• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Perkawinan

Pelaksanaan mengenai hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistik, artinya di Indonesia masih berlaku beberapa hukum perkawinan yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia antara lain:

a. Hukum perkawinan menurut Hukum Perdata Barat (BW) yang diperuntukan bagi WNI keturunan asing atau yang beragama Kristen;

b. Hukum perkawinan menurut Hukum Islam yang diperuntukan bagi WNI keturunan atau pribumi yang beragama islam;

c. Hukum perkawinan menurut Hukum Adat yang diperuntukan bagi masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.26

Perkawinan menurut Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah hubungan keperdataan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam hidup bersama sebagai suami istri.27 Ketentuan mengenai perkawinan diatur mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 102 KUHPerdata. Pada ketentuan umum yang hanya tercantum dalam Pasal 26 KUHPerdata disebutkan bahwa, “Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”. Bunyi pasal tersebut mengandung arti bahwa perkawinan dalam KUHPerdata hanya

26

Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut dengan Titik Triwulan Tutik II), hal. 97.

27J.B. Daliyo, 1995, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan ke – 2, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 111.

semata-mata memandang suatu perkawinan sebagai hubungan perdata sehingga perkawinan yang dilangsungkan akan sah apabila telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam KUHPerdata, dan dengan demikian mengesampingkan segala persyaratan dan peraturan yang diatur dalam hukum agama.28

Perkawinan atau kawin dalam bahasa arab berasal dari kata

nikah-nikaahun, yang apabila diterjemahkan dapat berarti kumpul, yaitu berkumpulnya

dua manusia berlainan jenis antara laki-laki dan perempuan. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kata nikah mengandung makna yang lebih luas adalah suatu akad atau perjanjian yang sangat sakral (mitsaaqon gholidhan) antara laki-laki dan perempuan dengan maksud hidup bersama dalam satu rumah tangga mentaati perintah Allah.29 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 2 mengatur pula mengenai pengertian perkawinan, yakni “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Apabila melihat pengaturan mengenai perkawinan di dalam Hukum Islam, perkawinan dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut:30

a. Perkawinan dipandang sebagai sesuatu yang sakral karena dalam memulai suatu perkawinan akan diawali dengan adanya perjanjian khusus yang melibatkan Allah;

28Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 107. 29

Solahudin Pugung, 2011, Mendapatkan Hak Asuh Anak Dan Harta Bersama Di Pengadilan Agama, Cetakan ke – 1, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta, hal. 5.

30M. Karsayuda, 2006, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, Total Media, Yogayakarta, hal. 67.

b. Melalui perkawinan, segala bentuk hubungan dengan lawan jenis yang semula diharamkan akan menjadi halal;

c. Perkawinan memiliki ruang lingkup pskologis yang berarti pasangan suami-istri yang sebelumnya orang lain akan menjadi satu keluarga yang saling menyayangi, mengenal dan mengerti satu lain sehingga tercipta kehidupan kelarga yang harmonis;

d. Perkawinan memiliki dimensi sosiologis yang berarti melalui hubungan perkawinan baik suami maupun istri akan memiliki status yang baru dan dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh.

Hukum Islam mendeskripsikan perkawinan sebagai suatu ikatan yang suci dan sakral melalui janji kokoh yang dibuat oleh pasangan suami-istri kepada Allah. Olah karena itu suatu perkawinan tidak akan berlangsung tanpa dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum Islam maupun peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan di Indonesia.

Permasalahan terkait dengan perkawinan diatur juga dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengertian perkawinan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila ditelaah berdasarkan bunyi pasal tersebut, terdapat 2 (dua) aspek dalam sebuah perkawinan, yaitu:

a. Aspek formil

Aspek formil dalam perkawinan dapat ditemukan pada kalimat “ikatan lahir batin” yang berarti bahwa selain mempunyai ikatan lahir batin, perkawinan juga mempunyai ikatan secara bathin yang dirasakan oleh pasangan suami-istri dan ikatan ini merupakan inti dari perkawinan itu sendiri.

b. Aspek sosial keagamaan

Kalimat “membentuk keluarga” dan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung arti bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.31

Perkawinan selain diatur dalam peraturan perundang-undangan (hukum positif), diatur pula dalam hukum adat. Perkawinan dalam hukum adat dipandang sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat. Perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (suami-istri), tetapi juga orang tua, saudara-saudara dan keluarga kedua belah pihak.32

Perkawinan itu sendiri mengandung makna yang berbeda-beda antara hukum adat di satu daerah dengan daerah lainnya. Hukum Adat Bali memaknai perkawinan sebagai suatu ikatan yang tidak hanya semata-mata menyangkut ikatan yang bersifat lahiriah, melainkan pula ikatan yang bersifat rohaniah.

31

Titik Triwulan Tutik I, op.cit, hal. 110.

32

Perkawinan tidak hanya menyangkut hubungan keperdataan yang dapat diselesaikan di Kantor Catatan Sipil, melainkan pula merupakan urusan keagamaan yang melibatkan betara betari (roh leluhur) yang bersemayam di

sanggah atau merajan.33

Tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adatnya. Namun karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan, maka penekanan dari tujuan perkawinan pun disesuaikan dengan sistem kekeluargaannya. Misalnya, pada masyarakat adat patrilineal, perkawinan mempunyai tujuan untuk mempertahankan garis keturunan bapak. Sebaliknya pada masyarakat matrilineal, perkawinan mempunyai tujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu.34

Seiring dengan perkembangan jaman, dewasa ini semakin marak terjadi fenomena perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia dengan seorang Warga Negara Asing atau yang sering dikenal dengan istilah Perkawinan Campuran. Perkawinan Campuran dalam beberapa aspek telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yakni mulai dari Pasal 57 sampai dengan Pasal 62. Pengertian Perkawinan Campuran dapat dijumpai pada Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai berikut:

33Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 84.

34

Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 64.

Yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 58 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan:

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan Perkawinan Campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan yang diatur pada kedua pasal tersebut, dapat diketahui bahwa Perkawinan Campuran yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah perkawinan antara dua orang yang memiliki status kewarganegaraan berbeda, dimana salah satu pihak haruslah seorang Warga Negara Indonesia dan pihak lainnya adalah Warga Negara Asing. Perkawinan Campuran tersebut dapat mengakibatkan salah satu pihak baik suami maupun istri mendapatkan kewarganegaraan dari Negara asal suami ataupun istri apabila hukum Negara asal suami ataupun istri tersebut menghendaki demikian. Selain itu, Perkawinan Campuran juga dapat mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan suami atau istri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan Indonesia.