Perjanjian Perkawinan tidak perlu disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, sedangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, Perjanjian Perkawinan memerlukan pengesahan dari Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan Agama. Mengenai pengesahan ini, dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai sifat pengesahan yang dimaksud, apakah pengesahan tersebut diperlukan untuk membuat Perjanjian Perkawinan yang sebelumnya belum sah menjadi sah atau hanya bersifat publisitas semata sehingga pihak ketiga atau pihak lain mengetahui keberadaan Perjanjian Perkawinan yang dibuat para pihak.

Selain terdapat perbedaaan keabsahan Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, terdapat pula beberapa persamaan. Persamaan keabsahan Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2: Persamaan keabsahan Perjanjian Perkawinan

No. KUHPerdata

Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 KHI

1. Perjanjian Perkawinan tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum.

Tidak boleh

bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.

Perjanjian

Perkawinan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.

2. Perjanjian Perkawinan dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak.

Perjanjian Perkawinan dibuat atas persetujuan bersama.

Perjanjian

Perkawinan dibuat berdasarkan

kehendak para pihak.

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat 2 (dua) persamaan ketentuan yang mengatur keabsahan Perjanjian Perkawinan dalam KUHPerdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Ketiga peraturan hukum tersebut masing-masing menghendaki agar isi dari Perjanjian Perkawinan yang dibuat para pihak tidak bertentangan dengan tata susila yang baik, hukum dan agama. Ketentuan mengenai hukum dan agama tentunya disesuaikan dengan hukum dan agama yang dianut oleh masing-masing pihak. Persamaan paling utama pada ketiga peraturan hukum tersebut adalah Perjanjian Perkawinan harus dibuat berdasarkan persetujuan para pihak. Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa kehendak para pihak merupakan hal pokok

dalam membuat suatu perjanjian, karena dari kehendak tersebut akan timbul persetujuan atau kesepakatan dari masing-masing pihak yang nantinya akan dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian tertulis, dalam hal ini Perjanjian Perkawinan. Apabila suatu Perjanjian Perkawinan tidak didasarkan atas kehendak serta kesepakatan para pihak, maka Perjanjian Perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Perjanjian Perkawinan sebagai salah satu bentuk perjanjian dalam ranah hukum keluarga memiliki karakteristik yang berbeda dengan bentuk perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata. Namun, sebagai suatu perjanjian prinsip utama yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata tetap berlaku pada Perjanjian Perkawinan. Hal ini dikarenakan Perjanjian Perkawinan pada dasarnya merupakan suatu perjanjian yang dalam pembuatannya harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut. Sehingga keabsahannya pun dapat ditentukan melalui pemenuhan syarat sahnya perjanjan. Syarat-syarat sahnya perjanjian antara lain:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan yang dimaksud adalah adanya persesuaian kehendak antara para pihak dalam membuat suatu perjanjian. Para pihak dalam membuat Perjanjian Perkawinan mempunyai kehendak yang bebas untuk menuangkan maksud serta keinginan yang akan dituangkan dalam Perjanjian Perkawinan tersebut. Kehendak bebas yang dimiliki para pihak bukan berarti kebebasan yang tidak bertanggung jawab, melainkan bebas

di sini berarti kehendak tersebut tidak ada unsur paksaan, penipuan atau kekhilafan dalam mengadakan suatu perjanjian.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan adalah kemampuan yang bagi seseorang yang menurut hukum telah dianggap layak untuk melakukan suatu perbuatan hukum (dalam hal ini perbuatan hukum yang dimaksud adalah membuat suatu perjanjian). Para pihak dapat melakukan suatu perbuatan hukum sebagai bagian dari hak atau kewenangan yang melekat pada dirinya karena telah dinyatakan cakap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Suatu hal tertentu

Perjanjian yang dibuat harus memuat hal-hal tertentu dan dituangkan secara jelas sehingga tidak mengakibatkan perjanjian tersebut salah satu pihak memohon pembatalan perjanjian di Pengadilan Negeri. Para pihak dalam membuat Perjanjian Perkawinan harus memperhatikan hal-hal apa saja yang dapat dituangkan ke dalam Perjanjian Perkawinan tersebut sehingga nantinya Perjanjian Perkawinan tersebut dapat memberikan perlindungan bagi para pihak terkait dalam Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat.

d. Suatu sebab yang halal

Perjanjian tidak hanya harus memuat hal-hal yang jelas sebagai objek perjanjian melainkan perjanjian itu harus terjadi karena disebabkan oleh hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan

dan ketertiban umum. Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak haruslah dibuat didasarkan oleh alasan-alasan yang tepat dan tidak menyimpang dari aturan hukum maupun norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Pasal 1320 KUHPerdata merupakan salah satu pasal yang sangat populer dalam merancang suatu perjanjian karena menerangkan tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat perjanjian (syarat subyektif) maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri (isi perjanjian) atau yang biasa disebut dengan syarat obyektif.61 Syarat subyektif dalam perjanjian adalah kata sepakat dan kecakapan dalam membuat perjanjian, sementara syarat obyektif adalah adanya hal tertentu dan sebab yang halal. Apabila syarat subyektif tidak dapat dipenuhi maka perjanjian tersebut akan menjadi batal demi hukum, namun apabila syarat obyektif tidak terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dapat dimohonkan suatu pembatalan di Pengadilan Negeri atau dengan kata lain perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Syarat sahnya Perjanjian Perkawinan didasarkan pada ketentuan-ketentuan perundang-undangan baik yang secara khusus mengatur mengenai Perjanjian Perkawinan maupun syarat sahnya perjanjian secara umum, maka syarat sahnya Perjanjian Perkawinan secara keseluruhan dapat digolongkan menjadi 3 (tiga), yaitu:62

61

Ahmad Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Cetakan ketiga, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 67.

62

a. Syarat subyektif

Syarat subyektif menyangkut para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan yang berkaitan erat dengan kecakapan bertindak para pihak. Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa:

Tak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan, dlam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Orang yang tidak cakap adalah orang yang menurut hukum belum dewasa. Orang yang cakap membuat perjanjian adalah orang yang berumur 21 tahun, maka para pihak yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan harus berumur 21 tahun. Namun dalam Perjanjian Perkawinan ditentukan pengecualian bagi para pihak yang hendak membuat Perjanjian Perkawinan, yakni: pertama, bagi para pihak yang belum dewasa sehingga dianggap belum cakap membuat Perjanjian Perkawinan dapat membuat Perjanjian Perkawinan asalkan pihak yang bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Kedua, dalam membuat Perjanjian Perkawinan para pihak dibantu oleh orang tua atau wali yang memberikan ijin bagi para pihak untuk melangsungkan perkawinan.

Ketiga, apabila karena alasan tertentu perkawinan dilangsungkan dengan ijin

hakim, maka naskah Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak harus mendapat persetujuan dari pengadilan terlebih dahulu sebelum ditandatangani oleh para pihak.

Para pihak masih tetap dapat membuat Perjanjian Perkawinan meskipun umur mereka belum memenuhi ketentuan kecakapan menurut undang-undang

untuk membuat suatu perjanjian dengan bantuan dari orang lain yang turut hadir dan turut menandatangani akta Perjanjian Perkawinan atau dengan mendapat ijin tertulis yang berisi pernyataan persetujuan atas isi Perjanjian Perkawinan yang dibuat.63

b. Syarat formil dan cara pembuatan Perjanjian Perkawinan

Syarat ini mengatur mengenai bentuk dan tata cara pembuatan Perjanjian Perkawinan. Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa terdapat perbedaan pengaturan mengenai bentuk Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 147 KUHPerdata dengan bentuk Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 47 KHI. Pada Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bentuk Perjanjian Perkawinan belum diatur secara tegas dan hanya disebutkan dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Hal ini dapat diartikan bahwa Perjanjian Perkawinan dapat dibuat dalam bentuk Akta Notaris (Akta Otentik) atau cukup dengan akta di bawah tangan saja. Banyak masyarakat dan prakisi-praktisi hukum dalam membuat Perjanjian Perkawinan masih mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata yang disebabkan pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih sangat terbatas.64 Oleh karena itu, sebagian besar Perjanjian Perkawinan dibuat dalam bentuk Akta Notaris. Pada Pasal 1868 KUHPerdata disebutkan bahwa “suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

63J. Satrio, 1991, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 152.

64

dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Akta menurut Veegens-Oppenheim-Polak Dl. III 1934 hlm. 459 adalah “suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk dipergunakan sebagai bukti”.65 Akta Notaris dikatakan sebagai akta otentik karena memenuhi unsur-unsur yang ada pada Pasal 1868 KUHPerdata. Pembuatan Perjanjian Perkawinan dilakukan dihadapan seorang Notaris. Notaris akan merangkum keinginan para pihak ke dalam suatu draft Perjanjian Perkawinan sesuai dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku, kemudian akan ditandatangani oleh para pihak setelah mereka setuju tentang isi Perjanjian Perkawinan tersebut. Perjanjian Perkawinan yang telah ditandatangani oleh para pihak dan Notaris selanjutnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kemudian Pegawai pencatat perkawinan akan membubuhkan stempel tanda bukti pendaftaran pada Perjanjian Perkawinan tersebut.

Tujuan dibuatnya Perjanjian Perkawinan dalam bentuk Akta Notaris, yaitu: pertama, Perjanjian Perkawinan dapat menjadi alat pembuktian dengan kekuatan yang sempurna apabila terjadi sengketa. Alat bukti adalah alat untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh penggugat

65Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, hal. 441.

maupun oleh tergugat dalam perkara perdata.66 Pasal 1866 KUHPerdata menyebutkan beberapa jenis alat bukti, yaitu:

1. Bukti tulisan;

2. Bukti dengan saksi-saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan;

5. Sumpah.

Kekuatan pembuktian sempurna adalah kekuatan yang memberi kepastian yang cukup kepada hakim, kecuali kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga hakim akan memberi akibat hukumnya. Pada kekuatan pembuktian sempurna alat bukti sudah tidak perlu dilengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan pembuktian lawan.67 Kedua, Perjanjian Perkawinan yang dibuat dalam bentuk Akta Notaris akan memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban para pihak sebagai pasangan suami-istri terhadap harta benda mereka.

c. Syarat materiil Perjanjian Perkawinan

Syarat ini berkaitan dengan isi dari Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak. Perjanjian Perkawinan dibuat untuk melakukan penyimpangan ketentuan harta perkawinan yang diatur dalam undang-undang. Suatu perkawinan tanpa Perjanjian Perkawinan, maka akan terjadi persatuan harta secara bulat dalam perkawinan. Artinya, harta bawaan milik suami-istri sebelum perkawinan berlangsung masuk ke dalam harta perkawinan tanpa ada pemisahan terhadap harta pribadi masing-masing. Para pihak diperkenankan membuat penyimpangan

66Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 73.

67

ketentuan percampuran harta perkawinan selama isi dari Perjanjian Perkawinan tersebut tidak bertentangan dengan larangan-larangan maupun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Sepanjang isi Perjanjian Perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam undang-undang, maka Perjanjian Perkawinan tersebut akan dianggap sah.

Perjanjian Perkawinan secara formil serupa dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, sedang perbedaannya adalah mengenai isi atau obyek dari perjanjian itu sendiri. Perbedaan utama adalah bahwa Perjanjian Perkawinan disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan/Nikah.68 Pengaturan mengenai pengesahan Perjanjian Perkawinan oleh Pegawai pencatat perkawinan terdapat pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pencatat perkawinan hanya dilakukan oleh 2 (dua) instansi, yaitu:

a. Pegawai pencatat nikah, talak dan rujuk pada Kantor Urusan Agama (KUA);

b. Pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak yang beragama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh para pihak yang beragama selain Islam dilakukan di Kantor Catatan Sipil.

Setiap peristiwa penting yang terjadi dalam keluarga seperti kelahiran, kematian, perkawinan, pengakuan/pengesahan anak dan perceraian sangat perlu untuk didaftarkan di Kantor Catatan Sipil, oleh karena Catatan Sipil yang

68

berwenang dan bertugas untuk memberikan kepastian serta membuat catatan selengkap-lengkapnya atas peristiwa-peristiwa tersebut di atas dan kemudian membukukannya. Catatan Sipil adalah suatu lembaga yang sengaja diadakan oleh pemerintah yang bertugas untuk mencatat, mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin tiap peristiwa penting bagi status keperdataan seseorang, misalnya perkawinan, kelahiran, pengakuan/pengesahan anak, perceraian dan kematian, serta ganti nama.69

Pengesahan Perjanjian Perkawinan yang dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil memang menjadi salah satu syarat yang perlu dipenuhi para pihak yang membuat Perjanjian Perkawinan. Namun terdapat ketidakjelasan mengenai makna dari kata disahkan pada Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena tidak terdapat penjelasan lebih lanjut baik pada bagian Penjelasan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun pada Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan apakah pengesahan yang dimaksud untuk mengesahkan Perjanjian Perkawinan yang sebelumnya belum sah menjadi sah atau untuk publikasi terhadap pihak ketiga atau pihak lain tentang eksistensi Perjanjian Perkawinan tersebut. Pengaturan Perjanjian Perkawinan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta peraturan pelaksananya dianggap kurang lengkap sehingga menimbulkan mulitafsir terhadap substansi peraturan hukum itu sendiri.

69Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1996, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 11 dan 13.

Masyarakat awam yang tidak memahami mengenai istilah-istilah yang berkaitan dengan hukum akan menganggap bahwa pengesahan yang dilakukan oleh Pegawai pencatat perkawinan di Kantor Catatan Sipil diperlukan untuk membuat Perjanjian Perkawinan mereka yang belum sah menjadi sah, padahal sepanjang isi