• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PRAKTEK LEGALISASI OLEH NOTARIS

C. Akta Sebagai alat Bukti

e. Surat.

Apabila dibandingkan dengan pendapat Pitlo dan Sudikno Mertokusumo, Marjenne tidak memberi pengertian tentang akte, melainkan memberi terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Hal ini berbeda dengan pendapat dari Algra dan lainnya,

Menurut R. Subekti, kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa Latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan.49 Selain pengertian akta sebagai surat memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan.

Pasal 108 KUH Perdata menyebutkan “Seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak boleh ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin tertulis dari suaminya”. Menurut R. Subekti menyatakan kata “akta” pada Pasal 108 KUH Perdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Perancis yaitu

48 Marjenne Ter, Mar Shui Zen, Kamus Hukum Belanda, Belanda-Indonesia, Djambatan,

Jakarta, 1999, hal 19.

acte” yang artinya adalah perbuatan.50 Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.

Ada dua unsur yang harus di penuhi agar suatu tulisan memperoleh kualifikasi sebagai akta yakni51:

1. Tulisan itu harus ditandatangani; dan

2. Tulisan itu diperbuat dengan tujuan untuk dipergunakan menjadi alat bukti. Dalam hukum kenotariatan di tinjau dari segi pembuatanya, dikenal 2 (dua) macam jenis akta yaitu akta otentik dan akta dibawah-tangan. Akta otentik dibagi dalam 2 (dua) macam yaitu akta pejabat(ambetelijk acte)dan akta para pihak (partij acte). Diatas telah diterangkan bahwa wewenang serta pekerjaan pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik, baik yang dibuat dihadapan(partij acten)maupun oleh Notaris (relaas acten) apabila orang mengatakan akta otentik, maka pada umumnya yang dimaksudkan tersebut tidak lain adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.

Menurut Kohar akta otentik adalah akta yang mempunyai kepastian tanggal dan kepastian orangnya, sedangkan Pasal 1868 KUH Perdata menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana

50R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,PT. Internusa, Jakarta, 2006, hal 29.

51 M.U. Sembiring, Teknik Pembuatan Akta, (Program Pendidikan Spesialis Notaris,

akta dibuat.52 Pasal 1874 KUHPerd, menyebutkan Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani dibawah-tangan, surat daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Ketentuan lain mengenai surat dibawah tangan juga disebutkan didalam KUH Perdata 1878 tentang perikatan utang sepihak dibawah-tangan dan pasal 932 tentang wasiat olografis,

Berdasarkan pihak yang membuatnya, untuk akta otentik dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :

a) Akta para pihak(partij akte)

Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang berisi keterangan yang dikehendaki oleh para pihak untuk dimuatkan dalam akta bersangkutan. Termasuk kedalam akta ini minsalnya ; akta jual beli, akta perjanjian pinjam pakai, akta perjanjian kridit, akta perjanjian sewa menyewa, dan lain-lain. jadi

partij akteadalah :

1. Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan 2. Berisi keterangan para pihak.

b) Akta Pejabat(Ambtelijk Akte atau Relaas Akte)

Akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat berwenang, tentang apa yang dia lihat dan saksikan dihadapannya. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Yang termasuk kedalam

akta diantaranya; Berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas; Berita acara lelang; Berita acara penarikan undian; Berita acara rapat direksi perseroan terbatas; Akta kelahiran, Akta kematian, Kartu tanda penduduk, Surat izin mengemudi; Ijazah; Daftar inventaris harta peninggalan dan lain-lain. Jadi

Ambetelijk AkteatauRelaas Aktemerupakan : 1. Inisiatif ada pada pejabat;

2. Berisi keterangan tertulis dari pejabat(ambetenaar)pembuat akta.

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa, perbedaan antara akta otentik dengan akta dibawah-tangan adalah :

1. Akta Otentik dibuat dengan bantuan Notaris atau pejabat umum yang berwenang untuk itu dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang. 2. Akta dibawah tangan dibuat oleh para pihak yang berkepentingan untuk itu

tanpa campur tangan dari Notaris atau Pejabat umum. Sehingga bentuknyapun bervariasi (berbeda-beda).

Akta Otentik baik yang dibuat oleh Notaris maupun Akta yang dibuat Oleh Pejabat lainnya dapat dipersamakan dengan akta dibawah-tangan, apabila ketentuan- ketentuan yang menjadi syarat untuk dinyatakan sebagai akta otentik tidak terpenuhi didalam proses pembuatanya. Sebagaimana yang disebutkan didalam ketentuan pasal 1869 KUHPerd. “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenangnya atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di

bawah-tangan bila ditandatangani oleh para pihak”. Tindakan-tindakan tertentu akibat kelalaian notaris dapat pula mengakibatkan kekuatan akta otentik yang dibuatnya sama sebagaimana yang dimiliki oleh akta dibawah-tangan. Hal ini dinyatakan tegas didalam ketentuan pasal 41 UUJN berikut ini. “Apabila ketentuan dalam Pasal 39 dan Pasal 40 tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan”.

Pasal 39 UUJN menyatakan :

1. Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belaas tahun) b. Cakap melakukan perbuatan hukum

2. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

3. Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalamakta.

Pasal 40 UUJN menyatakan :

1. Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain 2. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;b.cakap melakukan perbuatan hukum;

b. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; c. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan

3. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.

4. Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris u atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.

5. Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.

Akta yang dibuat dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa) yaitu, suatu akta harus dibuat untuk lengkap atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum. Tetapi dapat juga berfungsi sebagai alat bukti. Fungsi formil suatu akta diperlihatkan pada pasal-pasal berikut : Ketentuan Pasal 1610 KUH Perdata tentang perlunya persetujuan tertulis dari pemilik bangunan, bila pemborong atau arsitek ingin merubah volume pekerjaan; Pasal 1767 KUH Perdata tentang perjanjian utang piutang dengan bunga, dimana besarnya bunga yang ditetapkan dalam perjanjian itu harus dinyatakan secara tertulis. dan Pasal 1851 KUH Perdata tentang persetujuan damai dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang untuk mengakhiri suatu perkara. Dalam hal ini persetujuan-persetujuan itu dapat di buat kedalam bentuk dibawah-tangan. Sedangkan pembuatan akta otentik diisyaratkan pada Pasal 1945 KUH Perdata tentang kuasa untuk melakukan sumpah oleh Hakim yang memeriksa perkara kepada orang lain; Pasal 938 KUHPerdata tentang Wasiat dengan akta umum ; Kemudian Pasal 1868 mengisyaratkan tentang akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atau oleh notaris berdasarkan apa yang dia lihat dan saksikan yaitu : Akta risalah lelang; Inventarisasi harta peninggalan; Berita acara penarikan undian; Berita acara rapat direksi pada perseroan terbatas; Berita acara rapat pemegang saham perseroan terbatas dan lain-lain.

B. Legalisasi Akta

Apabila melihat ketentuan dalam buku IV KUHPerdata terutama Pasal 187453, 1874a54, 188055; mengisyaratkan tentang perlunya legalisasi surat-surat akta yang ditandatangani dibawah-tangan, surat daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan- tulisan lain apabila hendak dipergunakan didalam proses pembuktian.

Dalam prakteknya seringkali legalisasi yang dilakukan tidaklah sebagaimana yang dimaksudkan oleh ketentuan-ketentuan tersebut. Minsalnya legalisasi yang dilakukan oleh dinas kependudukan, dalam lagalisasi akta kelahiran, atau akta lain seperti akta/surat kematian, kartu tanda penduduk dan lain sebagainya. Atau sebagaimana yang dilakukan oleh pejabat sekolah/perguruan tinggi dalam legalisasi izajah. Legalisasi seperti yang dilakukan oleh pejabat pemerintah sebagaimana

53 Bunyi Pasal 1874 Adalah : Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta

yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut. Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.

54 Bunyi Pasal 1874a adalah : Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal

termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penandatangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penandatangan, dan, bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.

55 Bunyi Pasal 1880 adalah : Akta di bawah tangan, sejauh tidak dibubuhi pernyataan

sebagaimana termaksud dalam pasal 1874 alinea kedua dan dalam pasal 1874a, tidak mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga, kecuali sejak hari dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut aturan undang- undang; atau sejak hari meninggalnya si penandatangan atau salah seorang penandatangan; atau sejak hari dibuktikannya adanya akta dibawah-tangan itu dari akta-akta yang dibuat oleh pejabat umum; atau sejak hari diakuinya akta dibawah-tangan itu secara tertulis oleh pihak ketiga yang dihadapi dengan akta itu.

disebutkan diatas merupakan legalisasi berupa tindakan mengesahkan tanda tangan dengan cara mencocokkan tanda tangan berdasarkan specimen tanda tangan pejabat yang berwenang dalam asli dokumen tersebut dengan fotocopy dokumen yang akan dilegalisasi. Setelah dilakukan pencocokan tanda tangan pejabat yang berwenang dalam dokumen tersebut oleh pejabat yang berwenang mencocokkannya maka pejabat yang tersebut akan memberikan cap stempel dan menandatangani dokumen fotocopy tersebut. Yang berarti bahwa dokumen fotocopy tersebut telah disahkan dan dinyatakan sama dengan dokumen aslinya. Kewenangan seperti ini, juga dimiliki oleh Notaris, sebagaimana yang disebutkan didalam pasal 15 ayat 2 hurup (d) UUJN Nomor : 30 tahun 2004 yang menyatakan bahwa Notaris berwenang pula untuk melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya.

Ketentuan pasal 7 huruf (c) UUJN, mengharuskan kepada setiap Notaris yang akan berpraktek untuk mengirimkan contoh specimen tandatangannya ke kementrian Hukum dan HAM. Hal ini erat kaitannya dengan legalisasi akta yang dilakukan di kementrian tersebut. Departemn Hukum dan HAM dapat melegalisasi dokumen apabila tanda-tangan dari pejabat yang menandatangani dokumen yang akan dilegalisasi itu telah sesuai dengan contoh tanda-tangan dari pejabat tersebut, yang tersimpan di Direktur Perdata, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), Kemhukham.

Menurut situs Departemen Hukum dan HAM, legalisasi adalah mensahkan tanda tangan pejabat pemerintah atau pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah.

Dalam situs deplu go.id disebutkan bahwa dokumen yang akan dibawa keluar negeri dilegalisasi oleh Mentri Luar Negeri, setelah terlebih dahulu dokumen tersebut dilegalisasi oleh Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum, Kementrian Hukum dan HAM. Kemudian dokumen tersebut dilegalisasi kembali oleh Konselor Kementrian Luar Negeri. Selanjutnya dokumen tersebut dibawa ke kedutaan negara yang dituju untuk dilegalisasi kembali. Dasar Legalisasi dokumen oleh kementrian ini adalah Statblad 1909 nomor 291 tentang legalisasi tanda-tangan56.

Prinsip dasar dalam pemberian legalisasi oleh perwakilan RI dan instansi pemerintah lainnya adalah57 ; ‘Tidak ada implikasi hukum yang merugikan pemerintah RI, Tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan RI, dan Tidak diluar kewenangan ketentuan yang berlaku”. Jadi Kementrian Luar Negeri dan perwakilan RI yang melakukan legalisasi tidak bertanggung jawab terhadap isi dokumen itu.

Berbeda dengan akta otentik Legalisasi surat dibawahtangan, dapat dilakukan oleh notaris/pejabat dimanapun selama dia berwenang untuk itu, bahkan untuk warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri, legalisasi dapat dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia yang ada di Negara tersebut. Dalam hal ini berlaku azas hukum “Lex Loci Solutionis” yaitu hukum yang berlaku adalah tempat dimana isi perjanjian dilaksanakan. Karena itu terhadap dokumen-dokumen dari luar negeri yang akan digunakan di Indonesia harus terlebih dahulu diberi materai Indonesia sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dan denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai

56 Rahmadi Utomo Sukotjo, Kasubdit Perijinan Penerbangan dan Perkapalan Serta

Legalisasi, Situs Akses DEPLU.go.Id.

terutang apabila pemeteraian kemudian dilakukan setelah dokumen digunakan58. Dokumen yang telah dimeteraikan kemudian dicap Sesuai dengan Undang-Undang Nomor : 13 Tahun 1985 Jo. 476/KMK.03/2002 oleh Pejabat Pos disertai dengan tanda tangan, nama dan nomor pegawai Pejabat Pos bersangkutan.

Sementara itu, yang dimaksudkan dengan pembuatan legalisasi oleh Notaris adalah Penandatanganan suatu tulisan dihadapan Notaris disertai dengan pernyataan bertanggal berupa keterangan tertulis yang dibubuhkan oleh Notaris mengenai keterangan bahwa yang membubuhkan tanda tangan itu dikenal atau diperkenalkan kepadanya, bahwa yang memperkenalkan itu dikenal oleh notaris, bahwa tulisan tersebut telah dijelaskan terlebih dahulu sebelum dilakukan penandatangan oleh para penghadap. Kemudian Notaris tersebut membubuhkan tandatangannya dan cap dibawah keterangan yang dibuatnya itu, untuk selanjutnya didaftarkan kedalam buku khusus legalisasi.

Kata-kata legalisasi sendiri muncul sebagai istilah yang diketemukan didalam praktek Notaris sebagai terjemahan atas kata “Waarmerking” tanda tangan dan cap ibu jari dalam akta dibawah-tangan. Oleh Notaris perkataan tersebut diartikan menjadi dua jenis yaitu59:

1. Legalisasi,

2.Waarmerking(pendaftaran atau pembukuan)

58 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 476/KMK.03/2002 tentang

Pelunasan Bea Materai dengan cara Pematerain Kemudian Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Jika kita hendak membandingkan antara keduanya maka hasil yang kita peroleh adalah sebagai berikut60

I. Akta Legalisasi : Tanda Tangan/cap ibu jari dibubuhkan dihadapan Notaris,

AktaWaarmerking: Tanda Tangan/cap ibu jari, dibubuhkan bukan dihadapan Notaris

II. Akta Legalisasi : Isi dijelaskan oleh Notaris kepada si penandatangan/pembubuh cap ibu jari

AktaWaarmerking: Isi Tidak dijelaskan oleh Notaris

III. Akta Legalisasi : Penandatangan/pembubuh cap ibu jari dikenal oleh Notaris/diperkanalkan kepada Notaris AktaWaarmerking: Belum tentu dikenal oleh Notaris, karena itu

diperkenalkan kepada Notaris atau mungkin saja sudah dikenalnya.

IV. Akta Legalisasi : Ada Kepastian tanggal akta ditandatangani/atau dibubuhkan cap ibu jari

AktaWaarmerking: Tidak ada kepastian tanggal akta ditandatangani/atau dibubuhkan cap ibu jari.

Didalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 tahun 2004 dasar hukum perbuatan legalisasi adalah pada pasal 15 ayat (2) hurup a yang berbunyi “Notaris berwenang pula untuk mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah-tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus. kata “legalisasi” hanya disebutkan didalam penjelasan pasal 15 ayat (2) hurup a tersebut. Yang menyatakan bahwa “ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta dibawah- tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorang atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris” jadi dalam pembuatan legalisasi ada dua perbuatan yang dilakukan oleh

notaris, pertama mengesahkan tanda tangan para pihak dan yang kedua mendaftarkannya kedalam buku khusus legalisasi.

C. Akta Sebagai Alat Bukti

Sebagian dari masyarakat kurang menyadari pentingnya suatu dokumen sebagai alat bukti sehingga kesepakatan yang terjadi diantara mereka cukup dilakukan dengan rasa saling kepercayaan dan dibuat secara lisan. Bahkan untuk peristiwa-peristiwa yang penting kesepakatan lisan itu dilakukan hanya dengan menghadirkan beberapa orang saksi, Biasanya yang menjadi saksi untuk peristiwa- peristiwa seperti itu adalah tetangga-tetangga, teman-teman sekampung atau pegawai- pegawai desa.

Peristiwa-peristiwa itu dapat berupa peristiwa-peristiwa biasa yang sudah

inherentdalam kehidupan masyarakat itu, seperti pemberian nama kepada anak yang baru lahir, tetapi dapat juga merupakan peristiwa yang mempunyai akibat hukum yang penting, umpamanya dalam transaksi jual beli atau sewa menyewa atau peristiwa penting lainnya seperti pembagian warisan, pengangkatan anak bagi orang yang tidak mempunyai anak sendiri dengan hak untuk mewaris. Apabila terdapat suatu peristiwa yang harus dibuktikan kebenarannya, maka saksi-saksi itulah yang akan membuktikan kebenarannya melalui kesaksiannya. Dalam pembuktian seperti ini, tentu saja memiliki kelemahan-kelemahan. Apabila suatu ketika terjadi sesuatu peristiwa yang membutuhkan pembenaran, akan timbul kesukaran apabila para saksi

itu sudah tidak ada lagi. Minsalnya akibat sudah pindah ke tempat lain yang jauh dan tidak diketahui alamat tempat tinggalnya atau disebapkan karena meninggal dunia.

Berdasarkan hal tersebut sebahagian masyarakat mulai menyadari pentingnya dilakukan pencatatan ke dalam suatu dokumen yang ditanda tangani para pihak dengan mengikutkan sertakan saksi-saksi. Masyarakat juga nulai menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat pembuktian yang penting dalam lalu lintas hukum, baik dalam arti materinya ialah dengan adanya bukti tertulis, maupun dalam arti formal yang menyangkut kekuatan dari alat pembuktian itu sendiri. Pasal 1865 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”.

Berbicara masalah alat bukti, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan, maka yang disebut bukti, yaitu :

a. Bukti Surat b. Bukti Saksi c. Persangkaan d. Pengakuan e. Sumpah

Disamping fungsi formilnya suatu akta juga mempunyai fungsi sebagai alat bukti karena akta itu dibuat sejak semula dengan sengaja untuk dapat digunakan dalam proses pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat dipergunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.

“Di dalam masalah keperdataan sering sekali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan, dan bukti yang disediakan tadi biasanya berupa tulisan”.61Pengaturan mengenai alat bukti tulisan ini didalam KUHPerdata dapat dilihat dalam Pasal 1867-1894.

Pasal 1867 KUH Perdata menyatakan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan;Pasal 1868berbunyi, Suatu akta otentik ialah yang di dalam bentuk yang di tentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai- pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta di buat.; Pasal 1869 berbunyi suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah-tangan jika Ia ditanda tangani oleh para pihak.; Seteruanya mengenai pasal-pasal ini dapat dilihat pada lampiran 1 :

Alat Bukti tulisan menurut KUHPerdata, halaman 1331.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas dan dapat dipahami bahwa, Alat bukti tulisan dapat dibedakan menjadi lima yaitu :

1. Akta Otentik yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang pasal 1868 KUHPerd dan ketentuan pasal 15 ayat (1). 2. Surat atau Akta dibawah-tangan yang dilegalisasi oleh Notaris atau

pejabat yang berwenang untuk itu1874/1874a KUHPerd dan pasal 15 ayat (2) UUJN.

3. Surat atau Akta dibawah-tangan yang didaftarkan oleh Notaris atau pejabat yang berwenang untuk itu pasal 1880 KUHPerd dan pasal 58 ayat 1 UUJN pasal 15 ayat 2 UUJN.

4. Surat atau Akta dibawah-tangan yaitu surat-surat yang ditandatangani dibuat dengan sengaja dengan tujuan untuk dapat dipergunakan didalam pembuktian pasal 1867 KUHPerd.

5. Surat-surat atau catatan-catatan yaitu yang dibuat bukan untuk keperluan pembuktian namun bisa digunakan sebagai bukti tambahan pasal 1880 KUHPerd.

Alat bukti tulisan baik berupa kesepakatan para pihak berupa akta dibawah-

Dokumen terkait