• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT

6 Akibat Tidak Dilaksanakannya Prinsip Kehati-hatian

Pemberitaan yang gencar dari berbagai media massa terkait dengan terkuaknya kasus dugaan kredit macet / kredit bermasalah di bank-bank milik pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menyudutkan posisi bank BUMN dan para bankirnya pada situasi yang sulit. Apalagi dengan ditahannya beberapa mantan direksi bank BUMN oleh aparat penegak hukum. Bagi Bank BNI dan Bank Mandiri, adanya berita kredit bermasalah tentu telah menimbulkan implikasi kurang baik bagi keduanya. Beberapa debitur berkualitas bagus mulai pindah ke bank lain. Disinyalir debitur yang pindah khawatir jangan-jangan kredit mereka hanya menunggu giliran untuk diungkap di media massa oleh pemeriksa59 Begitu gencarnya pemberitaan yang kurang menguntungkan bagi kedua bank sampai- sampai tidak memikirkan pengembangan bisnis karena waktunya tersita habis untuk urusan kredit macet dengan pihak pemeriksa. Berbagai solusi penyelesaian kredit bermasalah telah dicoba. Salah satu upayanya adalah dengan menyerahkan penagihan kredit macet ke Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN), dan menjual agunan kredit secara lelang.60 Hasil penagihan dan penjualan lelang agunan akan menjadi hak bank dan sebagian menjadi hak DJPLN sebagai imbalan jasa penagihan.

Pemberitaan itu tersebut di atas secara langsung telah menurunkan citra dan kredibilitas bank BUMN di mata publik juga di mata dunia perbankan internasional

58

Ibid.

59

Kompas, edisi Selasa 14 Maret 2006.

60

karena sebagian bank BUMN memiliki jaringan di luar negeri. Selain itu anjloknya citra bank BUMN telah meningkatkan tingkat risiko reputasi pada bank-bank tersebut. Akibat lainnya adalah muncul kekhawatiran bank BUMN dalam melakukan pembiayaan ke sektor riil dan muncul pula kekhawatiran di sebagian kalangan pelaku usaha untuk berhubungan dengan bank BUMN, karena mereka harus segera melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan citra dan kredibilitas di mata masyarakat melalui serangkaian kegiatan public relation dan mereka juga harus mengembalikan kepercayaan dan dukungan masyarakat dalam dan luar negeri serta memunculkan kepercayaan diri agar muncul keberanian dalam melakukan penyaluran kredit, karena semenjak terkuaknya kasus kredit macet, tidak sedikit proposal kredit yang ditolak bank BUMN. Jika tidak ditangani dengan baik, maka kredit bermasalah merupakan sumber kerugian yang sangat potensial bagi bank. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan, karena akibat dari kredit bermasalah adalah menjadi biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank.

Usaha-usaha ini harus dilakukan oleh bank BUMN agar nasabahnya tetap setia dan tidak pindah ke bank non BUMN karena nasabah ketakutan kredit mereka tiba-tiba macet kemudian diproses secara hukum sehingga kredibilitas mereka turun di mata masyarakat dan sesama pelaku usaha. Kekhawatiran bank BUMN dan nasabah bank BUMN tersebut dilandasi pemikiran bahwa jika kredit bermasalah, maka akan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena telah terjadi kerugian negara. Dalam hal munculnya kasus kredit macet di bank BUMN berpotensi adanya unsur pidananya, makanya hal ini memberatkan bank BUMN, bankir dan juga

debitur. Penahanan terhadap bankir bank BUMN seolah-olah memposisikan bankir- bankir tersebut seperti pejabat negara, yang mengelola keuangan dan bukan sebagai eksekutif dan profesional murni yang bertugas di bidang perbankan karena pertanggungjawaban dilakukan melalui pendekatan hukum. Padahal setiap kredit tentu mengandung risiko, sama halnya dengan bisnis pada umumnya. Itulah sebabnya setiap kredit harus diberi cadangan. Sepanjang cadangan cukup, persoalan kredit macet tidak akan membahayakan bank. Namun jika ada unsur korupsi secara pribadi, sudah selayaknya hukum yang berbicara.61

Setiap kredit macet (bad debt) merupakan kredit bermasalah (non performing

loan), tetapi setiap kredit bermasalah belum tentu kredit macet, karena mungkin saja

kredit tersebut bermasalah, tetapi sama sekali belum macet.62 Pada saat terjadi kredit bermasalah, kerugian itu mungkin baru pada taraf potensi, belum tentu menjadi realitas. Bank dapat melakukan restrukturisasi dalam rangka menyehatkan kredit tersebut agar menjadi lancar kembali.

Secara umum, kredit bermasalah adalah kredit yang dapat menimbulkan persoalan, bukan hanya terhadap bank selaku lembaga pemberi kredit, tetapi juga terhadap nasabah penerima kredit, karena itu bagaimanapun juga kredit ini harus diselesaikan dengan berbagai cara. Jika kredit tersebut menjadi macet, maka secara tidak langsung juga akan merugikan masyarakat pemilik dana.

61

InfoBank Nomor 317, Agustus 2005.

62

H.A.S. Mahmoeddin, Melacak Kredit Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hlm. 5.

Kredit bermasalah bagaimanapun juga akan berdampak negatif baik secara mikro (bagi bank itu sendiri dan nasabah) maupun secara makro (sistem perbankan dan perekonomian negara). Terhadap bank, kredit bermasalah akan mengancam bank menjadi tidak likuid. Jika bank tidak likuid maka dapat mengurangi kepercayaan kepada pemilik dana, selain itu solvabilitas bank juga akan berkurang dan juga mengganggu kesehatan bank. Terhadap sistem perbankan dapat merusak kredibilitas bank nasional di mata dunia internasional, yang pada gilirannya merusak sistem keuangan nasional dimata perdagangan internasional, yang pada akhirnya juga menghambat kelancaran perkembangan ekonomi.63

Kata ”masalah” berarti adanya suatu kesulitan yang memerlukan pemecahan, atau suatu kendala yang mengganggu pencapaian tujuan atau kinerja optimal. Masalah itu dapat juga merupakan suatu penyimpangan atau ketidakserasian antara keharusan dan kenyataan. Inti dari rumusan masalah yang harus memperoleh jawaban adalah memperbaiki kesalahan jika memang ada yang dijumpai dan menghilangkan kendala bila memang ada kendala yang ditemukan.64

Kredit bermasalah adalah salah satu dari lima masalah besar yang dihadapi perbankan nasional. Masalah-masalah yang lain adalah:

1. Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. 2. Kelangkaan sumber daya manusia.

3. Pembobolan bank oleh pelaku kejahatan perbankan.

63

Ibid.

64

4. Perang tarif antar bank yang menimbulkan persaingan tidak sehat.65

Munir Fuady berpendapat bahwa sebelum dilakukan upaya-upaya hukum lainnya dalam hal penagihan kredit macet, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu apa yang disebut restrukturisasi, reconditioning atau rescheduling terhadap kredit yang bermasalah. Bahkan bila mungkin bank lebih aktif, misalnya ikut memiliki saham, membenahi manajemen atau merestrukturisasi bisnis atau perusahaan debitur. Usaha merstrukturisasi hutang dengan atau tanpa restrukturisasi perusahaan / bisnis apabila mungkin, akan jauh lebih baik ketimbang upaya hukum lain, seperti penyitaan asset / jaminan atau beracara ke pengadilan. Sebab hal tersebut dapat menjaga reputasi bank dan debitur, disamping memberi kesempatan kepada debitur untuk tetap menjalankan bisnisnya dengan guidance secukupnya sehingga diharapkan kreditnya akan terbayar kelak. Untuk melaksanakan hal tersebut, jika tenaga domestik tidak memadai, bank dapat meminta bantuan konsultan internasional. Apabila upaya ini masih tidak mungkin untuk dijalankan, atau setelah dijalankan masih tidak berhasil baru ditempuh langlah-langkah lain. Yang harus diingat bahwa bank tidak dibenarkan terlibat langsung dalam manajemen perusahaan debitur.66

65

Ibid.

66

B. Pengaturan Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Penyaluran Kredit Kepada UMKM Di PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk.

Setiap tahapan proses pemberian kredit, harus senantiasa dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian tersebut tercermin dalam kebijakan pokok perkreditan, tata cara penilaian kualitas, profesionalisme dan integritas pejabat perkreditan bisnis mikro.67

Dokumen terkait